Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Brownies Dalu
0
Suka
412
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di belakang jalanan beraspal yang panas jika diinjak kaki telanjang, berdiri sebuah rumah sederhana. Tidak terlalu besar, tidak pula terlalu kecil ukurannya. Dulu rumah itu memiliki usaha bengkel. Orang-orang yang melewati jalan Rotowijayan 78, kota Yogyakarta akan mampir ketika tahu kendaraan bermotornya membutuhkan reparasi. Sekarang mereka harus putar arah sebab bengkel yang dicari tidak lagi ada di rumah itu. Dalu Muhammad, si pemilik telah meninggal. Ia dibaringkan di sebelah makam istrinya, Yayuk Fatahilah. Anak laki-lakinya tidak berminat meneruskan usaha ayahnya. Ia tidak lebih pandai dari ayahnya yang dengan mudah menemukan lalu memperbaiki bagian-bagian motor yang bermasalah. Begitu keluar dari rahim, Yayuk Fatahilah dan Dalu Muhammad menamai anaknya Gadhing Subekti. Gadhing berarti kokoh sedangkan Subekti berarti setia.

Dalu Muhammad mengatakan, utamanya manusia ialah memiliki kekuatan agar mampu bertahan dalam kehidupan. Doa panjang ia ucapkan melalui nama supaya anaknya tumbuh menjadi sosok yang kuat kala diterpa banyak masalah kehidupan. Lain lagi dengan Yayuk Fatahilah, ia teramat menghargai kesetiaan. Ia berharap, anaknya tumbuh menjadi manusia yang mencintai kesetiaan. Setia pada Tuhan, sahabat, maupun pasangan kelak. Sayangnya, ia tidak dapat melihat pertumbuhan Gadhing Subekti lebih lama. Hanya sampai Gadhing berusia 13 tahun. Kanker payudara menggerogoti sedikit demi sedikit kehidupannya hingga lesap.

Itu adalah pamit pertama sekaligus yang paling menyedihkan bagi Dalu maupun Gadhing. Pamit menyedihkan yang kedua hanya dialami Gadhing, yakni ketika Dalu mengembuskan napas terakhirnya di atas dipan kamar karena diabetes. Warisan terakhirnya berupa uang sebanyak 1 Milyar. Dalu menjuluki sahabat yang memberikan uang itu sebagai miliarder iseng. Lantaran ia beralasan menanamkan modal pada usaha bengkel Dalu agar lebih berkembang. Meskipun Dalu bilang nominalnya terlalu berlebihan, tetapi sahabatnya ngotot sampai Dalu mau menerimanya.

Gadhing biasa menyapa sahabat bapaknya itu dengan sebutan Paklek Hadi. Hadi beberapa kali mampir ke rumah. Selain untuk reparasi koleksi motor gedenya, kadang ia juga hanya ingin mencari hiburan. Hadi mengaku bahwa Dalu orangnya sangat lucu. Ia selalu menertawai lawakan Dalu. Namun, Gadhing sama sekali tidak setuju. Menurutnya lelucon bapaknya garing. Ia tidak mengerti letak kelucuannya di mana.

“Ah! Kamu anak-anak mana tahu.”

Gadhing hanya mengangkat bahu. Hadi lantas melanjutkan tawanya. Pemandangan menyejukkan itu mengabur. Sofa tua ruang tamu kini berubah kosong. Kenangan tentang bapaknya akan selalu menempeli sudut-sudut ruang. Termasuk bengkel kepunyaan bapaknya yang sudah ia sulap menjadi toko brownies. Gadhing menamainya Brownies Dalu. Ia menyebut karyanya itu menggunakan nama bapaknya sebab uang 1 Milyar pemberian Dalu membuat otaknya cemerlang. Ia jadi memiliki sebuah gagasan untuk membuka sebuah usaha di bidang makanan alih-alih meneruskan usaha yang sudah Dalu tekuni bertahun-tahun.       

