Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Broken Promise
4
Suka
214
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Embusan asap tipis meluncur mulus dari bibir dan hidungku saat aku tiba di tujuan. Hal yang wajar terjadi ketika berada di tempat yang dingin seperti sekarang. Apalagi aku baru saja menapaki ratusan anak tangga untuk mencapai tempat ini. 

Langit masih gelap, dan kerlip bintang terlihat samar oleh kabut yang masih bertahan. Aku mengambil ponsel dan melihat angka di sana masih menunjukkan pukul empat pagi.

“Masih belum,” gumamku seraya memasukkan kembali ponsel ke saku.

Aku merapatkan jaket tebal yang melekat di badan lalu mengusap-usap pipiku dengan tangan yang terbungkus sarung tangan. Sambil membetulkan topi, aku bergabung dengan beberapa orang yang berkeliling mencari spot terbaik untuk mengabadikan momen yang sebentar lagi tiba.

Kutatap langit yang kini kelabu. Saat yang kutunggu hampir tiba untuk melaksanakan rencanaku. Ya, bukan tanpa alasan aku berada di sini. Rela mengendarai mobil selama beberapa jam dan menahan kantuk sendirian demi menyelesaikan sebuah misi. Misi yang hanya aku seorang yang tahu, meski nuraniku berkata ini sia-sia dan tidak ada gunanya. Hanya membuang-buang waktu dan tenaga yang bisa kupakai untuk hal lainnya. Misalnya, berlatih lebih keras untuk pertandingan berikutnya. Keberadaanku di sini saja tidak diketahui oleh pelatihku. Jadi, ini benar-benar misi rahasia.

Meskipun begitu, aku tetap melakukannya dengan ikhlas. Mungkin karena hanya ini yang bisa aku lakukan sekarang, daripada berdiam diri seperti orang bodoh. Mungkin dengan cara ini, akan ada sedikit perubahan. Sekecil apa pun, akan aku syukuri.

Kukeluarkan ponsel dari saku dan membuka galeri foto. Wajah seseorang yang ceria dan bersemangat, membuat dua sudut bibirku tertarik ke samping. Namun, di sisi lain, ada sebuah siksa yang perlahan meremukkan relung hati. Tanpa sadar, sebutir bening air mata mengalir di pipi. Buru-buru aku mengusapnya dan menutup galeri foto itu.

Orang-orang di sekitarku mulai ramai berceloteh ketika setitik warna jingga muncul di ufuk Timur. Segala peralatan mulai dikeluarkan dari tas masing-masing berupa ponsel, kamera, bahkan secara khusus ada yang membawa drone untuk mengambil gambar salah satu peristiwa alam yang indah di puncak gunung ini, yaitu matahari terbit.

Sama halnya dengan orang-orang itu. Aku di sini untuk memotret, atau jika memungkinkan merekam proses yang menandai hari baru yang disebut hari ini, setelah meninggalkan waktu yang kemarin. Aku merogoh saku celana dan mengambil secarik kertas berisi sederet kalimat yang mungkin saja akan berubah jika keadaannya juga berbeda.

Di sekitarku, semua orang sudah menempati posisi masing-masing. Peralatan pun siap sedia. Termasuk aku dengan ponsel yang terarah ke kaki langit. Mataku menatap layar benda pipih yang kini membingkai lukisan semesta. Dengan satu tangan, aku memegang ponsel, sementara tangan lain mengarahkan secarik kertas tadi ke kamera dan mengabadikannya. 

Langit yang tadinya kelabu, kini mulai berwarna oleh semburat oranye yang indah. Perlahan tapi pasti, cahaya sang surya memenuhi bumi dan memberi kehangatan. Bibirku mengulas senyum, tetapi sekali lagi, air mata menetes saat lantunan doa dan harapan kupanjatkan sebelum proses itu selesai.

“Aku harap, kehangatan ini bisa mengurangi rasa rindu yang membelenggumu.”

Tak lama, kerumunan mulai bubar. Masing-masing mempunyai tujuan sendiri setelah melihat matahari terbit. Sebagian mungkin akan berpetualang melintasi lautan pasir, sebagian lagi mungkin akan berkuda, atau mengikuti jadwal yang sudah ditentukan pemandu. Misiku sendiri sudah selesai. Aku tidak perlu berlama-lama lagi di sana. Masih ada hal lain yang harus kulakukan. 

Bergegas aku kembali ke mobil dan menyusuri jalanan panjang ke kota asalku. Sesekali aku menguap dan mengucek mata karena kantuk. Menyetir sendirian dalam waktu yang lama memang berisiko. Namun, aku tidak peduli. Aku harus tiba di sana sesegera mungkin. Atau, semuanya akan terlambat. Kuinjak pedal gas dan kendaraan pun melaju kencang.

