Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Dia sendirian, tak baik jika sendirian. Mari ajak dia berkawan.”
Di atas batu itu, bocah merah duduk, tampak sedih. Tidak ada yang peduli, tidak ada yang menghampiri untuk sekadar bertanya, ‘Kenapa kamu sedih?’. Mungkin alasan kenapa tidak ada yang bertanya, karena tidak ada yang bisa melihat bocah merah. Kecuali aku dan Stefani. Oleh karena itu, kami menemuinya hari ini. ‘Bocah merah’, begitu kami menyebutnya, karena dia lupa namanya. Bocah merah hanya punya kristal berbentuk hati, tapi dia bilang itu gagang pintu, bukan kristal.
“Bagaimana kristal bisa menjadi gagang pintu?” Tanyaku penasaran.
“Jika aku membuat orang lain bersalah.”
Tidak ada yang mengerti, dan kami memilih tidak kembali bertanya. Papa bilang anak kecil tidak boleh banyak tanya, anak kecil hanya butuh bermain. Oleh karena itu, kami mengajak bocah merah bermain. Aku mengusulkan untuk bermain kejar-kejaran, dan mereka sangat setuju. Kami berlari ke sana kemari, saling mengejar sambil tertawa lepas. Hingga akhirnya rasa haus dan keringat yang bercucuran memaksa kami berhenti sejenak. Aku dan Stefani mampir minum segelas air es di rumah Paman Onad, karena kalau minum air es di rumahku atau di rumah Stefani, pasti Mama kami akan melarang. Bocah merah aku beri satu gelas. "Terima kasih," kata bocah merah. Tapi ia tak meminumnya. Aku pikir dia tak haus. Dia juga tak tampak lelah dan tak berkeringat seperti kami berdua.
“Di tempatku, banyak sekali manusia yang bermain kejar-kejaran, biasanya yang mengejar ular, atau kalajengking raksasa.” Ucap Bocah merah tiba-tiba.
“Wou! Di mana tempat itu? Terdengar seperti dongeng yang sering dibacakan Mama dan Papa,” tanya Stefani antusias sambil berjalan memutari bocah merah dan mengamatinya dari kepala hingga ujung kaki. Bocah merah terlihat seperti domba, tapi kata bocah merah, bulu-bulu seperti kapuk itu hanya pakaian dan bisa dilepas. Sebagaimana bocah merah, ia berwarna merah dengan aroma arang. Tangannya masih menggenggam kristal berbentuk hati.
“Akan selalu jadi dongeng, tapi saat kalian mati, itu akan jadi dunia yang nyata.” Lagi-lagi kami tak mengerti. Bocah merah selalu melantur, tapi kata Mama, wajar jika seorang bocah ngelantur. Karena aku juga suka ngelantur, jadi tidak apa-apa. Kemudian Stefani mengajak kami main petak umpet. Bocah merah berjaga duluan, tapi tidak sampai sepuluh detik, dia sudah bisa menemukan kami.
“Bagaimana bisa kamu tahu kami ada di rumah pohon?” tanyaku kesal. “Kamu curang ya?”
“Bau kalian seperti tanah liat, aku tidak suka bau tanah lihat, tapi... aku suka kalian.” Jawab bocah merah.
Ha, bau tanah liat? sebelum bermain, kami tentu sudah mandi. Mama kami yang memandikan kami. Stefani pun sudah pakai parfum aroma stroberi. Aku sudah memakai minyak kayu putih. Bagaimana bisa kami berbau tanah liat? Bocah merah memang aneh. Kata Mama, hindari orang aneh dan mencurigakan. Dan bocah merah aneh, tapi bocah merah tidak mencurigakan, dia hanyalah bocah kesepian. Tidak ada alasan untuk kami meninggalkannya.
