Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Liat! Euwh! Ada lesbi menjijikan!"
Serta gunjingan lainnya, terus diluapkan dan tertuju pada perempuan culun. Kabar menyebar, kalau si perempuan itu akrab lebih dari sekadar pertemanan dengan perempuan gagu, tetapi misterius.
Di awal, terlihat sebagai penolong dan pembela si perempuan culun bila habis dibully. Lambat laun, ada kelakuan tak biasa, dan anehnya si perempuan culun menerima.
"Ng-nggak! A-aku nggak lesbi!"
"Kalo lo nggak lesbi, tapi kelakuan lo ama si bisu kerekam loh! Lo lupa atau emang bego sih? Kalo sekolah yang lo jadikan buat cari ilmu itu internasional?"
Si perempuan culun, berusaha membela diri tetap saja kalah. Karena, yang menggunjing dan asal menyimpulkan soal dirinya begitu banyak, dan dirinya sendiri.
"Oh iya, lo kan cuma anak beasiswa makanya, nggak cocok sama pemikirannya. Lo beasiswa harusnya pinter dong? Atau jangan-jangan lo ngemis, karena nggak bisa nyogok, eh akhirnya dibolehin. Eh abis itu, manfaatin si cewek gagu. Oh tumben banget, cewek gagu nggak keliat lagi? Jangan-jangan udah tau kebusukan lo ya? Ditambah lo kan ... lesbi?"
Si perempuan culun menahan rasa malu, perlahan cemoohan terhadapnya semakin banyak. Bahkan, pihak sekolah mulai ikutan menganggapnya lesbi. Kenyataannya, tidak sama sekali!
Dirinya terlalu lemah, dan terbawah di mata mereka.
"Kau memalukan! Ibu capek-capek usaha tanpa nyogok atau apapun! Kenapa juga kau dianggap begitu hah!"
"B-bu a-ak—"
"Kenapa juga kau harus jalin hubungan kotor begitu hah!"
"Enggak, Bu! Aku normal! Menyukai laki-laki!" Si perempuan culun, bingung mau menjelaskan apa lagi.
"Lalu hasil rekaman yang pihak sekolah tampilkan itu apa, hah!"
"A-aku ...."
Sang ibu pergi, mulai menatap jijik ke arahnya. Namun, masih beruntung si perempuan culun tidak diusir. Tetapi, memutuskan pergi untuk menenangkan diri sejenak.
Tak disangka, yang menjadi faktor permasalahan muncul. Kesannya santai sekali, seolah memang tidak peduli.
"Perhatian kakak, bikin orang lain menganggap kita lesbi." Di satu sisi, dirinya juga merasa gusar sendiri. Yakin normal, entah kenapa perasaan menjijikan itu tumbuh, efek perhatian.
Si perempuan gagu, hanya melirik. Bagi perempuan culun, itu jawaban anggapan tidak peduli. Menyuruhnya untuk mengabaikan.
"Kakak nggak malu? Dianggap begitu? Kenapa kakak kaya pasrah aja? Atau ...."
Si perempuan culun mematung, ketika dibekap. Terlebih lagi, semakin kacau dan mulai jijik akan diri sendiri. Sorot mata si perempuan gagu, baginya begitu—hangat dan nyaman baginya.
"Aku normal, tapi kenapa perhatian kakak lebih sekali bagiku?" Si perempuan culun, semakin kacau. "Gara-gara kakak, aku ...."
Si perempuan gagu, memberikan kertas yang terlipat rapi. Berisi sesuatu hal yang mengejutkan.
"Kakak ka-kau ...."
Tanpa disadari, atau seolah si perempuan culun terhipnotis. Menurut saja, ketika si perempuan gagu mengajak pergi entah ke mana. Itu dalam waktu, sehari.
Semenjak saat itu, si perempuan culun mengabaikan cemoohan yang semakin parah, bahkan merembet terhadap sang ibu saking tidak percaya kalau dirinya menjadi lesbi.
Kenyataannya ....
"Jadi lo sungguhan lesbi?" Si cowok pembully, tidak habis pikir. "Lo tau nggak? Padahal gua pengen bisa care sama siswa lemah dari kalangan bawah, ditambah lo itu lumayan cakep. Tapi ya, gua jadi jijik!"
Si perempuan culun, hanya bungkam.
"Hee, pawang lesbinya muncul. Gua kira lo nggak bakal, nolongin lesbian kesayangan lo—eh?"
Si perempuan gagu, melirik dan sorot matanya itu semakin datar.
"Lo gagu! Malah belagu lagi! O iya, lo cewek gagu kaya lo itu lumayan juga, tapi kenapa lo malah les—"
Serangan tidak terduga, dari si perempuan gagu. Berupa bogeman kasar, brutal, dan cepat. Membuat si cowok pembully, dikenal ketampanannya di sekolah tidak berkutik—sulit mendapat perlawanan.
"Gagu sialan!" Si cowok pembully, tidak peduli kalau yang dilawannya saat ini adalah perempuan. "Lo be—"
Sayangnya, si cowok kembali tersungkur hingga terbatuk darah. Anehnya, memperlihatkan seringai.
"Cewek gagu kaya lo, hebat juga, sayangnya ...."
"Kakak!"
"Lo kenapa diem? Padahal lo tadi bisa brutal nyerang gua, demi bela lesbian lo—eh?"
