Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Bola-Bola Ibu dan Panggung yang Tak Pernah Tutup
4
Suka
840
Dibaca

Setiap kali matahari menumpahkan dirinya ke aspal, ibu berubah menjadi makhluk bersayap-bukan malaikat, tetapi lebih mirip burung beo yang dibakar setengah matang dan tetap bernyanyi. Ia berdiri di tengah jalan seperti jarum jam yang kehilangan angka-angka, sambil menggendong adikku yang masih seperti sebongkah adonan, belum matang betul sebagai manusia. 

Tangan kanannya memutar bola-bola plastik seperti sedang mencoba membujuk planet-planet agar turun sebentar, sekadar menemaninya menari. Bola itu tak pernah jatuh, padahal ibu tak pernah benar-benar menggenggamnya. Katanya, ia sengaja menukar pertunjukan dengan keajaiban.


Orang-orang yang lewat, sering kali mengambil langkah lambat. Bukan karena terpesona. Mungkin karena heran: apakah itu sisa bayangan dari seorang wanita sirkus yang lupa jalan pulang? Atau semacam gema tubuh dari penari jalanan yang terlalu lama berdiri menanti tepuk tangan yang tak kunjung turun dari langit?

Aku sering berpikir: mungkin ibu adalah badut yang dibuang dari sirkus utama karena terlalu serius. Mungkin juga dia sebenarnya pesulap gagal yang terus mencoba trik lama dengan harapan dunia akan lupa bahwa keajaiban sudah lama wafat, dikubur bersama harga dirinya di jalan raya.

Sementara aku berdiri agak jauh, menjadi semacam bayangan panggung, memeriksa wajah-wajah yang lewat. Aku mempelajari alis, rahang, mata yang sebentar-sebentar menoleh. Beberapa memutar lehernya seperti hendak bersuara, tapi tak jadi. Aku tahu, saat seperti itu, aku harus mengangkat wajah yang paling mirip hujan yang kehilangan awan. Wajah itu telah kulatih di depan kaca retak, di antara bayangan panci dan jemuran dalam rumah yang tak pernah betul-betul berdiri. Wajah itu bukan milikku, tetapi warisan: semacam topeng tembus pandang yang hanya bisa dikenali oleh mereka yang tahu.

***

Kadang, saat jalanan mulai gerah oleh matahari yang menyerupai oven patah hati, Ibu berteriak ke langit, “Hei kalian di atas!! Ini bukan panggung yang kupesan! Mana air mata buatan dan lampu sorotnya?!”

Tak ada yang menjawab. Tetapi Ibu tetap bicara, seolah suara adalah satu-satunya properti panggung yang masih dia punya.

“Aku sudah menukar gigiku dengan tepuk tangan” katanya pada seekor kucing belang tiga yang duduk tenang di bawah trotoar. “Lihat! Tak ada yang tumbuh kembali. Hanya bisik-bisik.”

Kucing itu menguap. Ibu menganggapnya sebagai sambutan hangat.


Sore harinya, ia membawa ember bekas cat. “Hari ini kita pentas di dalam laut,” katanya sambil menyusuri jalan seolah ombak menggelombang di bawah kakinya. “Semua orang akan bernapas lewat mata. Mereka harus menangis dulu sebelum boleh menonton.”

“Apa kita akan tenggelam, Bu?” tanyaku lirih.

“Tentu saja,” katanya, “tetapi dengan cara paling anggun. Seperti burung merak yang lupa cara terbang, tapi tetap membuka ekor di udara.” 

Aku mengangguk, pura-pura paham. Karena di hadapan Ibu, logika adalah bahasa asing yang tak laku ditukar dengan nasi.

 

Kadang aku juga berpikir: mungkin ibu bukan manusia biasa. Tangannya terlalu lincah, seperti pernah dilatih oleh angin yang punya jiwa. Bola-bola plastik itu berputar seperti planet kecil yang punya orbitnya sendiri—tetapi tak pernah ada yang bertanya dari mana mereka datang, atau akan ke mana setelah semua tepuk tangan usai.

