Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Bucin Tanpa Nama
0
Suka
5
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Senja di kota ini selalu tiba dengan cara yang sama: perlahan, malu-malu, seolah tidak yakin apakah ia pantas menggantikan terang yang berkuasa seharian. Bagi Arga, senja adalah jeda. Waktu singkat di antara riuh pekerjaan dan hening apartemen sempitnya. Jeda itu selalu ia habiskan dengan berjalan kaki melewati Taman Kota, sebuah oase hijau yang terjepit di antara gedung-gedung beton yang angkuh. Rute itu bukan yang tercepat, tapi Arga tidak pernah peduli. Sebab di taman itu, di bangku yang sama setiap sore, ada sebuah pemandangan yang telah menjadi candu baginya.

Seorang perempuan.

Arga tidak tahu namanya. Ia hanya tahu rutinitasnya. Perempuan itu akan tiba sekitar pukul setengah lima, membawa sebuah buku bersampul usang dan sebuah termos kecil berwarna perak. Ia akan duduk di bangku kayu di bawah pohon flamboyan, membuka bukunya, dan menuang teh hangat ke dalam tutup termos yang berfungsi sebagai cangkir. Rambutnya hitam legam, tergerai lurus sepunggung, dan sesekali ia akan menyelipkan beberapa helai yang tertiup angin ke belakang telinganya. Gerakan sederhana itu, entah kenapa, selalu berhasil membuat jantung Arga berdebar sedikit lebih kencang.

Bagi dunia, perempuan itu mungkin hanya seorang pengunjung taman biasa. Tapi bagi Arga, ia adalah puisi yang belum selesai ditulis. Ia adalah melodi yang terus terngiang di kepala. Arga, seorang pemuda yang lebih nyaman berbicara dengan baris-baris kode di depan komputer daripada dengan manusia, telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada keheningan perempuan itu, pada caranya tersenyum tipis saat menemukan kalimat yang indah di bukunya, pada uap teh yang mengepul di depan wajahnya saat senja mulai mendingin.

Ini sudah berlangsung selama tiga bulan. Waktu yang lumayan lama bagi Arga menjadi pengamat setia dari seberang kolam air mancur, berpura-pura membaca berita di ponselnya, padahal seluruh fokusnya tercurah pada bangku di bawah pohon flamboyan itu. Ia tahu buku apa yang sedang dibaca perempuan itu minggu lalu dari sampulnya yang sedikit terlihat. Ia tahu perempuan itu tidak suka tehnya terlalu manis, karena ia tidak pernah menambahkan gula. Ia bahkan tahu perempuan itu punya kebiasaan mengetuk-ngetukkan jarinya di atas sampul buku saat sedang berpikir keras. Arga tahu banyak hal, kecuali satu yang terpenting: namanya.

Perasaan ini tumbuh liar di dalam dadanya, sesak dan menuntut untuk diberi ruang. Arga ingin menyapanya, bertanya siapa namanya, buku apa yang sedang ia baca. Tapi keberaniannya selalu menciut sekecil cucu semut setiap kali ia mencoba melangkahkan kakinya mendekat. Lidahnya terasa kelu, telapak tangannya basah oleh keringat dingin. Ia seorang pengecut. Pengecut yang hanya berani mencintai dari jauh.

Hingga suatu sore, saat melihat sisa-sisa bunga mawar yang dijual seorang anak kecil di sudut taman, sebuah ide gila terlintas di benaknya. Sebuah ide yang terasa lebih mungkin daripada harus membuka mulut dan berbicara langsung.

Keesokan harinya, jantung Arga berdebar lebih kencang dari biasanya. Di dalam tas kerjanya, terselip setangkai bunga aster putih yang ia beli di pasar bunga pagi tadi. Ia memilih aster karena seorang penjual bunga tua berkata, aster melambangkan kesabaran dan cinta yang tersembunyi. Sangat pas untuknya.

