Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Boulevard
0
Suka
3,959
Dibaca

“Benar ini yang kamu mau?” tanya Renna, di jalan yang masih hening dengan pejalan kaki, mobil lalu-lalang, dan cinta yang tak kunjung sampai dalam pelukannya; mereka teralu nihil dalam memperhatikan apa yang ada di sekitar mereka, bahkan tangisan wanita yang tak ingin melepas laki-lakinya, bersama genggaman panas penuh keterlukaan kala dia begitu berharap untuk dikehendaki pergi. Wanita itu semakin deras berderai air mata, banjir akan kesedihan yang melaratkan jiwanya dalam kenestapaan, bilamana tatapan yang tergenang dengan pengharapan tersebut kian disadari pupus, lantaran tak mungkin dikabulkan; laki-laki itu tidak bisa tinggal, dan tampak sangat acuh, sekalipun memaksa dirinya lepas dengan kekuatan yang mengilhami dirinya oleh kejahatan. Bagi si Wanita, laki-laki di dapannya kini jahat, dia bagai setan yang tak berhati, setelah sempat mendekap tangan yang menahannya selama beberapa detik, seolah mengatakan dengan teramat dalam dan pasti bahwa dia juga ingin dipertahankan; ia tetap berusaha mendorong serta melepaskan genggaman si wanita itu secara kasar. Jangankan mencoba memeluk untuk menenangkannya, wajahnya yang kuyu akan kesedihan tersebut pun tak jua di usapnya agar tampak lebih baik. Sebenarnya apa yang harus dinanti dari laki-laki yang tidak perduli? Namun wanita mengulang kesakitan seakan-akan itu adalah kesenangan baginya.

Sesering apapun dirinya menderita, wanita itu tidak pernah menyerah untuk kembali. Sekalipun telah remuk seluruh dirinya setelah perlakuan begitu tercela tersebut, Renna yang merupakan nama dari wanita penuh keprihatinan ini, akan selalu meraih tangan Benni, si laki-laki kejam dihadapannya; dengan nikmat dan kasih sayang tiada tara, meski telah gemetaran hebat dirinya akan diguncang kehilangan yang sama, sebab ia sendiri pun merasa awas bahwa akan diremukannya sekali lagi. Benni bukanlah pria jahat, tapi dia juga tidak baik. Dia tidak pernah kasar, bahkan terlampau perhatian. Bercandanya pun manis, dan segala tentangnya melekat dalam hati Rena. Tapi apapun yang pernah Benni persembahkan, hanya sekedar bercanda, termasuk ungkapan cinta penuh pilu di tengah gerimis bulan lalu, di mana segalanya tampak indah, pasti dan tepat meski tidak dengan manusianya.

Benni selalu menganggap Renna sebagai saudara yang budiman; seorang wanita baik yang tidak layak disakiti, teman sepermainan yang sangat sempurna dalam memahaminya. Padahal sangat jelas sekali pernyataan tersirat tersebut, karena tidak ada orang yang lebih memahami laki-laki ketimbang wanita yang tengah jatuh cinta; itulah kenyamanan yang akan hilang sebentar lagi. Benni akhirnya menjadi orang yang paling menghancurkan Renna, sebab sudah memilihkan laki-laki lain sebagai pengganti diriya.

Apakah orang pernah tahu, bahwa hal yang paling dibenci Renna adalah pura-pura tertawa di saat setengah mati dia menahan sakit hati ketika Benni mengatakan, “Tidakkah Rendra sangat sempurna untukmu?”, lantas Rena mencoba tersenyum manis seperti yang biasa dia lakukan; mengangguk dengan kesempurnaan yang telah dijelaskan Benni tentang Rendra. Renna pun mengakui, bahwa Rendra memperlakukannya dengan sempurna daripada yang Benni lakukan, hanya saja hatinya terlanjur memilih dirinya sebagai satu-satunya kesayangan.

Suatu ketika Rendra berbicara pada Renna dengan harapan yang menghangatkan, dan diri wanita ini pun luluh bagaikan lilin yang terbakar habis, baik oleh amarah atau kebaikan. Api itu terlampau panas untuk digenggamnya sendiri, sampai dia sendir hancur dibuatnya. “Mau menikah denganku?” rangkaian kata ini yang paling diinginkan Renna, namun bukan Benni yang mengungkapkan. Maka pada detik itu, jiwa wanita itu telah benar-benar habis. Dirinya mengangguk sebagai bentuk persetujuan bagi cangkang kosong yang berharap diisi kembali.

