Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Disclaimer: Saya tidak punya masalah dengan orientasi seksual seseorang. Bagi saya, apa pun orientasi seksual seseorang, itu adalah pilihan hidupnya serta merupakan hak pribadinya. Orientasi seksual juga merupakan privasi seseorang yang menurut saya tidak ada orang yang berhak mengganggu-gugat atau turut campur terhadapnya, termasuk saya. Tapi saya bermasalah dengan seseorang jika orientasi seksualnya, entah berorientasi sama dengan saya atau tidak, mengganggu orang lain bahkan menimbulkan masalah besar dalam kehidupan profesional. Bermasalah juga bagi saya ketika seseorang membuat orang lain yang memiliki orientasi seksual berbeda dengannya menjadi tidak nyaman karena seseorang itu memaksa orang lain melayani dahaga dan libidonya. Karena itulah kisah ini saya tulis.
Kisah ini dimulai saat terjadi pergantian pemimpin di sub-direktorat saya. Saya adalah pegawai BUMN berpangkat eselon satu. Dalam sepuluh tahun karir saya di BUMN, saya sudah mengalami setidaknya dua belas kali pergantian pimpinan. Karena itu, rotasi atau pergantian bos bagi saya sudah tidak aneh lagi. Sebanyak dua belas kali dalam sepuluh tahun itu saya sudah berpengalaman untuk beradaptasi, menyesuaikan ritme kerja, memahami karakter, maupun melakukan kalibrasi atas kelakuan dan adat dari bos yang baru. Sehingga pergantian pimpinan atau bos ini, sekali lagi, adalah hal yang biasa bagi saya.
Namun pergantian pimpinan kali ini menjadi tidak lagi biasa ketika si bos baru bukan lagi harus diadaptasi ritme kerjanya. Si Ageung, begitu saja kita sebut dia di sini, adalah orang yang perilakunya membuat orang lain tidak nyaman. Si Ageung membuat kinerja tim di bawahnya menjadi kacau balau karena perilakunya. Ia juga semakin lama semakin kehilangan respek dari timnya sendiri karena apa yang dilakukannya telah merusak tatanan organisasi.
Semua dimulai dari ditunjuknya Si Ageung sebagai kepala sub-direktorat kami yang baru. Kepala sub-direktorat kami yang lama adalah seorang munafik yang gemar bersolek. Pimpinan lamaku itu, sebut saja Si Lambe, merupakan orang yang selalu mencitrakan dirinya sebagai malaikat, taat beragama, santun, murah senyum, pokoknya orang baik banget. Tapi aku tahu siapa dirinya. Aku tahu apa yang dia lakukan di belakang, dan aku tahu bahwa semua hal yang ia tampilkan seolah dirinya adalah orang suci hanyalah topeng. Orang itu adalah bajingan yang akan menusuk orang lain dari belakang namun tersenyum manis di depan. Yang ia pentingkan hanyalah dirinya sendiri, karena itu ia tidak lebih dari seekor serigala berbulu domba. Sehingga dengan demikian, penunjukan Si Ageung seolah memberikan angin segar. Si munafik berbulu ahli ibadah akhirnya pergi. Semula aku bahagia, tanpa tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
Di hari Senin pertama Si Ageung bertugas, Si Lambe mengumpulkan semua pejabat eselon satu di bawah kepemimpinannya, termasuk aku. Kami melakukan kordinasi awal sekaligus serah terima jabatan antara Si Lambe dan Si Ageung. Siang harinya, Si Ageung bertemu dengan masing-masing pejabat eselon satu untuk diperkenalkan kepada para anggota tim yang berada di bawah setiap pejabat. Hingga saat itu belum ada hal aneh yang menjadi perhatian khusus. Yang dilakukan Si Ageung adalah hal yang biasa dilakukan oleh para pejabat baru, seperti halnya awal masa kepemimpinan bos baru yang telah dua belas kali kualami. Bahkan Si Ageung menunjukkan sikap simpatik karena ia nampak berbicara dengan penuh hormat dan respek kepada siapa pun, pejabat eselon berapa pun, bahkan terhadap orang yang tidak punya jabatan atau masih berpangkat sebagai staf. Saat itu aku berpikir bahwa ini adalah awalan yang baik dari kepemimpinan Si Ageung.