***

Senin, 23 Oktober 2023

Belum ada tanda-tanda pintu bergerak dan lonceng berdenting. Sembari mengelap meja, bolak-balik Dede menoleh ke arah pintu. Takut pelanggan datang. Sementara Fani dan Anya berkutat di dapur, membantu Gadhing memindahkan loyang-loyang brownies di rak penyimpanan setelah matang. Mereka akan memotongnya nanti ketika ada pesanan. Sesi membersihkan properti toko telah rampung. Kini Dede dapat kembali ke meja kasir. Yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Seorang wanita muda yang menggandeng anak laki-laki memasuki toko. Bunyi lonceng menarik perhatian anak itu hingga ia mendongak, mencari sumber suara. Anak itu masih berusia tujuh tahun. Ia mengenakan topi bergaris, senada dengan rompi dan celananya.

“Dua brownies kacang sekalian air minumnya ya? Makan di tempat.”

Anya mengambil langkah ke dapur guna mempersiapkan dua potongan brownies kacang di atas piring-piring hitam. Sewaktu mengantar pesanan, tampak wanita itu tengah sibuk menelpon. Hanya dengan anggukan ia membalas ucapan selamat menikmati dari Anya.

“Nona bisa minta tolong?”

Anya balik badan. Tubuhnya sedikit membungkuk.

“Kenapa Bu?”

“Titip Axcel sebentar ya? Saya mau ketemu seseorang di resto depan. Makasih ya Nona.”

Balasnya. Wanita itu buru-buru keluar. Si anak kembali mendongak ke arah lonceng kuning mengkilat karena suara yang ditimbulkan si wanita. Anak itu menyuruh Anya duduk. Anehnya ia sama sekali tidak menangis ketika ditinggal wanita yang Anya pikir ibunya. Anya menurut dan menemaninya menikmati brownies. Kunyahan anak itu sangat pelan. Namun ia terlihat sangat menikmatinya.

“Kamu nggak makan?”

Tanya anak itu. Sapaan yang mengherankan bagi Anya. Ia terbiasa dipanggil dengan cara sopan oleh yang lebih muda. Seperti Kak, Mbak, Tante atau Bibi . Ia sudah memiliki keponakan sehingga tidak masalah dipanggil Tante ataupun Bibi. Perbedaan usia mereka berdua terpaut jauh sehingga membuat Anya tidak segera menjawab pertanyaan anak itu. Anya merasa ingin menasehati anak itu tentang sopan santun. Anak itu melihat nama dada Anya. Ia mengira Anya diam saja sebab tidak sadar bila diajak bicara.

“Anya, kamu nggak makan?”

Ulang Axcel. 

“Kenapa Adik manggilnya begitu?”

Anya akhirnya menyuarakan sesuatu yang menurutnya ganjil.

“Namamu bukan Anya? Dan namaku Axcel bukan adik.”

Koreksi Axcel pada perempuan yang ia tahu bernama Anya.

“Maksudku, kenapa manggilnya langsung kamu atau langsung nama? Kan umurku lebih tua. Sopannya itu pakai Mbak atau Kak baru nama.”

“Baru kali ini aku mendengarnya.”

Axcel mengangguk-angguk, seolah memperoleh pengetahuan baru.

“Sama ibumu nggak pernah diajari?”

Axcel menggeleng. Pernyataan selanjutnya membuat Anya cukup terkejut sebab wanita yang bersamanya tadi bukan ibunya. Axcel memanggilnya Nichole. Axcel tidak pernah bertemu dengan seseorang yang disebut ibu. Nichole satu-satunya yang ia punyai dalam hidup.

“Anya aku pesan lagi!”

Piring kosongnya ia ulurkan pada Anya. Anya pun melakukan sesuai kemauan pelanggan kecilnya. Nichole belum datang. Sesungguhnya Anya tidak enak hati hanya duduk-duduk tanpa membantu Fani dan Gadhing mengepak banyak pesanan dalam kotak-kotak kardus. Gadhing bilang tidak apa-apa lantaran menjaga Axcel juga permintaan pelanggan.