Meski sudah bermain dua permainan yang menyenangkan, bocah merah masih saja sedih. Ia hanya memandangi kristalnya. Kata dia, itu gagang pintu. Tapi tetap saja, itu kristal berbentuk hati. Aku dan Stefani saling pandang. Aku mendekatkan bibirku ke telinga Stefani. “Kenapa dia?” Bisikku. Stefani hanya mengangkat bahu yang artinya tidak tahu.
“Kenapa kamu sedih?” aku mencoba bertanya.
“Aku hanya ingin pulang, dan hanya bisa setelah aku membuat orang lain bersalah. Tapi, aku tidak tahu caranya.” Bocah merah makin sedih. “Guru bilang, ini ujian praktik. Kalau aku sudah bisa buat orang lain bersalah, guru akan menjemputku. Dan aku lulus, orang tuaku akan bangga, dan aku akan naik kelas.”
Aku dan Stefani tak paham, penjelasannya terlalu rumit. Kami berdua masih 6 tahun. Di sekolah, yang kami tahu hanya ada kegiatan mewarnai, ayunan, dan bernyanyi. Oh iya, terkadang juga senam pagi setiap hari Jumat. Kami tak pernah mendengar ujian dan lulus. Apa itu ujian dan lulus? Apakah sesuatu yang menyenangkan? Mungkin saja sesuatu saat aku akan mendapatkan apa yang bocah merah dapatkan. Mungkin saja Ms. Elma akan memberiku kristal berbentuk hati dan memberiku tugas. Tapi, aku tak mau tugas membuat orang lain bersalah, karena kau tidak mengerti. Maka, aku mau tugas membantu orang lain saja, karena aku suka membantu orang lain. Mungkin membantu bocah merah bukanlah hal yang buruk. Lalu, aku memutuskan untuk membantu bocah merah agar ia tidak sedih. Stefani sepakat denganku.
Bocah merah tersenyum lebar. Kami baru sadar bahwa giginya bertaring, tak terlalu panjang, tapi cukup mencolok. Aku pikir itu cukup keren, seperti harimau. Terkadang aku membayangkan diriku adalah harimau, yang mempunyai gigi-gigi yang tajam. Stefani sedikit takut, katanya dia mirip seperti Baba Cloanța, tokoh Dracula yang ada di buku dongeng yang pernah dibacakan Mamanya. Bocah merah meminta maaf dan langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Aku bilang ke Stefani untuk tidak takut, bocah merah baik, dia meminta maaf, orang jahat tidak akan meminta maaf. Stefani pun ikut meminta maaf karena sudah takut.
“Kira-kira apa yang harus kami bantu?” Tanyaku.
Bocah merah mulai berpikir, matanya melirik ke kanan atas. “Kita bermain, bahasa saja, dan hanya bahasa ‘Ah’ yang kita tahu,” ucap bocah merah.
“Aku tak mengerti” jawabku
Stefani menanggapinya dengan antusias, “Sepertinya seru, aku suka belajar bahasa Inggris dengan Mama, dan bahasa Mandarin dari Nenek Lou. Mungkin aku bisa belajar bahasa ‘Ah’ dengan kamu.”
Aku tidak benar-benar memahami bahasa Ah yang diciptakan bocah merah, dan hampir 1 jam 30 menit, kami hanya mengucapkan bahasa Ah, ‘ah’ dengan nada panjang untuk tidak, ‘ah’ dengan nada pendek untuk iya. Hanya bocah merah yang boleh bebas berbicara dan memberikan kami pertanyaan-pertanyaan jebakan. Stefani menikmatinya karena Stefani memang begitu. Aku tidak terlalu menikmati, tapi aku harus ikut bermain. Siapa pun yang secara tidak sengaja bertutur dengan bahasa sehari-hari harus mencium pantat kucing (ini peraturan yang bocah merah buat, aku tidak terlalu setuju, tapi Stefani bilang ‘ah’ dengan cepat yang artinya setuju). Selang beberapa waktu, Stefani dijemput mamanya. Dia harus tidur siang, katanya, dan permainan masih berjalan.
