Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Bayangan Sebelah Kursi
Kursi di sebelah Yusi masih kosong.
Hari ini matahari naik malu-malu, langit seperti ditutupi kabut tipis yang tak ingin pergi. Dan di antara deretan suara pensil, detak jam, dan suara guru menjelaskan dengan nada yang datar tak ada suara tawa kecil yang dulu akrab menari di samping telinganya.
Lusi tak lagi duduk di sana.
Sudah berhari-hari.
Tapi bagi Yusi, hari pertama tanpa Lusi terasa seperti tanggal yang tak pernah dicatat, tapi diingat oleh tubuh.
“Bangku kosong bukan sekadar ruang,tapi bekas hangat yang tak sempat kuabadikan.”
Kelas tetap berjalan.
Guru tetap menyebut nama siswa satu per satu.
Namun saat tiba di “Lusi...”,
hanya ada gumaman sunyi dan satu tatapan yang terpaku ke luar jendela.
Yusi tidak menoleh.
Ia tahu di jendela itu, ada pantulan bayangan dirinya sendiri dan ruang kosong yang seharusnya diisi seseorang.
Lusi bukan sahabat biasa. Ia adalah sisa ketenangan saat dunia ribut.
Teman yang tahu cara menenangkan dengan diam, dan tahu kapan harus tertawa keras tanpa alasan.
Kini, diam terasa seperti hukuman.
Dan tawa, seperti sesuatu yang terlalu mahal untuk dibayar.
Yusi meremas ujung seragamnya.
Ia melihat ke arah papan tulis tapi tak benar-benar membaca. Pikirannya melayang ke hari terakhir mereka bicara.
Bukan perpisahan, bukan air mata, tapi satu kalimat pendek… yang akhirnya memisahkan:
“Kalau kamu memang gak percaya aku,buat apa kita masih pura-pura dekat?”
Dan sejak itu, Lusi menjauh.
Tidak ada penjelasan.
Tidak ada permintaan maaf.
Tidak ada pamit.
Hanya bangku kosong yang makin hari makin dingin.
Hari ini, Yusi melihat seorang teman lain duduk di kursi itu.
Hanya untuk beberapa menit.
Dan dalam detik-detik itu, jantungnya seperti disayat pelan:
bukan karena bangku itu diisi orang lain, tapi karena ia sadar, Lusi tak akan kembali.
“Aku pikir, yang membuatku sakit adalah kepergianmu. Tapi ternyata...yang lebih perih adalah kamu tak menoleh meskipun aku masih di tempat yang sama.”
Pulpen Yusi berhenti menulis.
Tangannya gemetar sedikit.
Ia menarik napas, lalu menunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh, agar tak ada yang tahu:
kursi kosong itu tak hanya kehilangan orang, tapi juga kehilangan versi dirinya yang paling hangat.
Bel berbunyi.
Semua siswa bergegas keluar.
Yusi tetap duduk.
Menatap kursi itu lagi.
Kali ini lebih lama, seolah menunggu sesuatu yang tak pernah dijanjikan akan datang.
“Kursi itu tahu terlalu banyak.
Ia pernah menyaksikan dua gadis bertukar tawa, menyembunyikan tangis, dan saling percaya tanpa syarat. Kini... ia jadi saksi paling sunyi dari hancurnya sesuatu yang pernah disebut ‘kita’.”
Hari itu Yusi pulang lebih lambat.
Buk...