“Ayo Anya kamu juga makan! Biar aku yang bayar! Aku nggak mau makan sendirian lagi.”

Ajak Axcel heboh. Anya menoleh pada Gadhing sembari memasang mimik bingung soal bagaimana cara menanggapi Axcel. Gadhing hanya mengangguk, gestur supaya Anya menuruti kemauan Axcel. Anya pamit sebentar untuk mengambil sepotong brownies untuk dirinya sendiri. Axcel menanti Anya dengan sabar. Kala sepatu Anya mendekat, Axcel menjadi bersemangat. Kunyahannya lebih cepat dari sebelumnya. Axcel merasakan hantaran ketidaknyamanan yang berasal dari Anya. Anya tampak kurang menikmati brownies Dalu. Tidak seperti Axcel. Axcel kemudian bangkit dari tempat duduknya dan meminta sebotol air pada Dede. Axcel pikir Anya kekurangan cairan sehingga terlihat suram.

“Terima kasih.”

Balas Anya pasrah. Tanpa sepatah kata pun dua orang yang berbeda usia itu menikmati brownies Dalu sampai habis. Axcel bersendawa cukup keras, membuatnya berkata ups. Seketika pipinya merah. Itu sangat memalukan sebab ia melakukannya di depan seorang gadis. Anya tersenyum melihat betapa menggemaskannya Axcel.

Nichole kembali membawa dua tas belanja yang lumayan besar, oleh-oleh dari seseorang yang ditemuinya. Axcel semringah melihat kedatangannya. Begitu pula Anya. Ia lega sebab dapat kembali bekerja. Nichole meminta maaf pada Axcel dan mengucap terima kasih pada Anya. Brownies Nichole kedinginan karena AC. Anehnya, dingin membuat makanan itu terasa lebih nikmat. Nichole menghabiskannya dalam tiga kali suapan. Selepas itu Nichole membayar sekaligus menitipkan uang tip pada Dede untuk diberikan pada Anya.

“Apakah kau adalah pemilik tempat ini?”

Axcel mendekati Gadhing yang berdiri di belakang lemari kaca brownies.

“Itu benar.”

Aku Gadhing.

“Perlakukan Anya dengan baik, dan sampaikan terima kasihku pada Anya. Dia teman yang baik. Aku dan Nichole akan sering-sering ke sini dan mempromosikan tempat ini pada teman-temanku.”

Pesan sekaligus janji Axcel pada Gadhing.

“Baiklah, akan kusampaikan pesanmu.”

Axcel meraih tangan Nichole yang menunggunya di dekat pintu masuk. Mereka pergi mengendarai mobil mewah berona gelap. Nichole yang menyetir. Ia cukup yakin dengan keahliannya itu sehingga tidak perlu mengandalkan sopir untuk mengantar Axcel ke mana-mana.    

***

Selasa 24 Oktober 2023

Dua jam ke depan, toko Brownies Dalu akan disewa pasangan suami istri untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ketiga. Fani dibantu Dede merias latar belakang tempat duduk yang dipesan. Sementara makanannya, tentu saja Gadhing dan Anya yang mengurus. Tidak terlalu rumit permintaan pasangan suami istri itu. Cukup hiasan bunga-bunga putih dan brownies utuh dikelilingi potongan stroberi segar. Segalanya telah siap ketika mereka datang. Sang istri puas dengan hasilnya. Sembari melingkari lengan suami, ia tak henti-hentinya tersenyum. Sebelum duduk, suami memundurkan kursi istri, mempersilakannya duduk. Sikap manis yang sudah biasa dilakukan untuk wanitanya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, usai merapal harapan, tiup lilin, dan potong kue, mereka akan mengobrol ringan. Diawali kejujuran sang suami soal tempat perayaan. Sesungguhnya ia bosan tiga kali berturut-turut merayakan ulang tahun pernikahan di Brownies Dalu. Ia memang menyerahkan keputusan penuh pada sang istri namun pilihan yang selalu sama membuatnya ingin mengeluh.             

