Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Bukan Lagi Kita
0
Suka
468
Dibaca

Bab 1 – Bayangan Sebelah Kursi

Kursi di sebelah Yusi masih kosong.

Hari ini matahari naik malu-malu, langit seperti ditutupi kabut tipis yang tak ingin pergi. Dan di antara deretan suara pensil, detak jam, dan suara guru menjelaskan dengan nada yang datar tak ada suara tawa kecil yang dulu akrab menari di samping telinganya.

Lusi tak lagi duduk di sana.

Sudah berhari-hari.

Tapi bagi Yusi, hari pertama tanpa Lusi terasa seperti tanggal yang tak pernah dicatat, tapi diingat oleh tubuh.

“Bangku kosong bukan sekadar ruang,tapi bekas hangat yang tak sempat kuabadikan.”

Kelas tetap berjalan.

Guru tetap menyebut nama siswa satu per satu.

Namun saat tiba di “Lusi...”,

hanya ada gumaman sunyi dan satu tatapan yang terpaku ke luar jendela.

Yusi tidak menoleh.

Ia tahu di jendela itu, ada pantulan bayangan dirinya sendiri dan ruang kosong yang seharusnya diisi seseorang.

Lusi bukan sahabat biasa. Ia adalah sisa ketenangan saat dunia ribut.

Teman yang tahu cara menenangkan dengan diam, dan tahu kapan harus tertawa keras tanpa alasan.

Kini, diam terasa seperti hukuman.

Dan tawa, seperti sesuatu yang terlalu mahal untuk dibayar.

Yusi meremas ujung seragamnya.

Ia melihat ke arah papan tulis tapi tak benar-benar membaca. Pikirannya melayang ke hari terakhir mereka bicara.

Bukan perpisahan, bukan air mata, tapi satu kalimat pendek… yang akhirnya memisahkan:

“Kalau kamu memang gak percaya aku,buat apa kita masih pura-pura dekat?”

Dan sejak itu, Lusi menjauh.

Tidak ada penjelasan.

Tidak ada permintaan maaf.

Tidak ada pamit.

Hanya bangku kosong yang makin hari makin dingin.

Hari ini, Yusi melihat seorang teman lain duduk di kursi itu.

Hanya untuk beberapa menit.

Dan dalam detik-detik itu, jantungnya seperti disayat pelan:

bukan karena bangku itu diisi orang lain, tapi karena ia sadar, Lusi tak akan kembali.

“Aku pikir, yang membuatku sakit adalah kepergianmu. Tapi ternyata...yang lebih perih adalah kamu tak menoleh meskipun aku masih di tempat yang sama.”

Pulpen Yusi berhenti menulis.

Tangannya gemetar sedikit.

Ia menarik napas, lalu menunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh, agar tak ada yang tahu:

kursi kosong itu tak hanya kehilangan orang, tapi juga kehilangan versi dirinya yang paling hangat.

Bel berbunyi.

Semua siswa bergegas keluar.

Yusi tetap duduk.

Menatap kursi itu lagi.

Kali ini lebih lama, seolah menunggu sesuatu yang tak pernah dijanjikan akan datang.

“Kursi itu tahu terlalu banyak.

Ia pernah menyaksikan dua gadis bertukar tawa, menyembunyikan tangis, dan saling percaya tanpa syarat. Kini... ia jadi saksi paling sunyi dari hancurnya sesuatu yang pernah disebut ‘kita’.”

Hari itu Yusi pulang lebih lambat.

Bukan karena tugas.

Bukan karena ingin berlama-lama di sekolah.

Tapi karena ia takut:

rumah tidak akan bisa menyembuhkan ruang kosong yang telah tinggal di dalam dadanya.

Dan malam itu, ia menulis satu kalimat di buku hariannya:

“Lusi, bangku sebelahku masih kosong. Tapi kenapa dadaku terasa penuh oleh hal-hal yang tak pernah kamu ucapkan?”

Waktu tak pernah memberi aba-aba ketika sesuatu berubah dari hangat menjadi hampa. Dari “kita” menjadi “aku dan kamu yang saling menjauh.”

Dan hari itu, yang tampak biasa di luar, menjadi hari yang tak pernah bisa Yusi lupakan.

Langit agak mendung sore itu.

Jam istirahat terakhir sebelum bel pulang.

Yusi duduk di bawah pohon beringin di sudut sekolah, tempat biasa ia dan Lusi berbagi roti atau mimpi.

Tapi kali ini, ia sendirian.

Lusi datang beberapa menit kemudian bukan dengan senyum, bukan dengan panggilan akrab, melainkan langkah ragu dan tatapan dingin yang tak pernah ia pakai sebelumnya.

“Kenapa kamu ngelakuin itu, Yu?”

Yusi mengerutkan kening. “Lakuin apa?”

“Kamu cerita ke mereka soal rahasia aku, kan? Yang waktu itu aku bisikin pas kita pulang.”

Yusi terdiam.

Ia tahu rumor itu sedang beredar. Tapi demi langit sore itu, ia tak pernah membuka rahasia itu ke siapa pun. Dan justru karena terlalu diam, ia sekarang dituduh mengkhianati.

“Aku nggak pernah cerita ke siapa-siapa, Lus.”

“Sumpah.”

Lusi tertawa kecil, pahit.

“Terlalu banyak ‘aku nggak’ dari kamu. Tapi mereka tahu semuanya. Kalau bukan kamu, siapa?”

Yusi ingin menjelaskan. Ingin menjelaskan bahwa mungkin seseorang menguping. Atau mungkin Lusi cerita ke orang lain dan lupa.

Tapi ia tahu:

logika tak akan pernah mempan saat luka sudah menebal di hati seseorang.

Lalu Lusi melempar kalimat itu.

Kalimat pendek.

Kalimat yang terdengar seperti pintu dibanting:

“Kalau kamu memang gak percaya aku, buat apa kita masih pura-pura dekat?”

Yusi ingin membalas.

Ingin berkata, “Aku gak pernah pura-pura.”

Ingin berkata, “Kamu itu rumah bagiku.”

Tapi bibirnya kelu.

Dan Lusi sudah pergi.

Meninggalkan tanah kering dan suara langkah menjauh yang masih bergema sampai sekarang.

Sejak hari itu, Lusi tak lagi duduk di sebelah.

Tak lagi menyapa.

