Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Bukan Sekedar Lewat
0
Suka
9
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Cerita ini saya angkat dari kisah nyata, pengalaman pribadi yang hingga saat ini membuat saya sedikit takut. Kejadian ini berawal ketika di salah satu kampung tempat saya tinggal, nama kampung tersebut “Kampung Belatung”. Memang semenjak saya pindah ke kampung ini, banyak hal-hal aneh yang sering terjadi kepada saya. Tapi saya selalu buang mitos warga setempat dan saya tidak menghiraukan pendapat warga kampung sebelah. Kampung tempat saya tinggal memang sangat kental sekali mistisnya: dari santet, guna-guna, hingga pernah ada seorang anak laki-laki lulusan sarjana karena diguna-guna sampai menjadi tidak berguna karena terlalu kuat santet guna-guna di kampung ini.

Saya tinggal di sini sudah cukup lama, sekitar tiga tahun. Banyak sekali larangan, mulai dari tidak boleh menjemur CD di siang hari, juga tidak boleh makan sambil berdiri. Saya juga memiliki kekasih yang cukup cantik di desa ini, namun kami harus berpisah karena saya bukan asli dari kampung tersebut. Walau sakit hati, tapi saya pendam karena saya takut jadi korban santet kalau saya melawan atau berkata yang menyakit. Karena orang tuanya dikenal sebagai dukun paling hebat di kampung ini.

Hingga tiba waktu di mana saat pulang dari pabrik kerupuk tempat saya bekerja, terletak di kampung sebelah, lumayan jauh dari kampung saya tinggal. Karena hari itu perahu yang biasa saya gunakan untuk menyeberang sungai tidak bisa dipakai, karena air sungai sedang pasang—hal biasa yang terjadi ketika musim penghujan mulai tiba. Akhirnya saya memutuskan untuk bersantai di warung kopi Mba Cu’ah sambil menunggu untuk saya bisa pulang ke rumah, karena itu akses utama dan satu-satunya untuk menuju kampung saya.

Sambil menikmati kopi dan sebatang rokok kretek, samar-samar saya mendengar mitos tentang kampung saya. Ada kejadian menyeramkan semalam, dan ada korban pula. Hari itu jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Dari obrolan itu membuat saya khawatir, karena saya bisa saja malam sampai di rumah. Akhirnya saya coba mengampiri seseorang yang biasa menggunakan perahu mengantar menyeberang.

“Nuwun sewu, Pak, niki kira-kira isih suwe ta? Soale aku wedi nek mulehe kesuwen,” saya bertanya kepada bapak-bapak tersebut. Dan sedikit aneh, tak seperti biasanya yang ramah. Orang tersebut menjawab dengan sedikit kasar. Nadanya tinggi dan menatap saya dengan tatapan bukan seperti orang biasa.

“Kowé ora ndelok ta yen banyuné lagi dhuwur? Yèn péngin nyebrang déwé, ya nyebrang waé,” jawab bapak itu. Akhirnya saya kembali ke warung tadi.

Setelah lama menunggu, saya bisa menyeberang pukul enam sore dini hari. Di sinilah saya mulai merasa janggal dan tidak enak perasaan saya. Ketika perahu menuju ke bibir sungai, saya yang lelah bekerja melihat kampung saya seperti suram dan menakutkan, membuat bulu kuduk serta bulu ketiak saya pun ikut bangun. Saya perlahan pelan seperti biasanya.

Jalan menuju rumah saya hanya ada satu jalan, dan itu biasa melewati rumah sakral yang sangat mencengkam dan menakutkan. Rumah yang bukan hanya membungkam saya, namun juga tentang sebuah perasaan. Saya tiba di jalan tersebut jam sembilan malam, waktu yang sangat cocok untuk para dedemit keluar. Saya sebetulnya sudah biasa lewat jalan ini, tapi malam itu semua terasa beda. Seperti ada yang mengikuti saya, tapi bukan kenangan. Seperti seseorang, tapi saya lihat tidak ada siapa-siapa. Karena kampung saya terbilang sepi kalau sudah jam sembilan ke atas. Tapi saya biasa mondar-mandir kerja lewati jalan tersebut.