   “Kenapa baru bilang sekarang?”

Raut wajah istri yang serius membuatnya mendadak haus. Sebelum membalas perkataan istri, suami menonong segelas air putih.

“Karena, aku pikir sekarang adalah waktu yang tepat buat bilang.”

Istri tidak tahu betapa suami kesulitan mencari momen untuk mengatakannya. Akhirnya ia menunda sampai waktu perayaan tiba. Berharap ulang tahun pernikahan selanjutnya bakal berbeda.

“Ya nggak dong, harusnya pas perencanaan dua minggu lalu.”

Istri menolak setuju. Menurutnya, kedaluarsa bila lokasi perayaan baru dibahas sekarang.

“Yang, kamu kelihatan antusias pas milih tempat ini. Mana bisa aku tiba-tiba bilang kalau nggak mau merayakan di sini.”

Mata berbinar, senyum mengembang, dan nada yang terus naik ketika berbicara, adalah gambaran bagaimana istri mengatakan bahwa brownies Dalu akan selalu menjadi pilihan untuk merayakan ulang tahun pernikahan. Ia menyukai kesederhanaan serta konsep retro ala 90’an yang diusung tempat itu sehingga belum memiliki minat untuk berpindah.

“Terus kamu maunya gimana? Pulang?”

Sehabis bertanya, istri melipat kedua lengan. Alisnya mengkerut bak mengemam perasan jeruk nipis.

“Ya nggak. Aku cuma mau jujur aja sama kamu.”

Katanya lembut.

“Tapi suasananya udah nggak enak banget gara-gara kamu baru bilang itu sekarang.”

“Suasana hatimu?”

“Suasana tempat ini!”

“Kayaknya meskipun aku jujur pas perencanaan dua minggu lalu, sikapmu bakal sama aja.”

Suami menyendok kue, lantas menyuapkan pada istri namun langsung ditolak. 

“Sama gimana?”

“Ya jadi badmood gini.”

“Kenapa kamu sok tahu begitu?”

Ujung jari suami menyentuh bibir sendiri, gestur agar istri sadar suaranya terlalu keras sehingga memancing perhatian pemilik maupun pegawai toko.

“Oke, aku minta maaf kalau kejujuranku buat kamu marah.”

Sang suami mengalah namun istrinya tidak menanggapi. Lebih memilih melihat pemandangan luar jendela.

“Kamu mau tetap di sini atau kita pergi ke tempat lain untuk memperbaiki suasana hatimu?”

Tawar suami.

“Kamu aja yang pergi. Aku mau tetap di sini.” Istri mengintip jam. “Masih sisa tiga puluh menit lagi waktu penyewaan habis.” Putusnya.

Suami menghela napas panjang. Melunturkan kekesalan, kemarahan, dan keinginan untuk meninggalkan istri. Namun desahan napas itu justru terdengar menjengkelkan bagi istri. Itu pula yang membuat istri makin meledak. Mengomel tak karuan dengan mengungkit kesalahan-kesalahan suami yang lain. Suami menoleh malu memeriksa sekitaran, sebab istri tak lagi menahan-nahan suaranya seperti tadi.

Fani dan Anya menutup mulut tak percaya dengan perubahan sikap pasangan suami istri itu, yang awalnya romantis, menyaksikannya kini membuat hati mereka miris. Emosi istri yang meluap-luap membuat suami lama-kelamaan turut terpancing. Kesabarannya merayap pergi melewati sela-sela pintu. Suasana Brownies Dalu menjadi ribut lantaran mereka berdua beradu mulut. Gadhing akhirnya turun tangan untuk melerai.

