Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
BU BENI menyesal kenapa dulu tidak mematuhi program keluarga berencana dari pemerintah. Sekarang kedelapan anaknya membuatnya pusing delapan keliling. Sugito, anak keduanya, minta duit buat biaya mengawini perempuan yang sudah bunting. Siamang, anak ketiganya, bilang kalau minggu depan batas akhir bayar kuliah. Sarmin, anak keempatnya, baru saja membacok teman sekelasnya. Tidak sampai meninggal, tapi keluarga korban meminta ganti rugi 100 juta dan menanggung biaya rumah sakit. Sekarang si Sarmin di penjara dan hanya dijenguknya sesekali. Santo, anak kelimanya, minta dibelikan motor. Kalau tidak dia tidak mau masuk sekolah. Anaknya itu baru kelas II SMP, dan sudah seminggu ini dia tidak masuk sekolah. Siska, anak keenamnya, tidak mau ketinggalan dengan kakaknya, minta dibelikan sepeda warna merah muda. Harus yang merek Poligon. Sundari, anak ketujuhnya, mau masuk SD. itu juga kalau ijazah TKnya bisa tertebus. Dan Sangkurat, anak bungsunya, masih butuh susu.
Nasib. Nasib.
Lah, ke mana anak tertuanya?
Sasmito, anak tertuanya yang bulan lalu baru diwisuda pada program sarjana teknik bidang elektro dari universitas ternama di Yogyakarta, yang masa kuliahnya sudah menghabiskan banyak hartanya, termasuk sepetak sawah peninggalan almarhum bapaknya, yang seharusnya bisa menjadi tumpuan keluarga (si Sasmito ini), malah mati kesetrum di hari pertama bekerja.
Nasib. Nasib.
Lah, suaminya?
Suaminya yang pertama sudah terbaring di makam, jadi jelas tidak bisa diajak menanggung beban bersama. Sementara suaminya yang kedua entah berada di mana di tengah laut Malaka. Sejak kabar tenggelamnya kapal yang mengangkut TKI di Selat Malaka tersiar lima tahun lalu, hanya 20 korban yang berhasil dievakuasi, dan tidak satu pun dari kedua puluh mayat selamat itu yang merupakan suami keduanya. Kesimpulannya, suaminya dimakan hiu gila. Pun dengan suaminya yang ketiga. Bisa jadi suami ketiganya overdosis di suatu hotel melati bersama lonte-lontenya yang suka ganja. Suaminya yang keempat kabur bersama janda. Sekarang dia sedang bergerilya mencari yang kelima, yang sedianya sanggup diajak meringankan beban di sekujur hidupnya yang senantiasa kesrakat sejak dulu kala.
Nasib. Nasib.
Pekerjaannya sebagai desainer kompor gas tidak memberikan harapan apa pun. Gajinya hanya cukup untuk hidup sendiri, secara pas-pasan. Sialnya, dia punya delapan anak, mati satu. Kalau cuma ngasih makan sama minum mungkin dia masih sanggup. Tapi kalau sudah merembet ke masalah hajat hidup, wah, itu malah membuatnya ingin mati. Dan memang begitulah rencananya.
Hari Minggu dia libur. Dan hari Minggu kali itu, bertepatan dengan malam tahun baru, dia memutuskan untuk merencanakan kematiannya sendiri. Kematian itu haruslah meriah, mengejutkan, dan, terutama sekali, sensasional. Buat apa selama ini ia susah-susah mempertahankan kehidupannya yang luar biasa kalau hanya untuk mati secara biasa. Tentu kematiannya haruslah tidak wajar dan menarik perhatian banyak orang. Seumur hidup dia tidak pernah menjadi pusat perhatian. Sekalipun dia bersuami empat dan beranak delapan. Untuk itu dia perlu merencanakan kematianya dengan sesungguh hati.