Dan setiap kali Ibu mulai berputar sambil menggendong adikku yang nyaris tak bergerak itu, aku harus berdiri dengan wajah menyedihkan. Wajah yang kulatih tiap pagi di depan cermin etalase toko: sedikit tertunduk, mata agak sembap, bibir diam seperti daun yang hampir gugur. Wajah yang seolah berkata: lihatlah kami, dan beri kami sisa uang sarapanmu.


Dan yang paling membuatku jengkel adalah ketika hujan belum sempat turun, dan aku baru hendak mencari tempat berteduh, Ibu sudah lebih dulu membuka aksinya. Bola-bola plastik dilempar ke udara, berputar seperti bintang yang mencoba jadi cahaya, dan ia mulai bernyanyi lagu aneh yang terdengar seperti mantra. “Hujan, hujan, bawa aku ke puncak pelangi! Tapi tolong, jangan jatuhkan bayi ini…”. Bola-bola menari di tangan ibu, seperti luka-luka kecil yang terus di sulam jadi pertunjukan, sementara adikku tidur dalam gendongannya seperti malaikat yang tersesat di bumi.

“Ayo!” katanya padaku. “Wajahmu belum cukup sedih! Tambah sedikit lagi, biar dunia percaya bahwa kita benar-benar hidup dari air mata!!”

Aku tak menjawab, aku hanya ingin marah.

Ingin berteriak, “Ibu! Kita bukan pemain sirkus!! Kita manusia!!”

Tapi mulutku hanya menggigit udara. Dan yang keluar hanyalah helaan napas yang lelah dan sunyi.

“Ibu,” kataku akhirnya, “kenapa belum selesai juga?”

Ia menoleh cepat, matanya membulat seperti bulan sabit yang pura-pura lupa bahwa ia dulu pernah menjadi purnama.

“Masih belum ada yang benar-benar percaya, nak.” katanya.


***

Tiba-tiba, langit seperti menarik napas panjang. Udara berhenti sejenak, seolah menunggu aba-aba dari tangan Ibu. Di bawah lampu jalan yang mulai berkedip seperti kelopak mata kelelahan, Ibu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Bola-bola plastik itu kembali berputar, lebih cepat dari biasanya. Suara lembut gesekan bola dengan angin menciptakan irama aneh, seperti musik pengantar sebelum sesuatu pecah atau berubah menjadi puing.

“Ibu… bola-bolanya kenapa?” tanyaku, nada suaraku lebih mirip bisikan ketakutan daripada pertanyaan. Aku sejenak menatap adikku yang diam saja dalam gendongannya, matanya tak berkedip, seperti tahu bahwa sesuatu akan berubah malam ini.

Ibu tidak menjawab. Matanya terbuka lebar, seperti sedang membaca pesan rahasia di udara malam. Cahaya dari lampu jalan membentuk lingkaran samar di pipinya. Sinar itu menempel seperti bekas tepuk tangan yang tak pernah benar-benar tiba.

“Kau tahu kenapa ibu terus memutar ini?” katanya padaku tiba-tiba. “Karena jika ibu berhenti, bumi akan kehilangan porosnya.” Ibu mengangkat satu bola, dan menunjukkannya padaku. Bola terguncang halus di jemari Ibu yang bergetar, seolah menunggu restu dari langit sebelum melanjutkan tariannya.

“Tiap bola berisi sesuatu yang tak sempat jadi kenyataan.”

Kemudian Ibu hanya mengulum senyum yang nyaris tak sempat mekar, lalu kembali mengayun bola-bola perlahan, seperti menenangkan semesta kecil di tangannya.


Bola-bola terus berputar. Kadang meleset sedikit, tapi selalu kembali ke jalur yang tak ditentukan langit—seolah jari-jarinya merancang semesta sendiri, di mana gravitasi tunduk bukan pada rumus, melainkan pada tekad ibu yang sudah terlalu lama menari di bawah langit yang tak pernah memberi tirai penutup.

“Ibu...”

“Hm?”

“Apa bola-bola itu bisa pecah?”

“Tentu saja,” jawabnya. “Segala yang indah pasti rapuh. Tetapi selama ia berputar, ia selamat dari gravitasi.” Ia mengangkat kembali satu bola ke atas kepalanya lagi, dan sejenak dunia benar-benar bergantung di sana. 

