Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak pernah diminta untuk memilih antara lahir dari keluarga orang kaya atau miskin. Aku juga tidak pernah diminta untuk memilih lahir sebagai lelaki atau perempuan. Dan yang paling krusial dari semua itu, aku tidak pernah diberi pilihan untuk dilahirkan sebagai anak dari hubungan seksual yang sah --yang diikat pernikahan--atau dilahirkan sebagai aib dari hubungan di luar pernikahan. Tuhan menakdirkanku untuk lahir dari rahim seorang perempuan yang tidak menikah. Kelahiranku tidak direncanakan dan tidak diinginkan. Bahkan menurut desas desus sabagian orang, ketika ibuku telat datang bulan, beliau mencoba menggugurkanku dengan cara memakan nanas muda yang dicampur dengan air bersoda. Entahlah, apakah itu hanya kabar burung atau sebuah kebenaran. Aku tidak peduli. Karena toh aku lahir sebagai aib bagi ibu dan keluarga ibu. Pada akhirnya orang-orang lebih suka memanggilku anak haram. Bahkan sebagian orang menambahkan kata 'jadah' sehingga menjadi 'anak haram jadah.'
Jangan tanyakan kepadaku apa arti dari anak haram. Karena hampir semua orang tahu siapa Nina. Nina itu adalah aku yang lahir dari rahim seorang perempuan yang konon katanya seorang janda kembang yang seringkali membuat kaum bapak di kampungku terpana dengan kecantikannya. Perempuan itu Siti, ibuku sendiri. Masih kata orang, aku juga memiliki kecantikan yang sama persis dengan kecantikan yang dimiliki ibuku. Ya, aku mewarisi pesonanya, tapi mungkin aku harus berpikir dua kali untuk mewarisi bagaimana cara dia melahirkan anak. Bahkan sampai saat ini aku tidak tahu siapa bapakku yang sesungguhnya. Dan setiap kali aku bertanya kepada ibuku, dia hanya diam membisu. Apakah dia bingung tentang siapa sebenarnya yang menjadi bapak biologisku?
Jangan terlalu sinis hanya karena aku nyinyir kepada ibuku sendiri. Karena kenyinyiran ini juga bersumber dari desas-desus tetangga yang diam-diam aku dengar. Pertama, para ibu itu memperbincangkan tentang ibu dan aku di meja makan mereka. Disana ada kaum bapak, dan tentu saja putri-putri mereka yang tidak lain adalah teman sekelasku. Setelah itu mereka akan membawa percakapan di meja makan itu ke dalam kelas. Sengaja menyindirku habis-habisan.
“Katanya sih bapaknya itu penduduk kecamatan sebelah.” Ujar Ineu sembari melirikku dengan tatapan penuh ejekan.
“Masa? Tapi ibuku bilang bapaknya tukang obat keliling.” Timpal si lawan bicara. Siapa lagi kalau bukan Eka. Dia juga menatapku dengan senyuman tipisnya.
Aku tidak peduli dengan celotehan mereka. Bagiku, semua komentar nyinyir itu santapan sehari-hari yang aku terima dan bahkan aku sudah terbiasa dengannya. Mereka bilang aku anak haram. Mereka bilang pasangan ibuku banyak sehingga aku tumbuh dari benih banyak lelaki. Gelar anak haram itu seakan mencadi cap yang tidak bisa hilang dari diriku. NINA SI ANAK HARAM.
Terkutuklah mereka yang telah menudingkan jari telunjuknya kepadaku, melirikku dengan lirikan penuh ejekan dan bergosip kesana kemari tentang siapa diriku. Terkutuklah bapakku yang sampai sekarang bahkan aku tidak tahu siapa dia, darimana dia berasal dan bagaimana rupa dia yang sesungguhnya. Tapi sampai saat ini aku masih belum bisa mengutuk ibuku sendiri. Itu karena berkali-kali ibuku menangis dan meminta maaf kepadaku. Sampai-sampai aku lupa berapa kali tepatnya ibu meminta maaf.
Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasanya. Jika tuhan memberiku pilihan antara melanjutkan hidup atau mati, maka aku lebih memilih mati saja. Tak berguna rasanya hidup dengan selalu dihantui jejak noda kedua orang tuaku serta penghakiman orang-orang yang ada di sekitarku. Aku tidak berhak disalahkan. Aku bukan anak haram. Aku anak yang lahir karena dikehendaki Tuhan. Lalu kenapa julukan buruk itu mengalungi leherku? Harusnya ungkapan haram itu disematkan kepada orang tuaku. Orang tua haram!