“Pak, Bu tolong jangan membuat keributan di sini.” Gadhing menyadari bahwa waktu persewaan mereka tinggal lima menit lagi habis. “Karena sebentar lagi pelanggan lain datang.”

Kembalinya akal sehat membuat si suami malu. Bagaimana bisa ia terpancing dan marah seperti orang gila di tempat umum? Pertanyaan itu berterbangan memenuhi benaknya. Ia mengusap muka lalu meminta maaf pada Gadhing atas keributan yang mereka buat. Gadhing pun berbesar hati menerima ungkapan rasa bersalah itu. Sementara sang istri pergi tanpa pamit. Emosinya belum reda. Ia masih ingin melampiaskannya di tempat karaoke. Sendirian, tanpa ditemani sang suami.  

***

Rabu, 25 Oktober 2023   

Sewaktu giliran dilayani tiba, seorang kakek masih menelpon anaknya yang masih dalam perjalanan untuk menjemputnya. Gadhing menanyakan pesanan dan kakek pun menutup obrolan ponselnya sebelum menjawab. Kakek itu memesan dua kotak brownies dan dua botol soda.

“Mohon maaf Kek, kami hanya menyediakan air mineral.”

Ujar Gadhing ramah.

“Masa nggak jual? Kalau gitu belikan saya di minimarket sebelah!”

Ia menarik beberapa lembar uang tunai dari dompet lalu melemparkannya di hadapan Gadhing. Sudah pasti Gadhing menolaknya. Gadhing menggeser uang itu menjauh.

“Mohon maaf, saya ulangi ya Kek, kami tidak menyediakan layanan pembelian makanan atau minuman selain brownies dan air mineral.”

Kearoganan si kakek tidak membuat Gadhing membuang sikap sopannya. Dua kalimat itu ia ucapkan dengan lembut seolah-olah lawan bicaranya telah melakukan hal sama.

“Minus sekali nilai toko ini! Semua permintaan pelanggan harusnya dilayani. Pelanggan itu adalah raja! Bisa-bisanya menolak permintaan pelanggan. Panggilkan pemiliknya! Saya mau protes!”

Ibu-ibu di belakang si kakek terlihat sangat kesal. Akhirnya, Anya mendahulukan ibu-ibu itu ketimbang si kakek keras kepala.

“Kebetulan saya sendiri pemiliknya.”

Aku Gadhing tetap tersenyum tapi tidak selebar sebelumnya. 

“Kamu ingat baik-baik! Tanamkan di kepalamu yang kosong itu kalau pembeli adalah raja! Jujur saja, pelayanan di toko ini sangat buruk! Kalau terus-terusan begini, tokomu bisa sepi! Bangkrut baru tahu rasa kamu!”

Omel si kakek sembari menaik-turunkan telunjuknya sejajar dengan muka Gadhing.

“Papa!”

Panggil seorang pria berusia tiga puluhan. Ia bergegas mendatangi papanya untuk membawanya pulang.

“Kita pulang Pa!”

“Sebentar, Papa belum selesai memberi pelajaran pada pemilik toko ini!”

Katanya kekeh. Ia melepas tarikan anaknya.

“Saya mohon maaf ya atas nama papa saya.”

Pria itu membungkuk berkali-kali seperti gestur orang Jepang. Perkataan pria itu selanjutnya mengubah pikiran papanya. Ia bilang, Nana, cucunya sudah menunggunya di rumah. Wajah papanya tidak terlihat menyeramkan seperti tadi, sebaliknya justru semringah. Ia meninggalkan toko begitu saja tanpa meminta maaf pada Gadhing. Pria itu lantas menyodorkan sebuah kartu nama. Ia mengaku siap bila pemilik toko menuntut ganti rugi atas kesalahan yang diperbuat papanya.

“Akan saya pertimbangkan.”

Balas Gadhing. Ia menyelipkan kartu nama itu dalam saku celana.

