Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dihirupnya aroma Polyvinyl Acetat itu di atas titian jembatan kayu yang bergoyang. Kakinya berjuntaian ke bawah, jari jemarinya bermandikan sungai. Jembatan itu rendah saja dan memang tidak menghubungkan antara suatu daratan dengan daratan lain. Ia hanyalah sebuah penghubung sebuah jamban, toilet tanpa kloset yang langsung menyalurkan limbah ke dalam air.
Bocah itu habis berak. Tadi sambil buang hajat pun ia sambil ngelem.
Cairan perekat itu ada di dalam sebuah plastik bening. Tak ada lagi kaleng lem di situ, juga di sekitar. Tanda bahwa ia tidak mampu membeli sekaleng penuh. Barangkali dia patungan dengan temannya yang lain. Dia terus menghirup cairan kental-pekat berwarna kuning. Keadaannya setengah sadar.
Seorang laki-laki yang kira-kira berusia 61 tahun, bersarung dan kemeja putih berjalan di atas titian itu. Ia melihat bocah yang sedang mabuk lem.
“Waduh. Cukup, sudah cukup. Nanti semakin rusak otakmu.”
Si bocah hanya berhenti sebentar, merengut, lalu meneruskan “hobinya”. Menoleh pun tidak kepada si pria tua.
Tapi hanya itu yang dilakukan Haji Sabri. Teguran itu dilakukan sambil-lalu, tidak kelihatan serius. Dan lagi pula pun, tujuan utamanya menuju jamban. Entahlah, kudengar dari nada bicara Haji Sabri ada nuansa kebosanan di situ, dan juga pemakluman.
Suara azan lalu bersahut-sahutan di kampung tepi sungai itu. Bocah itu berdiri, melempar bungkus plastik beserta sisa lem ke sungai. Plastik itu mengapung, lalu bergerak ke muara sebelum terhalang eceng gondok tak jauh dari situ.
Aku yang sedang memperbaiki rantai motor di dekat titian jembatan menyaksikan rentetan kejadian tadi. Sekarang bocah itu berjalan di atas titian, lalu menyusuri jalan kampung ke arah yang berlawanan dengan seorang ibu-ibu dan anak gadisnya yang berjalan ke langgar.
***
“Siapa bocah itu, Ji? ” kataku kepada Haji Sabri selepas sholat Maghrib di langgar.
Sebenarnya pertanyaanku lebih dari sekedar siapa, tapi juga ingin tahu mengapa dan bagaimana. Tapi Haji Sabri cukup tahu maksud pertanyaanku.
Haji Sabri mulai menjawab pertanyaanku, “Ah kau. Terlalu lama di negeri orang, sih.
Di kampung ini hanya sedikit terjadi perubahan, peristiwa-peristiwa yang abnormal, dan yang dari sedikit itu adalah hal yang menimpa keluarga Joni dan Lili.”
“Joni dan Lili? Aku ingat nama itu, Ji. Ada apa dengan mereka?”
“Sebelas bulan yang lalu mereka berpisah. Joni yang baru keluar dari penjara, lebih tepatnya ditebus oleh bosnya, pulang mendapati istrinya marah besar. Lili tahu, jika Joni keluar secepat itu dari penjara, maka sudah pasti Si Bos yang mengurusnya. Dan itu berarti, Joni harus tetap bekerja dengan bandar narkoba yang licik itu.
Istrinya tidak tahan. Lalu pergi malam itu juga. Tidak ingin membiarkan dirinya satu rumah dengan Joni walau semalam.
Sebelumnya Lili telah menerima surat dari Joni yang menyatakan ia akan bertaubat. Tetapi kepulangan yang secepat itu sama berarti Joni telah merusak janji taubat yang ia buat.”
Aku lalu memotong cerita Haji Sabri, tidak sabaran. “Anak yang tadi, putra mereka Ji?”
“Betul.”
“Aih. Di mana Joni dan Lili sekarang?”
“Lili hilang sejak saat itu. Sementara Joni tidak ada kabar apapun setelah ia pamit pergi ke Malaysia untuk bekerja sebagai TKI dua bulan setelah Lili menghilang. Katanya sih, jadi supir.
Kau sudah bisa memahami apa yang terjadi kepada bocah itu, Nak Ustadz? Kalau kau tak mampu, ah percuma kau sekolah jauh-jauh.”
“Ya, ya. Kukira aku bisa memahaminya, Ji. Anak yang malang,” jawabku.
Aku lalu melanjutkan pertanyaan, “Mohon maaf banget, Ji. Izinkan aku menyampaikan ini. Pemandangan tadi sungguh tidak mengenakan hati. Lantas kenapa kau terlihat biasa-biasa saja saat berpapasan dengannya?”
