Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Harusnya aku sudah melihat malaikat maut mengintip dari balik tirai kamar sewaktu sore tadi mematut-matut diri sebelum berangkat kemari. Kalau begitu, kan, aku tidak perlu terjebak dalam situasi mengerikan seperti ini.
00:01:30
Cermin bodoh! Tidak bisa melihat yang gaib! Tolol! Dimana, sih, aku membelinya dulu? Tapi percuma juga aku memaki, detik pada bom laknat itu tidak bakal berhenti juga.
00:01:20
Keringat di dahiku meleleh sampai membasah kuyupi tahi lalat yang berada di ujung daguku, membuatnya jadi terasa gatal. Ingin rasanya aku jabut saja sampai ke akarnya. Tapi kalau dipikir-pikir sebentar lagi tahi lalat terkutuk ini akan terjabut juga. Bersama usus-usus dan nyawaku.
00:01:10
Duh, Gusti. Dari sekian banyak bank yang berderet di sepanjang jalan ini kenapa mereka memilih bank tempatku bekerja. Bagus mereka hanya merampok, selesai menguras brankas, kelarlah urusannya. Lah, ini mereka berdua, penjahat-penjahat kampret itu, malah duduk-duduk santai saja sambil merokok menanti bom terkutuk yang mereka pasang meledak. Sesekali saja mereka memandang ke arahku hanya untuk sekedar melempar seringai, atau kadang-kadang ludah.
00:01:00
Orang gila! Edan! Anak pelacur! Apa mereka tidak tahu sebentar lagi Piala Eropa sudah mencapai final? Apa mereka tidak tahu sebentar lagi Copa America juga bakal masuk babak final? Apa mereka tidak tahu sebentar lagi Idul Fitri? Pasti mereka juga tidak tahu kalau aku punya ribuan panu di sekujur tubuhku yang sering gatal kalau kena keringat! Dan gara-gara mereka sekujur tubuhku serasa dirubung semut. Tahi pitik!
00:00.50.
Pekerjaanku satpam paruh waktu. Bisa dibilang begitu karena aku selalu memilih sift malam, yang mana sebagian besar waktuku aku habiskan untuk menonton televisi di kantor Bu Kepala Cabang sembari makan kacang. Persetan juga tagihan listrik membengkak. Kurang ajar juga aku kadang ketiduran. Dan hal-hal seperti itu yang tadinya membuatku berpikir bakal tak mengapa membujang sampai tua. Asal ada sift malam, televisi Bu Kepala Cabang, dan kacang.
00:00:40
Tengik! Lagi asyik merayakan gol dari Ronaldo tiba-tiba pintu kantor Bu Kepala Cabang menjeblak terbuka. Aku kaget bukan kepalang. Tapi setelah tahu itu bukan beliau, aku jadi agak lega juga. Barang sesaat. Setelah itu, beginilah kondisiku. Disuruh meringkuk di bawah meja Bu Kepala Cabang sementara mereka sibuk memasang bom di dekat kulkas. Pikirku, kalau aku bisa membuka sedikit saja pintu kulkas itu dan membiarkan hawa dinginnya meniup ke samping, bom itu pasti akan membeku duluan sebelum sempat meledak. Tapi apa dayaku. Rasanya sudah lama sekali sebagai satpam aku tidak melakukan aksi. Terakhir, sekitar sepuluh tahun lalu, aku berhasil meringkus maling ayam tetangga. Itu pun malingnya cuman anak esempe ingusan. Kalau diingat-ingat, aku memang tidak punya bekal pendidikan satpam. Lima tahun lalu aku dibawa oleh Pak Gimin, tukang parkir bank ini yang kebetulan kenalan baik almarhum Bapak. Sudah almarhum juga dia sekarang, digantikan anaknya. Hanya berbekal badan bongsor aku diterima bekerja di sini. Tahi!
00:00:30
Cih! Malah nostalgia saja aku. Tapi memangnya aku bisa apa? Pilihannya hanya ada dua. Tidak, mungkin tiga. Mati ditembak penjahat. Mati kena bom. Atau mati gatal-gatal! Bangsat, kenapa panuku harus kambuh saat begini?!
00:00:20
Tidak ada setengah menit lagi hidupku bakal berakhir. Sementara dua penjahat di depanku rasanya malah sudah tidak sabar lagi ingin mempercepat detik itu. Bedebah! Mereka pasti tidak tahu panasnya neraka seperti apa. Apa sebaiknya aku kasih tahu saja, siapa tahu mereka berubah pikiran.
