Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bukan Tak Cinta
"Halo, Sayang. Lagi apa?"
Begitu sapaanku setiap minggu padanya. Berada jauh darinya bukan soal mudah. Pertama kali berpisah, aku sukar tidur. Bagaimanapun juga, dia tanggung jawabku sepenuhnya. Terpaksa kutitipkan pada Ibu karena tak ada siapa-siapa lagi yang bisa merawat calon gadis cantik itu.
Wajahnya mirip denganku. Mungkin karena gen sang ayah menurun pada anak perempuan, maka Bella terlahir putih sepertiku. Ibunya pergi setelah aku terkena perampingan karyawan. Istri macam apa dia, suami sedang kesusahan malah berduaan dengan mantan pacar.
Perceraian pun tak bisa dielakkan. Hak asuh Bella jatuh kepadaku sebab mantan istriku juga tidak bekerja. Pengadilan mempertimbangkan pengasuhan Bella padaku. Meskipun saat itu keuangan sedang morat-marit, rasanya tak ikhlas jika Bella bersama ibunya.
Hampir satu semester aku kerja serabutan. Apa saja yang bisa menghasilkan uang aku kerjakan. Tentu saja pekerjaan halal. Tak hanya menjadi tukang parkir, pedagang asongan, sampai menyapu jalanan pun kulakukan.
Demi Bella, yang masih berusia di bawah lima tahun saat bercerai, aku rela banting tulang. Aku yakin, rezeki anak pasti ada. Tak jadi soal dengan ibu sambung, jika ada jodoh pasti aku akan bertemu dengannya.
"Ayah, Bella mau ikut Ayah!"
Suara anakku dari jauh. Tampak di layar ponsel dia sudah beranjak remaja. Entah berapa lama aku tinggal berjauhan dengan Bella. Mungkin sudah lima tahun ini berjalan.
"Iya, Sayang. Tunggu Ayah jemput kamu bersama Nenek, ya?" jawabku menenangkannya.
Berawal dari magang yang difasilitasi oleh yayasan milik temanku---mentor Bahasa Jepang---aku bergabung sebagai tenaga kerja yang akan dikirim ke Jepang usai pandemi. Saat itu aku hanya bermodal tekad. Tak ada kawan ataupun sanak saudara di negeri orang. Hanya bersama rekan sejawat saja yang pada akhirnya saling berteman.
Tak menyangka, usai magang di sana, hingga kini aku bisa mendapat pekerjaan tetap. Berada jauh dari anak dan ibuku pun menjadi kebiasaan baru. Rasa rindu, cinta, pada keluarga dan tanah air, tak bisa begitu saja dihilangkan. Jika aku pulang, kehidupan di negara tercinta belum tentu sebagus sekarang.
Ah, Indonesia. Hari ini tanggal tujuh belas Agustus. Hari kemerdekaan negaraku. Pasti di tanah air banyak perlombaan dan perayaan untuk memperingati hari istimewa ini. Rasanya, aku makin rindu dengan kampung halamanku di Bandung.
Masih teringat dengan jelas saat usia sekolah dasar (SD), aku ikut karnaval sepeda hias. Waktu itu aku memakai pakaian polisi kecil. Sedangkan sepedaku dihias berbentuk kupu-kupu.
Baru terpikir, itu tidak sinkron. Mengapa harus kupu-kupu, bukan motor gede atau mobil polisi saja, sesuai pakaiannya. Mungkinkah aku dikira perempuan, sebab kulitku terlalu putih. Ah, masa-masa kecil, saat belum tahu-menahu arti kemerdekaan, senang-senang saja ikut euforia hari kemerdekaan.
Kini, setelah dewasa dan berumah tangga, baru kusadari makna merdeka yang sebenarnya. Entah pemahamanku yang benar atau salah, tak mengapa. Aku merasa merdeka bisa pergi dengan bebas ke negara lain untuk bekerja. Itulah yang terjadi sesuai fakta dalam hidup.
Tak perlu ikut membangun negara tempatku dilahirkan. Tak perlu merasa bertanggung jawab soal lapangan kerja yang kian sempit. Tak peduli pada jutaan tenaga kerja yang menjadi pengangguran tak kentara. Sebab aku telah merdeka di negara tetangga. Meskipun bukan sebagai pejabat, tetapi gaji yang kudapatkan sangat lebih dari cukup untuk membiayai sekolah anakku dan biaya hidup kami bertiga.
