Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Hahahah ... geli, Ayah! Hahaha ...." tawa kecil dari seorang anak perempuan berusia sekitar 5 tahunan tengah tertawa bersama lelaki yang tak lain adalah Hasan Ibadillah.
"Inilah hukumanmu, karena sudah buat ayah bahagia, Gabriel." Hasan terus mengelitik perut putrinya dengan kasih sayang yang terus mengalir lewat tangan sedikit kasarnya.
"Hahaha ... hentikan, Ayah. Aku sudah cape, hahaha ...," celoteh anak perempuan bernama Gabriel Maula Ibadillah atau sapaan familiernya Gabriel.
Hasan menghentikan aksinya sesuai dengan celotehan Gabriel, ia segera memangku anaknya dan melayangkan ke udara seperti pesawat dan mengecup kening Gabriel sampai Gabrie menampilkan senyum khasnya. "Ayah sudah menghentikannya," ucap Hasan.
"Masya Allah, lagi main yah? Pantesan ibu manggil-manggil kamu berapa kali buat mandi engga masuk-masuk ke kamar mandi padahal ibu udah nunggu lho!" omelan khas seorang ibu, dengan handuk disimpan di atas bahu. Maryam Ibadillah adalah nama ibu Gabriel, ia seorang ibu pekerja menjahit.
"Habisnya, Gabriel ganggu aku. Jadi, aku hukum dia sebentar," jelas Hasan kepada Maryam, istrinya.
"Ih, sini mandi. Nanti airnya keburu dingin," kata Maryam dengan tatapannya terfokuskan pada Gabriel yang digendong oleh Hasan.
"Gabriel, habis mandi kita jalan-jalan yah," tutur Hasan menurunkan Gabriel. "Pergilah mandi, jangan buat ibumu repot," sambungnya.
Gabriel segera berlari ke arah Maryam. Maryam pun menggendong Gabriel sembari mengecup pipinya. "Aduh! Bau surga memang tidak biasa."
"Benar,'kan? Aku wangi," kata Gabriel dalam gendongan Maryam.
"Iya, kamu sangat wangi," jawab Maryam.
Sekitar lima belas menit lamanya Maryam membersihkan tubuh mungul Gabriel dan Hasan menyiapkan makan sore yang tak biasa, tiga piring nasi dengan lauk yang berbeda. Dua piring berisi nasi basi dan taburan garam sebagai lauknya, sedangkan satu piringnya berisi nasi biasa dengan telur sebagai lauknya yang dikhususkan untuk Gabriel.
Aroma khas dari Gabriel tercium di panca indera Hasan. "Ah, aroma ini," gumam Hasan dan melihat Gabriel dengan tubuh di lilit handuk berjalan ke kamar yang tidak jauh dari ruang tengah.
Rumah sederhana seperti gubuk tidak menghalangi keluarga kecil Ibadillah memberikan kasih sayang lebih kepada Gabriel, lantai beralaskan semen yang terlihat sudah kotor dan dinding bertembokkan kayu terlihat sedikit lapuk, ah rumah itu tidak bisa dibayangkan.
Rasa ingin membahagiakan Gabriel dengan memberikan rumah layak, membuat Hasan bersedih. Karena, pekerjaan yang hanya menghasilkan uang untuk membeli beras dua liter.
"Ayah!" teriak Gabriel.
Kuping Hasan tuli karena pikirannya tertuju pada bentuk rumah gubuk ini, sampai ia tidak mendengar teriak khas Gabriel saat pertama kali lahir.
"Ayah!" tepuk Gabriel pada bahu sedikit lebar Hasan, dan menunjukkan wajah layaknya orang penuh syukur.
Hasan seketika tersadar, ia menoleh memperhatikan setiap inci wajah Gabriel yang sedikit mirip dengannya. Ia mengecup pipi Gabriel. "Oh, sudah selesai."
"Kenapa kamu, Mas?" tanya Maryam.
Hasan menoleh memandangi Maryam yang bertanya, ia menggeleng cepat dan tersenyum membuat Maryam sedikit heran.
"Ayo, kita makan!" seru Hasan diikuti Maryam duduk di sebelahnya.
Hasan memberikan piring yang berisi itu kepada Gabriel juga Maryam, ia tersenyum dan berkata, "makanlah, Nak."
Gabriel menerima nasi berisi telur itu, akan tetapi ia merasa heran saat melihat lauk milik Maryam dan Hasan yang hanya bertabur garam sebagai lauknya. "Kenapa Ayah dan Ibu engga pake telor?"
