Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Boleh Aku Ambisi Kembali
1
Suka
1,177
Dibaca

aku akhirnya menemukan perempuan yang hampir 10 % mirip seperti ibuku jika ingin mengetahui siapa dia komentar aja di hasilku ini... Terima kasih selamat membaca dan selamat melihat karya karya yang lainnya . jangan lupa membaca walaupun yang membuat ini tidak pernah membaca hehehe....

Judul bacaan ini mungkin semuanya hampir pernah mengalami mengubur ambisi atau apapun karena pernah gagal satu kali... dan ada rencana yang tidak sesuai dengan ambisi , ada yang menggagalkan ditengah perjuangan dengan menilai yang cukup. selamat membaca teman teman kwikku

Aku pernah menjadi seseorang yang penuh ambisi. Hidupku adalah peta yang telah kurancang dengan teliti, langkah-langkahnya begitu pasti, dan tujuannya tak pernah goyah. Sejak kecil, aku percaya bahwa kerja keras dan tekad yang kuat adalah kunci untuk mencapai segala sesuatu. Aku berlari tanpa henti, melawan waktu, menantang batasan, dan tak pernah membiarkan kegagalan menyentuhku.

Namun, semua berubah pada suatu hari yang tak pernah ingin kuingat, tapi juga tak bisa kulupakan.

Hari itu, aku duduk di depan layar laptop dengan jantung berdebar. Aku membaca ulang email berkali-kali, berharap ada kesalahan yang terlewat. Tapi tidak. Kata-kata itu tetap sama: "Kami menyesal memberitahu bahwa Anda belum berhasil lolos dalam seleksi beasiswa kami." Sejenak, dunia terasa berhenti berputar. Beasiswa yang telah kukejar bertahun-tahun, yang kusiapkan dengan begitu banyak usaha dan pengorbanan, kini menguap begitu saja.

Aku tidak percaya.

Aku menutup laptopku dengan tangan gemetar. Air mata yang kutahan pecah begitu saja. Aku gagal. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar gagal. Aku bukan hanya gagal mendapatkan beasiswa, tapi aku juga gagal dalam kompetisi yang telah kusiapkan selama berbulan-bulan. Aku gagal memenuhi ekspektasi orang-orang yang percaya padaku. Aku gagal memenuhi harapanku sendiri.

Kegagalan itu menghantamku seperti badai. Ia tidak hanya menghancurkan mimpiku, tapi juga meluluhlantakkan kepercayaanku pada diri sendiri. Aku mulai bertanya-tanya: Apakah aku benar-benar berbakat? Apakah aku memang pantas bermimpi setinggi ini? Ataukah selama ini aku hanya menipu diri sendiri?

Hari-hari setelahnya terasa kosong. Aku mulai ragu pada segala hal. Jika dulu aku adalah seseorang yang selalu mengambil tantangan, kini aku justru menghindarinya. Aku takut gagal lagi. Aku takut mengecewakan diriku sendiri. Aku takut melihat wajah-wajah yang pernah menyemangatiku berubah menjadi penuh rasa iba. Aku takut, sangat takut.

Aku tidak lagi berlari. Aku hanya berjalan, kadang malah berhenti. Aku membiarkan waktu yang menentukan jalanku. Ambisiku yang dulu begitu menyala, kini hanya bara yang perlahan meredup.

Suatu sore, aku pergi ke taman. Aku hanya ingin duduk diam, menikmati udara yang perlahan beranjak dingin, mungkin berharap angin bisa membawa pergi kegelisahanku. Namun, pandanganku tertuju pada seorang anak kecil yang tengah duduk di tanah, menggenggam ranting kecil di tangannya. Ia menggambar sesuatu di pasir, dan aku memperhatikannya dari kejauhan.