Beberapa teman yang mengetahui aku menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) sempat berkelakar. Mereka terkejut karena tidak menyangka aku berani pergi jauh. Secara selama ini, mereka mengenalku jago kandang.
"Wan, betah amat lu di negeri orang? Gak cinta sama kampung halaman, tah?"
Bukan aku tak cinta tanah air. Tentu saja tinggal di negeri sendiri lebih nyaman. Namun, demi bertahan hidup, apa boleh buat, terpaksa aku meninggalkan negara dalam waktu cukup lama. Jika keadaan bisa berubah---mendapat kehidupan layak di tanah kelahiran---tentu aku akan pulang.
Siapa yang tak suka berkumpul dengan sanak saudara, teman, tetangga? Bagiku, kini tak ada pilihan selain mengadu nasib di negeri orang. Ijazah sekolah teknik mesin membawaku jauh dari anak dan ibuku usai pandemi beberapa tahun lalu. Pilihan sulit sebenarnya, tetapi, tak mungkin aku membiarkan Ibu menumpuk utang di warung.
Secara berkala aku telepon video dengan Bella dan Ibu. Melihat mereka sehat, bisa hidup layak, aku sudah bahagia. Berkat gaji yang kukumpulkan, kini Ibu bisa membuka warung sembako kecil-kecilan di rumah.
Aku tahu, tak bisa selamanya bekerja di negeri orang. Suatu hari aku akan pulang juga. Tubuhku lama-lama akan menua. Kekuatan pun menjadi ringkih. Tak mungkin perusahaan bakal mempertahankan tenaga kerja yang sudah lanjut usia.
"Ayah! Lihat video sama fotoku. Aku jadi panitia lomba tujuh belasan tadi. Jadi tim dokumentasi. Cakep, gak, fotonya, Yah?" kata Bella saat menelepon.
Kuperiksa beberapa foto hasil jepretannya, memang bagus-bagus. Bakat menurun dari sang ayah rupanya. Hem, tak terasa, dia sudah makin pintar sekarang. Makin besar dia, tentu makin tua usiaku. Coba aku berada di dekatnya. Pasti rindu yang terasa tak separah ini.
Tak bisa dipungkiri, seandainya aku masih seperti dulu kerjanya, serabutan, putri kecilku mungkin belum tentu sesejahtera sekarang. Negeri orang memang menggiurkan untuk mencari uang. Namun, berada di negeri sendiri sudah pasti lebih nyaman.
Budaya, kebiasaan, tatanan, dan segala hal yang ada di negara lain harus dihargai perbedaannya. Seperti peribahasa, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Begitu pula denganku yang tinggal di Jepang untuk sementara waktu, tentu harus bisa menjaga toleransi.
Tak akan pernah kulupakan semua orang yang pernah membawa keberuntungan bagiku. Terutama ibuku tercinta, berkat beliau, warung yang dikelola makin maju. Kabarnya, sekarang sudah ada karyawan satu orang. Dia bertugas mengantar pesanan pelanggan jika belanjaannya cukup banyak. Selain itu, menjaga warung jika Ibu tengah istirahat.
Aku berharap, dengan uang tabungan yang terkumpul, bisa membesarkan warung yang dirintis oleh Ibu. Mungkin menjadi agen yang penjualannya partai besar, grosiran. Menjadi pusat perkulakan pada pedagang eceran. Mimpi sang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang cukup muluk di negeri sendiri.
Tentu saja, pesaing bakal ada. Namun, rezeki Allah yang atur. Dengan menjual barang sama, akan kubuat warungku beda dengan warung lainnya. Pelayanan untuk pelanggan menjadi fokus utama nanti. Mungkin, pengaruh pergaulan di sini juga, kini aku merasa lebih ramah dengan orang-orang.
Sekali lagi kukatakan, bukan tak cinta negara Indonesia. Akan tetapi, untuk urusan finansial, aku lebih merdeka di negeri orang saat ini. Tak ada, 'kan yang mau menyuplai keuangan jika aku paksakan pulang sekarang?
Tamat
Jakarta, 17 Agustus 2023