Hari-hari pertama rezimnya berkuasa, Si Ageung sibuk mengotak-atik organisasi sub-direktorat kami. Mungkin baginya organisasi hasil susunan Si Lambe tidak benar. Karena itu Si Ageung bermaksud mengatur ulang semuanya. Aku mendukungnya karena apa yang dilakukan Si Lambe memang tidak ada yang benar. Si Lambe hanya politikus murni yang tidak mengerti apa pun soal teknis sehingga apa yang dilakukan Si Ageung adalah hal yang penting untuk dikerjakan, terutama karena ia melakukannya sejak awal kepemimpinannya. Dengan demikian, Si Ageung bisa memperbaiki semuanya sedini mungkin.
Pekan kedua rezim Si Ageung, aku melihat Radit (salah satu stafku) berada di ruang kerja Si Ageung. Semula aku melihatnya sebagai hal yang wajar karena memang Si Ageung memanggil satu demi satu staf yang ada di sub-direktorat kami untuk mendengar cerita dari masing-masing orang. Jadi kupikir, saat itu Radit hanya sedang kebagian dipanggil. Namun aku mulai merasa ada yang tidak beres ketika beberapa hari kemudian Radit masih saja sering berada di ruangan Si Ageung. Aku pun menanyakan itu kepada atasan langsung Radit, sebut saja Dadan, tentang mengapa Radit begitu sering berada di ruangan Si Ageung. Dadan yang juga merupakan pejabat di bawahku, menjawab bahwa Radit sedang diminta menjadi asisten pribadi Si Ageung untuk memetakan organisasi sub-direktorat. Aku pun memaklumi dan bisa menerimanya. Mungkin selama ini Radit kurang terutilisasi. Radit kulihat kurang mendapat peran, padahal ia adalah alumni salah satu politeknik negeri ternama di Indonesia. Jadi, ketika itu aku mendukung inisiatif Si Ageung yang menjadikan Radit sebagai asisten pribadinya.
Di akhir pekan, aku menerima pesan Whatsapp (WA) dari Si Ageung. Ia menanyakan beberapa hal tentang proses bisnis organisasi maupun sejarah pembentukan sub-direktorat kami. Aku sebenarnya tidak suka diganggu di hari libur, termasuk di akhir pekan. Namun karena ia hanya meminta beberapa informasi, maka kulayani saja dengan menjawab semua yang aku bisa. Jika ia memintaku mengerjakan sesuatu di hari libur, baru aku akan menolaknya mentah-mentah. Dan ternyata memang ia hanya sebatas menanyakan hal-hal dasar mengenai sub-direktorat kami sehingga aku masih bersedia menanggapinya. Percakapanku melalui WA dengan Si Ageung usai sebelum tengah hari. Saat itu kupikir semua masih baik-baik saja. Hingga kemudian tibalah esok hari yang mengubah banyak hal.
Hari itu adalah hari Minggu. Matahari pagi bersinar cerah dan aku baru saja selesai melakukan olahraga rutin Minggu-ku, yaitu Yoga. Tanpa kusangka, Si Ageung kembali mengirimiku pesan WA. Isinya singkat, “Mas, aku mohon izin menjadikan mas Radit untuk bantu aku menyusun, memetakan, dan mengurus organisasi ya. Karena sepertinya pekerjaan kita banyak, jadi aku perlu asisten pribadi. Juga agar tidak terlalu merepotkan para eselon satu. Biar para eselon satu fokus dengan tupoksinya. Aku izin pakai mas Radit saja untuk bantu aku.”
Semula tidak ada yang aneh dari permintaan Si Ageung, terutama karena aku telah mendapat informasi sebelumnya dari Dadan. Sehingga dengan demikian, aku melihat bahwa semua baik-baik saja. Menurutku bagus juga Radit mendapat peran lebih karena selama delapan tahun karirnya, Radit nampak tidak berkembang. Karena itu, pesan WA dari Si Ageung langsung kujawab, “Oke Pak, silakan.”
“Siap, makasih Mas.” Begitu jawaban Si Ageung menutup percakapan kami.
Sebagai wujud aplikasi etika organisasi, aku harus memberitahu Dadan. Bagaimana pun Dadan adalah atasan langsung Radit yang tidak boleh kulangkahi walaupun itu merupakan wewenangku. Kuteruskan pesan dari Si Ageung lengkap dengan jawabanku kepada Dadan, sambil di bawah pesan tersebut kutambahkan keterangan yang intinya meminta Dadan menyampaikan pesan itu kepada Radit.