"Ah, ibu sudah bosan," jawab Maryam cepat dan berbohong.
"Kalau ayah sih lagi engga mau," jawab Hasan cepat juga setelah Maryam menjawab pertanyaan Gabriel.
Gabriel menggeleng. "Tidak boleh begitu, katanya kalau berbagi makanan nanti bakalan dapet rezeki yang banyak!" celoteh Gabriel sembari memotong telurnya menjadi empat dan diberikan masing-masing potongan telur itu kepada Hasan dan Maryam.
Hasan dan Maryam saling melempar pandangan kepada anaknya yang tumbuh dengan sangat baik, saling melempar senyuman dengan tulus, sampai Hasan memalingkan wajahnya kebelakang untuk menghapus air mata. Sedangkan, Maryam memperhatikan Hasan mengerti maksudnya.
"Ayo, makan!" seru Gabriel diikuti dua orang tuanya.
Sekitar tiga puluh menit, keluarga kecil Ibadillah menghabiskan makan sorenya. Ia akan pergi sesuai janji Hasan yakni akan pergi ke sawah untuk jalan-jalan.
Ditujuannya yakni sawah, udara angin sore terasa begitu sejuk dan damai. Menghipnotis panca indera penciuman untuk menikmati waktu sore, membuat keluarga Ibadillah merasakan sedikit tenang berkat angin sore itu.
Gabriel digendong di atas pundak Hasan, sedangkan Maryam berjalan membuntuti langkah keduanya. Senyum, tawa, kebahagiaan, kehangatan terasa di jiwa ketiganya. Suci dari dosa, jauh dari sifat serakah hal itulah membuat Gabriel tumbuh menjadi anak yang diidamkan.
"Ayah, kita nangkap belalang yuk! Buat nanti makan," ajak Gabriel dari atas pundak Hasan.
"Boleh, tapi tanya dulu sama ibumu. Apakah dia bawa botol?" tanya Hasan.
"Aku selalu membawa botol," jawab Maryam menunjukan botol bekasnya.
"Yey! Ayo tangkap belalang!" serunya.
Hasan menurunkan Gabriel membiarkan Gabriel bermain sesukanya di atas tanah sawah, sesekalinya menangkap belalang secara satu persatu botol pun terisi penuh. "Sudah penuh nih, kita pulang yuk!"
"Ayooo!" seru Gabriel.
Malam pun tiba, sinar rembulan memancarkan cahayanya. Menemani malam gelap bersama bintang, gubuk sederhana Hasan itu terlihat gelap hanya lenter yang menemani gelapnya malam sebagai pengganti lampu. Kamar dengan kasur sedikit berbusa, beralaskan kain sebagai selimutnya menemani keluarga Ibadillah yang tengah mendongeng.
Gabriel tidur di tengah, Hasan tidur berdekatan dengan pintu yang ditutup dengan gorden, sementara Maryam menceritakan kisah wanita hebat juga kisah-kisah hewan penuh hikmah. Lilin dengan minyak lah yang menjadi saksi atas hebatnya keluarga Ibadillah yang memilih hidup sederhana.
"Nah, sudah selesai. Ayo, tidur! Ayahmu sudah tidur," kata Maryam menepuk lembut pundak Gabriel agar tertidur.
Gabriel dengan mata ngantuk beratnya seketika terlelap dalam dekapan Maryam.
Wajah damai, bersih, dengan hidung mancung tergambar cantik. Itulah, ciri-ciri Gabriel yang begitu indah dipandang. Maryam menangis tak bersuara, rasa bersalah menakuti dirinya. Rasa ingin membahagiakan Gabriel membuat Maryam harus lebih berjuang lagi, ia melihat punggung Hasan bergetar hebat. Ia menyentuh pundak Hasan.
Tampaklah cairan bening Hasan membasahi wajah bersihnya, Maryam ikut merasakan kenestapaan yang dirasakan oleh Hasan.
"Maafkan aku," kata Hasan untuk pertama kalinya terlontar. "Aku belum bisa membahagiakanmu, Sayang."
Maryam mengambil nafas dalam. "Berhentilah mengucapkan itu, aku bahagia dengan sifat muliamu."
"Melihat Gabriel tumbuh menjadi anak sempurna, membuatku takut. Aku takut, aku ingin dia merasakan yang sebenarnya. Aku ingin, dia bahagia di tempat yang layaknya," ucap Hasan diiringi isak tangis.