Tak lagi tersenyum dari ujung lorong. Dan semua yang pernah hangat menjadi bayang-bayang yang lebih dingin dari hujan.

“Kita bukan perang. Kita hanya dua orang yang terluka dan saling diam. Tapi diam kita ternyata lebih tajam dari teriakan orang yang marah.”

Yusi menatap kembali halaman buku hariannya malam itu.

Ia menggambar dua kursi.

Yang satu diisi.

Yang satu lagi… kosong.

Lalu di bawahnya ia menulis:

“Kalau kamu percaya aku berkhianat, aku gak bisa paksa kamu kembali. Tapi bolehkah aku tetap percaya, bahwa kita dulu benar-benar saling percaya?”

Jam dinding berdetak lambat.

Malam kian senyap.

Tapi di kepala Yusi, suara Lusi masih memantul:

kata yang tak seharusnya keluar, tapi kini tak bisa ditarik kembali.

“Bukan perpisahan yang menyakitkan. Tapi kalimat terakhir yang tak pernah bisa dibalas.”

Bab 2 – Surat yang Tak Pernah Dibaca

Hari-hari setelah itu terasa seperti dinding kosong yang hanya memantulkan suara langkah sendiri.

Tak ada tawa yang menyambut, tak ada tangan yang menepuk pundak dengan lelucon murahan tapi hangat.

Hanya sisa-sisa kenangan yang berisik di dalam kepala Yusi setiap ia melewati bangku kosong itu.

Pada malam yang gerimisnya jatuh lambat, Yusi membuka buku catatannya.

Bukan untuk mencatat pelajaran, tapi untuk menyampaikan sesuatu yang tak lagi bisa ia ucapkan dengan suara.

Ia mengambil pulpen biru warna yang dulu sering Lusi pakai untuk mencorat-coret jadwal les.

Lalu mulai menulis.

“Untuk kamu, yang dulu menulis namaku dengan huruf besar di sudut halaman terakhir buku kamu. Kamu bilang, biar gak lupa. Tapi sekarang, aku yang masih mengingatmu, sedang kamu memilih melupa.”

Tangan Yusi bergetar sedikit, tapi ia terus menulis. Kalimat demi kalimat, yang selama ini hanya berani tinggal dalam benaknya.

“Lusi, waktu itu aku gak tahu harus bilang apa. Karena rasanya, apapun yang aku ucapkan akan terdengar seperti pembelaan. Dan kamu benci orang yang membela diri sendiri.”

“Padahal aku cuma ingin jujur. Bahwa aku gak pernah buka aib kamu. Aku cuma diam. Dan diamku ternyata mengubur kita.”

Yusi berhenti sejenak.

Air matanya belum jatuh.

Tapi terasa seperti ada yang menggenang di belakang kelopak, menunggu izin untuk mengalir.

“Kadang aku berpikir, kalau aku lebih keras bicara, apa kamu akan percaya?”

“Atau kalau aku minta maaf walau bukan salahku, apa kamu akan tetap duduk di sampingku sekarang?”

Angin malam berhembus lewat jendela kecil. Kertas surat itu bergetar pelan di mejanya. Yusi merapikannya dengan telapak tangan.

“Kita dulu lucu ya, Lus. Suka bilang, ‘Kalau aku jadi alien, kamu tetap temani aku, kan?’ Dan kamu jawab, ‘Iya, asal kamu tetap suka martabak manis.’ Kita pernah sesederhana itu.”

Halaman pertama selesai.

Ia menulis di bawahnya:

Tidak untuk dikirim.

Lalu membuka halaman baru.

Menulis lagi.

Bukan karena ia berharap Lusi akan membaca, tapi karena ia ingin suaranya tetap hidup di suatu tempat meski hanya di atas kertas.

Aku tidak ingin kamu kembali kalau kamu datang hanya untuk curiga lagi. Tapi aku ingin kamu tahu, aku masih menyimpan tempat untuk kita di sisi yang tidak terjamah kebencian."

Surat itu bukan permohonan, bukan juga pengakuan. Tapi seperti suara rindu yang tak ingin merusak ketenangan siapa pun. Hanya ingin tetap hidup… di antara diam dan dendam yang tak selesai.

Yusi melipat surat itu, menyimpannya dalam amplop polos, dan menulis di depannya:

“Untuk sahabat yang pernah jadi rumah.”

Lalu ia meletakkannya di dalam laci. Bersama pulpen biru, dan potongan foto lama yang belum sempat ia buang.

“Mungkin kamu gak akan pernah baca ini, Lus. Tapi setidaknya, aku sudah berbicara. Walau hanya pada kertas yang tak bisa menghakimi.”

Malam-malam berikutnya tak lagi kosong. Bukan karena Yusi berhenti merasa kehilangan, tapi karena ia menemukan cara baru untuk bicara tanpa perlu didengar, tanpa perlu dijawab.

Setiap malam, setelah tugas sekolah diselesaikan, ia duduk di meja belajarnya, menyalakan lampu kecil berwarna kuning redup, lalu membuka laci yang kini menjadi semacam kotak suara yang tak bersuara.

Di dalam laci itu sudah ada tiga surat.

Semua tertulis dengan pulpen biru yang sama.

Semua ditujukan untuk satu orang:

Lusi.

Sahabat.

Bayangan.

Luka.

Dan entah apa lagi.

“Aku gak nulis buat kamu baca.

Aku nulis karena aku gak tahan menyimpannya sendirian.”

“Karena ada kata-kata yang kalau terus disimpan, akan membusuk jadi bisu.”

Yusi menulis surat keempat.

Bukan permintaan maaf.

Bukan pengakuan rasa sakit.

Kali ini, ia hanya ingin bercerita tentang hari itu.

“Hari ini aku lihat seseorang pakai baju mirip kamu, warna coklat tua, dan rambutnya dikuncir dua. Aku hampir panggil namamu. Tapi aku tahu, bahkan kalau itu kamu, kamu gak akan menoleh.”

Setiap huruf yang ia tulis seperti membentuk lorong sempit, tempat ia bisa berjalan kembali ke masa lalu, sekadar untuk memeluk bayangan Lusi saat mereka masih percaya pada janji-janji kecil:

“Jangan pernah saling tinggal, ya.”

“Kalau kita marahan, saling kejar, ya.”

“Kalau dunia berantakan, kita tetap satu, ya.”