Di luar dugaanku, Dadan justru bereaksi dengan aneh. Ia membalas dengan, “Waduuuh, Paaaak. Gawat iniiiii!!!”
Aku yang membaca pesan balasan Dadan itu langsung kaget.
Ada apa ini, Pikirku.
“Kenapa emangnya?” kubalas pesan Dadan.
“Aduh aduuuh, gimana ya Pak. Susah ceritanya. Mungkin besok biar Radit sendiri yang menghadap Bapak, jadi Bapak bisa langsung dengar dari Radit.”
Jawaban Dadan yang sama sekali tidak menjawab pertanyaanku itu membuatku semakin penasaran. Aku tidak bisa dibegitukan. Jika kondisi seperti itu terjadi, aku akan terus didera rasa penasaran sepanjang hari hingga saatnya aku mendapat informasi sebenarnya. Aku tidak mau menunggu selama itu. Maka segera kubalas lagi pesan Dadan.
“Saya telpon kamu sekarang. Ceritakan semuanya.” Kataku membalas pesan Dadan.
Aku tidak peduli bahwa saat itu adalah hari Minggu pagi. Aku juga tidak peduli bahwa mungkin Dadan sedang berlibur bersama keluarganya. Salah sendiri ia membuatku penasaran seperti itu. Maka aku pun segera menekan tombol untuk menelepon Dadan. Setelah tiga kali berdering, suara Dadan pun terdengar di ujung sana.
“Cepat cerita, saya nggak mau ganggu libur kamu.” Perintahku.
“Aduh, gimana ya Pak, susah ceritanya…” Jawab Dadan.
“Udah cerita aja, biar saya nggak penasaran. Saya nggak mau nunggu sampai besok!”
“Duh, gini Pak, eh… gimana ya…”
“Gimana apanya?”
“Ada penyimpangan…”
Aku langsung terkesiap. Jawaban itu sama sekali tidak kuduga.
Penyimpangan?
Penyimpangan apa?
Aku mencoba menganalisis apa yang terjadi. Hal yang pertama kali muncul dalam benakku jika mendengar kata “Penyimpangan” adalah korupsi. Ya, mungkin Si Ageung menyalahgunakan jabatannya untuk menyelewengkan sejumlah uang. Memang di posisinya, ia sudah memiliki akses atas keuangan perusahaan. Mungkin saja itu yang ia lakukan, sebagaimana banyak dilakukan oleh para pejabat tinggi di sejumlah tempat.
“Penyimpangan apa? Korupsi?” tanyaku lagi kepada Dadan.
“Bukan Pak…” jawab Dadan.
Lho???
Kalau bukan korupsi, lalu apa???
Aku masih berpikir cukup keras. Namun pikiranku mulai mengerucut. Jika terjadi penyimpangan namun bukan terkait uang, maka bisa jadi penyimpangannya adalah…
“H**o?” tanyaku kepada Dadan.
“Iya Pak…” jawab Dadan.
Jawaban Dadan itu sebenarnya sudah kuduga setelah ia menyangkal penyimpangan terhadap uang. Tapi walaupun demikian, tetap saja itu membuatku syok. Betapa tidak, Si Ageung adalah orang yang cukup dihormati dan disegani di kantor. Ia juga merupakan seorang tokoh kepercayaan dari para direktur.
Bagaimana mungkin?
Bahkan setahuku, Si Ageung telah menikah dan memiliki anak. Jadi, informasi mengenai orientasi seksualnya adalah sebuah hal yang membutuhkan waktu bagiku untuk mencernanya dengan baik.
Saat itu aku tidak mampu lagi menerima informasi lebih banyak. Kuakhiri percakapan telepon dengan Dadan dengan kesimpulan bahwa kami akan memanggil Radit esok pagi untuk meminta keterangan langsung darinya.
Setelah kututup telepon dengan Dadan, segera kuhubungi istriku (saat itu statusnya masih calon istri) yang sedang berada di luar kota untuk mengunjungi bude-nya. Kuceritakan semuanya kepada dirinya dengan mata berkaca-kaca. Sungguh aku tidak pernah menyangka bahwa kasus seperti ini akan terjadi di lingkaran kerjaku. Aku syok, benar-benar syok. Aku juga sangat terguncang. Karena itu aku memerlukan dirinya, perempuan yang akan menjadi teman hidupku hingga akhir hayat nanti. Bercerita kepadanya membuatku lega. Setidaknya beban dari kenyataan yang baru saja kuterima sedikit berkurang. Meskipun semua itu tidak menutupi kenyataan bahwa atasan langsungku memiliki orientasi seksual yang menyimpang.
