Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Bolehkah Aku Hidup Di Belakang Gigimu?
1
Suka
11
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bayangan yang tak pernah punya tubuh, tetapi selalu duduk di kursi yang sama setiap sore; ia tidak berbicara, tidak menoleh, tetapi setiap kali aku melangkah masuk, aku dipaksa untuk menyapanya, seolah-olah ada kewajiban tak tertulis yang bahkan aku tak tahu siapa yang menetapkannya.

Kelabu itu menggantung, nyaris roboh; aku duduk di ruang tamu rumah lama, menghirup udara yang rasanya seperti lembaran koran usang, penuh berita yang tak lagi dibaca.

"Sudah pulang?" suara itu lirih, lebih pelan dari detak jam dinding.

Aku menoleh. Ia berdiri di ambang pintu.

Aku hanya bisa mengangguk saja, seolah ada batu kecil menggelinding dan terselip di pangkal lidahku.

"Ada yang berubah dari rumah ini?" Ia bertanya pelan.

"Tidak banyak," jawabku singkat. "Cuma rasanya lebih sunyi dari yang kuingat."

"Sunyi bukan karena rumahnya," jawabnya. "Tapi karena kita tak lagi bicara seperti dulu."

Ia berjalan pelan, menghindari lantai agar tak berderit.

"Ayah masih suka nonton berita?" tanyaku akhirnya, seperti membasahi tanah yang retak dengan setetes air.

Ia tersenyum. "Sudah jarang. Dunia sekarang terlalu berisik untuk aku ikuti."

Kami terdiam. Tapi bukan diam yang kosong. Diam yang penuh suara-suara lampau, tawa, bentakan, pintu yang dibanting, dan derit langkah menuju kamar yang tak pernah lagi terbuka bagiku.

"Aku ke sini karena..." Aku menelan sisa kalimat itu, ragu-ragu. "Aku rindu," bisikku akhirnya.

Ayah menatapku. "Rindu bisa menciptakan banyak hal."

"Termasuk imajinasi?" aku tersenyum kecut.

Ayah tidak menjawab. Tapi pandangannya jatuh pada tanganku yang gemetar, seperti tahu bahwa aku sedang menahan sesuatu yang tak bisa ditumpahkan.

Ia tiba-tiba berdiri, berjalan pelan ke arah rak buku. Tangannya menyentuh satu per satu punggung buku, seperti menyapa teman lama. “Kamu ingat buku cerita yang dulu selalu kamu minta Ayah bacakan?”

Aku mengangguk. “Yang sampulnya robek? Tentang kelinci yang kehilangan ibunya?”

“Ya. Kamu selalu minta diulang bagian akhirnya.”

“Karena aku tidak percaya ibunya beneran hilang. Aku yakin, kalau dibaca ulang, si ibu pasti pulang.”

Ayah tertawa pelan. “Kamu selalu punya cara sendiri untuk menolak kenyataan.”

Aku menunduk. “Mungkin karena kenyataan terlalu tajam untuk anak perempuan yang hidup tanpa peran seorang ayah.”

Senyap jatuh lagi. Tapi kali ini, ia jatuh lebih dalam.

“Ayah, waktu kecil aku selalu bertanya kepada Ibu… ‘Kalau Ayah sayang, kenapa ia pergi? Mengapa dia tidak bisa menjadi Ayah yang baik di keluarga kita?’ Aku terdiam sebentar. Mengingat wajah Ibu yang selalu memilih diam setiap kali pertanyaan itu kuucapkan. Diam yang tidak pernah selesai menjelaskan.

Kemudian aku mengerti, bahwa "baik" yang kumaksud selama ini bukan sekadar ayah yang bekerja keras siang malam. Tapi ayah yang mampu hadir secara utuh, yang kehadirannya stabil, yang tidak hanya ada secara fisik, tapi juga bisa menjadi sandaran secara mental, emosional, bahkan material.

Bibirnya sempat terbuka, seolah ingin berkata sesuatu, namun suaranya tenggelam di antara napas yang tertahan. Tangannya bergerak sedikit, ingin menyentuh bahuku, tapi urung.

"Ayah hanya —" Tapi sebelum kalimatnya utuh, aku sudah memotongnya, menebas harapannya untuk didengar.

"Tapi, Ayah… aku tidak butuh penjelasan yang berbelit. Tidak butuh alasan yang panjang. Aku hanya butuh seseorang yang hadir."

Ayah menatapku lama. Matanya basah, tapi tak tumpah.