Tangannya gemetar lagi, tetapi bola itu tetap melayang, seolah tidak mau jatuh karena tahu yang menahannya adalah cinta yang sudah patah berkali-kali tapi masih percaya pada panggung. Aku bahkan menahan napasku sejenak—takut nanti suara dadaku akan menjatuhkan semuanya.

Lalu satu bola jatuh...

Menggelinding perlahan, berhenti tepat di tengah garis putih jalan raya. Ibu terpaku, dunia seakan ikut menahan napas. Bahkan angin pun berhenti, menunggu adegan selanjutnya. Dan ibu hanya tertawa kecil, dan berkata kepada bayangannya sendiri di bawah aspal, “Kita satu-satunya sirkus yang tak butuh penonton untuk hidup, ya?”

Kulihat bayangannya bergetar samar di bawah sorot lampu lalu lintas yang berkedip sendu. Seolah mengangguk atau menertawakan kenyataan.

Aku bangkit, hendak mengambil bola itu. Tapi ibu lebih dulu melangkah. Saat ia mengulurkan tangan untuk meraih bola itu, sebuah klakson terdengar. Nyaring sekali, tapi ibu tak gentar. Ia seperti makhluk dari dongeng masa lalu, yang sudah kehilangan rasa takut karena hidupnya terlalu penuh luka untuk menyisakan tempat bagi gentar.

Saat itu, aku merasa seisi dunia menunggu satu hal: apakah bola itu akan diambil, atau dunia akan membiarkannya lenyap di bawah ban mobil? Tetapi Ibu, seperti biasa, tetap percaya bahwa panggung adalah miliknya. Ia angkat bola itu tinggi-tinggi, seperti piala kecil yang nyaris tak berarti.

“Aku menang!” teriaknya, “Aku menang karena tetap bermain, meski tak ada yang menonton!” Suaranya serak, tapi mengandung letupan yang tak bisa diukur waktu. 

Mungkin bukan sekadar pengakuan, bukan juga perayaan. Melainkan penegasan yang diam-diam mengguncang dunia kecil kami—bahwa ia bukan pesulap, bukan pemain sirkus, bukan pengemis. Ia sedang menjadi ibu. Dan itu satu-satunya peran yang tak pernah ia akui kalah.


Ibu kembali ke trotoar, mendekap bola itu seperti bayi baru lahir. Jemarinya mencengkeramnya erat, seolah tahu bahwa pertunjukan bisa hilang hanya karena satu tarikan napas terlalu panjang.

Ia duduk di sampingku. Nafasnya berat, tetapi mulutnya masih bisa tersenyum.

“Besok kita coba trik baru ya, nak” katanya. Suaranya hampir tak terdengar, seperti pesan terakhir dari panggung yang tak sempat dibangun.

Aku hanya diam, menatap jemarinya yang masih gemetar. Bola-bola kembali di tangannya. Dan sekali lagi, mereka masih bisa menari.

Atau mungkin, bola-bola tahu, ini bisa jadi adalah tarian terakhirnya.


Lombok, 15 Mei 2025


 


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Bola-Bola Ibu dan Panggung yang Tak Pernah Tutup
Nur Khalifahtul jannah
Cerpen
Empat Babak Menuju Kenyamanan
lidhamaul
Cerpen
Bronze
Kerja, Kerja, Dikerjain
spacekantor
Cerpen
Bronze
Hanya Untukmu
mareta amelia
Cerpen
JEJAK DI JALAN SETAPAK
Alwais qorni
Cerpen
Bronze
Neraca Uriping Manungsa
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Dua Jendela
Dhiyaunnisryna
Cerpen
Perhatikan Rani
Cassandra Reina
Cerpen
JANGKA JAZ
Kiki Isbianto
Cerpen
Bronze
Donat
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Paradoks Kehidupan
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Manto dan Ayam Robot Bertopi Koboi
Arief Rahmanto
Cerpen
Guru Utara dan Selatan
Irvinia Margaretha Nauli
Cerpen
Nenek Penyapa Jalan
zain zuha
Cerpen
Kabar Kandasnya Kepercayaan Kuncoro
Bella Paring Gusti
Rekomendasi
Cerpen
Bola-Bola Ibu dan Panggung yang Tak Pernah Tutup
Nur Khalifahtul jannah