Ia tiba di taman lebih awal dari biasanya. Bangku di bawah pohon flamboyan itu masih kosong. Dengan langkah cepat dan waspada, seolah sedang melakukan misi rahasia paling berbahaya di dunia, Arga mendekati bangku itu. Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan setangkai aster putih di tengah bangku. Tidak ada pesan, tidak ada nama. Hanya bunga. Setelah itu, ia bergegas kembali ke tempat persembunyiannya yang biasa, di balik semak-semak dekat air mancur, dan menunggu.

Perempuan itu datang tepat waktu. Langkahnya tenang seperti biasa. Saat matanya menangkap setangkai bunga putih di bangkunya, langkahnya terhenti. Arga menahan napas. Ia melihat perempuan itu mengerutkan kening, menoleh ke kiri dan ke kanan dengan ekspresi bingung. Perlahan, ia mendekati bangku, menyentuh kelopak bunga itu dengan ujung jarinya. Lalu, sesuatu yang ajaib terjadi. Sebuah senyum tipis, sangat tipis, terukir di bibirnya. Senyum penasaran yang membuat lesung pipitnya terlihat samar. Ia mengambil bunga itu, menghirup aromanya sejenak, sebelum akhirnya duduk dan mulai membaca, dengan bunga aster di sisinya.

Dari kejauhan, Arga merasa seperti baru saja memenangkan lotre. Dadanya membuncah oleh kelegaan dan kebahagiaan yang aneh. Itu adalah langkah pertamanya. Langkah seorang bucin tanpa nama.

Keberhasilan kecil itu memberinya keberanian lebih. Seminggu kemudian, ia tidak hanya meletakkan bunga, tapi juga secarik kertas kecil yang terlipat rapi. Ia menghabiskan waktu semalaman untuk menulisnya, merobek belasan draf sebelum akhirnya puas dengan satu kalimat sederhana:

“Untuk perempuan pencinta senja. Semoga harimu seindah warna langit sore ini.”

Tidak ada nama. Hanya tulisan tangan yang sedikit canggung. Reaksi perempuan itu kali ini lebih dari sekadar senyum. Arga melihatnya membuka lipatan kertas itu, membacanya berulang kali, lalu melipatnya kembali dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam tasnya. Matanya menyapu sekeliling taman lebih lama dari biasanya, seolah mencoba menangkap basah si pengirim misterius. Arga cepat-cepat menunduk, jantungnya serasa mau melompat keluar.

Ritual itu pun dimulai. Setiap hari Jumat, akan ada setangkai bunga dan secarik catatan di bangku itu. Arga menjadi lebih kreatif dengan catatannya. Kadang ia menulis kutipan dari buku puisi, kadang hanya kalimat singkat tentang cuaca, atau sekadar harapan agar tehnya terasa nikmat. Ia adalah pengagum rahasia, seorang hantu baik hati yang kehadirannya hanya terasa lewat bunga dan tulisan tangan.

Namun, dunia tidak selalu seromantis yang ia bayangkan. Suatu sore, saat ia sedang mengamati dari jauh, sekelompok anak laki-laki yang bermain bola tak sengaja menendang bola mereka ke arah bangku. Salah satu dari mereka, saat mengambil bola, melihat bunga anyelir merah muda yang baru saja diletakkan Arga. Dengan iseng, ia memetik kelopak-kelopaknya satu per satu sambil tertawa, lalu membuang tangkainya begitu saja.

Arga mengepalkan tangannya di dalam saku. Amarah dan rasa frustrasi bergejolak di dalam dirinya. Ia ingin sekali berteriak, tapi ia tidak punya hak. Siapalah dia?

Saat perempuan itu tiba dan hanya menemukan sisa-sisa kelopak anyelir yang berserakan, Arga bisa melihat kekecewaan yang nyata di wajahnya. Ia menatap kosong ke arah bangku itu untuk beberapa saat, bibirnya sedikit mengerucut. Ia tampak sedih. Mungkin ia berpikir si pengagum rahasia sudah menyerah. Mungkin ia berpikir semua ini hanyalah lelucon sesaat. Melihatnya seperti itu membuat hati Arga terasa sakit.

Ia merasa gagal.