Sampai pada satu waktu perasaan saya sudah mulai tidak enak, tidak seperti biasanya. Punggung tiba-tiba berat dan mata juga agak kabur. Tapi karena akses ke rumah saya cuma lewat jalan ini, jadi saya teruskan. Hingga akhirnya saya hampir pingsan. Angin malam itu tiba-tiba menjadi dingin, Aura mistis di rumah sakral tersebut semakin kuat. Ada aura yang tak bisa saya jelaskan, ru

Punggung saya berat sekali, terasa sedikit panas. Tapi saya teruskan berjalan. Dari jauh saya melihat samar ada sosok di depan rumah sakral itu. Saya menghiraukan. Tanpa sadar, hidung saya mimisan. Saya semakin panik, jalan saya semakin cepat, punggung saya makin lama makin berat.

Hingga rasa itu semakin terasa ketika saya di depan rumah sakral itu. Ada sosok entah itu manusia atau hantu, karena saya sudah hampir pingsan. Tapi saya coba kuatkan diri, istigfar dan terus berdoa. Sosok di depan teras rumah sakral itu semakin jelas terlihat.

Dan betapa terkejutnya saya ketika sosok itu terlihat jelas oleh saya. Ternyata semua yang saya rasakan karena melihat mantan sedang pacaran di teras rumah. Memang kebetulan rumahnya di jalan yang biasa saya lewati. Karena rumah itu membuat saya selalu tegang dan saya menyebutnya rumah sakral. 😶‍🌫️

Akhirnya saya hanya termenung sebentar. Dan saat itu punggung saya semakin berat. Nafsu makan berkurang, kadang juga sering mimpi buruk. Saya sudah mencoba berkonsultasi dengan ustadz dan dukun profesional di kampung ini, namun dari semua obat belum ada yang bisa menyembuhkan saya. Akhirnya saya memutuskan pulang kembali ke kampung asal saya, setelah mengabari ibu.

Tapi ternyata kepulangan itu membuat tragedi yang tak pernah saya duga, yang membuat saya kehilangan banyak hal termasuk hidup saya. Setelah merapikan barang-barang, saya berjalan menuju jalan utama untuk mencari angkutan umum. Cukup jauh sekali karena memang kampung ini terletak di pedalaman desa. Di perjalanan yang hanya ada sawah dan pohon-pohon bambu menjulang tinggi, saya menepi sebentar untuk beristirahat di jalanan yang sepertinya menurun ke bawah. Karena tidak ada bangku taman atau semacamnya, saya hanya berdiri menatap ke sawah-sawah yang terbentang sangat luas. Di ujungnya terdapat permukiman warga yang asri. Dalam lamunan tersebut, tiba-tiba saya mendengar suara,

“Awas… awas… minggir…”

Namun karena samar, saya tidak terlalu menghiraukannya. Dan tiba-tiba… Dubrak! Saya masuk ke selokan sawah karena becak yang remnya blong menabrak saya. Luka di kepala terbentur keras dengan batu sisa vulkanik. Hampir mati saya. Namun karena segera ditolong, akhirnya saya bisa diselamatkan. Sepuluh hari saya koma. Setelah siuman, saya kehilangan ingatan saya, termasuk tentang mantan saya.

Setelah siuman dari koma, samar-samar saya masih coba mengingat apa yang terjadi. Tapi semuanya seperti kabur. Wajah-wajah yang datang menjenguk pun terasa asing. Kepala saya terasa berat seperti diikat kenangan yang terputus. Termasuk tentang mantan saya—entah kenapa, saya tahu saya pernah menyayangi seseorang, tapi siapa, saya tidak tahu.

Beberapa hari setelah bisa berjalan, saya sering naik ke balkon rumah sakit. Di sana saya menghabiskan waktu hanya duduk, merokok, menatap bulan yang menggantung di langit. Malam itu bulan begitu bulat dan terang, sinarnya seperti mengenang sesuatu yang tak bisa saya sentuh. Sunyi terasa pekat, hanya desau angin yang menyentuh kulit saya.

Lalu... perasaan itu muncul lagi. Ada sesuatu. Seperti mata yang memperhatikan dari belakang. Saya mencoba menepisnya, tapi jantung saya berdetak lebih cepat. Saya menoleh pelan. Tak ada siapa-siapa.