Sekali lagi kutegaskan bahwa aku tidak memiliki masalah dengan orientasi seksual seseorang. Aku menghargai orientasi seksual apa pun. Yang membuatku terguncang adalah kenyataan bahwa Si Ageung sudah berkeluarga, ia memiliki istri dan anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri.
Bagaimana perasaan istri dan anaknya?
Atau bisa jadi mereka belum mengetahui perilaku Si Ageung?
Bagaimana jika mereka nanti tahu?
Ah, semua pikiran itu membuat kepalaku menjadi berat. Aku memutuskan untuk melupakannya dan beristirahat sepanjang hari Minggu itu, sambil melakukan hal-hal yang aku sukai demi menjaga kewarasanku.
Esok paginya, sesuai kesepakatan, aku dan Dadan memanggil Radit ke ruangan kerjaku. Aku ingin mendengar langsung dari mulut orang yang menjadi sasaran Si Ageung. Dan ternyata memang benar, pagi itu Radit menceritakan semuanya.
Cerita Radit dimulai dengan saat pertama ia diminta menjadi asisten pribadi. Si Ageung memanggil Radit yang saat itu sedang berada di meja kerjanya. Radit diajak masuk ke ruangan Si Ageung dan diperintahkan untuk mengerjakan beberapa hal. Pada awalnya, pekerjaan yang diberikan kepada Radit masih merupakan tugas umum seperti mengolah data, menyeleksi orang, evaluasi prosedur, dan pekerjaan administrative lainnya.
Namun memang sejak awal intensitas pekerjaan yang diberikan kepada Radit sudah terlihat tidak wajar. Ketika jam pulang kantor tiba, Radit masih diperintahkan untuk tetap berada di ruang kerja Si Ageung. Hal itu berlangsung hingga berhari-hari lamanya. Radit selalu menjadi orang terakhir yang pulang dibandingkan semua orang di sub-direktorat kami. Aku tidak mengambil pusing atas hal itu pada awalnya. Ketika itu, aku masih menganggap bahwa tugas tambahan ini bagus untuk Radit dalam pengembangan dirinya.
Cerita berlanjut, Radit mulai merasakan hal aneh setelah hampir satu pekan bersama dengan Si Ageung. Pembicaraan yang dimulai oleh Si Ageung kepada Radit tidak lagi terkait dengan pekerjaan. Si Ageung mula-mula membahas tentang alat vital miliknya. Hal itu membuat Radit kaget sehingga ia tidak berkomentar. Tapi Si Ageung justru semakin bersemangat menceritakan tentang alat vital miliknya serta kegunaan alat itu. Radit semakin syok ketika Si Ageung menanyakan ukuran alat vital Radit.
Radit yang posisinya jauh lebih rendah dari Si Ageung tidak berani membantah atau protes atas perilaku bos besarnya itu. Hal tersebut membuat Si Ageung semakin tidak terkendali. Si Ageung menyalakan proyektor dan menunjukkan foto dirinya bersama para staf di tempat kerjanya yang lama. Si Ageung menunjuk beberapa pegawai pria di foto itu.
“Nih ya, si ini dan si ini,” kata Si Ageung sambil menunjuk pegawai-pegawai pria di fotonya. “Mereka belum nikah, tapi saya nggak terpanggil untuk make a move kepada mereka.”
“Tapi saya terpanggil untuk make a move kepada kamu.” Lanjut Si Ageung kepada Radit.
“Kamu punya indera keenam kan? Saya juga punya.” Si Ageung berkata lagi. “Makanya saya lihat kita adalah takdir.”
Radit menceritakan pada saat itu ia tidak bisa lagi berkata-kata.
Jelas ia tidak bisa berkata-kata. Aku saja yang mendengarkan cerita dan tidak mengalaminya secara langsung merasa tidak mampu berkomentar. Terlebih lagi, Si Ageung meminta Radit untuk memanggilnya “Mas”. Si Ageung sendiri mulai memanggil Radit dengan sebutan “Dik”.