Gagal melindungi sebuah kebahagiaan kecil yang coba ia ciptakan. Malam itu, ia tidak bisa tidur, dihantui oleh bayangan wajah kecewa perempuan itu. Tapi rasa sakit itu tidak mematahkannya. Justru sebaliknya, ia menguatkan tekadnya. Ia tidak akan menyerah hanya karena insiden kecil. Ia akan tetap konsisten, menunggu, dan berharap suatu saat nanti, semesta berpihak padanya.

***

Setelah insiden kelopak bunga yang hancur, Arga menjadi lebih berhati-hati. Ia akan datang lebih dekat ke waktu kedatangan perempuan itu, memastikan bunganya aman hingga sang empunya datang. Kegagalannya tempo hari justru memupuk perasaannya menjadi lebih dalam. Ini bukan lagi sekadar kekaguman, ini sudah menjadi sebuah perjuangan.

Perjuangan seorang bucin untuk menjaga konsistensi perasaannya, meskipun hanya dari balik bayang-bayang.

Setiap hari ia berjanji pada dirinya sendiri, "Hari ini aku akan bicara padanya." Tapi setiap kali ia melihat perempuan itu dari kejauhan, berjalan anggun dengan buku di pelukannya, semua resolusi itu menguap seperti embun pagi. Kakinya seolah terpaku di tanah, lidahnya menjadi berat seperti timah. Ia akan berakhir di tempat persembunyiannya yang biasa, mengutuk dirinya sendiri sebagai pengecut terbesar abad ini. Bagaimana mungkin seorang lelaki yang bisa memecahkan algoritma rumit merasa begitu tak berdaya hanya untuk mengucapkan "halo"?

Sementara Arga bergelut dengan rasa gugupnya, di sisi lain taman, misteri pengagum tanpa nama menjadi topik hangat.

"Jadi, minggu ini bunga apa?" tanya Dara, sahabat Rona, sambil menyeruput es kopi susu di sebuah kafe dekat taman.

Rona tersenyum, mengeluarkan setangkai bunga lili dari dalam tasnya. Bunga itu masih segar. "Lili. Dan catatannya bilang, 'Semoga aroma bunga ini bisa menemanimu menjelajahi dunia di dalam bukumu'."

Dara berdecak kagum. "Orang ini benar-benar niat. Aku penasaran sekali seperti apa rupanya. Jangan-jangan seorang kakek tua romantis yang kesepian?"

Rona tertawa kecil. "Jangan begitu. Tulisannya seperti tulisan anak muda."

"Atau jangan-jangan dia sebenarnya jelek sekali, makanya tidak berani muncul?" goda Dara lagi, yang langsung dihadiahi cubitan kecil di lengan oleh Rona. "Aduh! Oke, oke. Tapi serius, Ron. Kamu enggak penasaran? Kita harus melakukan sesuatu. Bagaimana kalau besok kita datang lebih awal dan mengintai dari balik pohon? Kita pasang perangkap!"

"Perangkap apa? Memangnya dia binatang buruan?" balas Rona, meski dalam hati ia tak bisa memungkiri rasa penasarannya yang semakin memuncak. Siapa lelaki ini? Kenapa ia begitu baik dan konsisten? Setiap catatan kecil darinya selalu berhasil membuat harinya sedikit lebih cerah. Ia mulai menantikan hari Jumat, menantikan bunga dan tulisan tangan yang canggung namun tulus itu.

"Ya sudah, kalau tidak mau mengintai, tinggalkan saja catatan balasan," usul Dara. "Tanya siapa namanya. Sederhana, kan?"

Ide itu terdengar masuk akal, tapi entah kenapa Rona merasa ragu. Ada bagian dari dirinya yang menikmati misteri ini. Ia takut jika identitasnya terungkap, keajaiban kecil ini akan hilang.