Sekejap, bayangan berkelebat di ujung mata saya. Cepat sekali. Saya berhenti merokok. Pandangan saya menyisir ke sekeliling balkon. Tiba-tiba, dari arah tangga terdengar suara. Samar tapi cukup jelas.

“Ivaaara...”

Saya membeku. Bulu kuduk saya berdiri. Bunga di pojok balkon tiba-tiba jatuh. Pecah keheningan malam. Perlahan saya mendekati tangga. Di bawah sana... sosok perempuan berdiri membelakangi saya. Diam. Menunduk. Rambutnya panjang menutup sebagian wajah. Saya menahan napas.

"Mbak, ngenteni sapa? Perlu tak panggilke sustere?"

Tak ada jawaban, hanya rintihan pelan. Saya turun perlahan. Satu demi satu anak tangga saya lewati. Jantung saya makin liar. Sampai akhirnya saya sampai tepat di belakangnya. Tangan saya terulur, hendak menyentuh pundaknya. Namun sebelum sempat menyentuh, dia berbalik... dan memanggil saya.

"Ivara..."

Suara itu seperti... familiar. Tapi asing. Matanya penuh air. Wajahnya pucat tapi tak menyeramkan. Dia mendekat, tangannya melingkar di leher saya. Saya membeku, tak bisa lari, tak bisa bicara.

"Kowé ora kelingan aku ta, Ivara? Mantanmu saka Kampung Belatung."

Saya terdiam. Bingung. Saya menatap matanya, mencoba mencari ingatan yang hilang.

"Sinten panjenengan? Menawi kulo lan panjenengan nate pinanggih sadèrèngipun?"

Wajahnya berubah. Sakit. Marah. Kecewa.

"Kowé lali karo aku? Ninggalaké aku? Mung mergo kowé ora asli kampung ku?"

Saya ingin menjelaskan, tapi kata-kata tak keluar. Kepala saya berdenyut keras. Dunia di sekitar saya berputar. Dan saya jatuh, lagi. Kali ini bukan karena luka di kepala, tapi karena luka yang tak saya mengerti.

Saya terbangun keesokan pagi, di ranjang rumah sakit, cahaya mentari menyusup dari jendela. Di samping saya, tangan lembut menggenggam erat tangan saya. Saya menoleh. Dia—perempuan itu—menatap saya. Kali ini dengan senyum. Tapi saya masih tak tahu siapa dia. Yang saya tahu, matanya menyimpan cerita yang saya lupa. Tangannya hangat, tapi asing. Seperti pagi yang selalu datang, tapi tak pernah bisa saya tebak maksud kehadirannya.

Hingga sampai satu waktu saya tersadar, ternyata apa yang saya alami. Hanyanya mimpi panjang semalam, kini saya harus di tempat kembali oleh keadaan. Teriak ibu memanggil saya, membangunkan saya. Dari tidur panjang saya, dari kisah yang saya anggap nyata. Namun semua hanya kisah horor, menjelang pagi.

"Terkadang kita tak pernah tahu, bagaimana kejadian membuat kita tak lagi bisa mengingat apapun. bahkan kenangan terpahit pun ikut lenyap bersama dengan hilangnya memori dalam kepala. Simpan apa pun itu, karena setiap luka. Memiliki caranya masing-masing untuk hadir kembali, walau tak bisa utuh kembali. Tapi tulus tak pernah merubah apa pun didalamnya."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Bukan Sekedar Lewat
Ivara
Cerpen
Bronze
Yamero
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Dia Bukan Bayi Ku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Adam
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Pesan dari Masa Lalu
Novita Ledo
Flash
Sembilan
Fajar R
Skrip Film
Trauma Generasi
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Bronze
Cermin Diri
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
#fyp Terakhir
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Gelang Terakhir
Nabilla Shafira
Flash
Bronze
Rencana Besar
Carolina Ratri
Novel
Bulan Madu Pengantin
Rosi Ochiemuh
Cerpen
Bronze
Hidup Di Alam Lain
Dewi Hana
Cerpen
Besuk
Amelia Purnomo
Novel
KISAH GADIS BISU DAN TULI
Aydhaa Aydhaa
Rekomendasi
Cerpen
Bukan Sekedar Lewat
Ivara