Sampai di situ Radit bercerita di Senin pagi tersebut. Aku berjanji akan memikirkan solusinya, namun aku tidak bisa berjanji untuk menyelesaikan urusan ini. Pertama, Si Ageung adalah orang kuat. Ia tangan kanan direktur utama. Kedua, aku tidak tahu apakah aku bisa mencampuri urusan ini. Menurutku, yang bisa menyelesaikannya adalah Radit sendiri. Ia sebagai korban pelecehan seksual harus berani mengadukan dan mengangkat masalah ini kepada pihak berwajib. Kusebut ini sebagai pelecehan karena salah satu pihak, dalam hal ini Radit, tidak berkenan dengan perilaku Si Ageung sebagai pelaku pelecehan. Tapi aku dapat memahami jika Radit tidak memiliki keberanian untuk mengadukan hal ini.
Pertemuan pagi itu kububarkan. Semua kembali bekerja di bagian masing-masing. Tapi kuminta Radit melaporkan kepadaku setiap kali Si Ageung melakukan atau hendak berbuat pelecehan terhadap dirinya. Dan ternyata siangnya hal itu kembali terjadi.
Radit membagikan tangkapan layar pesan WA dari Si Ageung kepadanya. Pesan-pesan itu di antaranya menyuruh Radit untuk masuk ke ruangan Si Ageung lewat pintu belakang, sementara pintu utama ruangannya dibiarkan tertutup. Apa yang terjadi di dalam ruangan, entahlah, Radit tidak menceritakannya.
Sorenya, Radit membagikan kembali tangkapan layar pesan WA dari Si Ageung.
“Sudah pulang, Dik?” begitu bunyi pesan tersebut.
Esok harinya, Si Ageung terlihat sibuk. Tidak terlihat keberadaan Radit di ruangan Si Ageung. Semula aku sedikit lega karena mungkin saja prahara yang dialami Radit sudah berakhir. Bahkan Radit juga sempat berkata bahwa mungkin saja dirinya bersikap berlebihan dalam menerjemahkan kata-kata Si Ageung. Jadi aku pun sempat berpikir bahwa sebenarnya masalah itu tidak ada. Semua hanya hal yang ditanggapi dengan salah sangka oleh Radit.
Ternyata aku salah.
Di akhir hari kedua setelah ketenangan terjadi, kembali aku mendapatkan tangkapan layar pesan WA dari Si Ageung.
“Apa kabar Dik? Maaf dua hari ini Mas sibuk. Anak Mas juga sedang sakit, jadi konsentrasi Mas agak terpecah. Adik tidak marah kan?” begitu bunyi pesan Si Ageung.
Di bawahnya tedapat pesan balasan dari Radit, “Semoga lekas sembuh anaknya, Pak.”
Dadan yang juga mendapat kiriman tangkapan layar dari Radit langsung berkonsultasi kepadaku.
“Pak, ini sih kuncinya di Radit,” kata Dadan. “Kalau dia nggak nanggapin, mungkin Si Ageung akan berhenti.”
“Ya, saya setuju. Sekarang gimana caranya supaya Radit berani nolak.” Jawabku.
Setelah berbincang beberapa saat, Radit pun kami panggil. Kesimpulan perbincangan kami, Radit harus berhenti menanggapi Si Ageung. Jangan balas pesan WA yang tidak terkait dengan pekerjaan. Apa pun yang terjadi, setiap kali dipanggil ke ruangan, selalu bawa teman. Jangan sampai hanya berdua dengan Si Ageung.
Semula kupikir taktik ini berhasil. Namun ternyata tidak demikian. Si Ageung menelepon Radit pada hari Sabtu dan memintanya masuk kantor untuk membantu mengerjakan beberapa hal. Ini di luar dugaanku. Tidak kukira bahwa Si Ageung senekat itu.
Kuperintahkan Dadan untuk menginvestigasi ke tempat kerja Si Ageung yang lama untuk mengetahui apakah ia sudah berlaku demikian sejak dulu. Dan ternyata benar. Menurut Sahertian, mantan staf Si Ageung, orang ini memang sejak dulu menjadi predator. Ia mendekati dan memanggil pegawai pria yang disukainya. Bahkan lebih dari itu, di tempat lamanya, Si Ageung sudah sampai level memegang alat vital pegawai yang menjadi korbannya.