Ritual Arga terus berlanjut. Namun, seiring berjalannya waktu, semakin banyak variabel tak terduga yang muncul. Suatu kali, angin bertiup sangat kencang, menerbangkan catatannya dari bangku. Catatan itu mendarat di dekat sepasang suami-istri paruh baya yang sedang berjalan santai. Sang istri memungutnya dan membacanya keras-keras, " 'Matamu seindah bintang jatuh yang tak pernah sampai ke bumi.' Wah, romantis sekali, Pak!" ujarnya sambil menatap suaminya dengan penuh arti. Sang suami hanya tersenyum bingung. Dari persembunyiannya, Arga ingin sekali menenggelamkan diri ke dalam kolam air mancur. Catatan itu bukan untuk mereka!

Di lain waktu, ia hampir saja tertangkap basah. Ia datang sedikit terlambat dan melihat Rona sudah berjalan menuju taman dari kejauhan. Dengan panik, ia berlari ke arah bangku, meletakkan bunga dan catatan, lalu dengan gerakan cepat ia melompat ke balik semak-semak lebat di belakang bangku. Jantungnya berdebar begitu kencang, rasanya seperti akan meledak. Ia bisa mendengar derap langkah Rona yang semakin dekat. Ia menahan napas.

Rona tiba di bangku, mengambil bunga matahari yang cerah itu, dan membaca catatannya. Arga, dari celah dedaunan, bisa melihat ekspresinya dengan sangat jelas. Perempuan itu tersenyum, senyum yang lebih lebar dari biasanya. Lalu, Arga mendengar sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya meremang.

"Terima kasih," bisik Rona pada angin, seolah ia tahu ada seseorang yang mendengarkan.

Bisikan lirih itu adalah bahan bakar terbaik bagi Arga. Rasa lelah dan gugupnya seolah terbayar lunas. Ia tidak peduli jika harus bersembunyi di balik semak selamanya, asalkan ia bisa terus melihat senyum itu.

Hingga suatu sore di akhir musim kemarau, langit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah menjadi kelabu pekat. Angin mulai bertiup kencang, membawa aroma tanah basah. Arga, yang baru saja akan meletakkan bunganya, merasakan tetes air pertama jatuh di pipinya. Dalam sekejap, hujan turun dengan derasnya. Orang-orang di taman berlarian mencari tempat berteduh.

Arga segera membuka payung yang selalu ia bawa di dalam tasnya. Ia hendak kembali ke tempatnya, namun matanya menangkap sebuah pemandangan. Di seberang sana, Rona sedang berdiri di bawah atap kecil sebuah kios minuman yang sudah tutup. Ia tidak membawa payung. Tubuhnya sedikit menggigil kedinginan, dan ia menatap tirai hujan di depannya dengan cemas.

Inilah saatnya.

Jantung Arga mulai berdentum seperti genderang perang. Ini bukan lagi pilihan. Ini adalah sebuah kesempatan yang disodorkan langsung oleh takdir. Hujan deras, seorang perempuan tanpa payung, dan seorang lelaki dengan payung dan setangkai bunga di tangan. Skenario ini terasa seperti adegan di dalam film romantis. Bedanya, ini nyata, dan ia adalah pemeran utamanya yang penakut.

"Lakukan, Arga. Lakukan sekarang atau tidak selamanya," bisiknya pada diri sendiri.

Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan serpihan keberanian yang tersisa di dalam dirinya. Dengan satu tangan memegang payung dan tangan lainnya menggenggam setangkai mawar merah yang mulai basah, ia melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan menembus hujan menuju perempuan yang selama ini hanya berani ia sapa lewat tulisan. Setiap langkah terasa begitu berat, setiap tetes hujan yang menghantam payungnya seolah meneriakkan keraguan di telinganya. Tapi ia tidak berhenti. Untuk pertama kalinya, ia berjalan ke arah Rona, bukan menjauhinya.

Tirai hujan yang lebat menciptakan sebuah dinding buram antara Arga dan dunia. Suara gemuruh air yang jatuh seolah meredam semua kebisingan kota, menyisakan hanya detak jantungnya sendiri yang menggema di telinganya. Rona, yang sedang memeluk lengannya karena dingin, sedikit terkejut saat melihat siluet seorang lelaki berjalan tegap menembus hujan, lurus ke arahnya. Saat lelaki itu semakin dekat, matanya terpaku pada dua hal: sebuah payung hitam besar, dan setangkai mawar merah yang digenggamnya.