Maryam menggeleng. "Tidak, aku tidak pernah mengatakan bahwa hidup seperti ini kurang. Aku tidak pernah, Sayang."
Kata demi kata terlontar untuk mengeluarkan sesak dada, hanya karena anaknya Gabriel yang hidup jauh dari kata layak. Dua insan itu saling mengerti, kini malam itu telah menjadi saksi atas kesabaran Maryam dan Hasan untuk hari ini.
Pamit untuk janji
Sinar matahari menerobos melalui celah kayu yang tertutup dengan gorden transparan, keluarga Ibadillah telah siap untuk berangkat kerja. Hasan pamit kepada Maryam dan mencium kening Gabriel.
"Kalau ayah pulang, Gabriel mau apa?" tanya Hasan sembari memasukan sepatu boots.
"Aku pengen boneka, Ayah," jawab Gabriel dengan memegang lengan kekar Hasan lembut.
Hasan mengangkat dua alisnya dan tersenyum. "Baiklah, ayah janji 3 hari lagi ayah akan belikan boneka, yah. Jadi, sabar dulu."
Gabriel mengangguk dan senyum girang. "Jangan yang besar yah, yang kecil juga engga apa-apa, Ayah."
Maryam mengelus kepala Gabriel, rambut halus dan sehat yang membuat Maryam merindukan waktu bayi Gabriel. "Jangan lupakan doanya, biar ayahmu sehat, Nak."
"Gabriel,'kan selalu doakan Ayah, Ibu," sahut Gabriel.
Maryam dan Hasan saling memandang keduanya dan tertawa kecil. Hasan berdiri dan pamit bekerja ke lapangan proyek, dan setelah punggung Hasan mulai menghilang muncullah beberapa orang anak seketika mengejek Gabriel.
"Rumah butut!" hina anak dengan bobot gendut.
Dan muncullah anak perempuan dengan membawa boneka berwarna kream. "Lihatlah aku punya boneka, kamu mah punyanya rumah butut!"
"Sut, ngak boleh gitu anak-anak!" teriak orang tua si gendut sembari tersenyum sinis melihat penampilan rumah hingga pakaian yang dikenakan oleh Maryam dan Gabriel.
"Ih, sekarang bukan zaman soekarno, masih aja betah tinggal di gubuk butut, lusuh lagi pakaiannya belum lagi sama anaknya wajah cantik baju bolong!" sinis orang tua si perempuan sembari menarik tangan anaknya meninggalkan Maryam dan Gabriel yang masih berdiri di ambang pintu.
Maryam mendengar cibiran itu hanya menutup mata dan mengambil nafas dalam, rasa sesak terus terasa hingga jantung. Ingin sekali mengumpalkan mulut mereka, ia melihat Gabriel yang memandangi dirinya tengah menahan rasa kecewa bercampur sabar membuat Maryam sadar bahwa belum waktunya untuk membesarkan masalah.
"Ibu ...," lirih Gabriel.
Maryam memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Tidak ada apa-apa, Nak. Orang lain mah lagi ngomongin rumah kita bagus," jelasnya.
Gabriel mengangguk. "Huk ... huk ... huk ...."
"Kamu batuk, Nak? Sini ibu kelonin, jadi ayo masuk ke dalam," kata Maryam.
"Gendong," rengek Gabriel.
Perjanjian Hasan
Hasan dengan muka cerianya terpancar indah di wajahnya. Rasa syukur yang tinggi membuat Hasan yakin, bahwa janji membelikan boneka untuk Gabriel terlaksana sudah.
Boneka dengan ukuran tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, berperawakan hewan beruang dengan tangan boneka memegang cinta bertuliskan 'I Love You' tertulis indah. Hasan membayar boneka itu dengan uang hasil kerja proyek setelah 3 hari menghabiskan waktunya hanya untuk memenuhi keinginan Gabriel, ia tak lupa membeli beberapa kebutuhan dan menyisihkan sebagian uangnya untuk jajan Gabriel nanti.
Kendaraan antar kota, di mana Hasan menaiki kendaraan itu. Tatapannya kosong entah apa yang dirasa, tangannya menyentuh jari secara berkeliling. Tasbih dengan jari sudah menjadi kebiasaannya untuk berdoa.
Mata Hasan tertuju pada seorang ibu dengan anaknya sibuk bermain pesawat terbang, ada perbincangan hangat dirasakan oleh dua orang itu. Ia menggambarkan senyum dan memperlihatkan lesung pipinya. 'Gabriel, tunggu ayah. Ayah, sudah membeli boneka sesuai keinginanmu,' batin Hasan.