Haji Sabri seperti tidak terganggu dengan pertanyaanku. Katanya, “Lah, bagaimana aku harus bereaksi? Paling tidak seminggu sekali aku melihat ia menghirup aroma sialan itu. Sudah biasa.
Begini, awalnya aku menegur dengan keras. Misalnya, aku pernah merebut paksa plastik berisi lem itu lalu melemparkannya ke sungai.
Tapi yang semacam itu tidak mempan. Malah ia marah. Sendalku di depan langgar hilang paling sedikit sudah lima pasang. Motorku di depan rumah, mula-mula hanya ia mengempiskan bannya, sampai suatu hari motorku terbaring lemas dengan kondisi hilang satu ban. Itu yang ia perbuat setelah ditegur dengan keras. Itu hanya sebagian kejadian yang menimpaku. Kejadian semacam itu pun juga menimpa setiap orang yang berusaha mengintervensinya.”
Aku melongo mendengar cerita Haji Sabri.
“Sabar. Jangan kaget dulu, Nak Ustadz. Ada cerita selanjutnya yang akan membuatmu lebih tertegun.”
Aku tak menjawab, tapi memasang wajah penasaran.
“Bapaknya sebenarnya bukan tidak ada kabar sama sekali. Setiap satu bulan sekali, datang uang kiriman yang tidak seberapa, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Itu pun dengan menu yang sangat hemat. Kiriman itu datang diantar orang yang tidak akan menyampaikan di mana Joni walau ditanya seratus ribu kali.
Pertanyaannya, jika uang itu hanya cukup untuk makan, dimana ia mendapatkan uang untuk lem itu? Hasil dari memalak bocah kampung. Atau bocah dari luar kampung yang kebetulan lewat sini. Ia preman bagi bocah-bocah. Sebenarnya pun juga preman bagi seluruh warga kampung.
Kalau ada anak yang tidak memberinya upeti. Maka ia akan mengganggu anak itu.
Pokoknya, ia akan melakukan hal-hal yang mengganggu ketentraman kampung jika ia tidak bisa membeli lem. Selebihnya, jika ia bisa menyedot aroma busuk itu, kampung tenteram.
Orang-orang di sini memilih menyerah daripada mesti diganggu. Sebagian keputus asaan itu juga berasal dari pemakluman bahwa ia adalah korban dari kedua orang tuanya yang tidak bertanggung jawab.”
***
Joni bisa dikatakan adalah sahabat karibku sebelum aku pergi nyantri di Tanah Jawa selepas SMP.
Dengannya, aku biasa bermain layangan, petak umpet, atau menangkap belalang yang hinggap di daun keladi. Sebagaimana anak sungai pun, kami biasa memacu adrenalin dengan terjun dari atas jembatan ke dalam sungai. Lalu balapan dengan berenang mengejar kelotok (perahu mesin), atau membiarkan tubuh kami digerakkan arus sungai menuju tempat yang cukup jauh. Pulang ke rumah dengan jalan kaki dan dimarahi orang tua kami karena matahari hampir tenggelam sepenuhnya.
Maka oleh sebab itu, aku ingin membantu si bocah pecandu lem itu. Dia anak teman masa kecilku.
Yang tidak kalah penting, aku ingin berbuat sesuatu untuk kampung. Aku telah meninggalkan tempat ini sembilan tahun. Nyantri di salah satu pondok bergengsi di Tanah Jawa. Lalu lanjut mengenyam pendidikan sarjana keislaman di Negeri Mesir. Aku tidak hanya ingin sekedar memberikan ceramah di langgar, atau mengajar di sekolah. Itu sudah biasa. Lebih dari itu. Aku ingin terlibat langsung menyelesaikan problem-problem di masyarakat.
***
Lewat Haji Sabri pula aku tahu Sakur pandai bermain bola. Dan aku menyaksikannya ketika ia bermain bola di lapangan kampung sebelah. Otaknya memang hampir tumpul karena keseringan mengonsumsi aroma Polyvinyl Acetat, tapi fisik dan staminanya di atas rata-rata. Dan ia berani, tidak penakut –termasuk kemampuan yang paling penting di dalam sepak bola.
“Huh. Sekolah bikin capek, Pak Ustadz! Banyak PR!” ujar Sakur ketika pertama kali kuutarakan maksudku. Ditangannya tergenggam lem kaleng yang belum dibuka.
Sakur memegang ijazah SMP, lulus satu tahun yang lalu.