Semua penderitaan itu mencapai puncaknya ketika Enjang diam-diam mencintaiku. Dia teman sekelasku ketika SMP dulu. Jika aku mau jujur kepadamu, maka bisa dikatakan dia adalah pahlawan untukku. Enjang selalu membelaku dan tidak segan-segan memarahi orang-orang yang selalu menghinaku. Dia tidak pernah sekalipun memanggilku dengan gelar ‘anak haram' atau semacamnya. Dia selalu memanggilku dengan namaku. Bahkan dia selalu memujiku. Katanya aku gadis yang cantik dan baik hati.
Aku tidak pernah mengenal cinta dan tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta hingga pada suatu hari, seminggu setelah kenaikan kelas Sembilan, Enjang mengungkapkan rasa cintanya kepadaku di ruang perpustakaan yang sepi. Pipiku memerah dan jantungku berdebar tidak seperti biasanya. Oh, inikah rasanya jatuh cinta?
Aku tidak ingin memperpanjang cerita dengan mendeskripsikan hubunganku yang istimewa dengan lelaki yang begitu sempurna di mataku. Enjang adalah arjunaku yang diturunkan Tuhan untuk menghibur segala kesedihan yang selama ini bersemayam di hatiku.
“Jangan bersedih Ninaku. Aku akan selalu ada bersamamu.” Lirih Enjang suatu ketika. Saat itu aku diajaknya pelesiran ke pantai Karangtawulan, seminggu setelah lebaran.
Tahun berganti, dan kami berdua berpisah karena keadaan yang menuntut kami untuk tidak selalu bersama. Aku diajak temanku, Lastri, untuk menjadi babu pada sebuah keluarga kaya di bilangan Jakarta Selatan. Aku pikir, meski menjadi babu, setidaknya aku bisa merasakan bagaimana hidup di Jakarta. Dan lebih dari itu aku bisa membantu ibuku. Sementara Enjang, kabar terakhir yang aku tahu dia mengadu nasib ke Batam dan bekerja di sebuah pabrik. Entah baprik apa. Sejak saat itu, kami hanya berhubungan lewat telpon dan SMS rutin. Tapi suatu ketika Enjang memintaku untuk membuat akun facebook. Katanya, dengan facebook dia bisa bercengkrama denganku. Aku menurutinya, ditemani Lastri, aku datang ke warnet untuk membuat akun facebook demi memenuhi permintaan kekasihku. Benarlah apa yang dikatakan Enjang, semenjak itu aku dan Enjang bisa berhubungan lebih instens. Aku bisa melihat wajahnya yang ganteng di facebook, bahkan kami bisa berbagi foto di inbox Facebook. Saat itu belum ada messenger.
Hingga suatu hari, Enjang tiba-tiba memintaku untuk menolongnya. Aku mengerutkan kening. Apa yang bisa aku lakukan?
“Aku butuh bantuanmu."
“Apa?”
Tak berapa lama dia mengirimkan sebuah foto yang aku tidak bisa mendeskripsikannya di sini. Ya Tuhan, Enjangku ternyata tidak sebaik yang aku bayangkan. Dia mengirimkan gambar tak senonoh sampai-sampai aku menjerit saking kagetnya.
“Sekarang giliranmu, kirimkan gambarmu yang paling seksi."
Aku seakan menjadi terasing. Dia bukan seperti yang selama ini aku kenal.
“Aku tidak mau," jawabku.
“Apakah kamu mencintaiku?” dia bertanya tentang cinta antara kami berdua.
“Ya.”
“Kalau begitu lakukan.”
Karena dia bilang cinta, maka aku melakukannya. Sekali lagi aku minta kepadamu untuk tidak menghakimiku.
Setahun kemudian Enjang tidak lagi kerja di Batam. Satu hari yang paling membahagiakan adalah ketika dia mengirim pesan lewat Facebook bahwa dia pindah ke ibukota.
‘Aku sekarang bekerja sebagai security di bank." Begitulah pengakuan Enjang kepadaku. ‘Jadi, kita bisa bertemu, sayangku.’
Sejak saat itu, kami berdua selalu bertemu di Monas dan saling melepas rindu. Semua kebersamaan itu selalu berakhir di atas ranjang kamar kontrakan Enjang di pinggiran Kebayoran.
Awalnya aku tidak mau menuruti kehendaknya. Tapi dia bilang dia sangat mencintaiku dan tidak ada perempuan yang paling dia cintai di dunia ini selain diriku. Aku terharu. Begitu besarnya cinta Enjang kepadaku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dirinya. Betapa aku menjadi gadis tak tahu berterimakasih jika aku tidak bisa membahagiakan Enjang.