“Ternyata yang paling sering mengingkari janji bukan orang lain. Tapi waktu."

Yusi berhenti menulis.

Ia membuka surat pertama.

Membaca ulang.

Tak mengubah apa pun.

Lalu melipatnya kembali.

Surat-surat itu bukan hanya kumpulan tinta, tapi pengakuan terdalam yang tak bisa ia bagi ke siapa pun.

Ia bahkan tak menceritakan pada ibunya.

Tak curhat di grup sahabat.

Tak menuliskannya di sosial media.

Karena luka ini…bukan untuk dilihat banyak mata, tapi untuk disembuhkan perlahan.

“Kalau aku bisa bicara lagi sama kamu, aku gak akan menjelaskan apa pun. Aku cuma akan bilang, aku tetap di sini, Lus. Di tempat yang sama, di titik terakhir kita masih bisa tertawa bareng.”

Laci itu makin penuh. Tapi entah mengapa, dada Yusi terasa lebih lapang.

Ia tak tahu sampai kapan akan menulis. Mungkin hingga surat ke-20. Mungkin sampai tangannya lelah.

Atau mungkin hingga suatu hari ia tak lagi merasa perlu menjelaskan rasa sakitnya kepada siapa pun termasuk Lusi.

“Menyimpan suara ternyata juga bentuk lain dari mencintai. Bukan untuk didengar, tapi untuk menjaga agar ia tak hilang begitu saja.”

Saat teman-teman sibuk bercerita tentang pertemuan dan cinta, Yusi sibuk berdamai dengan kepergian dan kehilangan.

Bukan karena ia tak bisa melanjutkan hidup. Tapi karena beberapa hati tidak bisa tumbuh kembali tanpa diberi ruang untuk remuk.

Dan malam itu, ia menyimpan surat kelima di bawah tumpukan.

Melipatnya perlahan, lalu menutup laci.

Tidak dengan sedih.

Tidak dengan marah.

Tapi dengan lirih yang tidak lagi menuntut siapa-siapa kembali.

Bab 3 – Ruang Kelas, Ruang Kosong

Ruang kelas itu pernah jadi tempat paling hidup bagi Yusi. Bukan karena papan tulis yang penuh coretan, bukan karena buku-buku yang menumpuk, tapi karena di sana ia pertama kali bertemu Lusi bukan sebagai sahabat, tapi sebagai lawan diam.

Hari pertama sekolah itu gaduh. Suara perkenalan, meja bergeser, dan tawa gugup menyatu dalam udara yang belum punya nama.

Yusi duduk di bangku dekat jendela, seperti biasa: mencari cahaya, bukan suara.

Lusi datang terlambat.

Dengan rambut kering karena tergesa, dan wajah tanpa senyum. Ia duduk di sebelah Yusi, tanpa permisi, tanpa basa-basi.

Tak ada sapa hari itu.

Tak ada “boleh duduk sini?” atau “namamu siapa?”

Hanya dua orang yang sama-sama tak butuh alasan untuk saling diam.

Dan entah mengapa, diam itu terasa cukup. Bukan karena nyaman, tapi karena tidak saling mengusik adalah bentuk paling jujur dari kedekatan yang belum didefinisikan.

Beberapa hari berlalu.

Yusi menyadari Lusi punya kebiasaan:

menggores ujung pensil ke meja, menggambar bintang kecil berderet lima.

“Kenapa selalu lima?” tanya Yusi untuk pertama kalinya. Lusi hanya melirik, lalu menjawab pelan, “Karena aku gak pernah bisa nahan lebih dari lima hal yang aku suka. Kalau lebih, aku mulai takut kehilangan.”

Yusi terdiam.

Tak paham. Tapi tertarik.

Dari situlah semuanya pelan-pelan mulai bergerak.

Mereka tak pernah bicara banyak, tapi selalu mengangguk di lorong.

Tak pernah berpelukan, tapi saling menyimpan tempat duduk tanpa perlu bilang.

“Kita gak pernah saling pilih, tapi semesta seperti mendorong kita ke arah yang sama.”

Hari-hari berganti. Mereka mulai berbagi makanan. Saling menyembunyikan cemilan di dalam tas satu sama lain. Menulis pesan kecil di pinggiran buku catatan:

“Kalau bosan, coret halaman ini.”

“Kalau ngantuk, aku simpan permen.”

Persahabatan mereka tumbuh bukan karena kesamaan, tapi karena ketenangan yang lahir dari ketidaksempurnaan masing-masing.

Lusi ceroboh, Yusi terlalu hati-hati.

Lusi cepat marah, Yusi mudah diam.

Dan di antara semua perbedaan itu, mereka menemukan titik temu yang tidak dicari, tapi terasa seperti rumah.

Mereka mulai berjalan bersama ke perpustakaan. Menulis puisi untuk lomba, walau hanya satu dari mereka yang percaya puisinya akan menang.

Mereka mulai membuat janji kecil, yang tidak dicatat, tapi dijaga diam-diam.

“Kalau kamu hancur, aku gak akan bawa lem. Tapi aku akan duduk bareng kamu sampai kita bisa nyusun ulang serpihannya.”

Ruang kelas itu jadi lebih hangat.

Karena tawa kecil Lusi,

dan mata tenang Yusi.

Kini, saat Yusi duduk sendiri, semua kenangan itu datang berbaris, tanpa undangan, tanpa suara, tapi menyentuh lebih dalam dari siapa pun yang pernah bicara.

“Aku rindu hari-hari saat kita saling diam…karena sekarang, bahkan diam pun tak bisa menyatukan kita lagi.”

Hari itu, saat membersihkan rak buku di kamar, Yusi tak sengaja menjatuhkan tumpukan buku catatan lama.

Beberapa masih bersampul, beberapa sudah lusuh dan melengkung di tepiannya.

Namun satu hal menarik matanya:

sebuah buku matematika dengan sampul transparan yang telah menguning.

Di pojok kanan bawahnya tertulis:

Yusi & Lusi, kelas XI-A Jangan hilangkan ya!

Goresan tinta itu berwarna ungu.

Tinta khas Lusi.

Tulisan khas Lusi:

miring sedikit ke kanan, huruf “s”-nya melengkung seperti ombak kecil.

Yusi tersenyum getir.

Buku ini adalah bukti kecil bahwa “kita” pernah benar-benar ada.