Selama perjalanan, benakku berkelana ke masa lalu. Masa yang seandainya bisa dihapus, masa yang tidak perlu ada dalam perjalanan hidupku, tentu segalanya di masa kini akan berbeda. Aku tidak akan seorang diri di sini. Jika waktu itu tidak pernah tiba. Jika gadis itu tidak pernah datang. Jika kita tidak pernah bertemu dengannya. Jika kau tidak jatuh cinta padanya. Jika …. Ah, terlalu banyak untuk disebutkan.

Gadis itu seusia denganku dan Bintang. Delapan tahun. Dia cantik, manis, berkulit putih dan bersih. Aku yakin dia berasal dari kalangan orang berada. Sangat berbeda denganku, dengan kami, anak-anak yang tinggal di penampungan yang mengelolah arena indoor wall climbing.

Di sanalah kami bertemu untuk pertama kalinya. Aku yang sedang membantu tetangga sebelah, tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan Noval, salah satu teman kami.

“Bulan! Bulan! Ayo, cepat ke tempat latihan! Kamu pasti terkejut!” serunya dengan wajah semringah.

“Tunggu sebentar. Biar kuselesaikan ini.” Aku membilas piring terakhir dan meletakkannya di rak lalu mengikuti Noval.

Aku langsung tertegun dan berhenti melangkah ketika sampai di tempat latihan yang jaraknya hanya lima meter dari rumah tetangga. Seperti kata Noval, aku sangat terkejut.

Di sana, Bintang sedang berbincang riang dengan sosok gadis asing. Menyadari keberadaanku, ia menoleh dan menghampiriku.

“Siapa dia?” tanyaku.

“Teman baru. Ayo!” Bintang menarikku mendekat pada gadis itu. “Lani, kenalkan. Ini sahabatku, Bulan. Kami semua tinggal bersama di sini.”

Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangan, tetapi aku masih bergeming hingga Bintang menyikut lenganku. 

“Oh, maaf.” Aku segera menjabat tangan Lani. “Kamu baru pertama ke sini?”

Lani mengangguk. “Iya, sama Papa dan teman-temannya itu.”

Aku melihat ke arena panjat dinding di bagian dalam lalu mengangguk paham.

“Kamu belum pernah coba, ‘kan? Ayo, coba! Aku ajari kamu.” Bintang mendorong Lani ke tempat perlengkapan dan membantunya memanjat untuk pertama kali. Ia juga tertawa lepas bersama gadis yang baru pertama kali ia temui.

Aku pikir, pertemuan itu tidak pernah terjadi lagi. Aku pikir, Lani akan kapok melakukan panjat dinding setelah hampir terjatuh dari ketinggian. Namun, di minggu berikutnya dan berikutnya lagi, Lani tetap datang bersama ayahnya. Bahkan ia menyatakan diri ingin menekuni bidang ini, meski masih kebingungan akan menjadi pendaki gunung yang andal, atau atlet panjat dinding.

“Kamu yakin, Lan?” tanyaku yang terdengar jelas meremehkan. Lani menjawab dengan senyuman. 

Ya, aku memang tidak mempercayai gadis manja itu akan mendalami bidang yang membutuhkan kemandirian ini. Sepanjang yang aku lihat, ia hanya merepotkan Bintang dan lainnya. Aku semakin kesal karena Bintang tetap meladeninya. Perhatian yang biasa ditujukan padaku kini beralih padanya.

“Bin, kenapa kamu bantu Lani terus sih? Mana bisa dia mandiri kalau apa-apa minta dibantu? Merepotkan banget, tahu nggak?” Aku menumpahkan kekesalanku untuk kesekian kalinya.

Lani sudah berlatih di tempat ini selama hampir satu tahun. Menurutku, dia sama sekali tidak berbakat. Dia penakut dan mudah panik. Kalau sudah begitu, dia akan merajuk pada Bintang. Aku bahkan mengira keinginannya itu hanya pura-pura saja.

Lagi-lagi Bintang hanya tersenyum menanggapiku. Ia lalu memberikan banyak pembelaan untuk Lani. “Wajar saja, dia masih baru. Perlu belajar banyak. Siapa lagi yang bantu selain aku? Kemajuannya memang lambat, tapi aku yakin dia bisa kok.”

“Lalu aku?”

Bintang menatapku dan tersenyum lagi. “Kenapa? Kamu berbeda dari Lani. Dari umur dua tahun kamu sudah berlatih. Di umur lima tahun kamu sudah bisa melintasi semua dinding bahkan sampai puncak. Apa lagi yang harus aku bantu? Aku pun yakin kamu bisa jadi atlet profesional seperti cita-citamu.”

