Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bola Yang Tak Diidamkan
"GOOALLL.....". Semua penonton berteriak. Tak terkecuali anak kecil berkopiah dengan sarung melingkar di pundak.
"Itu baru gol hebat. Tendangan jarak jauh bagaimana torpedo. Luar biasa". Komen salah satu penonton di warung kopi.
Dari semua anak yang ada di desa, hanya Ahmed yang patuh pada ibunya. Hanya dia yang mau melakukan apa saja yang diperintah oleh ibu. Apa saja. Entah itu menyapu, memasak, mencuci baju. Asalkan, tidak diperintah untuk meninggalkan bermain sepakbola.
Permainan si kulit bundar baginya sudah seperti denyut nadi. Harus mengaliri seisi tubuhnya. Bukan sekedar permainan biasa.
Apabila ada bola yang datang menghampiri, tubuhnya serasa ingin melekat begitu saja. Bola itu sudah seperti alarm panggilan baginya. Ia berharap suatu saat ia bisa menjadi seperti tokoh yang diidolakannya, Cristian Ronaldo.
Setiap pertandingan dimana ada Ronaldo pasti ia tidak mau ketinggalan. Selalu ada di tempat duduk paling depan dari televisi. Selalu yang ia tunggu adalah tendangannya yang luar biasa.
Sayangnya, sebuah kenyataan harus menimpa dirinya. Ibunya berharap ia jadi anak yang suka menghafal Al-Qur'an saja. Tidak perlu yang lain.
***
"Mau kemana, Med?". Ibunya bertanya dengan wajah sengit.
"He he he..anu...anu...mau ke lapangan, Bu". Ahmed menjawab dengan agak gugup sambil membawa bola. Tubuhnya yang gemuk seperti semangka. Alis dan matanya tebal. Tatapannya sedikit pemalu.
"Hafalan dulu! Kalau belum dapat satu lembar belum boleh bermain bola. Main bola itu hanya buang waktu saja".
"Tapi, Bu..."
"SUDAHLAH, CEPAT AMBIL AL-QUR'AN DULU SANA!". Teriak ibunya dengan wajah memerah. Suaranya yang menggelar bagaimana petir seolah memadamkan mentari semangat yang terpancar dari Ahmed.
Beberapa menit kemudian datang pria kecil dari luar jendela.
"Med, ayo, kita pergi main bola! Mumpung seru nih!". Ajak temannya, Teo. Pria berwajah bulat. Bertubuh tinggi. Berkulit coklat.
"Wah, betul itu! Ayo kita main!". Dengan menengok kanan kiri. Memastikan keadaan sudah sepi. Tidak ada ibunya di rumah.
Al-Qur'an yang awalnya ia baca dan hafalkan ia taruh sementara di meja. Sarung dan pakaiannya segera ia tanggalkan di kasur. Semenit kemudian ia sudah mengenakan kaos sepakbola idolanya. Bernomor punggung tujuh.
"Ok. Aku sudah siap. Mari kita pergi ke lapangan sebelah!". Ajak Ahmed pada Teo yang sudah menunggu sambil mengawasi agar ia tidak ketahuan ibunya.
Hati yang tadi gundah, kini berubah cerah. Begitu cerah hingga membuat mendung menjauh dari dirinya. Bola yang ia mainkan telah memutar-balikkan kesedihannya. Melepas tali pengekang paksaan untuk menghafal Al-Qur'an.
Wajahnya penuh canda tawa. Begitu juga anak-anak di lapangan. Semuanya asyik mengolah si kulit bundar. Saling berebut. Beradu kemampuan. Siapa yang paling jago.
Begitu nikmat bagi mereka. Bagi mereka itu sudah seperti berada di surga. Tak perlu uang banyak. Tak perlu bangunan mewah. Tak perlu pengawal.
Mereka bisa bermain bola sebebas-bebasnya. Tak perlu takut kalah. Tak perlu takut bermusuhan. Bagi mereka, anak desa. Bola sepak justru menjadi ajang pemersatu. Bukan pemisah antar sekutu. Itu saja sudah cukup.
"Teo! Oper bolanya padaku". Teriak Ahmed dengan penuh kesigapan.
"Ok. Terima ini, bolanya! Aku percayakan padamu".
"Yap, bagus, Teo. Operan yang bagus".
Tidak akan aku sia-siakan operan ini. Aku harus cetak gol kemenangan. Aku harus bisa.
"GOOALLL....". Semua teman satu tim Ahmed berteriak kegirangan.
"Itu goal yang luar biasa. Sudah seperti Ronaldo saja. Keren sekali." Sahut Teo, temannya.
Peluit tanda berakhir ditiup.
Prit...prit...prit...
"HORE, KITA MENANG!". Teo, Ahmed, dan teman-teman satu tim meloncat-loncat setinggi-tingginya.
Meski ini hanya pertandingan biasa. Bukan resmi antar klub. Tapi serunya seperti sudah mengalahkan liga Champions. Diam-diam bersamaan saat itu juga ada orang yang misterius mengamati mereka. Dengan mata elang pria misterius tadi tak melewatkan satu anak-anak pun. Dari mana ia berasal. Tidak ada yang tahu.
***
Waktu sudah sore. Hampir tiba waktunya salat Maghrib. Ahmed dengan tergopoh-gopoh datang masuk rumah lewat jendela rumah. Untung jendelanya belum dikunci.