Bahwa kedekatan mereka tak pernah sebatas angan, dan luka sekarang bukan hanya karena kecewa, tapi karena pernah terlalu dekat.

Yusi membuka lembar demi lembar. Di sana tertulis berbagai catatan kelas, tapi yang paling banyak… justru bukan soal rumus,.melainkan coretan-coretan nakal penuh canda dan rahasia.

“Yus, liat tuh si Reza, senyumnya kayak kambing bahagia.”

“Lus, kamu salahin aku mulu, padahal kamu yang ngorok di jam fisika.”

“Kalau kita lulus, kita bikin toko buku yang jual permen juga ya?”

Yusi tertawa kecil.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, tawanya tidak berat.

Tidak juga panjang.

Tapi cukup untuk menyadarkan:

sebelum luka, mereka adalah dua gadis yang belajar mencintai hidup dari hal-hal paling sederhana.

Ia temukan juga selembar kertas terselip di tengah buku.

Surat tak bertanggal, berisi tulisan Lusi:

“Yusi, makasih ya udah gak pernah ninggalin aku sendirian di kelas.

Aku sering gak ngerti hidup, tapi kamu selalu bikin semuanya kelihatan ringan.”

“Maaf kalau aku kadang susah dimengerti. Tapi kamu tetap duduk di sebelah aku…dan itu artinya segalanya.”

Yusi terdiam lama.

Ada bagian dadanya yang terasa hangat dan nyeri sekaligus.

“Kalau kamu tahu, Lus…bahwa sekarang aku masih duduk di kursi itu, dan hanya bisa menatap bayangan yang kamu tinggal.”

Ia menyimpan surat itu di dalam buku harian, lalu menutup buku matematika itu perlahan, seolah menutup pintu kecil menuju masa lalu. Bukan untuk melupakan, tapi untuk menyelamatkan kenangan itu dari menjadi luka yang terus-menerus terbuka.

“Beberapa buku ditutup bukan karena sudah selesai, tapi karena kita tahu, kita gak bisa menulis halaman berikutnya kalau terus mengulang kalimat yang sama.”

Ruang kelas besok akan tetap kosong di sebelahnya.

Tapi Yusi kini tahu, bangku kosong tidak selalu tanda kekosongan. Kadang, justru itu tempat paling penuh oleh tawa yang pernah bergema, dan nama yang tetap tinggal, meski sudah lama tak disebut.

Bab 4 – Pecahan Foto di Dompet

Di suatu pagi yang tidak terlalu cerah, Yusi membuka dompet lamanya. Dompet itu sudah jarang ia pakai, warnanya mulai pudar, sudutnya mengelupas, tapi tetap ia simpan karena di dalamnya, terselip hal-hal yang tak bisa ia buang.

Di sela lapisan plastik transparan, terselip selembar foto kecil, terlipat di ujung, dan… robek di tengah.

Separuh wajah Yusi tersisa.

Separuh lagi.tempat Lusi dulu tersenyum

telah sobek.

Retak.

Tak ada.

Yusi terdiam.

Tangannya gemetar sedikit saat menarik foto itu keluar.

Robekannya rapi. Seolah waktu telah mengirisnya dengan sengaja. Seolah ada bagian dari masa lalu yang memilih untuk tak ingin dikenang utuh.

“Kita dulu satu bingkai. Sekarang bahkan kertas pun memilih untuk memisahkan kita.”

Ia mencoba mengingat kapan foto itu diambil. Mungkin saat lomba majalah dinding sekolah.

Lusi mengenakan baju hitam, Yusi mengenakan seragam dengan lengan digulung. Keduanya tertawa lebar. Ada remaja yang masih percaya bahwa dunia tidak bisa memisahkan mereka.

Dan sekarang, yang tinggal hanya satu wajah di sebelah kiri,.dan ruang kosong di kanan yang tak lagi menampung siapa pun.

“Aku tidak tahu siapa yang merobeknya. Mungkin aku. Mungkin kamu. Atau mungkin waktu.”

Tangannya meraba garis robek itu pelan. Ia tahu benda itu hanya foto, tapi rasanya seperti menyentuh luka yang sudah lama dikeringkan paksa, padahal masih perih di dalam.

Yusi mendesah.

Ia duduk di ujung ranjang, menatap foto itu dalam diam. Waktu seolah berhenti, meninggalkannya bersama rindu yang tak tahu harus dititipkan ke mana.

“Lucu ya, Lus...kita pernah saling mengabadikan, tapi akhirnya saling melupakan.”

Ia membuka laci meja dan mengambil lem bening. Tak ingin membiarkan kenangan itu terus terbelah..Ia rekatkan sobekan foto itu perlahan, hingga wajah Lusi kembali utuh meski dengan garis luka yang membelah pipinya.

“Garis itu akan tetap ada. Tapi setidaknya... aku bisa memandang kamu lagi, tanpa kehilangan seluruhnya.”

Yusi menaruh foto yang sudah disatukan kembali ke dompet, tapi kali ini tidak di balik plastik.

Ia letakkan di bagian dalam,tempat yang hanya bisa dilihat jika benar-benar mencarinya.

“Kamu tidak lagi di tempat yang mudah dijangkau, tapi kamu tetap kubawa.”

Malam turun perlahan seperti bayangan yang tak pernah diundang.

Langit tak benar-benar gelap, tapi cukup kelam untuk membuat Yusi enggan menyalakan lampu.

Ia duduk di tepi tempat tidur, foto yang sudah ia sambung kembali tergeletak di meja, dan hening menggantung seperti pertanyaan yang tak pernah dijawab.

Yusi memejamkan mata.

Dan dalam hitam yang ia ciptakan sendiri, ia kembali ke malam itu malam setelah kata-kata Lusi menghantamnya seperti badai yang datang tanpa peringatan.

Ia tak menangis di sekolah, tak menunjukkan kelemahannya pada siapa pun. Tapi saat tiba di rumah, dan sunyi mengambil alih semua, ia pecah diam-diam.

Tangisnya tidak keras.

Tidak terisak.

Hanya mata yang basah dan dada yang sesak, karena di dalam dirinya, ada suara Lusi yang terus memutar ulang kalimat itu:

“Buat apa kita masih pura-pura dekat?”

Yusi tak pernah pura-pura.

Dan itulah yang paling menyakitkan.