Solusi yang diambil di tempat lamanya adalah si korban meminta pindah tempat kerja. Dan celakanya, langkah itu juga yang diambil oleh Radit. Ia segera minta mutasi ke tempat lain. Hal ini membuatku pusing tujuh keliling. Perilaku Si Ageung membuat tim menjadi tidak harmonis. Dari cerita yang kudapatkan berdasarkan keterangan orang-orang di tempat lama Si Ageung, kusimpulkan bahwa Si Ageung selalu merealisasikan hasratnya kepada orang-orang yang disukainya. Dia suka kepada si A, dia kejar si A. Lalu suka ke si B, dia kejar lagi. Begitu seterusnya. Padahal normalnya orang harus melihat dulu apakah orang yang disukainya memberi sinyal balik menyukainya atau tidak, sehingga tidak menimbulkan ketidaknyamanan apalagi merusak organisasi.
Aku mencoba meredam Radit dengan memaksanya mengabaikan Si Ageung. Kukatakan bahwa ia harus berani menolak apa pun kontak dengan Si Ageung. Semua perintah Si Ageung harus ia kembalikan dan meminta hanya diperintah oleh Dadan sebagai atasan langsungnya.
Begitulah yang dilakukan Radit. Ia mengabaikan semua WA dari Si Ageung. Semua perintah yang disampaikan langsung oleh Si Ageung dikembalikan oleh Radit dan Si Ageung diminta memerintahkan melewati Dadan.
Untuk sementara langkah ini berhasil. Selain Si Ageung tidak berminat kepada Dadan, ia juga tidak ingin perilakunya ketahuan tentunya. Radit untuk sementara aman. Si Ageung tidak lagi mendekatinya. Radit pun (sepertinya) mengurungkan niat untuk meminta mutasi. Kusimpulkan demikian karena tidak ada lagi komunikasi dari Radit yang meminta dipindahkan ke tempat lain.
Walaupun memang benar bahwa Si Ageung telah berhenti mengejar Radit, ternyata itu bukan akhir dari perilakunya. Ternyata Si Ageung berhenti mengincar Radit karena ia sudah punya incaran baru. Namanya adalah Fadhil, salah satu staf di sub-direktorat kami.
Kepada Fadhil, Si Ageung berlaku sama dengan apa yang dilakukannya terhadap Radit. Bedanya, Fadhil menanggapi positif pergerakan Si Ageung. Setiap hari dari pagi hingga sore, Fadhil selalu berada di ruangan Si Ageung. Bahkan ketika Si Ageung melakukan rapat kordinasi bersama para pejabat eselon satunya (termasuk aku), di proyektor yang memancarkan layar komputer Si Ageung terlihat pop-up pesan dari Fadhil yang membalas pesan Si Ageung.
“Ke sini dong, Mas udah kangen.” Begitu bunyi pesan Si Ageung yang terbaca.
“Iya maaas, sebentar lagi aku ke situ.” Terlihat jawaban Fadhil di bawahnya.
Semula aku merasa hendak meninggalkan ruang rapat itu. Tapi setelah kukuasai diri, kuputuskan untuk membiarkannya saja. Aku mengingat prinsipku, bahwa orientasi seksual dan urusan asmara orang lain adalah ranah privasi mereka. Lagipula kali ini tidak ada lagi unsur pelecehan. Fadhil menerima Si Ageung dengan tangan terbuka. Entah mereka kini telah resmi menjadi sepasang kekasih atau bagaimana, aku tidak peduli. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Sepertinya masalah sudah selesai di sana. Si Ageung telah menemukan tambatan hatinya yang menerima dirinya apa adanya. Si Ageung dan Fadhil sepertinya sudah berbahagia. Kupikir semua telah kembali tenang. Suasana tim kembali kondusif dan kuminta semua yang mengetahui peristiwa kemarin itu untuk melupakannya. Timku setuju untuk tidak lagi mengungkit apa yang telah terjadi.
Semua kembali tenang hingga suatu hari salah seorang stafku yang bernama Harun datang ke ruanganku. Ia bercerita bahwa dirinya baru saja diajak berjalan kaki mengelilingi kawasan kantor kami oleh Si Ageung. Kantor kami memang luas dan terdapat sebuah sungai di tengah kawasannya.
Waktu sudah memasuki sore hari ketika Si Ageung mengajak Harun berjalan-jalan. Setiba di sungai yang memendarkan cahaya matahari senja, Si Ageung berkata kepada Harun.
“Run, kalau kamu suka sama cowok, bilang saja. Aku siap menerimamu.”
WADUUUUUUUUHHHHH!!!
TAMAT