“Fani sayang, ayo pulang.” Mama Stefani memanggil.
“Ah!” Stefani menjawab Ah dengan cepat, yang artinya Ya. Tapi aku bingung saat mama Stefani malah tampak marah, alisnya seperti orang jaha di film kartun. Sepertinya dia tampak Marah.
“Siapa yang mengajarimu membantah?” ucap Mama Stefani sambil bertegak pinggang (bertegak pinggang artinya berdiri dengan kedua tangan bertumpu pada pinggang). Ia tampak kesal dan marah. Bocah Merah bilang, ‘ah’ pendek itu artinya ‘iya’, tapi kenapa Mama Stefani bilang itu membantah? Bagaimana kata ‘ah’ bisa jadi membantah? Aku tidak mengerti. Saat Papa marah, itu berarti aku melakukan kesalahan, dan Mama Stefani marah, berarti Stefani baru saja melakukan kesalahan. Mama Stefani menarik tangan Stefani agak kuat. Mata Mama Stefani tajam melihat ke arahku, sepertinya dia marah juga kepadaku. Bocah merah hanya tertawa dan melompat-lompat sambil bertepuk tangan.
Aku penasaran dan bertanya, “Kenapa kamu tertawa?” Bocah merah tidak langsung menjawabku, ia berhenti, mematung sesaat kemudian dengan keras mengatakan.
“Kamu kalah, kamu mencium pantat kucing!” Sambil menunjukku.
Aku terkejut, sungguh. Aku tidak sadar, ternyata kita masih ada dalam permainan. Aku kalah, tapi aku tidak mau mencium pantat kucing, karena aku jijik. Melihat aku yang hampir menangis, bocah merah memberiku bunga mawar yang entah dipetik dari mana.
“Ya sudah, cium bunga saja,” bocah merah menyodorkan bunga ke arah wajahku. “Ini jangan menangis ya.”
“Terima kasih.”
Sudah aku duga, bocah merah memang baik. Dia seperti kakak. Kakak suka mengalah saat aku mau menangis. Mungkin saja dia lebih tua dari kami dan tak pantas bagi kami memanggilnya bocah merah, karena bocah artinya anak kecil. aku mencium mawar itu. Aku baru tahu, ternyata bunga mawar benar-benar wangi. Aku hanya tahu bunga mawar dari buku yang Mama beli di toko buku, karena Mama suka sekali dengan bunga-bungaan.
“Mama suka bunga, boleh aku bawa bunga ini untuk Mama?” tanyaku. Bocah merah hanya tersenyum dan mengangguk yang artinya ‘iya’. Pada saat itu juga, aku berpamitan dengan bocah merah. Bocah merah tampak sedih, tapi aku berjanji akan menemuinya kembali besok, bersama Stefani. Bocah merah kembali tersenyum, kali ini sedikit lebar. Aku kembali ke rumah, dan bocah merah kembali duduk di batu besar.
***
Pagi setelah sarapan dan minum susu coklat, aku meminta Mama segera memakaikanku sepatu. Aku meminta Mama karena Papa selalu sibuk dengan korannya. Kalau sudah membaca koran, Papa tidak peduli dengan siapa pun. Setelah sepatu warna merah bergambar wajah Spiderman terpasang di kedua kakiku, aku lekas berlari menuju batu besar, tempat di mana bocah merah berada, yang tak jauh dari rumahku dan Stefani. Dari kejauhan, aku terkejut melihat Stefani yang sudah lebih dulu ada di sana. Aku sempat berpikir, mungkin dia akan dihukum oleh Mamanya setelah kejadian kemarin. Seperti saat Papa menghukumku dulu, ketika aku main hujan-hujanan dan akhirnya tidak boleh keluar rumah selama dua hari.
“Hai!” Sapaku
“Hai!” jawab mereka berdua hampir berbarengan.
