Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Buku Berbeda
1
Suka
1,097
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Aku ingat detail tentang dia."

Meisya menghembuskan napas panjang. Jus alpukat kesukaannya yang baru saja di pesan langsung disedot hingga setengah. Mungkin saja ia sudah bosan ketika aku menyebutkan lelaki itu kembali. Sudah hampir 6 tahun terhitung perasaanku dengan laki-laki itu tidak berubah sedikitpun.

"Apa kamu yakin dia akan untukmu?" Meisya menatapku kali ini.

Kepalaku menggeleng. Jelas tidak ada keyakinan yang sempurna tentang lelaki itu akan datang kepadaku lalu menyatakan cinta.

"Dia baca novel kamu?" tanyanya lagi. Meisya seakan meyakinkan aku bahwa sungguh tidak mungkin terjadi.

"Aku tidak tahu, mau baca ataupun tidak aku berharap bisa melepaskan segala perasaanku setelah berhasil menuliskannya dalam sebuah karya."

"Tapi, belum ada yang berubah dari perasaanku."

Setelah lulus dari sekolah aku memutuskan untuk pergi kuliah di Bandung. Sayangnya, rencana tinggal rencana. Penyakit endemi yang merebak keseluruh kota di dunia muncul, segala aktivitas diluar menjadi terkurung hanya dalam rumah melalui media online. Covid-19 memerangkap semuanya. Kuliahku pun begitu, aku menjalaninya secara online. Semua terkurung dan begitu juga perasaanku.

Niatnya, melanjutkan kuliah jauh dari kota asalku supaya dengan mudah melupakan lelaki itu. Sahabat sekaligus cinta pertama yang walaupun sudah aku ketahui sedang mengejar teman sekelasku sendiri.

Selama menjalani kehidupan yang nyaris dilakukan dalam rumah tidak pernah ku lewatkan untuk melakukan scrool media sosial. Dari sana aku bisa berhubungan, melihat kegiatan teman-temanku yang juga kuliah secara online ataupun pekerjaan mereka. Bahkan, tidak pernah ketinggalan mengetahui kegiatan lelaki itu. Sampai suatu ketika aku melihat ia memposting salah satu perempuan yang sudah bisa di kenali dia adalah Shara, perempuan yang sedang di dekatinya.

Kamu akan kalah dengan wanita yang dia cintai.

Kalimat itu jelas selalu terbayang di kepalaku. Sebelumnya aku berniat menyatakan perasaan kepada laki-laki itu karena sejak masuk sekolah aku merasakan jatuh cinta kepadanya hingga kini kita sudah berada pada waktu kelulusan yang mungkin saja akan berpisah. Begitulah cara kerja waktu setelah lulus dari sekolah setiap orang akan memiliki tujuan masing-masing, bisa saja orang yang ingin bersama malah terpisah begitu sebaliknya.

"Ini sudah tahun ketiga setelah kelulusan, bahkan kamu sudah mem-blokir nomornya, bukan?"

Walaupun aku menutup seluruh akses untuk berhubungan dengannya bukan berarti mudah untuk melupakan dia. Nampaknya, kenangan tentangnya lebih banyak sehingga sulit terlupakan.

"Seharusnya kamu tidak mengingat hal yang pernah kalian lakukan bersama. Kamu tahu, kan. Kamu akan kalah dengan-" aku langsung menyambungkan kalimat yang akan Meisya katakan.

Kalimat yang selalu terbayangi dalam kepalaku. Namun, tidak pernah mampu membantuku melupakan dia.

"Terus, apa lagi cara yang akan kamu lakukan?" Meisya bertanya hal yang sama seperti enam bulan lalu saat kita bertemu. Pertemuan aku dengan Meisya hanya bisa dilakukan beberapa bulan sekali karena memiliki waktu temu yang sulit, Meisya sedang menjalani kuliah di kota asalku sedangkan aku berada di Bandung sejak enam bulan lalu.