Karena ia sedang dihukum atas hal yang tidak pernah ia lakukan.

“Aku tidak membocorkan rahasiamu, Lus.

Aku tidak pernah berniat melukai. Tapi kamu memilih percaya pada keraguan, daripada padaku yang tetap diam untuk menjagamu.”

Ia memeluk bantal malam itu, mencoba mengingat wajah Lusi dengan detail:

lesung pipi sebelah kiri, alis sedikit terangkat saat marah, dan cara ia mengucapkan “Yusi” seperti memanjangkan huruf ‘u’-nya.

Namun perlahan, detail itu mulai kabur. Dan itu menakutkan.

“Bagaimana kalau suatu hari aku lupa suaramu, Lus?”

“Bagaimana kalau aku gak bisa lagi membedakan antara kenangan dan harapan?”

Foto itu kembali menarik perhatiannya.

Pipih, lusuh, dan penuh garis.

Tapi tetap menyimpan dua senyum yang pernah percaya bahwa dunia tak bisa memisahkan mereka.

Dan kini, kedua senyum itu terletak berdampingan, tapi tak lagi saling menoleh.

Yusi menyalakan lampu meja.

Ia ambil buku harian, dan mulai menulis:

“Aku tahu ini luka, karena setiap kali kamu muncul di pikiranku, aku merasa seperti sedang menyentuh sesuatu yang tajam tapi tak bisa kuhindari.”

“Dan mungkin ini yang disebut rindu: bukan ingin bertemu, tapi ingin dimengerti walau tak bisa bicara.”

Malam semakin dalam. Yusi merebahkan diri. Di meja, foto itu tetap diam. Tapi di dalam Yusi, luka itu tetap bicara: bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk mengingatkan bahwa beberapa rasa… memang tak pernah benar-benar pergi.

Bab 5 – Langit di Atas Perpustakaan

Ada tempat yang hanya bisa dikenang, tapi tak bisa dikunjungi tanpa jantung bergetar.

Bagi Yusi, itu adalah atap perpustakaan sekolah sebuah ruang kecil tak resmi, tempat ia dan Lusi dulu bersembunyi dari riuhnya dunia. Tak banyak yang tahu atap itu bisa diakses lewat tangga sempit di belakang rak sastra. Mereka menemukannya saat kelas kosong. Dan sejak itu, tempat itu jadi milik mereka berdua.

Hari ini, Yusi memutuskan naik ke sana sendiri. Bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk bertemu dengan versi dirinya yang dulu masih utuh bersama seseorang bernama sahabat.

Langkahnya pelan. Tangga kayu yang dulu terasa ringan kini berderit seperti mengingatkan:

“Kamu tak datang bersama hari ini.”

Langit di atas perpustakaan tetap sama. Terbuka luas, biru pucat, dan angin sore masih berhembus lembut, membawa aroma kertas dan waktu yang menua.

Yusi berdiri di ujung atap, menatap ke bawah: lapangan, kantin, lorong sekolah. Dulu, dari sini Lusi suka menunjuk orang sambil berkata,

“Kalau kita dari atas, semua masalah kelihatan kecil, ya?”

Yusi tidak menjawab waktu itu.

Tapi hari ini, ia menjawab dalam hati: “Masalahnya bukan di mana kita berdiri, Lus. Tapi siapa yang berdiri di samping kita.”

Ia duduk di lantai semen yang dingin. Tangannya memeluk lutut. Matanya menatap awan yang lambat. Dan di dalam dirinya, ada ruang sunyi yang hanya bisa dibuka oleh nama Lusi.

“Tempat ini menyimpan terlalu banyak. Tertawa yang terpantul di genteng. Janji yang digantung di langit. Dan doa-doa kecil yang kita bisikkan agar dunia tak mengubah kita.”

Yusi memejamkan mata. Ia membayangkan Lusi duduk di sebelahnya, rambutnya tertiup angin, senyumnya lebar, dan tangan mereka saling menyentuh sedikit tanpa sengaja, tapi juga tak ditarik menjauh.

Dan sesaat, ia nyaris percaya Lusi benar-benar ada.

“Aku rindu kamu, Lus. Tapi lebih dari itu…aku rindu diriku yang ada saat bersamamu.”

Karena bersama Lusi, Yusi tak perlu menjelaskan dirinya. Tak perlu mengukur kata. Tak perlu menyembunyikan lelah.

Dan kini, ia harus melatih ulang cara menjadi dirinya sendiri tanpa ada seseorang yang berkata,

“Udah, Yu. Kamu cukup.”

Angin berhembus pelan.

Langit memudar ke jingga.

Yusi berdiri dan menulis satu kalimat di dinding kecil atap itu, menggunakan spidol permanen yang entah kenapa masih ia bawa di tas.

“Tempat ini pernah menjadi rumah. Kini hanya jadi saksi.”

Yusi masih duduk di atap perpustakaan saat cahaya senja mulai menipis. Langit berubah warna dari biru pudar ke jingga keemasan, dan dari sana dari ketinggian sunyi yang tak banyak orang kunjungi ia mulai memahami sesuatu yang dulu hanya terdengar seperti candaan:

“Langit itu netral, Yu. Dia nggak bela siapa-siapa.”

Lusi mengucapkan kalimat itu ketika mereka sedang menatap awan, membicarakan hal-hal besar dengan tubuh kecil remaja mereka.

Saat itu Yusi tertawa, mengira Lusi hanya sedang bersajak tanpa arah.

Tapi kini, setelah semua ini, kalimat itu seperti tertulis ulang di udara, menyeruak masuk ke dalam ruang pikirannya, dan berbisik:

"Bahkan langit pun tak membela siapa yang merasa paling benar."

Di atap itu, Yusi duduk lebih lama dari biasanya. Tak ada yang ia tunggu, tapi ia merasa di sinilah tempat yang bisa menerima seluruh diamnya tanpa memaksanya berkata apa-apa.

“Kita dulu saling menyalahkan, Lus. Aku menyalahkan kamu karena pergi. Kamu menyalahkan aku karena tak bisa membela. Padahal mungkin… bukan salah siapa-siapa. Hanya waktu yang berubah, dan kita tidak sempat saling menyesuaikan.”

Angin menyapu lembut rambutnya.

Yusi menatap langit yang perlahan mulai gelap.

Ia tak berharap hujan.