Bocah merah dan Stefani sedang berjongkok di tepi jalan, mengamati sesuatu yang tidak aku tahu. Mereka tampak serius. Aku sedikit kesal karena mereka tidak memperhentikanku.
“Kalian sedang apa sih?!”
Bocah merah menunjuk sebuah benda yang ada di tengah jalan. Aku coba memicingkan mata, memastikan benda apa yang ada di sana. Dan, wow, itu sebuah paku payung yang cukup besar. Bagaimana bisa berada di sana? Pemilik kendaraan yang terkena paku itu pasti akan sangat sedih dan marah. Aku tahu itu karena dulu Papa pernah sangat marah waktu ban mobilnya kempes karena paku payung. Aku tahu Papa marah karena Papa menendang-nendang ban mobilnya. Saat aku ingin menyingkirkan paku itu, Stefani dan bocah merah menahanku.
“Jangan, kami sedang bertaruh,” ucap Stefani. “Jika mobil dari arah kanan yang terkena paku, bocah merah akan memberiku bunga lavender, bunga yang ada di dalam dongeng Petualangan Oki dan Nirmala.”
“Jika dari arah kiri, aku menang. Stefani akan memberiku coklat, katanya itu enak,” ucap bocah merah sambil melompat-lompat. Kristal berbentuk hati masih ada di tangannya, kali ini sedikit menyala, warnanya merah, seperti permen kaki yang sering dibeli Kakak.
Tapi, kenapa mereka melakukan itu, aku tidak paham. Kata Mama, bertaruh itu tidak baik, bertaruh sama dengan judi, dan sekarang Stefani dan bocah merah malah asyik bertaruh. Kupikir mereka mungkin melakukan sesuatu yang tidak baik. Saat aku beritahu jika mereka melakukan sesuatu yang keliru, Stefani malah berkata, “Aku tahu kok, Mama juga bilang begitu, tapi ini cukup menyenangkan.” Aku tidak bisa menentang ucapan Stefani, karena aku takut dia marah dan tidak mau lagi bermain denganku. Jadi, aku memutuskan untuk diam dan duduk sebelahnya. Sekarang kami berjejer seperti burung pipit yang bertengger di kabel.
Beberapa kendaraan lewat dari arah kanan dan kiri, tidak ada satu pun ban yang menyentuh paku itu. Setiap ada kendaraan yang lewat, mata mereka mulai melebar dan bibir mereka sedikit tersenyum, lalu normal kembali saat ban kendaraan tidak mengenai paku. Sedangkan aku berdoa, berharap agar paku itu tidak mengenai satu pun kendaraan. Tapi sayang sekali, tak seberapa lama, mobil sedan warna navy (kata Mama, warna navy adalah warna biru yang tercampur sedikit kopi) melaju kencang dari arah kanan. Ban depan mobil sebelah kiri menghantam paku itu dan mulai meletup-letup, lalu kempes seperti slime yang berputar-putar, sedikit oleng ke kanan dan ke kiri, dan berakhir berhenti di tepi jalan. Stefani melompat kegirangan merayakan kemenangannya. Bocah merah ikut melompat-lompat kegirangan, padahal ia kalah. Aku kembali memperhatikan mobil itu. Malang sekali. Betapa terkejutnya aku saat melihat orang yang keluar dari mobil itu adalah Paman Onad, pria baik yang sering memberi kami minuman segar. Aku kasihan kepada Paman, tapi sepertinya Stefani dan bocah merah sama sekali tidak peduli.
Sesuai janji, bocah merah mengeluarkan sesuatu dari dalam baju bulu dombanya. Dari sana keluar bunga lavender warna ungu. Stefani senang sekali, dia mencium bunga itu.
“Hemm, aromanya seperti lavender.”
“Itu memang lavender,” bocah merah mengingatkan.
