Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku berjalan bersama temanku, Bagas. Sungguh mengerikan berjalan di hutan pada malam-malam begitu. Suasana sunyi mencekam. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah pepohonan dan tumbuhan lebat.
“Sampai kapan kita akan berjalan?” tanyaku. “Mana gubuk tempat kita menginap?”
“Sebentar lagi, kawanku, sebentar lagi…” Hanya itulah jawaban yang kuterima dari Bagas. Aku tahu lelaki itu tidak tahu jalan, namun dia memaksakan diri untuk terus mencarinya.
Sebelum berangkat, Bagas bercerita bahwa dia punya gubuk di tengah hutan. Gubuk itu sudah lama tidak terpakai. Bagas mengajakku ke sana untuk menengok keadaannya. Aku belum memahami konsekuensinya saat itu, jadi aku mengangguk saja.
Sudah kurang-lebih lima jam kami berjalan di hutan ini. Aku lupa membawa kompas. Jam tangan yang kubawa menunjukkan pukul 21:00.
“Kau yakin ini jalan yang benar? Kita sudah tiga jam berjalan, dan tak menemukan apa pun selain pepohonan lebat,” komentarku sambil membetulkan letak tas ransel. “Kita belum makan malam. Perutku sudah keroncongan, Bagas. Ayo kita berhenti dulu untuk beristirahat.”
Bagas mengiyakan, akhirnya kami duduk di bawah pohon pir dan membuka perbekalan. Kami makan roti panggang, bolu cokelat yang dibawakan oleh ibu Bagas, serta minum teh hangat.
“Lihat, ada harimau, Bagas,” bisikku sambil merapikan piring dan perbekalan. “Ayo sembunyi!”
Bagas bergegas menyambar tasnya dan mengikutiku. Kami bersembunyi di semak-semak lebat. Dari kejauhan, kami mendengar suara geraman.
“Jangan berisik. Kalau dia menemukan kita, tamatlah riwayat kita,” bisik Bagas sambil menahan napas.
Kami diam, menunggu harimau itu pergi. Kami membuat semacam lubang kecil di semak tersebut untuk melihat. Samar-samar, harimau itu pergi, sambil menggeram-geram.
“Sudah pergikah dia?” tanya Bagas.
“Kurasa sudah. Tapi jangan keluar dulu. Bisa saja harimau itu memutuskan untuk kembali karena menemukan mangsa,” komentarku.
Kami menunggu lama. Setelah tak ada suara-suara menakutkan, barulah kami keluar dari persembunyian.
“Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan,” ajakku. Aku melemaskan otot-ototku yang pegal. “Tapi kita harus berhati-hati, siapa tahu ada hewan buas lagi di sini.”
“Ah, kau jangan menakutiku, dong,” tanggap Bagas. Kulihat dia mengusap butir-butir keringat yang membasahi kening dan lehernya. “T-tapi… aku, sih, lebih memilih bertemu hewan buas daripada hantu.”
“Sebaiknya kau berdoa saja, jangan mengkhayalkan yang aneh-aneh,” kataku sambil mulai berjalan.
Kami menelusuri hutan. Semakin lama, rumput semakin tinggi. Ilalang tumbuh di mana-mana, tingginya mencapai perut kami. Aku dan Bagas bosan menyibak-nyibakkan ilalang serta harus bersembunyi bila ada hewan buas.
“Semakin lama hutan semakin gelap,” bisikku. “Bagas, kau membawa senter?”
Bagas mengeluarkan dua buah senter yang kebetulan dia bawa. Kami segera menyalakannya.
“Kalau gelap-gelap begini, aku tak bisa melihat apa-apa. Baterai senter pun nanti pasti akan melemah, Kevin. Aku memang masih punya stok lilin, tapi benda itu juga tak dapat diharapkan.”
“Kita terus sajalah. Kau, kan, yang mengajakku ke sini? Berjalanlah di depan,” suruhku.