Setelah memakan waktu kurang lebih dua jam lamanya, kampung kesayangan Hasan telah sampai. Ia turun dari bus itu dan segera pergi dengan rasa bahagianya, pundaknya menggendong tas berisi beberapa kebutuhan dan tangan kanannya memegang plastik berisi boneka beruang warna coklat muda.
Namun, Hasan merasa heran, seluruh warga kampung mengenakan pakaian berwarna hitam. Bisik-bisikan terdengar jelas di telinga Hasan.
"Kasian banget yah, mana bapaknya engga ada lagi," bisik tetangga pertama.
"Mana lagi pemenuhan gizinya engga seimbang," bisik tetangga kedua.
"Harusnya hati-hati, gini deh jadiny," bisik tetangga ketiga.
Bisikan demi bisikan menemani telinga tuli Hasan, ia tak peduli dan berfikir positif sebaik mungkin. Mungkin maksud ucapan mereka adalah seorang anak tetangga yang kemarin sakit, dan Hasan dengan semangatnya pulang ke rumah gubuk sederhana itu.
Tertampaklah bendera kuning memenuhi gubuk sederhananya, para pelayat mengisi seluruh rumah gubuk reot itu. Perasaan tidak enak seketika membuat Hasan menerobos memasuki gubuk yang dikerumuni oleh para pelayat.
"Ah ....," lirih Hasan dan seketika tubuhnya terjatuh kala melihat siapa yang terbaring di sana.
Tubuh kaku ditutupi kain putih, wajah indah dengan senyum menyakini dirinya akan siapa yang lebih dulu pergi untuk selamanya. Gabriel telah wafat, Allah memanggilnya demgan kasih sayangNya sebelum Hasan memberikan boneka sebagai janjinya.
"Gabriel, Anakku ...," lirih Maryam dengan isak tangis membasahi wajahnya.
Hasan dia mematung dengan mata tak kuasa menahan perihnya cairan bening seketika dengan hebatnya membanjiri wajah bersih Hasan. "Tidak mungkin ...," lirih Hasan melepaskan tas gendongan dan memeluk tubuh dingin Gabriel seakan menghangatkan.
"Mas ...," lirih Maryam memegang pundak Hasan yang tengah memeluk Gabriel untuk keterakhir kalinya.
"Gabriel, ayah sudah pulang! Masa kamu ingin menyambut kepulangan ayah dengan kepulanganmu?" Tangis Hasan mengisi seluruh para pelayat yang berada di rumah gubuk itu.
"Dia mengalami gagal ginjal misterius," jelas Fatimah agar Hasan mengetahui apa yang menyebabkan Gabriel pulang lebih dulu.
"Aku tidak bertanya kepadamu, aku hanya bertanya pada dia!" teriak Hasan dengan wajah memerah akibat tangisan mengisi kepergian Gabriel.
"Sudah, Mas. Bersabarlah," kata Maryam menvoba menenangkan Hasan.
Hasan mengambil nafas berat, dan mengeluarkannya dengan penuh rasa penyesalan yang bercampur aduk dengan rasa kehilangan. Ia mengambil boneka dan membukanya dari bungkus plastik dan melihatkannya kepada Gabriel.
"Nak, ayah sudah memenuhi keinginanmu. Sebuah boneka, ayah telah menepati janji ayah untuk membelikan ini untukmu. Mungkin ini terlambat, tapi ayah tidak bisa memberikannya kepadamu, Nak." Hasan mengangguk kecil dengan wajah yang mencoba untuk tenang, pundak sedikit lebar itu dielus lembut oleh Maryam. Seakan-akan sentuhan itu untuk menguatkannya.
"Lima tahun ayah memberikan kasih sayang kepadamu, selama itu pula ayah tidak bisa memberikan keinginanmu selain kasih sayng yang tulus. Gabriel, ayah ingin kamu menerima boneka yang ayah belikan untukmu. Tapi, ayah sadar selama ini. Allah mengambilmu lebih cepat ketimbang ayah, mungkin Allah ingin memberikan boneka yang jauh lebih baik daripada boneka yang dibeli oleh ayah." Hasan berceloteh panjang lebar, dengan bibir bergetar.