Si perempuan gagu, masih bergeming. Kenyataannya, habis terkena hantaman kasar dari bangku kantin. Semua orang di sekolah, yang jijik terhadap lesbi atau apapun, dalam sekejap ditambah aturan untuk—melenyapkan penyakit seperti mereka.
Darah mengucur, tetapi tetap tidak dipedulikan. Namun, ada hal mengejutkan.
"Lo ...."
"Gua lesbi?" Si perempuan gagu, kenyataannya tidak gagu, juga bukan wanita sebenarnya. Buktinya, santai mencepol surainya yang panjang, kemudian melepas atribut—seragam perempuan yang dikenakannya, yap sobek efek berantem ditambah kotor oleh darah. "Itu menurut cowok bego kayak lo ya. Katanya, sekolah internasional dan pinter semua. Tapi, lo bego banget. Bahkan, lo harusnya yang dianggap penyakit karena suka sama gua—eh?"
Si cowok pembully, ah bahkan semuanya. Bertepatan dengan satu guru melintas. Syok.
"Kau sebenarnya laki-laki? Lalu kenapa kau ...."
Si perempuan gagu—kenyataannya laki-laki tulen dan maskulin, buktinya biasa saja kebohongan dalam penampilannya terbongkar. Rambut aslinya yang panjang, kini diikat cepol, dan luka akibat hantaman kini sudah diobati.
"Bisa jelaskan! Oh iya, orang tuamu udah dipanggil, tapi bapak mau kau jelasin intinya!"
Si perempuan gagu—cowok tulen, hanya melirik kemudian mendengkus. Bahkan, meregangkan otot sejenak dan duduk santai, di salah satu kursi di ruang yang disediakan bila ada tamu penting.
"Ada apa ini? Kenapa putri saya bermasalah?"
"Begini—eh sebentar! Kenapa anda ...." Kepsek melirik ke arah perempuan gagu kenyataannya lelaki tulen dan maskulin, hanya diam. "Anak anda itu laki-laki, tapi ...."
"Anak saya itu perempuan, liat bukan." Sang ibu menarik si anak agar berdiri di dekatnya. "Regina, kenapa kau berkelahi sih? Jadi luka kan?"
Si anak hanya diam.
"Kenapa rambutmu dicepol? Padahal kan lebih cantik kalo diurai. Duh! Kau harus diobati dengan benar! Ini bahaya!"
Si cowok pembully, bahkan semua guru menatap tidak percaya. Melirik ke arah sang ayah, hanya bungkam seolah tutup mata.
"Kau itu laki-laki, harusnya nggak boleh kasar sama cewek!"
"Tapi anak lo ini cowok! Lo bego kah!" Si cowok pembully, kelepasan berkata kasar, efek emosi dan terkejut dengan hal gila.
Hal gila, di mana anak laki-laki dianggap—disuruh menjadi perempuan. Itu tanpa mengubah gender.
"Regina itu perempuan! Anak saya itu perem—"
"Mah, aku nggak apa. Cuma luka kecil, jadi nggak perlu nuntut atau apapun."
Meskipun sudah terbongkar, kenyataannya lelaki tulen dan maskulin. Tetap, berpenampilan perempuan dan gagu kembali—membisukan diri guna menyembunyikan suaranya yang aslinya sebagai lelaki sejati.
"Kakak, makin bermasalah kah?" Si perempuan culun, sebenarnya terkejut di setelah lebih dulu mengetahui kebenaran.
"Nggak, karena dibongkar itu sama aja, orang tua gua tutup mata—eh?" Berbicara sejenak, setelah membisukan diri lagi. Seketika melirik ke arah si cowok pembully, melintas.
"Orang tua lo gila! Atau jangan-jangan lo ikutan gila, sampe nurut banget—eh?"
"Lo bilang gitu, kesannya kaya kecewa. kenyataannya gua itu cowok ya? Lo bilang lo sempet suka sama gua kan? Artinya, lo yang penyakit dan harus dilenyapin!"
Si cowok pembully berdecih.
"Nggak enak kan lo, dibilang begitu. Terus ditatap jijik?" Kini berdiri di hadapan langsung. "Sekali lagi lo lakuin, gua bakal lebih dari yang waktu itu loh."
Sebulan setelahnya, si perempuan gagu menampakan jati diri asli. Buktinya, berpenampilan maskulin dan semakin tertutup, hanya akan beraksi bila terusik.
"Kakak bisa membantah dan ...."
"Kabur."
Si perempuan culun, menatap tidak percaya. Walau itu hal terbaik, tetap saja paham. Kalau lelaki yang selama ini dipaksa menjadi perempuan. Sangat berharap, orang tua menatapnya sebagai Regan bukan Regina.
"Sakit tak berdarah, tapi ya? Lama-lama muak. Lima tahun dipaksa menjadi Regina, seolah mereka memang memiliki anak tunggal aja. Sosok Regan dilupakan."
Si perempuan culun, hanya bisa memberi usapan penenang. "Luapin semua, jangan dipendam sendiri lagi kak."
"Makanya, gua lebih milih kabur dan berseteru. Mengatakan kalo Regina sudah meninggal, dan gua Regan bukan Regina. Bahkan gua udah spontan berteriak kasar pada mereka, kalo anak mereka itu dua! Walau akhirnya sama aja."
Si perempuan bungkam.
"Nggak usah nanya itu lagi, hidup gua udah kembali walau tanpa orang tua. Bukan ditinggal mati, melainkan gua melepaskan diri dari kegilaan yang mereka lakuin terhadap gua selama lima tahun."