"Mungkin, aku tidak akan menulis dengan tokoh sama seperti kedua novelku yang terakhir terbit kemarin." jawabku dengan helaan napas. Bahwa sesungguhnya akupun tidak yakin itu akan berhasil, tapi mencoba tidak akan salah.

Seorang pelayan membawa pesanan nasi bakar dan juga seblak sesuai menu favorit yang selalu kami berdua pesan ketika berkunjung di kedai ini. Tempatnya tidak terlalu ramai dan yang paling kusenangi adalah menu disini. Hampir seluruh menunya aku sukai. Meisya menggeser piring yang terbuat dari gerabah berisi nasi bakar dihadapanku, satu-satunya sahabat yang begitu peduli.

"Makan dulu! Gak ada habis-habisnya cerita tentang dia, aku bosan tapi kamu tidak sepertinya." kubuka lidi yang digunakan sebagai pengikat daun pada nasi bakar itu, aromanya menyerebak ketika terbuka. Perutku akhirnya lelah juga membicarakan lelaki itu sehingga butuh asupan kembali sebagai tenaga.

Saat sendokan ketiga aku teringat sesuatu, tanganku ikut spontan menepuk pundak Meisya nyaris membuatnya tersedak jika tidak buru-buru menyedotkan jus Alpukat yang tinggal tersisa setengah. "Selain kebiasaan mengingat masa lalu kamu juga suka mengagetkan orang, ya!" protes Meisya.

"Kamu ingat tidak alasan buku keduaku masih dia tokohnya tapi dijudul yang berbeda?"

"Karena kamu ingin memberikan penawaran pada tokoh itu bisa melangkah atau memilih berhenti saja. Dengan arti...?" Meisya meletakkan sendok yang hendak masuk ke mulutnya lagi, ia kembali menatapku serius.

"Ya." aku mengangguk. Seolah ada tali penyambung antara otakku dan Meisya. Kita seolah paling paham isi pikiran masing-masing.

"Aku harus menawar diriku sendiri tentang perasaanku sendiri. Apa aku kurang tegas selama ini?"

"Thats my point!!" Meisya tersenyum sumringah, wajahnya begitu bahagia seperti anak yang menemukan permen lolipop di warung.

Seharusnya aku menyadari hal ini dari awal. Mengapa tokoh dalam novelku diberikan penawaran atas kehidupan yang harus mereka jalani tapi tidak ku lakukan pada diriku sendiri. Menurut seorang dokter psikolog menyebutkan ada 5 fase seseorang berduka: denial, anger, bargainning, depression dan acceptance. Jika dilihat keadaan diriku saat ini ternyata masih berada pada fase pertama yaitu denial. Aku masih memiliki keyakinan bahwa hubungan pertemananku tidak akan berubah, kebiasaanku belajar bersama dirumah, mendengarkan musik dengan headshet bersama dan juga saling bercerita tentang film yang kita tonton itu akan terjadi kembali.

Sebuah kenyataan yang harus disadari bahwa hal itu tidak mungkin terjadi lagi. Setelah mem-blokir nomor lelaki itu aku tidak lagi melakukan kebiasaan disetiap malam untuk memberitahukan hal apa yang kulakukan sepanjang hari begitupun dia tidak ada cerita horor tentang sekolah ketika ia bermalam disekolah. Teringat selama menjalani kuliah secara online aku ternyata masih menyimpani barang-barang yang kudapati darinya, membaca buku dairy berwarna biru yang isinya cerita tentang dia itu setia kubawa kemana saja.

Aku membuka tas ransel berwarna hitam disampingku lalu ku keluarkan buku dairy berwarna biru kehadapan Meisya. Ia mengambilnya dengan tatapan aneh. Dibukanya satu persatu sampai membuatnya tercengang melihat sebuah foto yang sengaja kutempel, diriku yang sedang menulis sesuatu. Dibawahnya ditulis kalau foto ini diambil oleh lelaki yang hingga kini tak lepas dari ingatanku.