Ia juga tak menunggu bintang.

Ia hanya ingin berada di tempat yang pernah membuatnya merasa cukup

meski hanya untuk beberapa jam.

“Kamu tahu, Lus…rasa bersalahku bukan karena kamu pergi, tapi karena aku tidak tahu cara menahanmu tanpa terlihat seperti memaksa.”

Kadang, kehilangan bukan karena kita kalah. Bukan juga karena kita salah. Tapi karena dua hati yang dulu berjalan beriringan, akhirnya memilih arah yang berbeda tanpa saling menoleh lagi.

Dan langit menyaksikan itu.tanpa ikut berpihak. Tanpa berkata siapa yang layak tinggal, siapa yang pantas dilupakan.

“Langit tahu, aku pernah menyebut namamu sebagai doa. Tapi langit juga tahu, aku kini sedang belajar menyebutnya sebagai pelajaran.”

Matahari nyaris hilang dari pandangan. Yusi berdiri, merapikan jaketnya. Satu langkah terakhir ia ambil sebelum turun dari atap, lalu menoleh ke langit sekali lagi seolah pamit. Tapi kali ini bukan pamit kepada Lusi, melainkan pamit kepada dirinya sendiri yang selama ini menggenggam terlalu erat.

“Langit tidak akan menanyakan kenapa kamu pergi, dan aku tidak lagi ingin tahu.”

Bab 6 – Kata yang Tak Pernah Selesai

Beberapa minggu sejak Yusi kembali dari atap perpustakaan, ia mulai membereskan laci meja belajarnya. Bukan karena ingin merapikan hidup, tapi karena tahu ada banyak hal yang belum ia hadapi terutama lembar-lembar kecil yang dulu ia dan Lusi selipkan di antara buku catatan.

Kertas-kertas itu bukan surat, bukan puisi, tapi percakapan diam yang dulu hidup di tengah pelajaran yang membosankan.

Sebaris kalimat.

Sepenggal lelucon.

Satu kata tanya,

dan biasanya dibalas dengan senyum atau gumaman.

Yusi menarik satu dari bawah tumpukan map.

Kertas kecil, lipat dua, tinta biru.

Hurufnya Lusi.

“Kalau kamu bisa pergi ke mana pun, kamu mau pergi ke mana?”

Di belakangnya, coretan tangannya sendiri membalas:

“Ke tempat yang gak ada kenangan buruk.”

Dan Lusi menambahkan dengan pensil:

“Tempat kayak gitu gak ada, Yu. Tapi kalau bareng kamu, kayaknya bisa jadi tempat baik.”

Yusi memegang kertas itu lebih erat. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena sedih, tapi karena begitu banyak hal manis yang dulu tak ia sadari punya kedalaman.

“Kenapa kita harus berakhir seperti ini, Lus?”

“Padahal kita dulu saling mengisi kalimat, sekarang bahkan gak sanggup menutup satu percakapan.”

Ia membuka catatan lain.

Halaman yang dulu mereka coret bersama.

“Minggu depan latihan teater, ya.

Kamu jadi penyihir yang baik.”

“Kamu yang nulis naskahnya, ya. Biar aku punya alasan buat jatuh cinta ke kamu di panggung.”

Yusi tertawa pendek.

Lalu diam.

Karena saat membaca ulang, semuanya terasa seperti surat cinta yang disamarkan dalam kelakar.

“Lus, kamu tahu gak? Beberapa kata kita ternyata bukan buat diketawain,.tapi buat dikenang.”

“Dan sekarang, semua kalimat itu terhenti di tengah, karena kita gak pernah menyelesaikannya.”

Ia mengumpulkan semua potongan itu, menyusunnya jadi satu dalam map bening, dan memberi label kecil:

“Kata-Kata yang Tak Pernah Diakhiri”

Bukan karena ia ingin menyambungnya lagi, tapi karena tahu: beberapa kalimat memang diciptakan untuk berhenti dan tetap berharga walau tak lengkap.

Yusi memandangi map itu, lalu menuliskan sesuatu di buku harian:

“Kita pernah jadi dua kalimat dalam satu paragraf. Sekarang, aku jadi jeda. Dan kamu, titik yang tak sempat diletakkan.”

Langit malam tak berbintang malam itu. Hanya remang-remang lampu meja dan bayangan Yusi yang membias di dinding kamar.

Map berisi potongan percakapan mereka tergeletak di pangkuannya, seakan ingin dibuka lagi, meski ia tahu: sudah tak ada kata yang bisa ditambahkan.

Namun justru karena itulah, Yusi merasa harus menulis sesuatu bukan untuk Lusi, bukan untuk mengharapkan balasan, tetapi untuk menutup pintu dengan tenang.

Ia membuka halaman kosong di buku harian. Tarikan napasnya panjang. Seakan satu kalimat yang ingin ia tulis ini telah lama tinggal di dadanya, tapi belum pernah berani dikeluarkan.

“Kalau suatu hari kamu kembali, dan duduk lagi di sebelahku tanpa kata…aku mungkin tidak akan menoleh. Bukan karena aku marah, tapi karena aku takut melihatmu tanpa bisa memanggilmu ‘kita’ lagi.”

Tangannya berhenti menulis.

Ada jeda.

Ia menatap kalimat itu, menimbang, meraba, menyentuhnya dengan hati yang pernah luka.

Lalu ia teruskan:

“Tapi kalau kamu datang hanya untuk menyesap diam, aku akan membiarkanmu duduk sebentar. Agar kamu tahu, aku tak pernah mengusirmu dari tempat itu.”

Ia menutup buku harian perlahan, memeluknya seperti memeluk sesuatu yang hampir hilang.

Tak ada air mata malam itu. Hanya keheningan yang hangat. Karena akhirnya, Yusi tidak lagi menyimpan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan.

“Ada kalimat yang memang tidak untuk didengar. Hanya untuk mengosongkan dada yang terlalu penuh.”

Yusi bangkit dari kursinya, meletakkan buku di laci, lalu menatap langit-langit kamarnya, yang dulu sering jadi tempat ia menatap kosong sambil berharap.

Malam itu, ia tidak berharap apa-apa. Tidak juga mengulang nama Lusi dalam doa. Ia hanya berbisik pelan:

“Kalau ini harus berakhir, biarlah aku yang menaruh titiknya.”