Maka aku berjalan di belakang Bagas sambil berjaga-jaga supaya dia tetap aman. Bagas memang penakut. Tapi dia terkenal suka mencoba-coba meskipun pada akhirnya harus pingsan karena ketakutan.
“Ssst!” Bagas mencengkeram tanganku.
“Ada apa?” Serentak, kumatikan senterku.
“A-ada suara menggeram. A-apa itu?” Bagas menyorotkan senternya ke depan.
Tampaklah sosok harimau yang sekitar tiga meter jauhnya dari kami. Dia membuka mulutnya dan mengaum ganas. Kami gemetar. Bagas menyeret lenganku dan berlari.
“I-itu, kan, harimau yang tadi!” teriakku sambil berusaha mengimbangi langkah kaki Bagas.
“Aku tidak tahu. Harimau atau bukan, kita tetap harus lari!” Bagas terengah-engah sambil terus memegangi senternya.
Harimau itu terus mengejar kaki, sesekali mengaum sampai seluruh burung-burung beterbangan ke luar. Aku dan Bagas harus bisa kabur dari makhluk berbelang itu. Sejauh apa pun kami berlari, harimau itu tetap menguntit dari belakang.
“Aduh, Kevin… aku sudah tak sanggup lari. Ka-kau lari saja duluan,” kata Bagas dengan napas terengah-engah. Dia melambatkan larinya.
“Bagas, ayo cepat. Kau akan dimakan harimau nanti!” seruku sambil menarik lengannya.
“Biarlah aku dimakan… harimau asal kau… bisa selamat…” ujar Bagas sambil ngos-ngosan.
Harimau itu tiba-tiba berhenti, dia mengaum dan kemudian pergi ke tempat lain. Aku dan Bagas berhenti di dekat sebuah pohon, bersembunyi di balik semak-semak.
“Aku capek. A-ada minum?” tanyanya.
Kukeluarkan botol air minumku dan kuberikan padanya. Bagas meneguknya dengan berisik.
“Ssst… apa kau tidak bisa diam? Harimau itu masih mengincar kita, tahu?” bisikku.
Bagas terdiam, diserahkannya botolku sambil nyengir. Aku tahu dia telah menghabiskan isi botol tersebut. Tak apalah, karena di tasku masih ada sisa dua botol lagi.
Kami keluar dari semak-semak sambil melemaskan otot. Badan kami semua pegal. Kami lapar, haus, dan juga capek. Kami perlu beristirahat, namun kami tak mungkin harus tidur di hutan macam ini karena akan diserbu hewan buas.
“Lihat, di sana ada gubuk,” kataku. “Ayo kita ke sana. Barangkali itu gubukmu, Bagas.”
Bagas mengikutiku, sambil terus menatap gubuk itu. Kami mengetuk pintu.
“Gubuk ini terlihat sepi, tetapi lampunya menyala. Jangan-jangan ada orang yang menempatinya,” duga Bagas.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang nenek ke luar sambil memandangi kami. Wajah keriputnya tampak putih.
“Halo, Nek. Kami… kami penjelajah hutan. Kami tersesat dan habis dikejar harimau. Bolehkah kami menginap di sini sementara?” tanyaku sopan.
“Siapa nama kalian?” tanya nenek itu.
“Saya Bagas, dan ini teman saya, Kevin,” kata Bagas sambil tersenyum.
“Masuklah. Tentu kalian dalam keadaan lapar. Nenek baru saja memasak makanan.”
Si nenek membuka pintu lebar-lebar. Kami segera masuk. Gubuk itu terlihat kecil, dan hanya ada satu ruangan saja. Di dalam ruangan itu, ada kompor portable, meja lipat besar berisi piring-piring plastik dan gelas kaca, serta terdapat berbagai barang lainnya di sudut-sudut.
“Maaf, ya, rumah saya sederhana. Saya hanya mampu membeli gubuk kecil ini. Silakan duduk,” kata si nenek sambil menghampiri kompor. Dia mengangkat panci dan mematikan kompornya.
