Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ketika aku sampai di sana, senyumku yang cerah seketika padam.
Empat kali. Seingatku baru empat kali aku minum air dari buah aneh itu. Pertama kali aku meminumnya, itu bersama nenek dari ayahku. Dan, ketiga sisanya, aku meminumnya sendiri. Karena saat kedua kalinya aku minum, nenekku sedang sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Aku mengetahui buah itu dari nenek. Umurku baru tujuh tahun, kalau tidak salah. Aku memakai baju warna biru dengan gambar superhero yang melawan monster kadal. Lengkap dengan jubah kecil yang akan berkibar setiap kali aku melompat-lompat. Nenekku mengajak ke ladang di belakang rumah. Tempat yang familiar bagiku karena aku sering bermain di sana bersama teman-teman. Kami sering memainkan daun singkong yang tumbuh subur di ladang itu. Kadang membuatnya sebagai kinciran yang diputar di tangan atau kadang dibuat kalung yang bikin leher gatal.
Aku ingat, nenekku tampak sumringah saat mengajakku. Dia membawa golok kecil. Sesekali menyuruhku untuk mempercepat langkah. Dia menggandengku setengah menyeretku menuju ladang.
"Kita mau kemana?" tanyaku heran.
Nenekku tertawa kecil. Membuat wajah tuanya yang telah berkerut tampak saling terlipat. "Ikut nenek saja. Kita mau panen buah istimewa. Ini akan jadi rahasia kita berdua."
Tak selang berapa lama, nenek berhenti di depan pohon yang besar. Pohonnya mirip pohon kelapa. Tinggi. Daunnya panjang-panjang berderet rapi pada tangkainya. Bentuknya benar-benar mirip pohon kelapa. Saat itu, aku tak merasa bahwa pohon kelapa ini spesial. Nampak sama dengan pohon kelapa di sekitarnya. Sama tingginya. Sama berdaun lebatnya. Kecuali buahnya. Pohon ini hanya punya satu.
Kupikir nenekku sedang membual saat itu. Bahkan sampai, ketika nenek mengambil buahnya dengan galah panjang dan membelahnya di depanku, aku merasa tak tertarik. Aku sudah sering minum air kelapa. Nenek harusnya tahu itu. Tapi, entah kenapa nenekku memaksaku untuk mencicipinya.
Air buah aneh itu rasanya manis seperti air kelapa pada umumnya, tapi ada rasa pedas di ujungnya. Mungkin terdengar tidak enak di telinga. Tapi, percayalah, sekali kau meneguk airnya, kau akan berharap air itu bisa selalu kau minum layaknya air putih. Sayangnya itu tidak mungkin karena pohonnya hanya berbuah tiga tahun sekali. Bayangkan itu, seberapa lama aku harus menahan keinginanku hanya untuk menikmati buahnya. Namun, keinginanku itu mudah teralihkan karena setahun setelah nenek meninggal, ayahku keluar dari rumah nenek dan membeli sebuah rumah sederhana di kota. Banyak hal yang mengalihkan pikiranku soal buah itu di kota sana.
Namun, ingatanku kembali segar_soal buah itu ketika kami berkunjung ke rumah nenek setiap tahunnya. Aku selalu menyimpan rahasia ini baik-baik. Aku tak mau, anak cucu nenek yang lain tahu soal buah ini. Terlebih air buah ini terlalu sedikit untuk bisa dibagi ke banyak orang karena setiap panen hanya berbuah satu biji. Jadi, setiap pohon itu waktunya berbuah. Diam-diam aku akan menyelinap keluar pintu belakang untuk mengambil buahnya dan menikmatinya sendirian. Tak ada yang peduli dan tak ada yang curiga. Karena pohon itu layaknya pohon kelapa pada umumnya. Di tahun-tahun pohon itu tak berbuah, pohon itu terlihat seperti pohon kelapa yang tak berbuah.
Ssmakin aku dewasa, aku semakin penasaran dengan buah ini. Karena sampai di umurku yang ke delapan belas ini, aku belum tahu namanya. Keluarga besar nenek juga tidak tahu soal buah ini. Aku pernah sebenarnya menyinggung kecil soal buah aneh ini ketika sedang berkumpul di ruang keluarga. Saat itu semua anggota keluarga duduk di atas karpet secara melingkar. Dan di bagian tengah banyak hidangan yang tersaji.
