Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dunia yang hancur.
Dunia yang berantakan.
Sebuah kapal besar melintasi perairan, kali ini cukup dekat dengan salah satu pulau. Bukan kecil, tetapi tak bisa dikatakan seluas sebuah negara pula. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Hanya pepohonan besar patah yang telah ditumbuhi cabang-cabang kecil kembali.
Justru bekas-bekas luluh lantak mendominasi pulau itu. Puing-puing bangunan. Gerobak yang rusak, kapal-kapal usang. Patahan-patahan pohon. Lalu yang paling jelas, cekungan lebar di tengah pulau. Tak begitu dalam, tetapi luas, dan tak menyisakan apa pun di area yang bagai lingkaran mengerikan tersebut.
“Sisa-sisa mantra?”
“Tak heran. Kehancuran sebesar itu dalam semalam. Tragedi terbesar yang membuat hampir seluruh dunia berduka. Dan desas-desusnya, pelakunya hanya satu orang. Apalagi alasan masuk akal selain keterlibatan sihir.”
Mantra dan sihir sudah bukan hal aneh lagi. Bahkan sudah lebih familiar dibandingkan dongeng anak-anak sebelum tidur. Hanya saja, akses terhadap keterampilan di luar nalar tersebut membutuhkan syarat yang tidak mudah, sederhananya seleksi alam.
“Organisasi itu, bukan?”
“Betul. Mantra mereka khas. Itulah cara mereka untuk bersembunyi dan menipu orang-orang.”
“Pantas saja mereka dijuluki sebagai Master Bertopeng.”
“Selain menipu, organisasi itu juga menjalankan transaksi terhadap anak-anak.”
“Menjijikkan….”
“Sangat.”
Seorang pria hampir paruh baya—tidak juga, dia masih pertengahan tiga puluhan, berpakaian rapi—seperti tak ingin satu ikan pun yang melompat dari air dan menyentuh kulitnya—muncul dari ruang nakhoda, meninggalkan anak buahnya di sana yang telah cukup bisa dipercaya. “Sudah cukup, para anak muda, kita harus terus berlayar.”
Mereka adalah para pengembara, dengan kapal besar mengarungi perairan. Menjelajahi berbagai tempat, bertemu orang baru, dan tak jarang pula membantu orang-orang kesulitan. Meski tak sekuat armada tempur dengan ribuan pasukan, kapal pengembara ini diisi oleh orang-orang yang mampu menggunakan sihir—hanya masalah perbedaan jumlah pasukan.
Tak jauh dari sana, sebuah perahu kecil terombang-ambing. Makin menjauh dari daratan. Hampir saja ditabrak begitu saja oleh kapal besar pengembaran, saat sang pemimpin berpakaian serba tertutup itu menyadari sesuatu.
Bukan hanya perahu kecil yang hampir usang.
Namun, yang ada di atasnya, juga kecil dan kumuh.
Seorang anak.
“Bagaimana bisa dia ada di tengah laut?”
“Lebih lagi selamat?”
Anak-anak muda, kru baru di kapal pengembara, lekat memandang anak itu yang dengan telaten dirawat oleh sang letnan, wanita hampir seumuran dengan pimpinan mereka, tetapi lebih menyeramkan—kata para kru yang masih anak muda.
Bocah itu dibersihkan muka dan badannya, dan dikenakan pakaian baru—yang tentu saja kebesaran.
“Bukannya itu terlalu aneh?” salah satu anak muda berbisik.
“Dia beruntung, karena bisa bertahan hidup di tengah laut—aku yakin sudah lebih dari satu hari.”
“Namun, mengapa dia ada di sana?”
“Nah, kan, sudah kubilang dia mencurigakan, Kapten—”
“Kapten.” Letnan mereka datang, menyusul ke tepian kapal. Wanita itu kini sendiri, bocah yang barusan mereka selamatkan, dibiarkan di geladak kapal agar tidak kepanasan dan mendapatkan waktu untuk menenangkan diri. “Ada tato, di lehernya.”
“Master Bertopeng?”
Letnan mengangguk.
“Jadi, itulah mengapa dia ada di sana? Astaga!”