Pertama-tama dia harus menentukan waktu kematiannya. Besok malam saat warga merayakan tahun baru? Atau lebih baik kalau malam ini, saat penagih hutang datang ke rumah, jadi dia bisa sekalian menghindari kegarangan pria-pria berotot yang siap mengobrak-abrik rumahnya? Tidak, dia berkali-kali bilang pada dirinya sendiri bahwa kematiannya haruslah menghebohkan. Mati dan ditemukan oleh lintah darat bukan berita kematian yang menggembirakan. Mati dengan meninggalkan hutang sebanyak permintaan anaknya bukanlah hal yang ia inginkan dalam kematiannya. Akhirnya dia putuskan bahwa kematiannya haruslah besok malam, tepat tengah malam, saat acara tahun baru di kampungnya sedang puncak-puncaknya.
Sekarang caranya. Dia harus memikirkan cara mati yang menghebohkan, tapi tidak menyakitkan. Sejujurnya hidupnya sudah menderita, jadi dia ingin kematiannya, setidaknya, tidak membuatnya berteriak-teriak kesakitan. Selain itu prosesnya juga harus cepat. Jadi dia menyingkirkan pisau dapur dan obat nyamuk dalam daftarnya. Begitupun dengan tali dan selendang. Mungkin pistol akan mengakhiri hidupnya dengan cepat dan cukup menggemparkan. Tapi dia tidak punya itu. Lagipula kematian seperti itu sangat umum terjadi di ibu kota sekarang ini.
Lama dia termenung sendiri, hingga anak terkecilnya menangis terbangun dari tidurnya oleh suara musik yang disetel keras-keras oleh Santo. Segera dia menegur anak kelimanya itu. Tapi tidak ada anaknya yang mau menuruti kata-katanya. Akhirnya dia memilih menyumpal telinga Sangkurat dengan tuup bolpoin dan meninabobokkan lagi putra bungsunya itu. Baru saja Sangkurat menutup matanya dan dia merasa punya waktu lagi untuk memikirkan kematianya, Siska dan Sundari menangis di halaman depan. Ternyata oh ternyata mereka rebutan siapa yang akan memandikan boneka mereka di pancuran atap rumah. Kesal, Bu Beni memotong boneka babi itu jadi dua, dan membuat dua putri cantiknya menangis semakin menjadi. Kepalanya pusing. Dia merasa harus segera mati. Tapi bagaimana? Itu dia masalahnya.
Saat itu Siamang terlihat memarkirkan motor bebek usangnya di halaman. Dia baru pulang kuliah. wajahnya terlihat murung. Mungkin dia belum boleh mengisi jadwal studi untuk semester depan karena belum bayar kuliah. Bu Beni langsung memintanya menenangkan dua adiknya itu. Enggan, Siamang membuatkan kedua adiknya kapal-kapalan kertas. Masalah agaknya selesai. Tapi Siamang sendiri membawa masalah dengan menanyakan kapan Ibunya sanggup membayar kuliahnya. Dia sudah kerja paruh waktu di perpustakaan kampusnya, tapi gajinya hanya cukup untuk beli bensin.
“Besok,” begitu selalu jawaban Bu Beni. Bahkan mungkin saat tenggat waktu bayarnya tiba sekalipun dia tetap akan menjawab begitu. Itu kalau dia belum mati, padahal dia yakin besok tengah malam dia sudah mati.
Jam dinding karatan satu-satunya yang dia miliki telah menunjukkan pukul lima sore. Sangkurat sudah tertidur lagi sementara ibunya lagi-lagi termenung menyaksikan gerimis di luar jendela kamarnya. Kali ini lamunannya dipecahkan oleh ketukan di pintunya. Dia yakin itu rentenir. Dia sudah siapkan uang untuk mereka. Jadi itu bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah, dia belum menemukan bagaimana caranya untuk mati esok dini hari.