Arga berhenti tepat di depan Rona, membiarkan payungnya menaungi mereka berdua dari derasnya hujan. Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mereka hanya saling menatap dalam diam. Arga bisa melihat bintik-bintik air di ujung rambut Rona, melihat matanya yang berwarna cokelat gelap memancarkan kebingungan dan ... secercah pengenalan.

"Kamu ..." suara Arga keluar lebih serak dari yang ia duga. Tenggorokannya kering. "... butuh payung?"

Pertanyaan bodoh. Tentu saja ia butuh payung. Tapi hanya itu kata-kata yang berhasil keluar dari otaknya yang membeku.

Rona tidak langsung menjawab. Matanya beralih dari wajah Arga yang gugup ke mawar merah di tangannya. Bunga itu sedikit layu karena air hujan, tapi warnanya tetap menyala terang. Koneksi itu terjalin di benaknya. Lelaki ini.

Arga memberanikan diri. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menyodorkan mawar itu. "Ini ... untukmu."

Rona menatap bunga itu, lalu kembali menatap Arga. Sebuah senyum perlahan merekah di wajahnya. Senyum yang sama seperti saat ia pertama kali membaca catatan, tapi kali ini, senyum itu ditujukan langsung padanya. "Jadi ... ini kamu," bisiknya, lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan.

Arga hanya bisa mengangguk kaku, merasa seluruh darah di wajahnya berkumpul di pipi. "Maaf kalau selama ini mengganggu."

"Mengganggu?" Rona tertawa kecil, suara tawanya terdengar merdu di antara deru hujan. "Sama sekali enggak. Aku ... aku malah selalu menantikannya."

Pengakuan itu seperti sebuah pelukan hangat bagi jiwa Arga yang tegang. Kelegaan yang luar biasa membanjiri dirinya. Mereka berdiri di sana, di bawah satu payung, terisolasi dari dunia oleh hujan. Kecanggungan perlahan mencair, digantikan oleh percakapan yang terbata-bata namun tulus.

Arga akhirnya tahu namanya, Rona.

Dan Rona akhirnya tahu nama pengagum misteriusnya, Arga.

Hujan mulai reda, menyisakan gerimis halus. "Aku antar kamu pulang?" tawar Arga, sebuah kalimat yang enam bulan lalu terasa mustahil ia ucapkan. Rona mengangguk.

Mereka berjalan berdampingan di bawah payung yang sama. Keheningan di antara mereka bukan lagi keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang nyaman. Saat tiba di depan sebuah kafe kecil yang hangat, Rona berhenti. "Mau minum teh dulu? Sampai hujannya benar-benar berhenti. Aku yang traktir, sebagai ucapan terima kasih untuk semua bunganya."

Di dalam kafe yang beraroma kopi dan kayu manis itu, mereka duduk berhadapan. Di sinilah Arga melakukan hal paling berani kedua hari itu. Ia mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah folder rahasia, dan menunjukkannya pada Rona. Isinya adalah puluhan foto catatan yang telah ia tulis. Bukan hanya yang ia berikan, tapi juga draf-draf yang ia anggap terlalu berlebihan, terlalu cengeng, atau terlalu aneh untuk diberikan. Ada catatan yang berisi puisi buatannya sendiri, ada yang berisi keluh kesah tentang pekerjaannya, ada juga yang hanya berisi gambar smiley sederhana.

Rona menggulir layar ponsel itu dengan perlahan. Matanya membaca setiap kata. Ia tertawa saat membaca draf yang lucu, dan matanya sedikit berkaca-kaca saat membaca tulisan-tulisan yang menunjukkan betapa dalamnya perasaan Arga. Ia bisa melihat seluruh perjalanan emosi lelaki di hadapannya ini. Kekagumannya, keraguannya, harapannya. Semuanya terangkum dalam catatan-catatan digital yang tak pernah terkirim itu.

"Kamu ... menyimpan semuanya?" tanya Rona dengan suara lembut.