Sekali lagi, Stefani sangat senang, membawanya sambil berlarian mengitari kami. Bocah merah tampak senang, sepertinya dia senang melihat orang lain senang. Aku tak senang, bukan berarti aku tidak senang saat melihat temanku senang, hanya saja aku kasihan dengan Paman Onad.
Kristal yang dibawa bocah merah kembali menyala, agak terang dari sebelumnya. Bocah merah bilang aku hampir bisa pulang, dan mengangkat kristal berbentuk hati tinggi-tinggi. Stefani bilang kristalnya indah, matanya berbinar-binar menatap kristal itu. Bocah merah kembali mengingatkan, itu bukan kristal, itu gagang pintu.
“Kalo itu gagang pintu, di mana pintunya?” tanyaku.
“Nanti, kalo sudah waktunya.”
“Lantas kapan waktunya?” Stefani bertanya dengan antusias.
“Em, mungkin jika kalian mau membantuku.”
“Aku mau bantu... tapi, kamu mau ke mana jika sudah dapat pintunya.” Stefani kembali bertanya.
Aku hanya menatap mereka yang tampak seru, tolah-toleh ke kanan dan ke kiri. setiap mereka berbicara. Bocah merah menjawab bahwa dia akan kembali pulang, ke dunianya. Dunia yang unik, banyak makhluk-makhluk yang juga unik, katanya, hutan dan buah-buahan merah, seorang penjaga yang seperti mau memakannya, dan banyak api dengan berbagai warna seperti warna-warna pelangi. Karena banyak api, jadi tidak perlu cari korek api lagi untuk menciptakan api, dan-dan yang lainnya. Sekarang di dunia ini, bocah merah sengaja diasingkan dari dunianya untuk sementara, dan dapat kembali setelah membuat manusia bersalah, dan-dan seterusnya. Bocah merah tidak terlalu pandai menceritakannya, tapi Stefani bisa mengerti apa yang dimaksud bocah merah.
“Wow, kisahmu terdengar seperti dongeng Hansel dan Gretel, sebuah dongeng dari Jerman. Kristal... eh, maksudku, gagang pintu yang kamu bawa seperti kerikil berkilau yang dibawa Hansel untuk pulang. Mama pernah membacakannya sebelum tidur.”
Stefani sangat suka cerita dongeng, dari yang lucu sampai yang seram. Tapi aku tidak terlalu suka dongeng seram, karena dongeng seram membuat aku takut. Papa tidak suka kalau aku takut, soalnya aku jadi tidak berani ke kamar mandi sendiri malam-malam. Tapi Mama beda, dia selalu mau menemani aku, bahkan meskipun aku tidak takut.
“Baiklah, ayo kita bantu bocah merah pulang,” ucap Stefani.
Stefani menarik kedua tanganku. Tubuh Stefani lebih kecil dariku, tapi larinya lumayan cepat. Aku sampai tersandung-sandung. Kami berlari dan terus berlari hingga sampai di rumah pohon yang ada di taman. Kami duduk melingkar di sana. Stefani mengawali pembicaraan. Persis seperti rapat, aku tahu rapat karena Mama pernah mengajakku ke kantornya. Dalam rapat, orang-orang akan membahas sesuatu yang rumit. Aku rasa kita sedang rapat, karena Stefani mulai membahas sesuatu yang rumit.
“Baiklah, apa lagi yang harus kami bantu, agar kamu bisa lekas kembali ke duniamu?” mata Stefani menatap wajah bocah merah dengan penuh rasa penasaran, “aku harap itu sesuatu yang menyenangkan.” Lanjutnya.