"Sedetail itu aku mengingat dia. Bahkan kapan terakhir kali aku berdebat dengan dia masih kuingat, di whatsapp ketika sore hari dimana aku sedang menggambar lalu ketika malamnya aku memblokir nomornya setelah melihat dirinya memposting cewek itu. Tapi, ada pertanyaan yang tidak pernah kudapati jawabannya."

"Jika dia menganggapku teman mengapa perilakunya lebih dari itu? Jika sahabat mengapa ia tidak pernah jujur ketika aku bertanya siapa wanita yang dia sukai? Dan jika ia memiliki perasaan yang sama sepertiku mengapa ia tidak menyadarinya? Dia tahu atau pura-pura tidak tahu?"

Meisya menutup dairy itu, mangkuk seblaknya sudah habis digeser sedikit menjauh. Ia memeluk dairyku. "Aku akan simpan ini sampai kamu bisa merasakan ikhlas atas perasaan yang timbul dari sini." telunjuknya menunjuk dadaku.

Aku memandangi Meisya. "Saat berbagai cara untuk melupakan seseorang kamu lakukan, bahkan menulis dua buku yang kembali tentang dia tidak berhasil membuatmu lupa ada cara lain dan kemungkinan besar bisa kamu lakukan."

"Ikhlas... Bahwa segala yang terjadi jika bukan ditakdirkan untukmu maka akan ada banyak pintu tertutup untukmu tetapi jika sesuatu memang untukmu maka akan menemui jalannya sendiri."

Aku diam. Mataku langsung memejam dan kututupi dengan kedua telapak tanganku. Aku menangis langsung di peluk Meisya dalam dekapannya.

Memang betul ketika kita bisa ikhlas semua yang terlihat sukar dapat terlewati dengan mudah. Sebelum mengakhiri pertemuan dengan Meisya hari ini aku sempat memintanya berfoto bersama. Mengabadikan moment memang perlu untuk sesuatu yang mungkin saja tidak bisa kita dapati nanti. Dan dari sini, aku mengerti untuk melupakan lelaki ini bukan dengan menghapus segala ingatan melainkan mengikhlaskan seluruh moment yang telah terjadi.

"Terimakasih, aku mengerti. Bukan sekarang melainkan berproses."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Buku Berbeda
Lisnawati
Novel
From China, With Love
Cristal Chung
Flash
KoiN 2
Art Fadilah
Novel
Bronze
Gengsi karena Cinta
LSAYWONG
Novel
Gold
When Love Walked In
Bentang Pustaka
Flash
Bronze
Kalau Air Bisa Bernyanyi untukmu...
Shabrina Farha Nisa
Novel
Bronze
The New Book of Nobel (satu pesan untuk jam-andine)
Katyusha
Novel
Bronze
Guardian Angel of Heart
Indah li
Novel
Gold
Hello Wedding
Mizan Publishing
Novel
Bronze
BRAD
KH_Marpa
Novel
Midwife Love Story
Rosalina Vega
Novel
Bronze
Zian dan Zahira
romaneskha
Novel
FRIENDZONE
A. Tenri Ayu
Novel
Gold
Putus
Bentang Pustaka
Novel
SANDYAKALA
Hudatun Nurrohmah
Rekomendasi
Cerpen
Buku Berbeda
Lisnawati
Novel
Bronze
SPEECHLESS
Lisnawati
Novel
Bronze
You Are Too LATE
Lisnawati
Flash
Hai, Apa kabarmu?
Lisnawati
Flash
Menunggu Moment
Lisnawati
Flash
Kata orang, jangan berhenti di satu titik.
Lisnawati
Flash
Bronze
Tentangmu
Lisnawati
Cerpen
Bronze
Pulang
Lisnawati
Flash
Bronze
KEBETULAN
Lisnawati
Flash
Aku Bungkam
Lisnawati
Novel
Bronze
25 TAHUN PERNIKAHAN
Lisnawati
Flash
Keras Hati
Lisnawati
Novel
TEROR JIN DALAM PESANTREN
Lisnawati
Flash
ZONA NYAMAN BUKAN ZONA AMAN
Lisnawati
Novel
Satu Cara untuk Pergi
Lisnawati