00:00:10
Kata Pak Kaji Brengos dalam pengajiannya yang terakhir sebelum dia kena strok, panasnya api neraka seribu kali panas minyak goreng penjual pecel lele. Ngomong-ngomong, Pak Kaji Brengos ini yang punya rumah kontrakanku. Sebelum beranak diriku, Bapak Ibu sudah ngontrak di tempatnya Pak Kaji Brengos dan belum pernah pindah. Pak Kaji sendiri tinggal di rumah sebelahnya yang lebih besar bersama kucingnya semata wayang. Istrinya sudah lama meninggal sebelum dirinya punya titel haji. Praktis, sejak itu aku yang sering merawatnya. Oleh karena begitu juga aku sering dapat jatah makan. Apalagi kalau anaknya yang dari Ibu Kota datang. Wah, seminggu penuh bisa tidak keluar duit aku. Tapi sejak strok itu menyerang, dan kekeras kepalaan tua bangka itu untuk tidak merepotkan anaknya, tapi tidak apa-apa merepotkan orang lain dengan tidak mau ikut ke Ibu Kota, segalanya berubah. Aku tidak hanya kebagian jatah makanan, tapi juga ampas-ampasnya. Anaknya begitu juga, lebih memilih kerjaannya daripada Ayah yang sudah membiayai sekolahnya hingga dapat kerja sementereng begitu. Dunia memang sudah membangsat dengan sebangsat-bangsatnya!
00:00:09
Bajinguk! Aku jadi teringat harus ngasih sahur dan obat Pak Kaji! Semoga dia kuat berpuasa tanpa sahur. Lha obatnya gimana? Antibiotik buat bopeng-bopeng dikubitus di punggungnya harus diminum tepat waktu. Kalau tidak, wah, celaka sejuta kalau aku harus bolak-balik menebus obat ke dokter Paijo.
00:00:08
Jancuk! Aku juga harus mengantarkan beras titipan Mbok Tum buat jualan sahur. Kalau warung Mbok Tum tidak buka, warga sedesa mau makan apa, wong jatah beras kelurahan turunnya ditunda bulan depan? Mereka semua bisa mati kelaparan besok! Lurah laknat! Korup!
00:00:07
Jancuk lagi! Aku lupa tidak memasukkan kucing pengkor Pak Kaji ke kandangnya. Bisa mati kedinginan dia. Apalagi bulunya banyak yang rontok akibat perkelahian dengan anjing sebelah yang suka meledek matanya yang buta kepatok ayam. Anjing itu juga sebab si kucing kesayangan Kaji jadi pengkor tidak bisa jalan. Anjing asu!
00:00:06
Pete! Singkong! Kluak! Bagaimana nasib si Ponah? Pagi nanti aku janji mau antar ke tempat Bu Ijah buat ngelamar kerjaan sebagai penjahit. Paruh waktu juga agaknya. Tapi kalau dia sampai tidak dapat kerjaan itu, gimana nasib adik-adiknya yang yatim piatu itu. Di desa cuma motorku yang siang-siang nganggur karena di desa cuma aku yang kerjanya malam seperti pelacur.
00:00:05
Munyuk! Habis mengantar si Ponah aku ada janji dengan dokter Paijo buat mengambil obat-obatan dan jarum suntik di toko medis Bang Dul Bregas Waras. Dekat rumahnya Bu Ijah itu. Upahnya juga lumayan, obat panu buat seminggu. Kalau tidak ada obat-obatan itu, klinik dokter Paijo bisa tutup seharian. Gimana kalau ada pasien bengek datang? Gimana kalau ada yang usus buntu minta dioperasi? Gimana kalau ada yang cacingan sampai keluar dari anus? Waduh, bisa mati semua itu. Bom kecu!
00:00:04
Hulk! Spiderman! Wiro Sableng! Kompor rumah belum tak matiin! Baru masak air buat mandi kerja malah tidak jadi dipakai karena kegerahan makan bakso dua mangkok. Dibelikan Pak Kaji Brengos juga. Padahal sekarang gas mahal, air juga mahal. Kompor iblis!
00:00:03
Bekicot! Diariku lupa belum aku gembok! Gimana kalau warga desa tahu aku sering mengintip si Ponah mandi? Sering mengambil beras Pak Kaji buat dimakan sendiri? Sering mengambil duit recehan ronda buat beli kacang? Diari setan! Warga jangkrik!
00:00:02
Kirik! Gawat, aku lupa belum mandi besar. Wah, bisa masuk neraka ini kalau bom itu beneran meledak. Gayung laknat! Bak mandi bedebah!
00:00:01
Gajah! Zebra! Kalajengking! Buaya bunting! Kepiting! Rakun mleding! Kambing! Srigala njengking! Bajing! Ikan nungging! Ing! Ing! Ngising! Aku lupa. . .
Dan dua penjahat di depanku malah tertawa berangkulan seperti sepasang kekasih hendak menuju taman surga. Olala, bisa jadi dua lelaki itu memang sepasang kekasih. Karena tidak diizinkan menikah oleh keluarga, warga, dan orang sejagad raya, mereka memutuskan bunuh diri, berharap bisa bersama selamanya di surga. Tapi aku yakin mereka bakal dilempar ke neraka.
Jengkol! Kalau mereka juga di neraka nanti bisa ketemu lagi, dong. Sialan!
Tapi tunggu dulu, sepertinya masih ada hal maha penting yang aku lupa. Apa ya?
00:00:00,5
Ranjungan! Aku ingat belum matiin TVnya Bu Kepala Cabang! TV tabung begitu bisa meledak kalau kepanasan.
“BOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOM!!!”