“Nek, kompor portable tersebut dapat dari mana?” tanya Bagas sambil meletakkan tasnya.
“Itu hadiah dari putri saya,” jawab si nenek. “Dia meninggalkan hadiah itu sebelum dia meninggal. Setelah itu, cucu-cucu saya tak pernah peduli dengan saya, dan suami putri saya mengajak mereka menjauh dari saya.”
Bagas dan aku menikmati gubuk kecil itu. Lampunya bersinar redup. Si nenek menghidangkan roti tawar, teh tawar, dan ikan goreng. Kami memakannya tanpa mengeluh.
“Makanannya sederhana. Saya memancing ikan dari sungai dekat gubuk saya. Saya juga masih punya stok daun teh. Dan ada pula stok roti, yang diberikan para penjelajah hutan ketika mampir ke sini,” cerita si nenek sambil membetulkan kacamatanya.
“Nenek tidak takut sendirian di sini?” tanyaku sambil menggigit roti.
“Sebetulnya, sih, takut, tapi saya tidak pernah berniat pindah. Saya suka tinggal di sini karena saya menyukai alam.”
“Bagaimana dengan binatang-binatang buas di sini?”
“Mereka hampir tak pernah menyadari gubuk ini. Saya sudah tinggal di sini selama dua tahun.”
Kami tak bertanya lagi. Setelah membantu nenek mencuci peralatan masak, kami menggelar karpet merah sebagai alas tidur. Karena tak ada bantal, kami memakai tas ransel kami sebagai gantinya. Nenek itu memandang dengan heran.
“Kalian terbiasa seperti ini sewaktu di hutan?” tanya nenek.
“Ya, Nek. Memang terlalu keras, tapi kami tidak pernah mengeluh,” jawabku.
“Jangan begitu, nanti sakit leher. Tidur tanpa bantal tidak apa-apa, kok. Kalau alas kepala kalian terlalu tinggi, leher kalian bisa sakit.”
Kami mengikuti saran si nenek. Akhirnya kami tidur bertiga dengan nyaman. Si nenek mematikan lampu. Bagas tak henti-hentinya mengorok. Sementara aku masih sibuk memukul nyamuk sampai akhirnya tidur kelelahan.
***
Kami menginap di gubuk itu selama dua hari. Kami membantu si nenek memasak, mencuci, memancing ikan, memetik buah-buahan sebagai camilan, dan juga mengobrol bersama nenek itu. Kami merasa senang dengan keramahan si nenek. Hampir setiap waktu beliau membuatkan jus apel untuk kami. Bahan-bahannya juga tentu saja dari aku dan Bagas.
Sudah saatnya kami pulang. Nenek membekali kami beberapa butir pir, sebongkah roti tawar, serta daun teh. Beliau mendoakan supaya kami selamat sampai tujuan.
“Terima kasih atas kebaikannya, ya, Nek. Ini dari kami,” Bagas menyodorkan sekotak lilin dan sebungkus gula merah yang sudah lama kami simpan.
“Eh, buat apa ini. Tidak usah, saya tidak butuh,” tolak si nenek.
“Tidak apa-apa, Nek, terimalah. Nenek memberi kami hadiah, berarti kami juga harus menghadiahi Nenek!” seruku sambil tersenyum.
Nenek itu tersenyum gembira dan menerima benda yang disodorkan Bagas. Kami pun pulang, dan sampai ke kota kami menjelang malam.
“Kevin, perjalanan kita tidak sia-sia, ya. Kita gagal menemukan gubuk itu, namun kita bertemu dengan seorang nenek yang baik hati!” seru Bagas.
Aku mengiyakan. Berita tentang pertemuan kami dengan si nenek akhirnya tersebar. Keluargaku dan keluarga Bagas sangat senang ketika kami kembali. Aku juga senang karena memperoleh pengalaman yang tak terduga.