Tanpa sadar aku mendengkus. Pandanganku kembali menatap jalan raya yang mulai ramai. Ucapan Bintang benar. Aku dengan mudah bisa menggapai cita-citaku menjadi atlet panjat dinding profesional. Namun, ada satu bagian diriku yang hilang. Satu janji yang Bintang ucapkan sebelum bertemu dengan Lani.

“Kita berdua harus jadi atlet panjat dinding terbaik di negeri ini. Kita nanti akan bersaing, dan yang kalah nggak boleh ngambek. Janji, ya?” Bintang mengaitkan jari kelingkingnya pada jariku.

Bullshit! Janji apanya? Dia yang ingkar duluan,” gerutuku kesal dam melampiaskannya pada kemudi yang tidak bersalah.

Perubahan janji itu jelas disebabkan oleh Lani. Aku sangat kecewa. Jelas terlihat gadis itu hanya ingin memanfaatkan Bintang atau mencari perhatian saja. Keinginannya selalu berubah-ubah sesuai mood dan Bintang dengan sabar selalu meladeninya.

Aku yang sudah muak dan ingin mencari tempat latihan dengan fasilitas lebih lengkap, akhirnya pindah. Bintang tetap di sana, dan aku yakin Lani pun masih berusaha meningkatkan kemampuannya yang tidak seberapa itu.

Lalu, sesuai dugaanku, kabar mereka berpacaran pun sampai ke telingaku. Namun, aku sudah tidak peduli lagi. Aku telah menjalani dan menikmati waktuku dengan baik. Seperti yang Bintang katakan, aku tidak membutuhkan bantuannya. Berbagai penghargaan dan medali telah kuraih dengan usahaku sendiri.

Kabar yang kudengar berikutnya adalah kabar buruk. Sama buruknya dengan melihat Bintang terpuruk. Kabar Lani jatuh dan meninggal saat mendaki gunung bersama kelompoknya, membuat Bintang terpukul. Ia merasa bersalah karena saat itu tidak bisa menemani kekasihnya. 

Aku membuang napas panjang sambil memutar mobil ke area perkampungan yang sudah kukenal. Berhenti di ujung jalan sempit lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati beberapa gang.

Tempat latihan itu tidak berubah sejak aku meninggalkannya. Yang berubah hanya anak-anak yang dulu tinggal dan berlatih di sana telah dewasa. Sebagian dari mereka sudah pindah atau bekerja di tempat lain. Sebagai gantinya, ada anak-anak yang lebih muda berlatih di sana.

Aku bergegas menaiki tangga menuju kamar Bintang di lantai atas dan menemukannya sedang duduk menatap jendela yang terbuka. Senyumku mengembang saat memanggil namanya, “Bintang!”

Kupikir, Bintang akan senang melihatku. Melihat Bulan yang sudah lama tidak menemuinya. Padahal bulan dan bintang selalu bersama-sama menghiasi langit malam. Seharusnya Bintang menyambutku dengan gembira dan penuh kerinduan. Namun, tatapan Bintang begitu dingin dan menusuk.

“Mau apa kamu ke sini? Bukankah kamu sudah hidup nyaman di sana?” tanya Bintang ketus saat aku mendekat. 

“Aku kangen kamu, Bin. Kita sudah lama nggak ketemu. Masa kamu nggak kangen sama teman masa kecilmu? Kita bersama-sama cukup lama lho,” kataku merajuk.

Bintang mendengkus.

“Oh, ya, Bin. Aku punya sesuatu buat kamu.” Aku mendekat dan mengarahkan layar ponselku padanya. Foto dan rekaman yang tadi aku ambil di puncak Gunung Bromo terpampang di depan mata Bintang.

“Apa itu? Apa maksudmu dengan semua ini?” Nada ketus itu masih ditujukan padaku.

“Aku ingat, kamu dan Lani pernah berjanji ingin melihat matahati terbit di Gunung Bromo. Sayangnya, Lani sudah pergi sebelum sempat melakukannya. Jadi, aku menggantikan kalian ke sana. Kamu lihat tulisan ini? Ada namamu dan Lani. Ini adalah doaku untuk kalian yang tidak bisa ke sana.” 

Aku yakin Bintang bisa melihat dengan jelas tulisan itu. “Selamat pagi, Bintang dan Lani! Semoga kalian bahagia! Dari Bulan yang selalu setia pada Bintang.”

Bintang menatapku sinis. “Kenapa kamu melakukannya? Kenapa kamu tidak menolongnya, Bulan?”

Suara Bintang yang semakin keras membuatku terkejut. “Apa maksudmu, Bin? Menolong apa? Siapa yang kutolong?” tanyaku bingung.