Kabar pernikahan tentu saja menggembirakan, sayangnya tidak bagi Benni. Hati laki-laki yang katanya dingin tersebut, namun selalu leleh pada sosok Renna, sama terbakarnya dengan semangat dari pernikahan itu. Dia berteriak girang, lebih girang dari pada pengantinnya. Benni lah yang paling banyak tertawa, di kala beberapa kawan menangisi sahabatnya yang akan memasuki kehidupan baru yang tidak lebih dari sumur tanpa dasar, di mana dirimu akan semakin tenggelam dalam kegelapan jika tidak memiliki pegangan teguh pada permukaan yang hangat.

“Syukurlah Renna, akhirnya temanku tercinta ini menikah.” ujarnya, dalam keramaian yang disebut perayaan sakral; sumpah setia itu sudah diucapkan mereka dengan Tuhan sebagai saksinya; sehingga tidak mungkin dipisahkan selain maut yang memisahkan.

“Kerdilnya kau, Ben,” jawab Renna, menahan gemetar hebat karena mencoba memasukan kembali air mata dalam cangkangnya. Ia bertekad untuk tidak akan menangis selain oleh kebahagiaan; apalagi oleh pria yang memeluknya saat itu.

“Apa-apaan kata-katamu itu.”

“Kali ini, aku bisa meledekmu sepuasnya, jomblowan pesakitan!” tonjok Renna pada dada si Laki-laki dengan lemah yang tidak terasa apapun selain getaran sakit yang menggetirkan. Benni merasakan, bahwa ada pilu yang tumbuh di jiwanya. Ada ego yang entah sejak kapan menjadi besar, sehingga tidak terima dengan pernikahan yang sebelumnya disangka sebagai hal paling ditunggu-tunggu olehnya; paling hebat yang bisa dia bayangkan. Bahkan, mungkin dia sendirilah yang mewujudkan pernikahan tersebut.

Rendra adalah teman Benni; seorang kawan karib yang selalu mendengar sanjungan Benni akan Renna bahwa wanita itu adalah sempurna, maka dia pun merasa seolah mengenalnya kendati keduanya tidaklah pernah bertatap muka. Rendra jatuh cinta pada suara yang tidak pernah didengarnya, tapi bisa terasa akrap karena Benni selalu lihai dalam menggambarkan Renna; maka tidak dipungkiri lagi bahwa Rendra tahu sudah sejak lama pula cinta telah tumbuh dalam 2 insan tersebut. Hanya saja, Rendra sengaja menutupnya, dan mengungkap bahwa cintanya lebih hebat. Akhirnya dia memiliki Renna dengan seluruh kepemilihkan raganya, tapi tidak dengan hatinya.

Pada hari pernikahan itu, tatapan yang hangat dari keduanya terjalin sangat dalam, terlampau dalam malah. Rendra satu-satunya yang tahu akan itu, mencoba memisahkan mereka. Tapi bisikan yang tidak disengaja menyentuh telinga Renna, bahwa Benni merasakan cinta yang sama padanya. "Andaikan saja aku yang menikah denganmu?" Lantas Benni berpaling, menjauhi takdir yang berat untuk diterima dengan lapang dada. Kesalahan laki-laki ini hanya satu, bahwa tidak punya kesanggupan dalam memiliki cinta secara utuh tanpa menyakitinya.

Lantas pada hari ini, keduanya dipersatukan dalam Boulevard yang dikerumuni dengan senyawa yang tidak akan saling menyatu dengan mereka, meski dipaksa oleh air mata. Bahwa takdir sudah memutuskan ikatan dalam senyawa tersebut karena sejatinya hanya akan meniadakan keberadaan keduanya.

“Lepaskan aku, Renna.”

Benni berteriak, pada detik itu juga seluruh manusia mengerubuni mereka dengan rasa ingin tahu yang menyelidik dan menusuk hebat. Tapi mereka segera beralih lagi, seakan yang mengejudkan tadi tidak pernah terjadi, karena memang begitulah manusia yang dirinya sendiri sibuk akan hidup mereka, bagaimana dia punya waktu untuk memperhatikan hidup manusia lain?

Renna masih menggenggam lenggan Benni dengan kuat, sekalipun sentakan kecil akan mendorong dan melepaskan jeratan itu; sayangnya laki-laki ini tidak akan menyakiti Renna dengan jelas, selain dari kata-katanya yang sebagian tidak dimaksudkan untuk itu.

“Tidakkah kamu merasa bersalah pada Rendra, dia dan dirimu adalah teman terbaikku. Kalian adalah pasangan paling hebat.”

“Benar Ben, kami pasangan paling hebat yang sudah kamu ciptakan. Rendra sangat sempurna, itulah kebaikan paling besar yang sudah kamu lakukan kepadaku karena telah mengenalkannya. Tapi aku ... “

Renna tidak pernah bisa melanjutkannya. Kata-kata seperti aku mencintaimu adalah tabu bagi Benni karena sudah kehilangan banyak cinta. Sementara dirinya sendirilah yang melepaskan cinta itu dari genggamannya.