“Karena yang belum selesai, kadang hanya butuh satu kalimat terakhir…untuk bisa pergi dengan tenang.”

“Karena sekarang, aku tahu…aku bisa hidup meski tak lagi diperjuangkan.”

Bab 7 – Bayangan yang Tak Menyapa

Lorong sekolah siang itu lengang.

Langkah-langkah terdengar lebih jelas ketika tak ada suara tawa mengiringi. Dan di sanalah, di antara dinding putih dan cahaya dari jendela yang separuh terbuka,

Yusi melihat sosok itu

Lusi.

Bukan di mimpi.

Bukan dalam bayang-bayang kenangan.

Tapi nyata.

Bernapas.

Berjalan.

Dan tetap… tak menoleh.

Waktu seakan berhenti selama satu detik yang panjang. Detik ketika Yusi ingin bicara, ingin melambaikan tangan, ingin sekadar menyebut nama yang dulu ia ucapkan hampir setiap hari.

Tapi yang keluar hanyalah diam.

Sunyi yang menyesakkan, karena bukan hening yang mereka pilih bersama melainkan hening yang mereka ciptakan sebagai jarak.

“Dulu, satu langkahmu bisa bikin aku tenang. Sekarang, bahkan sepuluh langkah pun gak cukup buat ngilangin rasa sesak ini.”

Mereka saling melewati.

Yusi dari arah barat, Lusi dari timur. Dan ketika jarak mereka hanya satu lengan, tak ada sapa. Tak ada lirikan. Hanya udara yang seolah makin berat di antara mereka.

Yusi melangkah pelan, tapi hatinya seperti tertinggal. Jatuh tepat di lantai tempat sepatu Lusi pernah berdiri. Bukan karena ia masih berharap, tapi karena ia sadar: yang hilang bukan hanya Lusi, tapi juga bagian dari dirinya sendiri yang biasa tertawa tanpa takut ditinggal.

“Kita udah berubah jadi dua bayangan, Lus. Saling tahu masih ada, tapi memilih tidak hadir.”

Setelah langkah mereka semakin jauh, Yusi menoleh.

Sekilas.

Dan entah apakah Lusi juga menoleh. Tapi ia tidak berani memastikan. Karena kadang, yang paling menyakitkan bukan ditinggal, tapi dibiarkan melihat tanpa disapa.

Hari itu, Yusi duduk di pojok kelas saat istirahat.

Teman-temannya tertawa.

Berbagi makanan.

Menceritakan hal-hal kecil yang lucu.

Tapi di dalam dirinya, ada ruang yang kembali terbuka bukan luka yang segar, melainkan luka lama yang belum benar-benar dijahit.

“Aku gak marah karena kamu pergi. Aku marah karena kamu ada… tapi gak mau menyapaku lagi, seolah aku cuma halaman yang harus dilewati.”

Sore itu, ia menulis di buku harian:

“Hari ini aku lihat kamu. Sama seperti dulu. Tapi kita gak lagi saling pegang kata. Kita cuma saling lewati… seperti dua orang asing yang kebetulan punya masa lalu.”

Langit belum benar-benar gelap saat Yusi pulang dari sekolah. Tapi lorong-lorong kota sore itu terasa seperti barisan pertanyaan yang tak lagi punya pemilik. Dan langkah-langkahnya di trotoar terasa ringan bukan karena ia sedang tenang, melainkan karena ada bagian dari dirinya yang tertinggal di lorong sekolah tadi.

Ia masih mengingatnya dengan jelas.

Suara langkah Lusi.

Rambutnya yang bergerak pelan karena angin dari jendela. Bahu yang nyaris bersentuhan, tapi dihindari. Seolah apa yang dulu saling merapat kini harus dijaga agar tak saling menyentuh.

“Aku nggak tahu mana yang lebih perih: melihat kamu benar-benar pergi, atau melihat kamu masih di sini, tapi tak lagi menyebut namaku.”

Yusi berhenti di sebuah halte yang sepi. Biasanya, ia akan langsung pulang. Tapi hari ini tubuhnya seperti ingin duduk, walau hanya untuk menyusun ulang denyut yang tadi sempat hilang di lorong.

Ia menunduk.

Melihat sepatunya yang penuh debu. Dan dalam debu itu, ia melihat bayangan bukan milik siapa-siapa, tapi jejak yang tidak pernah benar-benar hilang dari langkahnya.

“Kita gak pernah sempat bertengkar panjang, tapi kita juga gak pernah sempat saling minta maaf. Dan sekarang, semua ini menggantung seperti kabut yang tak tahu ke mana harus terbawa.”

Yusi mencoba mengingat saat terakhir Lusi menyebut namanya.

Tapi memori itu kabur.

Seperti suara yang tenggelam dalam air.

Ada, tapi tak bisa ditarik ke permukaan.

Dan mungkin, memang begitulah bentuk luka dari kehilangan tanpa kepergian: ia hidup dalam bayangan,tak punya tubuh, tapi beratnya nyata.

“Aku jalan terus, Lus. Tapi rasanya setiap langkahku meninggalkan bayanganmu di belakang, dan bayangan itu terus memanggil tanpa suara.”

Bus datang.

Yusi tidak naik.

Ia hanya berdiri, menatap kaca jendelanya. Berharap ada pantulan wajah yang dulu ia kenal, tapi kini sudah asing bahkan dalam kenangan.

Lalu ia berjalan lagi.

Pulang.

Tanpa benar-benar tahu

apa yang sedang ia bawa

dan apa yang seharusnya ia lepaskan.

“Langkahku mungkin tak berat, tapi karena aku tahu, aku sedang membawa kenangan yang tak ingin menginjak tanah.”

Malam itu, di kamar, ia kembali menulis:

“Kita pernah jalan bareng, tanpa tujuan. Sekarang aku berjalan sendiri, masih tanpa tujuan… tapi dengan kamu di setiap bayangan langkahku.”

Bab 8 – Bukan Lagi Kita

Sore itu, langit tampak seperti kain abu yang dijahit sembarangan. Ada lubang-lubang cahaya, tapi tak cukup terang untuk disebut senja. Yusi menyusuri jalan setapak di belakang sekolah jalan kecil berkerikil yang dulu sering ia dan Lusi lewati, sambil berbagi cerita kecil, tawa yang ditahan, dan kadang air mata yang tak pernah diumumkan.