“Aih. Kau bisa banyak mengambil libur jika kau berhasil membawa tim sepakbola sekolah sampai ke Jakarta. Sekolah tempatku mengajar pun punya lapangan sepakbola yang bagus, rumputnya bersaing dengan kualitas rumput di stadion kota kita. Kau juga tidak perlu mencuri bola plastik lagi dari warung Acil Ijum karena di sana disediakan bola yang betulan. Di sana juga ada jogging track, lapangan basket, lapangan futsal indoor, arena panahan, lengkap dengan segala peralatannya”
Keesokan harinya, aku mengajak Sakur ke sekolah tempatku bekerja. Sebuah sekolah berasrama di tengah kota yang baru beroperasi empat tahun lalu. Sekolah ini punya ambisi untuk berprestasi di berbagai bidang termasuk olahraga. Bidang akademik sudah dikuasai sejak dua tahun yang lalu, nomor dua terbaik se-Provinsi.
Susah payah aku meyakinkan kepala sekolah untuk memberikan beasiswa ke Sakur. Janjiku kepadanya bahwa Sakur akan membawa sekolah minimal mewakili provinsi ke kejuaraan sepakbola tingkat SMA se-Indonesia. Tentu aku juga menyertakan alasan muliaku: ingin memperbaiki seorang manusia.
Alhamdulillah, Sakur sangat tertarik dengan sekolah ini, lebih tepatnya dia tertarik dengan fasilitas olahraga sekolah yang sangat lengkap.
Bagaimana dengan kecanduannya terhadap lem? Maka, inilah hasil ijtihadku dan hal ini sudah kubicarakan baik-baik dengan kepala sekolah. Bahwa Sakur punya kecanduan lem dan adalah tugasku untuk meng-handle-nya. Aku juga sudah berkonsultasi dengan psikolog dan mereka pun siap membantuku dan membantu Sakur.
Hari-hari berlanjut di sekolah berasrama ini dengan kegiatanya yang teramat padat. Kesibukan adalah variabel utama yang bisa mengontrol Sakur. Sakur bersedia mengikuti jadwal belajar karena setiap sore dan akhir pekan dia akan menghabiskan waktu di fasilitas olahraga terutama lapangan sepakbola.
Bilamana dia malas mengerjakan tugas sekolah, terlambat berangkat, atau berkelahi, maka dia akan dilarang bermain bola. Pelatih tim sepakbola pun tak segan tidak memainkannya selama 90 menit permainan. Dihalangi dari kebahagiannya tersebut, Sakur rela memperbaiki disiplinnya. Bermain sepakbola sungguhan di kompetisi bergengsi bagaimanapun jauh lebih menyenangkan ketimbang hanya bermain tarkam.
Cukup satu semester saja, ia sudah lepas dari kecanduan lem.
Ketika masa liburan, warga kampung sudah tidak melihat lagi Sakur yang beringas sekaligus kasihan. Tidak ada lagi bau menyengat dari kaos yang dikenakannya, juga mata merah berair. Bicaranya sudah lebih terarah, lebih sopan.
Tahun pertama, tim sepakbola sekolah gagal melaju ke tingkat nasional setelah kalah di babak final tingkat provinsi. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak dipermasalahkan kepala sekolah karena sebelumnya sekolah hanya mampu sampai di tingkat enam belas besar provinsi.
Di tahun kedua SMA, sekolah berhasil lolos ke tingkat nasional. Bahkan klub sepakbola lokal yang bermain di liga nasional sudah mulai mendekati Sakur. Semua takjub terhadap Sakur saat bermain bola. Ia memang bukan tipe pesepakbola yang cerdas. Ketika diminta pelatih untuk memberi masukan untuk strategi, Sakur bingung menjawabnya.
Tetapi larinya cepat, body-nya kokoh, tidak takut ketika merebut bola dari lawan; sebagian kemampuan utama yang dibutuhkan seorang gelandang bertahan.
Di tingkat nasional, tim sepakbola sekolah hanya dapat memainkan dua laga. Mereka tidak lolos di tahap berikutnya. Tapi ini lebih cukup dari apa yang kujanjikan kepada kepala sekolah.
***
Namun, ada satu masalah yang aku “gagal” mengatasinya. Dulu, Sakur memang tidak melalui tes masuk sekolah sebagaimana mestinya. Sakur diterima karena dia diharap akan melengkapi prestasi sekolah di bidang olahraga. Sekolah tidak melihat potensi akademiknya.
Pada semester pertama di kelas dua belas, Sakur tidak pernah memenuhi angka minimum untuk lulus saat mengerjakan uji coba Ujian Nasional. Sudah sepuluh kali uji coba dilakukan, nilainya masih menyedihkan.