Para pelayat yang mendengar itu hanya menunduk menahan isak tangis. Seolah-olah perkataan Hasan tentang anaknya Gabriel memiliki makna yang indah, baitan frasa tersusun dengan sangat sempurna, kata-kata itu sebagai tanda bahwa masih ada kehidupan meski Gabriel sudah tiada.
"Gabriel, Anakku, Shalihahku, Bintangku, Cahaya kehidupanku, Rembulanku, maafkan ayah. Ayah tidak bisa memberikan keinginanmu, tapi ayah bersyukur kamu lahir membawa kebahagiaan untukku dan ibumu. Anakku, bermainlah dengan tenang disurgaNya Allah. Anakku, kamu tidak akan merasakan kekurangan kasih sayang, karena Allah akan memberikan kasih sayang yang jauh lebih baik daripada ayah. Para malaikat akan menemani bermainmu, meski ayah tidak ada di sana. Para bidadari akan mencintaimu, meski ibumu tidak ada di sana, Nak." Hasan terus mengeluarkan kata sembari bercerita, seolah-olah rasa sakit atas kepergian anaknya telah lupa.
"Nak, terima kasih sudah mengisi hari-hariku. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, melainkan waktu yang begitu indah dan bermakna. Anakku, terima kasih," kata Hasan untuk keterakhir kalinya. Ia mengecup wajah pucat Gabriel, dan menahan tangisnya.
Para pelayat melihat Hasan yang begitu tulus mencintai anaknya ikut merasakan kepergian Gabriel, seorang anak terlahir dari rahim wanita shalihah Maryam. Seorang anak yang terlahir dari dua insan yang sempurna akhlaknya.
Waktu menguburkan jenazah pun tiba, Hasan turun ke liang lahat dan membopong tubuh Gabriel bersama Zaid. Ia mengumandangkan adzan untuk keterakhir kalinya.
"Laa illaha ilallah." Hasan mengakhiri adzannya dengan sempurna. Ia mengubur anaknya Gabriel dengan perasaan bercampur aduk.
Para pelayat meninggalkan makam Gabriel setelah selesai mendoakan, dan tersisalah Maryam bersama Hasan yang tengah memegang papan nisan bertuliskan 'Gabriel Maula Ibadillah binti Hasan Ibadillah', dua orang itu seketika menunduk.
"Ya Allah, aku kembalikan titipanmu. Terima kasih sudah membuatku bersyukur dan bahagia dengan kelahiran anakku, dan aku kembalikan dia kepadaMu. Tolong, katakan kepadanya bahwa aku akan merindukan dia di setiap helaan nafasku," ucap Maryam dengan isak tangis yang tak terbendung.
"Aku ikhlas lillahi ta'ala, Ya Allah," kata Hasan dan memeluk Maryam dengan tangan kanannya memegang batu nisan Gabriel.
10 tahun kemudian ...
Boneka beruang tersimpan rapih di lemari kaca bersama dengan foto seorang anak perempuan, yang tak lain adalah Gabriel Maula Ibadillah terkenang dengan sangat bermakna.
Hasan tersenyum saat dirinya sibuk bermain bersama seorang anak perempuan berusia lima tahun, dengan wajah yang mirip dengan dirinya.
"Dor!" teriak anak perempuan itu.
"Ah." Tumbang Hasan dan seketika terbangun lalu memeluk anak perempuan itu dan mengecup pipi chubbynya.
"Astagfirullah, lagi asik main nih! Ibu ikutan ah," kata Maryam dan bergabung.
"Gabriel, dia adikmu," kata Hasan dengan tatapannya melihat ke atas langit lalu meneteskan air mata.
Maryam yang melihat itu turut merasakan kerinduan seorang anak yang memiliki kesederhanaan yang indah, ia memeluk Hasan dari arah belakang. "Aku merindukan dia."
"Ibu, Ayah," kata anak perempuan itu.
Maryam dan Hasan menoleh untuk menjawab sumber suara itu, tampaklah seorang anak mengenakan pakaian berwarna putih bersih dan muncul sekitar tiga detik lalu menghilang dengan senyum indahnya. Hasan dan Maryam membalas senyum itu, dan memeluk anak perempuan yang tengah bermain itu.
"Gisha, kakakmu akan selalu menjagamu," kata Hasan dan memeluk Gisha, anak perempuan itu juga Maryam ikut memeluknya.
Rumah gubuk yang menjadi saksi itu, kini telah tergantikan dengan rumah layak. Akan tetapi, kenangan bersama Gabriel tidak bisa dilupakan oleh keduanya.