“Aku tahu, Lani pergi denganmu. Kalian satu tim. Kamu yang mengajaknya ke sana. Kamu tahu, sebelum pergi, Lani bercerita dengan gembira karena kamu mulai bersikap lunak padanya. Dia sangat senang kamu mengajaknya mendaki gunung. Tapi, kenapa kamu malah membunuhnya?!” Bintang menjerit.

Aku tertegun. Dari mana Bintang mengetahuinya? Aku memang mengajak Lani mendaki gunung dan masih kuingat jelas senyum semringah gadis manja itu. Hanya saja, semuanya berubah ketika dia mulai bersikap menyebalkan.

“Kamu suka Bintang, ‘kan? Sayangnya, Bintang memilihku. Kenal lebih dulu, lebih lama, bukan berarti bisa memilikinya. Kasihan sekali.” Begitu ucapan Lani saat hanya ada kami berdua. Rombongan lain masih berada di bawah kami.

Hatiku sakit. Darahku mendidih. Ingin rasanya aku menampar mulutnya yang tidak tahu aturan, tetapi aku menahan diri. Dia milik Bintang, aku harus menghormatinya.

Pemikiran itu senantiasa kusimpan dan kutanamkan dalam hati sampai pada suatu waktu, Lani tidak sengaja terperosok. Dia berteriak memanggilku, meminta pertolongan. Dengan wajah memelas, tangannya berusaha menggapai kakiku yang berdiri di sana.

Aku bisa saja menolongnya, menariknya ke atas. Namun, aku tidak melakukannya. Aku bergeming dengan ekspresi datar, menatap wajahnya yang mulai menangis. Sayangnya, sampai tubuhnya meluncur jatuh dari ketinggian, kata maaf tidak pernah terucap dari bibir Lani.

Bintang tidak pernah mengetahui kebenaran itu. Matanya sudah buta oleh cinta. Hatinya sudah beku karena kehilangan kekasih. Percuma menjelaskan padanya, karena Bintang tidak akan bisa memahami perasaanku. 

Aku keluar dari kamar Bintang, bersandar pada dindingnya sejenak. Dadaku sesak dan wajahku mulai basah karena air mata. Semua yang kulakukan memang sia-sia. Harapanku sirna karena keputusasaan. 

Ketika aku melangkah pergi, terdengar suara kursi terjatuh. Bintang sudah mengambil keputusan. Bukan hakku melarangnya. (SELESAI)

-

-

-

-

-

Catatan: cerpen ini terpilih menjadi 20 terbaik dalam lomba menulis cerpen di suatu platform pada bulan Desember 2022 dan sudah dibukukan. Tulisan di sini mengalami sedikit perubahan/revisi tanpa mengubah alur.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Kalau sudah bucin AKUT tingkat SEPUH, susah dinasehatin. Btw, Tahniah Kakak untuk cerpen yang terpilih, termasuk kakak punya.. Sukses dan sihat selalu, Kak. Semangat!!
❤️❤️❤️
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Broken Promise
Lirin Kartini
Novel
Bintang & Bulan
Agung Gumara
Novel
Bronze
Seribu Surga Untuk Ibu
Esti Farida
Novel
Gold
Jokowi, Sangkuni, Machiavelli
Mizan Publishing
Flash
Kisah Kucing Jalanan
Dava Satya
Novel
Bronze
Secret Self
Tiffany Gouw
Skrip Film
Ice Princess
Jesslyn Kei
Novel
Bronze
Gerbang Kenang
Panji Yogasara
Novel
Bronze
Pohon Imajinasi
Janeeta Mz
Novel
Gold
Perjalanan Rasa
Bentang Pustaka
Skrip Film
Live Again
Donny Sixx
Novel
Bronze
Zona Nyaman
kayla sasi kirana
Cerpen
Terlalu Bodoh Untuk Jadi Kenyataan
Kosong/Satu
Novel
Bronze
Gerimis di Musim Kemarau
Syamsul arif
Novel
Gold
3 Little Angels
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Broken Promise
Lirin Kartini
Novel
Rumah untuk Pulang
Lirin Kartini
Flash
Bronze
Mas Gaje
Lirin Kartini
Novel
Kesempatan Hidup (lagi)
Lirin Kartini
Novel
Bronze
Me and The Sisters
Lirin Kartini
Flash
Sebingkai Foto
Lirin Kartini
Flash
Bronze
Luka Gores
Lirin Kartini
Novel
Di Antara Bintang Di Langit
Lirin Kartini
Novel
When I Meet You Again
Lirin Kartini
Novel
Tetangga Lima Langkah
Lirin Kartini
Komik
Bronze
ME TO YOU
Lirin Kartini
Novel
Dear Random
Lirin Kartini
Cerpen
Bronze
INJURY TIME
Lirin Kartini
Novel
Bronze
KALA ITU
Lirin Kartini
Flash
Bronze
Hujan
Lirin Kartini