“Sekali lagi saya memohon maaf atas nama papa saya.”

Ia membungkuk untuk yang terakhir kalinya sebelum meninggalkan Brownies Dalu.

***

Kamis, 26 Oktober 2023

Mereka menyiapkan celana olahraga supaya bisa memanjat pagar belakang sekolah. Yaya, Ami, Dona, dan Lala berniat bolos karena jam kedua kosong hari ini. Guru sejarah sudah memberitahukan kemarin, melalui koordinator kelas bahwa ia masih opname. Kelas mereka hanya diberi tugas mengerjakan soal-soal dan dikumpulkan paling lambat lusa di meja guru. Keempat gadis remaja itu nyaris tertangkap penjaga sekolah. Dari atas pagar, Yaya dan Lala dapat melihat Pak Banu meneriaki mereka dari kejauhan dan berupaya mengejar.

“Kita ketahuan?”

Tanya Ami dan Dona yang telah menunggu di luar pagar. Yaya dan Lala segera melompat.

“Lari cepet!”

Seru Lala. Mereka kabur, menuju kos Dona sebelum tertangkap. Jaraknya hanya beberapa meter dari tempat itu. Mereka meminjam kamar Dona untuk mengganti celana olahraga ke rok seragam. Sementara Dona mengenakan kaos longgar dan celana pendek. Ia menggantung seragamnya di belakang pintu kamar.

Tempat bolos yang bakal mereka kunjungi adalah Brownies Dalu. Yaya sangat ingin makan brownies. Lala, Ami, dan Dona hanya manut-manut saja. Mereka bertiga menerima rekomendasi tempat manapun asal tidak kembali ke sekolah. Masih dengan sisa tawanya, mereka memasuki toko. Itu karena Yaya menirukan bagaimana raut muka Pak Banu ketika memergokinya dan Lala memanjat pagar. Kecuali Yaya, ketiga lainnya mencari tempat. Yaya pemesan sekaligus yang membayar tentu saja.

“Makasih Mbak.”

Fani tersenyum sopan dan mengucap frasa selamat menikmati pada Dona. Potongan besar tersedot cepat di mulut Yaya. Ia bergumam senang sebab rasanya. Ia tidak peduli Ami merekam ekspresinya ketika makan. Pun abai Dona dan Lala turut menertawai Yaya melalui rekaman Ami. Dalam sekejap, suara gadis-gadis itu mendominasi. Pelanggan lain sampai menengok mereka lantaran merasa terganggu. Daripada peka sekitar, mereka lebih memilih saling bercanda dengan suara keras.

“Kamu layani pelanggan aja, biar saya yang ke sana.”

Larang Gadhing pada Fani. Fani pun lanjut menanyai pesanan pelanggan. Gadhing mengambil tindakan. Ia mengatakan pada Yaya dkk agar sedikit mengecilkan volume suara ketika berbincang karena pelanggan lain merasa terusik.

“Kalau kami nolak gimana?”

Tantang Dona disusul tawa Yaya, Ami, dan Lala setelahnya.        

 “Kalau begitu, kami mohon maaf, Anda harus mencari tempat lain.”

Pengusiran secara halus itu tidak membuat para gadis mengerti. Mereka semakin menjadi-jadi dengan melontarkan penghinaan bahwa toko itu sesungguhnya terlalu jelek untuk mereka datangi. Kedatangan mereka hanya karena kasian. Andaikan mau, mereka dapat memilik tempat yang lebih berkelas ketimbang Brownies Dalu.

“Sudah selesai ceramahnya?”

Gadhing lantas memanggil Dede, agar membukakan pintu keluar untuk para gadis.

“Silakan, lakukan yang anda inginkan seperti memilih restoran berkelas dan sebagainya. Kami tidak terlalu peduli.”