Berkali-kali ia mencoba menggambar sebuah lingkaran. Namun, setiap kali ia hampir menyelesaikannya, garisnya selalu berbelok atau terputus. Alih-alih menyerah, anak itu malah menghapus lingkarannya dan mencoba lagi. Aku tak bisa menahan rasa penasaran, lalu mendekatinya.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanyaku lembut.

Ia menatapku dengan mata polos dan tersenyum. "Aku ingin menggambar lingkaran yang sempurna."

Aku mengangguk. "Tapi kamu sudah mencoba berkali-kali, kenapa tidak menyerah saja?"

Anak itu tertawa kecil, seolah pertanyaanku adalah sesuatu yang lucu. "Kalau aku menyerah, aku tidak akan pernah tahu apakah aku bisa atau tidak."

Jawaban itu menyentakku. Aku menatapnya, lalu menunduk, merenungkan kata-katanya. Seorang anak kecil saja memiliki keberanian untuk mencoba berulang kali. Ia tidak takut gagal. Ia tidak takut untuk terus mencoba. Sementara aku, seseorang yang pernah begitu ambisius, memilih mundur hanya karena satu-dua kegagalan?

Aku tersenyum pahit. Mungkin aku terlalu keras pada diriku sendiri. Mungkin, aku harus belajar dari anak kecil ini.

Aku masih termenung ketika seseorang duduk di sampingku. Aku menoleh dan melihat Liana, sahabat lamaku. Ia menatapku dengan lembut, seolah tahu segala beban yang tengah kupikul.

"Aku melihatmu tadi," katanya pelan. "Kau masih terjebak dalam ketakutanmu sendiri."

Aku menunduk. "Aku tidak tahu harus bagaimana, Liana. Aku takut gagal lagi."

Liana tersenyum. "Kau ingat dulu, saat kau selalu bilang padaku bahwa keberanian bukan berarti tidak takut, tapi tetap melangkah meskipun takut? Kenapa sekarang kau lupa?"

Aku terdiam. Kata-katanya menamparku dengan lembut, tapi tepat sasaran.

"Kau berhak gagal," lanjutnya. "Tapi kau juga berhak untuk bangkit kembali. Ambisimu bukan sesuatu yang buruk. Kau hanya perlu melihatnya dengan cara yang berbeda."

Aku menatapnya lama. Ada kehangatan dalam sorot matanya yang membuatku merasa tidak sendirian. Aku menghela napas dan tersenyum kecil. "Jadi kau pikir aku bisa mencoba lagi?"

"Bukan hanya bisa," katanya dengan yakin. "Tapi harus. Karena aku tahu kau bukan orang yang mudah menyerah."

Aku tersenyum lebih lebar. Mungkin benar. Mungkin aku memang harus mencoba lagi.

Hari-hari setelah itu, Liana menjadi tempatku bersandar. Ia bukan hanya teman lama, tetapi seseorang yang selalu ada di saat aku terjatuh. Keberadaannya membuatku mulai percaya diri lagi, dan tanpa kusadari, perasaanku terhadapnya perlahan berubah. Aku mulai memperhatikannya lebih dalam, memperhatikan caranya tertawa, caranya menyemangatiku, dan caranya selalu percaya padaku bahkan ketika aku meragukan diriku sendiri.

Hingga suatu malam, di bawah langit berbintang, aku memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu yang sudah lama kupendam.

"Liana, aku sadar… aku tak hanya mengagumi semangatmu. Aku menyukaimu."

Ia terdiam sejenak, menatapku dengan mata berbinar. Kemudian ia tersenyum, senyum yang selalu membuatku tenang. "Aku juga menyukaimu," jawabnya lirih.

Malam itu, aku bukan hanya menemukan kembali ambisiku, tetapi juga seseorang yang ingin kuperjuangkan. Liana adalah cahaya yang membuatku berani melangkah lagi.

Puisi: Aku dan Ambisi

Aku pernah berlari, tak mengenal henti

Mengejar mimpi di ujung hari

Namun badai datang, meruntuhkan sayap

Aku terjatuh, dalam sunyi yang gelap

Aku bertanya pada angin malam

"Haruskah aku berhenti sekarang?"