“Ayah terlalu sering jadi bayangan. Bukan karena Ayah mati, tapi karena Ayah memilih tidak hadir.” Suaraku kini retak. “Dan aku tumbuh jadi perempuan yang terus mencari laki-laki yang mau bertahan. Mungkin karena Ayah tidak pernah memberikannya contoh tentang itu.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang sudah lama bergemuruh oleh hal-hal yang tak pernah sempat kuucapkan.

"Orang-orang bilang, cinta pertama seorang anak perempuan itu ayahnya," ucapku lirih, menatap kosong ke lantai.

Ayah menunduk, tubuhnya kaku, seakan tahu ke mana arah kata-kataku akan pergi.

"Tapi bagiku… luka pertama itu justru datang darimu."

Suaraku bergetar, tapi mataku tak berpaling. Aku ingin dia tahu. Aku ingin dia benar-benar mendengarnya, kali ini.

Ayah terdiam. Bahunya turun pelan, seperti beban tiba-tiba menyeret seluruh tubuhnya ke bawah. Ia mencoba bicara, tapi suaranya nyaris tak terdengar.

“Aku takut jatuh cinta, Yah…” ucapku perlahan, seperti menarik luka lama dari tempat persembunyiannya. “Bukan karena cinta itu menyakitkan, tapi karena aku tahu… aku bisa saja jatuh pada laki-laki yang caranya mencintai, sama persis seperti Ayah.”

“Ayah tahu?” Aku tertawa kecil, getir. “Setiap kali ada laki-laki yang datang, aku langsung cari bayang-bayangmu di dirinya. Jika aku menemukannya… aku mundur."

Aku menghela napas, dalam sekali. “Mereka pikir aku sulit didekati. Padahal aku cuma takut disakiti dengan cara yang sudah kutahu. Cara Ayah.”

Aku menatap Ayah, pelan.

“Kadang aku bertanya-tanya... apa mungkin aku bisa jatuh cinta dengan seseorang, tanpa takut kehilangan peran itu lagi? tanpa harus merasakan perasaan ditinggal yang sama, yang Ayah tanamkan dari dulu."

Kini, aku benar-benar tidak memberi Ayah celah untuk menjelaskan. Setiap gerak bibirnya, setiap tarikan napas yang hendak melahirkan alasan, langsung kuhadang dengan tatapan tajam dan suara yang tegas. Bukan karena aku ingin menang, tapi karena untuk sekali ini saja, aku ingin didengarkan sepenuhnya.

Ayah membuka mulut, tapi kalimatnya patah sebelum sempat tumbuh.

“Ayah menyesal,” katanya akhirnya.

“Walaupun terlambat...” jawabku. “Tapi… aku di sini, kan? Berarti masih ada bagian dari hatiku yang belum menyerah.”

Ayah menarik napas panjang. “Kamu sudah besar Nak. Ternyata lebih kuat dari yang Ayah kira.”

“Bukan karena Ayah,” potongku. “Tapi karena Ibu. Dan karena aku terpaksa kuat.”

Kami kembali duduk. Kali ini lebih dekat. Aku merasakan kehangatan yang dulu sering kucari, tapi kini terasa asing.

“Ayah, pernah tidak... Ayah merasa kehilangan aku?”

“Setiap malam,” jawabnya cepat. “Tapi Ayah tidak tahu bagaimana cara kembali. Setiap langkah menuju kamu terasa seperti melangkah ke jurang rasa bersalah.”

Aku menggigit bibir. “Kalau aku bisa memaafkan, apa Ayah mau mencoba hadir lagi?”

Ia menatapku. “Tentu.”

“Walaupun nanti aku akan marah lagi? Menutup diri lagi? Menolak bicara?”

“Ayah akan tetap menunggu. Kali ini, Ayah belajar jadi seseorang yang hadir.”

Aku tersenyum tipis, walaupun aku tahu itu semua hanya ucapan saja.

Biarkan saja.

Karena dalam dunia yang tak lagi ramah, aku butuh ruang untuk berpura-pura bahwa aku masih punya tempat untuk didengarkan.

---

Di luar, angin berbisik.

Ia seperti menyampaikan pesan dari seseorang yang tak pernah menulis surat lagi. Di dalam rumah, waktu berjalan mundur. Potret-potret di dinding menatapku dengan tatapan yang tak berubah, seolah menagih sesuatu yang belum sempat kutebus.

"Ayah," suaraku hampir hilang. "Kenapa kita seperti ini?"

Ia tak menjawab. Hanya menatap ke luar jendela, ke arah pohon jambu yang pernah kami tanam bersama.

"Aku... tumbuh tanpa tahu apakah aku sedang tumbuh ke arah yang benar."

Ayah mengangguk. "Aku juga hidup tanpa tahu apakah aku pernah benar-benar hadir.”