Merasa sedikit lega, Ahmed sudah tiba di rumah. Ia mengira masih aman. Padahal bahaya besar sedang mengintainya.
Ibunya yang sembari tadi telah menunggu kedatangannya diam-diam mengamati dari sebuah celah pintu. Baru ia tahu, ternyata anaknya kabur untuk main bola.
Usai Ahmed meletakkan bola dan melepaskan kaosnya. Barulah saat itu ibunya datang menghampiri.
"Bagus...bagus... darimana saja kamu. Datang hampir gelap. Kaos kotor. Apa-apaan kamu ini?"
"Maaf, Bu". Ahmed tertunduk lesu. Letih yang ia bawa dari lapangan bersambut amarah dari rumah. Ia sadar benar apa yang menjadi kesalahannya itu.
"Bagaimana dengan hafalannya? Sudah dapat berapa? Kok, tiba-tiba kabur main bola begitu saja".
"Anu...anu...a...aku belum hafal satu lembar, Bu".
"Kalau begini terus, mau jadi apa kau?". Wajah ibu semakin merah padam.
"Ibu, kan, sudah bilang. Main bola itu tidak bagus. Lebih baik hafalan Qur'an saja. Kelak, biar engkau bisa memakaikan mahkota untuk bundamu ini".
Mendengar pernyataan itu membuat Ahmed bosan. Tubuhnya yang awalnya terlihat lemah dan letih kini berubah lebih semaunya sendiri. Lemari dipukul. Bola dilempar. Gelas di sampingnya dibanting.
Ahmed sudah muak mendengar omongan ibunya. Anak yang tadinya penurut kini telah berubah dalam sekejap saja. Ibunya tak menduga akan hal itu.
Dengan segera Ahmed berbalik arah menjauhi ibunya. Ibunya belum tahu bahwa sepak bola bagi Ahmed adalah segalanya.
***
Esok harinya datang sebuah surat dari klub sepakbola terkenal. Klub itu memberi kabar bahagia. Ahmed terpilih untuk menjadi pemain didikan sebuah klub.
Ahmed membacanya dengan raut muka tercengang. Alisnya terangkat. Matanya berbinar. Tidak menyangka itu akan terjadi. Klub itu sudah menunggunya.
Kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Datanglah ibu Ahmed menghampiri.
"Surat apa itu?". Sahut ibunya dengan kedua tangan menyilang saling merapat di depan badan.
Dengan tanpa seutas kata, Ahmed menyerahkan surat yang baru saja ia baca. Tangannya yang satu dengan pasrah melepas surat itu ke tangan ibunya.
Dengan cepat tangan ibu menyambar surat itu. Sepintas melihat dan membaca isi yang tertera di dalam surat. Wajah ibu seketika berubah.
"Tak usah kau pergi ke sana!"
Ahmed yang sudah tahu akan hal itu segera bergegas menuju kamar. Tanpa kata-kata ia melangkah perlahan. Kini, ia sudah tak mau lagi mendengarkan ceramah ibunya. Yang ia inginkan sekarang adalah menjadi atlet sepakbola hebat. Macam Ronaldo.
Malam-malam ia bersiap-siap. Mulai dari sepatu. Kaos. Baju ganti. Uang yang ia tabung sendiri. Tas. Semuanya sudah ia kemas. Bersiap berangkat menuju klub tadi.
Ahmed sudah tak sabar lagi. Ia sudah membayangkan suasana berlatih bersama. Bermain bola layaknya pemain profesional. Kini, ia sudah setahap demi mengejar idolanya.
Tepat sehari sesudah surat itu tiba. Ahmed dengan berat hati pergi ke klub sepakbola yang memanggilnya. Tanpa sepengetahuan ibunya. Ahmed berangkat.
Sebelum berangkat, ia sebenarnya tidak tega melakukan hal ini. Olehkarenamya Ahmed sempat membuat surat untuk berpamitan.
Saat fajar menyingsing, ibunya masuk ke kamar. Mengira Ahmed belum bangun. Mengambil sebuah surat yang tergeletak di kasur. Saat membacanya, ibunya hanya bisa meneteskan air mata. Ibunya hanya berharap anak baik-baik saja.
Kini, anak semata wayangnya sudah pergi. Pergi menjemput mimpi. Mimpi untuk menjadi pemain bola hebat.
***
Lama sekali Ahmed tidak pernah berjumpa ibunya. Sudah 10 tahun. Kabar pun tidak ada. Tidak ada yang bisa dihubungi.
Ibu satu anak ini rindu. Ingin melihat malaikat kecilnya itu ada di dekatnya. Ia teringat anaknya. Yang menemani di rumah hanya suaminya saja.
Iseng-iseng ibunya menyalakan televisi di ruang tengah. Secara kebetulan ia melihat sesosok laki-laki pemain sepakbola yang tidak asing baginya. Ia kenal dengan gaya berlarinya itu.
Wajahnya juga sudah semakin jelas. Itu tidak lain adalah Ahmed. Anak laki-laki satu-satunya yang ia punya.
Ahmed, kini benar-benar telah berubah. Beranjak menjadi pemain sepakbola profesional. Apa yang dicita-citakan Ahmed benar-benar terwujud.
Melihat itu, perempuan berusia lanjut ini hanya bisa mengalirkan air mata sederas-derasnya. Ia tidak menyangka itu terjadi.