Hari ini ia berjalan sendirian. Tak ada tangan lain yang melambat agar langkah tetap sejajar. Tak ada suara yang mengisi sela-sela diam.

“Tempat ini gak pernah berubah, Lus. Yang berubah cuma kita atau mungkin cuma aku.”

Langkah Yusi pelan, seolah setiap kerikil di tanah itu mengenali sol sepatunya. Ia tahu tiap sudut, tiap tikungan kecil. Tapi semua itu kini terasa seperti peta tanpa tujuan.

Karena jalan ini dulu milik dua orang. Sekarang tinggal satu. Dan satu tak pernah cukup untuk membuat sesuatu disebut kita.

Ia sampai di sebuah bangku kayu di bawah pohon kamboja. Dulu mereka suka duduk di situ sepulang les. Lusi suka menjatuhkan daun kamboja ke rambut Yusi dan tertawa kecil sambil berkata, “Kamu cocok jadi bunga jatuh.”

Yusi duduk.

Angin pelan menyibak rambutnya. Ia menarik napas panjang, dan membuka buku catatan kecil yang sudah lama ia siapkan.

Halamannya kosong. Hanya satu kalimat akan ia tulis hari ini. Kalimat terakhir.

“Terima kasih, Lus. Karena pernah jadi rumah. Sekarang aku belajar pulang ke diriku sendiri.”

Tangannya gemetar sedikit.

Tapi bukan karena ragu.

Bukan karena ingin kamu kembali.

Melainkan karena akhirnya, kata itu tidak lagi menyakitkan.

Ia menutup buku itu, lalu berdiri. Memandang sekali lagi jalan kecil itu, tempat di mana “kita” pernah berarti.

Lalu ia berbisik, bukan ke langit, bukan ke Lusi, tapi ke dalam dirinya sendiri:

“Aku tak akan mencoba mengembalikan kita. Karena sekarang, aku sudah belajar jadi aku… tanpa harus selalu bersama kamu.”

Malam kembali datang.

Tenang dan tak terburu-buru.

Yusi menatap bayangannya sendiri di cermin bukan untuk mengecek rambut, bukan untuk melihat luka, melainkan untuk berkenalan kembali dengan diri yang selama ini tertinggal di belakang nama orang lain.

Wajahnya masih sama. Mata yang sedikit cekung, alis yang naik saat bingung,.dan bibir yang lama tak mengulas tawa sepenuh hati.

Namun di balik sorot matanya, ia tahu ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang dulu rapuh kini belajar diam tanpa retak.

“Aku pernah jadi ‘kita’.

Lalu patah.

Lalu hilang.

Dan sekarang… aku kembali jadi ‘aku’ dengan sedikit sisa dari yang dulu kita bangun bersama.”

Yusi menatap cermin lebih lama, mencoba melihat lebih dalam dari sekadar pantulan.

Di sana, ia melihat Yusi yang dulu: yang suka tertawa berlebihan karena hal remeh, yang bisa duduk dua jam hanya untuk mendengar cerita orang lain, yang percaya bahwa sahabat adalah rumah paling tenang.

Dan ia sadar, semua itu tidak benar-benar hilang. Yang hilang hanya orang yang dulu berjalan bersamanya.

Ia menyentuh permukaan kaca, dingin. Tapi tidak menusuk. Seperti rasa rindu yang sudah diseduh cukup lama masih terasa, tapi tidak menyakitkan.

“Lus, kamu gak ada di sini. Tapi kamu tetap tinggal di bagian-bagian kecil dalam diriku..Bukan untuk kusalahkan, bukan untuk kutangisi, tapi untuk kuingat sebagai seseorang yang pernah menjadikanku lebih hangat dari sebelumnya.”

Ia tersenyum. Untuk pertama kalinya, senyum itu tak dibangun dari penyangkalan, melainkan dari penerimaan. Ia tahu, luka tak pernah benar-benar sembuh. Tapi ia juga tahu, luka tidak lagi harus disembunyikan agar bisa dilanjutkan.

Yusi membuka jendela kamarnya. Udara malam masuk perlahan. Ia membiarkannya mengisi ruang yang lama kosong. Dan dalam hembusan itu,.ia berkata pelan bukan untuk didengar siapa-siapa, hanya untuk menenangkan dirinya sendiri:

“Kita memang bukan lagi kita. Tapi aku masih bisa jadi utuh, tanpa harus berharap kamu kembali mengisi ruang ini.”

Cermin tak menjawab.

Malam tak memberi isyarat. Tapi hati Yusi yang sempat hancur dalam diam kini mulai bisa bernapas dalam sunyi yang lebih jujur.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Bukan Lagi Kita
Muhamad Irfan
Novel
Bronze
JANDA & THE TABLE
glowedy
Cerpen
Bronze
Dari 50 ribu ke 1 miliyar Budidaya Belalang
Putut Dwiffalupi Sukmadewa
Flash
Ayu dan Canang yang Tak Sempurna
Margita Kirana Cindy Wulandari
Cerpen
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Novel
Bronze
Dunia Kecil; panggung & omongkosong
Syauqi Sumbawi
Flash
Kuasa Uang
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Bronze
Dika & Sang Pengubah Takdir
Shinta Larasati Hardjono
Novel
Talking To The Moon
Asrina Lestari
Novel
Percakapan yang tak pernah selesai
Asepsaepuloh
Cerpen
Bronze
APA ITU CINTA?
Retchaan
Flash
Dan Dia Adalah Aku
Ismail Ari
Novel
Bronze
Love is (not) War
Aulia Fitrillia
Flash
Aku Hampir Menyerah
Awan ElBiru
Cerpen
Bronze
Sukses Berbudidaya Tomat
Putut Dwiffalupi Sukmadewa
Rekomendasi
Cerpen
Bukan Lagi Kita
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bunga yang Tak Pernah Ditaruh di Vas
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan yang Tidak Pernah Pulang
Muhamad Irfan
Cerpen
Sepotong Roti Hangat di Ujung Hujan
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Terlambat
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jaket Merah yang Tak Pernah Dikembalikan
Muhamad Irfan
Cerpen
BISU
Muhamad Irfan
Cerpen
Tak Layak
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jejak yang Hilang di Lorong 4
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan di Meja Sebelah
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Tak Terdengar
Muhamad Irfan
Novel
Harapan
Muhamad Irfan