Dua tahun lamanya aku menjalani kehidupan yang aku anggap sebagai episode terindah dalam hidupku. Hingga badai kepedihan itu datang dengan tiba-tiba. Semua bermula dari sebuah postingan di facebook Enjang. Dia yang selama ini mengatakan hanya aku satu-satunya wanita yang dia cintai ternyata tengah berduaan dengan seorang gadis cantik.
‘Siapa dia?’ tanyaku lewat chat BBM dengan hati yang ketar-ketir. Jangan-jangan Enjangku sudah kepincut wanita lain.
‘Vera.’
‘Siapa Vera?’
‘Teman.’ Jawabnya singkat. Tapi aku tidak percaya mereka hanya sekedar teman. Karena dari hari ke hari mereka semakin terlihat mesra satu sama lain. Hingga pada akhirnya Enjang mengungkapkan semuanya. Kami bertemu di tempat yang sama seperti pertemuan pertama kami di ibukota. Monas.
“Sepertinya kita harus berpikir ulang. Aku tidak mungkin bisa menikah denganmu.”
“Kenapa?”
“Karena itu tidak mungkin. Ibuku melarangku untuk menjalin hubungan denganmu. Kamu harus mengerti, Nina. Bagi seorang anak, ibu harus menjadi nomor satu dalam urusan apa pun. Termasuk dalam urusan restu. Mencintai dan dicintai itu membutuhkan restu orang tua sebagai orang paling keramat. Kecuali jika aku ingin dikatakan sebagai seorang anak pembangkang."
Aku tidak peduli dengan penjelasannya. Toh aku juga bisa membangkang kepada ibuku. Tapi aku bisa apa?
Sejak saat itu, aku tidak lagi berpikir dengan Enjang dan berusaha melupakannya, meski tidak mudah.
Satu tahun setelah itu aku pulang dari Jakarta, aku berkenalan dengan seorang pria yang usianya selisih 20 tahun denganku. Aku tidak peduli. Setelah pengalaman burukku dengan Enjang, kupikir menjalin hubungan dengan lelaki dewasa lebih menguntungkan. Pria dewasa bisa dipercaya dan lebih matang. Dan tentunya tidak seperti Enjang yang masih berlindung di ketiak ibunya. Nama lelaki itu Hamid. Seorang lelaki yang tampan meski garis-garis usia sudah Nampak tergurat di wajahnya. Tapi aku lebih berhati-hati supaya tidak jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Enjang telah memanfaatkan keluguanku dengan merenggut keperawanan dan kehormatanku. Jadi, aku tidak akan menyerahkan apa pun kepada Hamid sebelum dia benar-benar tulus dengan cintanya. Bahkan aku tidak pernah memberitahukan perihal hubunganku dengan Hamid kepada ibu. Tidak seperti halnya Enjang yang bahkan hampir setiap pekan ibu selalu menanyakan tentang hubungan kami berdua.
Hingga suatu ketika bencana kedua datang ketika tiba-tiba Ibu mengungkapkan segalanya kepadaku.
“Nin, maafkan Ibu ya. Selama ini ibu tidak pernah memberitahu siapa ayahmu.”
“Tidak penting, Bu," jawabku pendek. Aku bahkan sudah melupakan itu dan tidak lagi berpikir tentang ayahku. Untuk apa? Itu semua tidak pernah mengubah fakta bahwa aku tetap saja sebagai seorang anak haram.
“Tapi setidaknya kamu harus tahu siapa bapakmu, Nin," ujar Ibu. Dia kemudian beranjak dari sampingku. Tak berapa lama kemudian dia menggenggam sebuah potret yang sudah lusuh dan mengangsurkannya kepadaku. “Dulu, Ibu dan dia sudah saling jatuh cinta, meskipun usianya lebih muda sepuluh tahun dari usia ibu. Kala itu, dia pemuda berusia 19 tahun dan ibu 29 tahun. Kami bertemu di pasar malam. Kami memiliki banyak kecocokan dan untuk alasan itulah dia mencintai ibu dan mengatakan usia hanyalah angka."
Deg! Tiba-tiba jantungku seakan berhenti berdetak. Aku kenal wajah yang ada di potret lusuh itu. Itu wajah Hamid. Ah tidak! Lagi pula lelaki di foto itu tampak lebih muda. Rambut Hamid sudah dihiasi sedikit uban, sementara lelaki di foto itu masih segar. Tapi waktu 20 tahun sudah berlalu, bukan?
“Siapa namanya?” tanyaku.
“Hamid!” jawab ibuku.
Aku terkesiap. Potret lelaki itu jatuh dari genggaman tanganku.