"Aku juga,” balasnya. Benni sudah tahu apa yang akan diucapkan Renna, dia tidak sebodoh itu tidak menyadari hal besar ini. Sesempurna apa Renna menyembunyikan cinta yang mengkerdilkannya, Benni akan selalu melihat, sebab mata yang berbinar dari wanita itu hanya mengarah kepadanya. Benni tahu sejak awal, bahkan lebih dulu tahu dibanding Renna sendiri, bahwa suatu hari akan ada jerat yang tidak bisa melepaskan mereka satu-sama lain. “Tapi Rendra lebih baik daripada aku.”

“Bagaimana bisa ... Bagaimana bisa kamu yang memutuskan hidupku, dasar brengsek?”

“Breng?” jawab Benni terbata-bata. “Dari mana kamu belajar caranya mengumpat?”

“Darimu! Dari mulutmu yang busuk.”

“Renna?”

“Kamu tahu Ben, Rendra memang lebih baik daripadamu. Dia sempurna, berbeda dengan laki-laki yang sengaja menyakitiku dengan menjodohkanku dengannya, sementara dirinya tahu aku pasti akan hancur sebab cuma kamu yang aku mau. Tapi, kamu tidak salah, aku lah yang sudah salah jatuh cinta.”

Kali ini, tangan itu terlepas darinya. Air mata yang sebelumnya berderai seketika menguap, kelembekan dan kelemahan mengubahnya menjadi ketegasan yang kuat. Dia berbalik arah, meninggalkan Benni hanya dengan sepuluh langkah saja, karena lebih dari itu dia tidak akan menoleh lagi. Maka pada langkah ke sebelas, saat Renna tahu bahwa dirinya tidak ditahan, dia menoleh dan mengucapkan; Tidak ada yang lebih baik dalam mencintaimu ketimbang aku.

Setelah perpisahan di Boulevard sore itu, tidak ada yang tahu ke mana Benni pergi, ia tidak hanya melepaskan cintanya, melainkan melepaskan kawan-kawannya, sekaligus tempat yang berbagi udara dengan Renna, sampai suatu hari Renna membaca spam yang ada di kotak masuk pesannya. Dia berpikir itu adalah kata-kata cinta Benni, namun ternyata tidak, bahwa Rendra lah yang mengirimkan itu jauh sebelum pernikahan mereka.

Untuk teman Benni, yang sudah menjadi temanku bahkan cinta bagiku. Aku teramat menyukaimu dari cara kawanku bercerita tentangmu, di matanya kamu sangat istimewa, dan dalam bayanganku kamu jauh lebih hebat dari itu. Saat melihatmu, aku merasa sudah menemukan segalanya yang kubutuhkan yakni kamu.

Pesan itu berakhir dengan air mata yang membuka mata Renna; bahwa Rendra memang yang terbaik baginya. Dan Benni, bahkan sampai nafas terakhirnya, ia akan selalu menjadi orang yang telah melepaskan cintanya karena kepengecutan. Cinta itu sebenarnya apa?


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Boulevard
Dina prayudha
Novel
Please Call Me Lady
Ayuningsih
Novel
Bronze
NOSOCOME
Utep Sutiana
Novel
Bronze
Inikah CintaMu Tuhan? (Novelette Baru)
Imajinasiku
Novel
Bronze
Karena Kau Tampak Seperti Dia
Anisa Rahayu
Novel
Gold
THE VISUAL ART OF LOVE
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Our First Love Story
Kazehaya Shin
Novel
Bronze
Bismillah, Aku Ikhlas
Heaven Nur
Novel
When I Fall in Love
Fani Fujisaki
Novel
Gold
Athlas
Mizan Publishing
Novel
Heterochromia; Koplonya Hidup
Aprilia Ningsih
Flash
Rindu
Rin
Novel
Bronze
Limo Sekonco
Apresia Ardina
Novel
Bronze
Tak Mudah untuk Cinta
syafetri syam
Novel
Bronze
Rembulan di Ujung Penantian
Fitriyana
Rekomendasi
Cerpen
Boulevard
Dina prayudha
Cerpen
Pencuri Kerdil
Dina prayudha
Cerpen
Karung Beras
Dina prayudha
Cerpen
Bayi Ceropong
Dina prayudha
Cerpen
Kuku Rusmi
Dina prayudha
Cerpen
Bronze
Mengawini Surtijah
Dina prayudha
Cerpen
Sesi
Dina prayudha