Aku menggigit bibir. Kenapa kalimat-kalimat di antara kami selalu terasa seperti puisi yang lupa irama?

Kami duduk lama. Seperti dua orang asing yang berbagi luka yang sama, tapi tak tahu cara menyebutkannya.

---

Matahari mulai tenggelam. Cahaya oranye menyapu ruang tamu. Di bawah sinarnya, Ayah tampak seperti lukisan yang usang, tapi tetap menggenggam nilai.

"Ayah, bisakah kita memulai lagi?" Mungkin angin saja muak mendengar pertanyaanku yang berulang.

"Tentu bisa. Tapi waktu kita tak sebanyak dulu."

Aku melamun. Kalimat itu seperti pisau dari tangkai bunga yang berduri. Indah, dan melukai.

---

Hujan turun tiba-tiba, mengetuk-ngetuk jendela seperti ingin membangunkanku dari lamunan yang terlalu jauh.

Cangkir teh di meja kosong. Tidak ada suara dari televisi. Hanya suara jam dinding yang berdetak seperti detak jantung yang sekarat.

Aku memanggil, “Ayah?”

Tak ada jawaban.

Sekali lagi, "Ayah?"

Aku mencarinya ke seluruh sudut rumah tua itu. Rumah itu sunyi. Nyaris kehilangan warna.

Lalu aku melihat meja kayu kecil di sudut ruangan. Di atasnya ada foto lama. Di baliknya tertulis dengan pulpen yang hampir pudar: Untuk anakku, semoga kau tumbuh lebih kuat dariku.

Dan di detik itu, aku tahu.

Ayah tak pernah benar-benar ada di sana.

Ia tidak meninggal. Tapi ia telah lama hilang peran.

Hadir secara tubuh, tapi tidak dalam cerita.

Ada sebagai nama, tapi bukan tokoh utama.

Ternyata yang hadir hanyalah rindu yang menyesap terlalu dalam, hingga aku menciptakan pertemuan itu sendiri, di dalam kepalaku. Iya... itu adalah imajinasiku.

---

Kadang aku bertanya-tanya… apakah yang sebenarnya kurindukan adalah dirinya, atau hanya bayangannya yang dulu?

Ayah masih hidup di kota kecil, mungkin sedang menonton TV di ruang lain, menua bersama sunyi yang ia pilih sendiri. Tapi ia tak lagi menjadi Ayah yang ku kenal dulu. Hanya seseorang yang pernah menjadi tiang, kini roboh dan tak kembali berdiri.

Aku pernah membaca 'gigi' adalah bagian tubuh yang paling lama bertahan. Bahkan ketika jasad telah menyerah pada tanah. Mungkin karena itu aku pernah bertanya " Bolehkah Aku hidup di belakang gigimu?"

Agar Aku bisa bertahan lebih lama. Dilindungi di balik tempat yang paling kukuh, saat dunia perlahan meluruhkanku. Karena jika kau tak bisa menjadi 'tulang punggungku', setidaknya biarkan aku diam, dan bertahan di sana, di balik gigimu. Karena aku tahu, di sana, aku masi dilindungi oleh sisa-sisa keberadaanmu.

"Maka izinkan gigi itu menggantikan peranmu."

Biarkan aku jadi sisa yang tak kau lepeh, cukup diam di sudut kecil, di balik gigimu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Bolehkah Aku Hidup Di Belakang Gigimu?
Sabrina Sabila Dwi Hikmah
Cerpen
Bronze
PRADUGA
Lirin Kartini
Cerpen
Bronze
Dapur dan Labelnya
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Pergi Dengan Angin
Viona fiantika
Cerpen
Bronze
Gara-gara Uang Panaik
Kim Sabu
Cerpen
Peluk Hangat Bapak
Nindia Salsabila
Cerpen
Barang Biasa, Cerita Luar Biasa
Tresnaning Diah
Cerpen
Perempuan Berambut Perak
Rafael Yanuar
Cerpen
Elegi Rinjani
Dini Apriani
Cerpen
Tempat Les Kak April
Yadani Febi
Cerpen
Bronze
Senyummu Membuat Ku Bahagia
Liza Pratama
Cerpen
Bronze
Astrophile
lidia afrianti
Cerpen
Neraca Dunia
hyu
Cerpen
Bronze
Bukan Babi Ngepet
Jasma Ryadi
Cerpen
Gubuk Kecil di Kota Kuning
Rafael Yanuar
Rekomendasi
Cerpen
Bolehkah Aku Hidup Di Belakang Gigimu?
Sabrina Sabila Dwi Hikmah