Dia khusyuk berdoa kepada Tuhannya supaya diberi petunjuk akan kematiannya. Dan baik hatilah Tuhan ternyata sudi mengabulkannya. Ide itu sekonyong-konyong menyerbu otaknya begitu saja seperti anak-anaknya setiap punya keinginan. Alhasil, malam itu dia tidak tidur barang sekejap mata pun. Dia menyibukkan diri menyusun rencana kematiannya. Kematiannya haruslah meriah, dan meninggalkan pelajaran hidup bagi anak-anaknya.
Ayam jantan berkokok memecah subuh. Bu Beni segera menyiapkan keperluan setiap paginya sebelum berangkat kerja. Tidak biasanya dia berangkat sepagi dan sesemangat itu. Dalam benaknya sudah tertanam ide-ide brilian tentang kematiannya.
Hari ini pasti akan menjadi hari besar bagi semua, pikirnya kalem saja. Bahkan sedikit sumringah. Di tempat kerja pun semua rekan kerjanya heran. Tidak biasanya dia mendesain kompor dengan riang gembira demikian. Biasanya dia selalu mengeluh tentang pekerjaannya yang tidak ada gunanya. Menurutnya, kompor tidak seharusnya memerlukan seorang desainer. Bahkan ia meyakini seonggok kompor sekalipun berhak menentukan bentuknya sendiri. Dan, seharusnya dia duduk-duduk saja di kantor dan membubuhkan tanda tangan setiap kali dibutuhkan, seperti manajernya yang ganjen itu. Terlebih usiannya nyaris lima puluh tujuh. Tapi pagi ini dia senang bisa mendesain kematiannya semudah mendesain kompor-kompor di tempat kerjanya.
Pertama ia akan mengajukan pengunduran diri, supaya mendapat pesangon. Dari uang itu ia akan belikan petasan naga. Itu jenis benda yang seumur-umur tidak akan pernah mampu ia beli dan, sekalipun mampu, tidak akan sudi ia beli. Tapi kali ini dia terpaksa harus membelinya jika kematiannya ingin seperti kehendaknya. Maka segera menghadaplah ia kepada manajernya. Rupanya Sang Manajer sedang ke luar kota, urusan distribusi kompor yang macet kata sekertarisnya.
Waduh, gimana dengan rencana matiku kalo kayak gini, pikir Bu Beni. Kematiannya harus hari ini dan harus dengan petasan naga itu. Kalau tidak, bisa repot dia harus bersusah payah memikirkan cara lain.
Maka, bergeserlah ia ke bendahara kantor, meminta tambah kasbon. Jelas tidak dikasih, wong cicilan hutangnya saja masih puluhan tahun. “Seratus aja, Buk,” rengeknya.
“Tidak ada. Lunasi dulu hutangmu,” jawab Bendahara singkat, padat, jelas.
Saat itu terlintas pula niat jahat Bu Beni untuk merampok bendahara. Mumpung juga kantor sepi ditinggal makan siang. Tapi tekad Bu Beni sudah habis untuk mati semata. Maka daripada merampok bendahara, kenapa tidak dia rampok saja toko petasan yang jual petasan naga itu? Brilian, begitu pikir Bu Beni.
Maka makan siang itu melipirlah ia ke arah jalan pulang, dan tak terasa langkahnya begitu cepat membawanya sampai ke depan toko petasan. Dari dekat, ternyata petasan naga itu besar sekali, hampir seukuran badannya. Wah, gimana membawanya ya? pikirnya.
Maka termenunglah ia di sana selama beberapa saat. Kalau dia curi benda sebesar itu, bisa-bisa dia mati sebelum waktunya. Dan mati dikeroyok masa bukan cita-citanya. Maka semakin lama saja dia termenung di sana. Bahkan ayam yang melintas di depannya dan sempat menitip tahi di ujung sepatu hak tingginya sekalipun tak dihiraukannya.
Dia menengadah saja menatap mata petasan berbentuk naga merah, berlama-lama begitu, sampai malam tahun baru tiba, dan barulah tiba-tiba dia mendapatkan sebuah gagasan akan kematiannya. Kematian yang sesuai permintaanya.