“Diculik dan hendak dijual. Sudah pasti,” kata pimpinan mereka dengan tenang. “Kalian para anak muda, temani dia. Bila ada sesuatu, temui aku di anjungan—ruang kemudi kapal.”
Saat para anak muda menghampiri, bocah itu masih ada di sana. Rambutnya yang semula berantakan, kini menjadi rapi. Terurai panjang dan tampak halus. Menutupi sebagian wajah bulatnya, tetapi tak mengurangi kegemasannya.
Sengaja, mereka tak ingin memandang bocah itu dari sisi kanan. Tato di leher samping itu menjadi pemandangan yang paling tak ingin mereka saksikan. Simbol keserakan organisasi paling bejat.
Tubuh bocah itu gemetar sedikit saat mereka menawakan minum dan dia menegak air di gelas kecil. Dia juga menerima camilan dan makanan, dengan begitu tergesa.
“Pelan-pelan….”
Anak muda lain menyenggolnya. “Dia pasti begitu kelaparan.”
Namun, saat mereka mendekatinya lebih jauh, bocah itu reflek bergeser mundur. Para anak muda terkejut—kecewa pula. Karena penolakan, juga alasan yang sudah pasti ada di balik pertahanan yang begitu kokoh tersebut.
Meski demikian, mereka tahu, sejatinya, anak kecil bukanlah entitas individualis.
Waktu adalah rekan. Dengan perlahan, mereka berhasil membuat bocah itu lebih terbuka. Dari sekian tingkah bodoh dan absurd, akhirnya bibir kecil itu terangkat, membentuk sebuah senyuman.
Kemudian, perlahan-lahan, menjadi sebuah tawa yang renyah.
Khas anak kecil, menyenangkan di telinga.
Dari menjauh ketika didekati barang seinci saja, kini bisa tergelak kencang sambil berlari ke para anak muda itu, untuk memeluk mereka.
“Kamu tahu mengapa pakaian Kapten menutupi hampir seluruh kulitnya?”
Bocah itu menggeleng.
“Dia takut ikan. Pernah, suatu waktu, ikan-ikan melompat dari laut, lalu terbang ke arahnya, menggigitinya seperti ini!” Dia menggelitiki bocah itu, membuat tawa khas kembali terdengar, memenuhi geladak dengan harmoni yang membawa serta kehangatan.
“Dia begitu ceroboh terkadang. Pantas saja Bu Letnan berani memarahinya.”
“Itu juga karena beliau terlampau mengerikan.”
“Nak, kamu takut kepada Kapten atau Letnan?”
Bocah itu menggeleng.
“Serius?”
Dia meraih roti dari kemasan yang telah dibukakan oleh anak muda lain. “Mereka baik,” katanya sebelum melahap segigit, membuat pipinya makin menggembung.
“Siapa yang paling kamu sukai? Pasti aku!”
“Tidak, itu aku!”
“Aku!”
Para anak muda saling memperebutkan posisi tertinggi di hati kecil bocah itu. Tanpa mereka menyadari, bahwa bocah itu mengunyah rotinya dengan sedikit lebih pelan dari biasanya. Dia memandang keluar, kepada seseorang yang sibuk memberikan arahan kepada kru.
Orang itu, yang pertama kali dilihat, ketika kapal besar melambat di dekat perahu kecil yang hampir usang, dan dia mendongak ke atas. “Kami di sini, Nak!”
Kami di sini….
“Kapten!”
Anak muda di sekelilingnya kompak terkejut. Mereka berpura-pura kecewa. Kemudian kembali bercanda dengan anak itu, berusaha merebut posisi sang kapten dari hatinya. Gelak tawa lagi-lagi terdengar, tetapi bocah itu tetap saja dengan jahil tak mau berubah pikiran.
Malam di kapal menjadi makin hangat dan hangat. Kegiatan selesai. Para petinggi berkumpul di anjungan untuk evaluasi dan diskusi, sedangkan anak-anak muda berada di geladak untuk menghabiskan waktu dengan si bocah.
Sesekali, Kapten atau Letnan menengok ke belakang, hanya untuk melihat anak-anak itu tertawa, demi melepaskan penat yang terkadang mengganggu pikiran.