"Air es ini tidak seberapa segar dibandingkan buah aneh di ladang sana," kataku kala itu ketika mencicipi air es dengan sirup putih.
Salah satu pamanku bertanya, "buah apa?"
Aku hanya menggeleng tidak tahu. Cuma sebatas itu. Hanya untuk memancing. Barangkali ada yang terpantik untuk membahas. Tapi, tak ada yang peduli lagi setelahnya dan semua melanjutkan makan-makan.
Aku pernah juga pernah mencari tahu soal buah itu dengan memfotonya dan menggunakan mesin pencari di internet. Tapi, yang muncul malah pohon kelapa. Karena memang bentuknya mirip sekali dengan pohon kelapa. Bahkan bentuk buahnya sama persis. Tapi, ketika dibelah isinya sedikit berbeda. Di dalamnya kau akan melihat sebuah bunga kecil berwarna merah.
Kata nenek, sebenarnya yang kami minum itu memang bukan buahnya. Tetapi, kuncup bunganya. Nenek menjelaskan kalau jika dibiarkan cukup lama, buah kelapa ini akan mengembang menjadi bunga raksasa. Aku sendiri belum pernah melihat bunganya secara langsung karena aku selalu kalah untuk membiarkan kuncup bunga itu mekar. Sangat disayangkan penantian tiga tahun diperpanjang hanya untuk melihat bunga yang mekar.
Terakhir, aku mencari tahu buah itu dengan menanyakannya langsung ke kakek tahun lalu, ketika beliau masih hidup. Tapi, kakek juga tidak tahu menahu. Bahkan katanya, pohon yang kumaksud juga disebutnya sebagai pohon kelapa. Hanya saja, pohon tersebut tak pernah berbuah. Saat itu aku baru menyadari kalau sepertinya nenek hanya membagikan rahasia ini padaku seorang. Aku sedikit terharu ketika mengingatnya.
Sayangnya rahasia kecil itu harus berakhir setelah kakek meninggal karena keluarga besar ayah memutuskan untuk menjual rumah tersebut. Sempat terjadi cekcok soal pembagian harta waris berupa rumah dan ladang belakang itu. Beberapa ingin rumah itu dibagi rata saja. Beberapa yang lain menginginkan untuk dijual. Yang lain lagi berharap agar rumah ini tetap dijadikan tempat kumpul. Ayahku termasuk yang ketiga. Namun, perdebatan itu sebenarnya sia-sia. Karena mereka yang menginginkan rumah tersebut dijual adalah saudara tua. Dan pada akhirnya, keputusan berakhir dengan dijualnya rumah itu.
Ayahku tak peduli juga sebenarnya karena kami sudah punya rumah dan kehidupan yang nyaman di kota. Bahkan seandainya ayahku tidak mendapat warisan sepeserpun, dia tidak akan keberatan. Malahan aku, sebenarnya yang berharap kalau ladang belakang buat Ayah saja. Biar aku bisa mengunjungi buah aneh itu dan menikmatinya setiap tiga tahun sekali. Tapi, tentu aku sama sekali tak punya kuasa untuk itu.
***
"Rei?" panggil ayahku dari belakang. Mengejutkanku. Kesadaranku yang terhanyut dalam arus ingatan masa lalu, berangsur kembali ke masa kini.
Saat itu aku berdiri di tanah lapang yang dulunya adalah ladang kakek dan nenek. Tempatku sering bermain sewaktu kecil. Tempat pohon aneh itu tumbuh. Tempat aku berbagi rahasia dengan nenek.
"Paman Tejo, menjual semua pohon kelapa yang ada di ladang ini," jelas ayahku seraya menepuk kecil pundakku. "Sudahlah, Rei. Dunia akan terus berubah. Sia-sia menggantungkan hati di satu tempat. Ayo, ibumu sudah menunggu. Pembeli rumah nenek sudah menandatangani surat alih kuasanya."
Aku mengangguk kecil. Mengikuti langkah ayah dengan pelan. Meninggalkan tunggul pohon aneh itu yang sudah mengering dengan perasaan sedih. Entah karena aku tak bisa menikmati air buah aneh itu atau karena rahasia kecilku bersama nenek usai di sini. Tapi, aku berharap suatu saat menemukan buah aneh itu lagi. Lalu, berbagi rahasia bersama orang-orang yang aku sayangi.
Dampit, 14 Januari 2024
Spesial episode untuk mbok dan wek (nenek dan kakek) yang telah berpulang bertahun-tahun lalu.....