Ia menjawab dengan bisikan lirih

"Mimpi tak mati, hanya tertatih."

Maka kubuka lembaran lama

Kusapa kembali asa yang pudar

Aku mungkin tak bisa seperti dulu

Tapi bolehkah aku kembali berharap?

Malam itu, aku kembali ke meja belajarku. Aku menatap buku-buku yang telah lama kutinggalkan. Rencana-rencana yang dulu kususun dengan penuh semangat kini berdebu, tertimbun oleh rasa takut dan keputusasaan.

Aku menarik napas panjang. Mungkin aku tidak bisa kembali seperti dulu, seseorang yang berlari tanpa henti. Tapi bolehkah aku memiliki ambisi lagi? Kali ini dengan cara yang lebih bijak? Dengan hati yang lebih kuat, yang tak akan mudah goyah hanya karena satu kegagalan?

Aku mengambil pulpen dan kertas, mulai menuliskan rencana-rencana baru. Aku akan mencoba lagi, kali ini dengan lebih hati-hati. Dengan lebih sabar. Dengan lebih sadar bahwa kegagalan bukanlah akhir, melainkan bagian dari perjalanan.

Dan di sampingku, Liana tersenyum. Aku tahu, aku tidak sendiri.

Mohon Maaf nama tokoh liana adalah nama yang terpikirkan saja bukan nama orang yang aku kenal, tapi aku menemukan ambisi kembali berkat satu perempuan yang nama nya ..... , Jika ditanya aku suka dia, aku tidak bisa menjawab karena, soalnya aku ingin fokus ke 10 tujuan ku dulu setelah lulus SMK. biar mengalir aja jika ditakdirkan maka disemester 7 akan kupastikan perasaan ini, jika dia mempunyai perasaan kepadaku sampe sekarang maka mohon bertahan sampai semester 7.

Terima Kasih telah membaca karangan yang sedikit tentang kehidupan ku

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Boleh Aku Ambisi Kembali
Mochammad Ikhsan Maulana
Novel
Bronze
Retak
FAKIHA
Skrip Film
LITERATUR BERNYAWA ( SCRIPT FILM )
Rainzanov
Skrip Film
Cooking and Me
Lia Mulidiawati
Skrip Film
A Writer and A Liar (Script Film)
Silvia
Skrip Film
Perihal Luka dan Waktu
Marantika Rizka Prasasti
Flash
Bronze
Kumohon Kembalikan
Nabil Bakri
Cerpen
Pak Khairul Yang Kharismatik dan Para Ayamnya Yang Usil
Yovinus
Novel
Bronze
Bath Salt
Laskara Janu
Skrip Film
RASA
Lathifa Kamila & Syafinaz Jasmine
Skrip Film
Serenada Cinta
syafetri syam
Skrip Film
MENGEJAR BINTANG FILM
Bhina Wiriadinata
Flash
50 RIYAL
DENI WIJAYA
Novel
Fragmen
Hana
Novel
Ephemeral
Nurul faizah
Rekomendasi
Cerpen
Boleh Aku Ambisi Kembali
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
ketakuan akan masalah
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Gagal Memahami Perasaan Ini Terhadapmu, Akhirnya Penyesalan
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Sayounara Ryuusei, Konnichiwa Jinsei
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Cinta yang Bersemi di Balik Senyuman
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Ruang Tanpa Suara
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Perasaanku Kepadanya: Antara Kagum atau Suka?
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Melawan Api
Mochammad Ikhsan Maulana
Flash
Bronze
Kenangan di Tepi Pantai
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Aku Suka Dia
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Cinta di Negeri Awan
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Yamyam, Robot Ayam Masa Depan
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Semester 5 yang Penuh Warna
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Pelangi di Tengah Hujan
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
kenangan September
Mochammad Ikhsan Maulana