Bila pelaut kerap mengejar harta karun, para pengembara di atas kapal besar ini telah menemukan harta karun tanpa perlu berjuang terlalu keras.
“Anak itu, benar-benar membawa perubahan besar di kapal,” sang kapten, tak pernah selembut itu sebelumnya.
Letnannya tersenyum, “Benar juga….”
Hari-hari tak pernah lepas dari bocah itu yang berkeliling ke setiap sisi kapal. Dia tak pernah berhenti tertawa—lagi pula, para kru juga senang bercanda dengannya. Tenaga yang seakan-akan tak pernah habis itu membuat semua orang ikut tersenyum.
Kapal tak pernah membosankan.
Hanya bahagia dan menjadi makin bahagia di setiap detik berlalu.
Sebuah kapal besar dengan belasan kru dan anak kecil. Kapten, Letnan, anak-anak muda. Bagai rumah sempurna yang tak akan pernah ditinggalkan. Begitu hangat, menyenangkan, nyaman.
Terlalu nyaman.
Saat kapten berkata bahwa anak itu membawa perubahan besar, dia sama sekali tidak salah.
Suatu malam, dia berlari ke anjungan, hanya untuk memeluk kapten, lantas berlalu pergi. “Hendak ke mana?”
“Bermain! Satu permainan lagi! Setelah ini selesai!”
Permainan terakhir. Dia berlari ke ujung kapal, memasuki geladak paling bawah, tempat barang-barang disimpan.
“Nak, di mana, ya?” kata para anak muda, berlaga tak tahu ketika bermain petak umpet.
Anak itu tertawa renyah. “Ayo temukan aku!”
Langkah kaki mendekat.
“Satu!” kata anak itu.
Makin mendekat.
“Dua!”
Tepat di balik pintu.
“Tiga!”
Ledakan berdentum kencang.
Malam itu. Tengah lautan yang dingin nan gelap. Hanya berhias titik-titik kecil dari lampu kapal besar para pengembara. Tiba-tiba, begitu terang. Angin berhembus kencang, menampar keras-keras kehampaan di atas permukaan air.
Cahaya yang bagai bulatan, perlahan redup seiring dentuman mereda.
Lautan menjadi gelap kembali. Tanpa setitik cahaya. Permukaan kosong. Hanya potongan kecil-kecil kayu berserakan, mengapung di atas air. Beberapa titik perairan di sekitar menjadi lebih pekat. Badge dan aksesoris satu dua mengapung: peluit, kompas seukuran genggaman tangan, dan sepotong kain bertuliskan kapten—sebelum ikan kecil melompat dan menggigitnya, tetapi kemudian segera dilepaskan kembali, mungkin tidak sengaja.
Di sisi lain, sebuah ruangan gelap hanya dengan cahaya bulan menerangi melalui jendela besar, pecah sunyinya oleh derit pintu.
“Kau telah kembali? Misinya?”
Sebuah kertas kosong—bekas mantra yang telah dirapalkan—melayang perlahan—sengaja dibuang sembarangan, jatuh tak jauh dari sepasang kaki dengan langkah pendek memasuki ruang. “Tuntas.”
“Upahmu di meja.”
“Aku juga menginginkan hal lain kali ini.”
“Hm. Kau memang suka hadiah lebih, ya. Bagaimana bila aku menolak? Kau akan melepaskan mantra yang sama untuk ketiga kalinya di sini, setelah di pulau itu dan kapal barusan? Sungguh sulit dikendalikan. Haha, hanya candaan, kok. Tentu, tak masalah, itu wajar, lagi pula kau… masih anak-anak.”
Tatonya di lehernya tidaklah palsu.
Dia memang berhubungan dengan Master Bertopeng; tetapi bukan anak yang diculik untuk kemudian dijual, melainkan anggota organisasi tersebut.
“Apa yang kau inginkan?”
“Aku tak yakin apa namanya, tetapi itu roti yang kerap dimakan para pelaut.”
“Sungguh? Kamu pernah mencobanya? Itu enak?”
Dia menggeleng.
“Lantas, mengapa kau menginginkannya?”
“Hanya… ingin memakannya lagi.”