Tangan Gadhing mengarahkan mereka ke pintu yang sudah terbuka lebar. Bergantian Dona, Ami, dan Lala berjalan menuju pintu. Sementara Yaya, sempat-sempatnya menyuapkan sepotong brownies-nya yang masih sisa. Baru kemudian berlari membuntuti teman-temannya. Orang-orang mengelus dada melihat kelakuan gadis-gadis remaja itu.

Dua hari kemarin sungguh luar biasa. Berturut-turut Gadhing menemui pelanggan yang berhasil menyentil kesabarannya. Memang emosinya tidak sampai meletup-letup namun perasaan kesal sudah pasti ada. Ia membuka jendela kamar, menghirup udara pagi dengan rakus. Ritual awal yang sangat menggembirakan sebelum bertemu pelanggan yang lebih aneh lagi.

Akan tetapi, untuk hari ini letak masalahnya bukan pada pelanggan dan bukan pada saat papan tanda pintu masuk terbaca open. Gadhing dikejutkan bagaimana kaca tokonya berantakan. Penuh dengan tulisan pilox umpatan. Penulis mengumpati Gadhing, pegawai, makanan, maupun toko. Gadhing memutar kunci pintu, membukanya dengan tergesa untuk memeriksa pelaku melalui monitor CCTV. Ternyata mereka adalah gadis-gadis remaja yang sempat menimbulkan keributan di tokonya kemarin. Ia lantas menelpon Dede, Fani, dan Anya, memerintah mereka untuk datang secepatnya karena kekacauan di tokonya harus segera dibereskan.

Tampaknya butuh banyak waktu menghilangkan tulisan pilox. Gadhing akhirnya membagi tugas. Gadhing dibantu Dede menggunakan satu jerigen cuka. Sedangkan, Fani dan Anya yang membuat brownies. Jam buka Brownies Dalu kemungkinan akan molor. Tergantung kapan kaca itu bersih dan kapan brownies selesai dibuat.

“Fani, Anya, hari ini kita layani pemesanan online aja!”

Putus Gadhing. Kaca toko masih membutuhkan tindakan pembersihan lebih lanjut karena bau kecut yang berasal dari cuka. Anya dan Fani langsung mematuhinya, kemudian memotong brownies kotak-kotak untuk memenuhi pesanan pertama. Raut muka Gadhing merah menahan amarah. Besok ia berencana datang ke sekolah Yaya, Dona, Ami, dan Lala guna meminta pertanggungjawaban. Gadhing tahu harus pergi ke sekolah mana karena seragam almamater yang dikenakan gadis-gadis itu memberinya petunjuk.     

***

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Brownies Dalu
Séa Hana
Cerpen
Kamu Sudah Dicus
Mambaul Athiyah
Cerpen
Lovely Family
choiron nikmah
Cerpen
Menulis Haiku
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Ruang Gunjing
Robeni
Cerpen
Cerita Toko Kopi Padma
Ananda Putri Damayanti
Cerpen
Bronze
Pelajaran Menulis Cita-Cita
Nana Sastrawan
Cerpen
Bronze
Mantra Untuk Yunan
N. HIDAYAH
Cerpen
Kepala Batu
Lusiana
Cerpen
HALTE
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
Bronze
My Story
Rizqy Kurniawan
Cerpen
Selembar Dunia
Rafael Yanuar
Cerpen
MINE & YOURS
Racelis Iskandar
Cerpen
Bronze
Mendekap Surga
Trippleju
Cerpen
Mencari Konsep Sabar
Dhawy Febrianti
Rekomendasi
Cerpen
Brownies Dalu
Séa Hana
Cerpen
Zeus Telah Kembali
Séa Hana
Flash
Mila
Séa Hana
Flash
Jojo dan Jeje
Séa Hana
Flash
DUA BERMUKENA
Séa Hana
Novel
Gadis yang Rambutnya Selalu Dikepang Dua
Séa Hana
Cerpen
UITDF
Séa Hana
Flash
BLUE EYES
Séa Hana