"Aku enggak tega menghapusnya," jawab Arga jujur. "Setiap tulisan itu adalah bagian dari keberanian kecilku."

Malam itu, mereka berbicara tentang segala hal. Tentang buku, tentang pekerjaan, tentang mimpi, dan tentang betapa konyolnya Arga yang memilih bersembunyi di balik semak-semak daripada menyapa langsung.

Beberapa hari kemudian, di sore yang cerah, mereka bertemu lagi. Kali ini bukan karena kebetulan. Mereka berjanji. Arga menunggu di bangku di bawah pohon flamboyan. Saat Rona datang, ia tidak menemukan bunga di bangku yang kosong. Ia menemukan Arga yang sedang duduk di sana, tersenyum, dengan setangkai bunga aster putih di tangannya. bunga yang sama seperti bunga pertama.

"Untukmu," kata Arga, menyerahkan bunga itu langsung ke tangan Rona.

"Terima kasih," balas Rona, sambil duduk di sampingnya. Bangku yang tadinya menjadi panggung pertunjukan satu orang, kini menjadi saksi bisu kebersamaan mereka.

Mereka duduk di sana, menertawakan semua kejadian yang telah lewat. Rona menceritakan teori-teori gila Dara, dan Arga menceritakan kepanikannya saat hampir ketahuan. Semua kepingan misteri itu kini menjadi sebuah lelucon manis yang mereka bagi bersama.

Saat senja mulai turun, mewarnai langit dengan palet jingga dan ungu yang magis, Arga meraih tangan Rona. Kehangatan tangan perempuan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menghapus sisa-sisa kegugupan yang pernah ada. Langit senja yang dulu hanya menjadi latar bisu kekagumannya, kini menjadi saksi awal dari sebuah cerita baru.

Perjuangan sang bucin tanpa nama telah berakhir. Ia tidak lagi tanpa nama. Baginya, ia adalah Arga, lelaki yang akhirnya berani menyapa takdirnya. Dan di sampingnya, adalah Rona, perempuan pencinta senja yang akhirnya menemukan pengirim bunga misteriusnya. Mereka meninggalkan bangku itu bergandengan tangan, berjalan menjauh di bawah cahaya senja yang memudar, siap menulis babak baru dalam kisah mereka, bersama-sama.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Bronze
It's Me, April
Siti Nur Laela K
Novel
Di Antara Ribuan Jeda
Ghoziyah Haitan Rachman
Skrip Film
Class of 2007
Arai Amelya
Cerpen
Bucin Tanpa Nama
Kingdenie
Novel
Bronze
Love Hurts
Ninna Rosmina
Novel
Ketukan hati yang tak berbisik
Leonora_Yue
Novel
I Love You From Darkness to Light
Mesach Kartika
Skrip Film
SCRIPTED
Reiga Sanskara
Novel
Sementara
Mega Rohayana
Novel
Bronze
The Visitor
Nurul Elmi
Novel
IMAMKU TERSAYANG
Bonita Ras
Skrip Film
Duda-Duda Durjana
Kinanti WP
Novel
Bulan dan Langit
sabina
Novel
Bronze
I Love My Army Wife 2
Author WN
Novel
Sleeping Beauty
Adhita Mariani
Rekomendasi
Cerpen
Bucin Tanpa Nama
Kingdenie
Novel
JATUH HATI TANPA JEDA
Kingdenie
Novel
Elang Angkasa: Perang Tahta
Kingdenie
Novel
Pocong Berjaket Kuning
Kingdenie
Cerpen
Pocong di Zoom Meeting
Kingdenie
Novel
Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada
Kingdenie
Novel
Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya
Kingdenie
Novel
Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor
Kingdenie
Novel
Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir
Kingdenie
Novel
Elang Angkasa
Kingdenie
Cerpen
Jasa Ojek Hantu
Kingdenie
Novel
Bayang Senja
Kingdenie
Cerpen
Ketika Namanya Bukan Namaku
Kingdenie
Novel
Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia
Kingdenie
Cerpen
Nomor Telepon Lama
Kingdenie