Di tingkat akhir, hampir tidak dibolehkan lagi kegiatan-kegiatan ekstra. Sekolah memprogramkan seluruh siswa kelas dua belas untuk fokus ke bidang akademik: lulus ujian nasional dan bisa masuk perguruan tinggi yang bagus.
Hal ini yang sama sekali tidak terpikir olehku.
Dan tebak, Sakur betul-betul menderita dengan kegiatan sekolah. Ia memang masih bisa bermain bola, tapi dengan waktu yang jauh lebih sempit. Juga tidak ada lagi kompetisi bola. Sekarang di waktu akhir pekan pun ada kelas tambahan.
Dan di tengah-tengah rutinitas sekolah yang membosankan dan menekan, Sakur teringat kedua orang tuanya yang pergi meninggalkannya. Joni dan Lili lah pemicu sebenarnya mengapa Sakur dulu menjadi berandal dan menghirup aroma lem. Sebelum Joni dan Lili pergi saja, masa kecil Sakur sudah berantakan karena Joni keluar masuk penjara dan sering berkelahi dengan Lili di rumah.
Sekolah dan sepakbola sempat menyembuhkan Sakur, lama malah. Tetapi kini situasinya bukan seperti dulu lagi. Aku luput menghitung risiko ini.
Baru pekan pertama di semester keenam –semester terakhir, Sakur berkelahi dengan Ketua OSIS di ruang kantin. Ketua OSIS menegur Sakur yang ia dapati menyedot aroma lem di gedung olahraga. Ketua OSIS itu sebenarnya berniat baik, dia bilang ke Sakur kalau dia tidak akan melaporkannya ke dewan guru.
Tapi Sakur tersinggung berat, Ia menggenggam kerah baju ketua OSIS itu dan melemparkan tubuhnya ke dinding. Kepala bagian belakangnya terbentur dengan cukup keras, pingsan seketika.
***
Di hadapan rapat dewan guru yang juga dihadiri pengurus yayasan, aku menyampaikan keberatan dengan lantang terhadap usul ketua yayasan dan kepala sekolah yang hendak memberhentikan Sakur dari sekolah.
“Anak itu berhasil membawa sekolah kalian lebih dipandang. Anda tahu itu!”
“Tapi yang dilakukannya beberapa waktu lalu itu keterlaluan,” kata kepala sekolah.
“Persetan,” aku benar-benar emosi, “satu tahun lalu ada kejadian serupa, dilakukan oleh siswa yang berbeda. Anda hanya memberikan sanksi skorsing selama satu minggu!”
Kepala sekolah terdiam. Sekitar lima belas detik dia tanpa suara setelah mendengar fakta yang sebenarnya ia ketahui sendiri.
“Tapi nilai-nilai Sakur jelek. Dia kemungkinan besar tidak akan lulus ujian nasional.”
Aku tidak akan berpanjang cakap mengenai dialog di ruang rapat ini karena ini hanya cerpen.
Apa yang kuketahui adalah bahwa Sakur akhirnya diberhentikan terutama karena pejabat sekolah hendak menyelamatkan nama baik sekolah. Seperti yang sudah kusinggung sebelumnya, SMA ini berambisi untuk menjadi yang terbaik. Sakur berpotensi besar mencoreng prestasi dengan ketidak lulusannya di Ujian Nasional.
Aku terlibat banyak dalam kezaliman ini secara tidak sadar.
Sekolah menerima Sakur karena ingin sekolah mendapat nama baik yang lebih dan ternyata sekolah juga tidak masalah untuk menyingkirkan Sakur untuk nama baik juga. Sakur tidak berguna lagi setelah kompetisi sepakbola.
***
Tapi Sakur lain hal. Dia sama sekali tidak merasa apa-apa ketika diberhentikan dari sekolah.
Lima bulan kemudian aku menontonnya di stadion sepakbola sedang berlatih dengan klub sepakbola lokal yang mendekatinya dulu. Sakur berlatih di tim akademi.
Semangatnya kembali menggebu-gebu. Ia menjadi highlight di antara anak-anak lain.
Sebelumnya, aku mengobrol dengan Haji Sabri. Kata Haji Sabri, semenjak Sakur diberhentikan dari sekolah itu lalu masuk tim akademi klub sepakbola lokal, akhlaknya kembali membaik. Orang-orang kampung malah sangat bangga ada bocah sini yang suatu saat nanti berpotensi tampil di liga nasional.
Selepas latihan, Sakur menghampiriku. Kami saling bertukar kabar. Aku mengajaknya ke restoran terdekat.
“Tunggu ya. Saya Sholat Ashar sebentar, Ustadz.”
Dia berjalan menuju musala stadion, berlawanan arah dengan kebanyakan teman-temannya.
-----