Bocah merah mulai berpikir, tangannya bersimpul di dada, duduknya bersila, matanya melirik ke atas, dan mengatakan, “Aha!” saat ia sudah menemukan jawabannya. “Kalian tidak perlu repot-repot membantu, kalian ikut saja ke duniaku.” Bocah merah berdiri, lalu mengangkat lagi kristal... maksudku, gagang pintu itu. Aku tidak tertarik pergi ke dunia bocah merah, karena kurasa dunia bocah merah menyeramkan, belum lagi Mama selalu mengingatkanku kalau aku tidak boleh pergi terlalu jauh, nanti Papa bisa marah. Aku tidak mau Papa marah. Karena kalau Papa marah, aku pasti akan menangis. Kalau aku sudah menangis, Mama akan datang dan memelukku. Tapi, berbeda dengan Stefani, sepertinya dia sangat ingin pergi ke dunia bocah merah, lalu sedetik kemudian, wajahnya berubah jadi murung.
“Tapi... besok hari Senin, kita ada jadwal masuk sekolah,” ucap Stefani. Aku hampir lupa kalau besok adalah hari Senin. Untung besok hari Senin, aku jadi tak perlu repot-repot menolak ajakan bocah merah.
“Bilang saja ke orang tuamu, kalau perutmu sakit,” usul bocah merah, “mungkin saja mereka akan mengizinkan.”
“Tapi itu berbohong, kata Mama, berbohong itu artinya tidak berbicara dengan jujur,” ucapku menolak, “itu tidak baik.”
“Itu tidak berbohong, itu namanya berbicara berdasarkan imajinasi,” jawab bocah merah dengan sangat meyakinkan. Stefani tidak membelaku, atau mengatakan bahwa ajakan bocah merah salah. Dia hanya berbicara tentang apa yang dia pikirkan. Tapi, aku rasa dia memang sedikit membela bocah merah, karena dia sangat ingin pergi ke dunia bocah merah.
“Tidak apa-apa, kita masih anak-anak, orang dewasa akan memaklumi kita. Aku pernah melihat anak kecil seperti kita memukul temannya yang lebih lemah, orang tuanya hanya bilang, ‘Wajar, namanya juga anak-anak,’ begitu,” ucap Stefani sambil menirukan gaya dan nada bicara orang yang pernah dilihatnya. “Aku pikir, jika kita berbohong satu kali, itu tidak masalah, karena wajar, masih anak-anak.” Ucap Stefani.
Pada hari itu, kami sepakat untuk membuat alasan, atau berbicara berdasarkan imajinasi. Aku tidak mau bilang berbohong, karena berbohong itu tidak baik. Stefani sudah sangat yakin, tapi aku masih ragu-ragu. Bocah merah kegirangan, kristal... maksudku gagang pintu itu mulai kembali menyala. Stefani dan bocah merah tidak sabar untuk besok, sedangkan aku sepertinya akan menangis. Aku menahannya.
***
Keesokan harinya, aku tidak membuat alasan apa pun atau berbicara dengan imajinasi kepada Papa dan Mama. Aku takut kena marah Papa jika aku berbohong, dan aku takut membuat Mama kecewa karena aku berbohong. Berbohong itu tidak baik. Aku berangkat bersama Papa naik sedan, aku duduk di kursi belakang. Di perjalanan, aku melewati batu besar, dan bocah merah tidak ada di sana. Lalu, aku melewati rumah Stefani, dan rumahnya juga tampak kosong. Bahkan di sekolah pun, bangku Stefani kosong. Biasanya dia duduk dengan santai di sana, sambil melihat-lihat gambar yang ada di buku dongengnya. Baiklah, mungkinkah mereka sudah pergi ke dunia bocah merah? Aku khawatir, tapi jika itu Stefani, dia pasti akan baik-baik saja. Stefani lebih berani dan kuat dariku. Meski umur kami sama, dia sudah seperti Kakakku. Dia selalu melindungiku dari bocah-bocah nakal. Meski bocah-bocah nakal lebih besar dari Stefani, tidak ada yang berani melawan Stefani. Dia tanpa ragu akan membentak dan menerjang bocah-bocah nakal yang menggaguku. Stefani baik kepadaku. Aku berdoa semoga Stefani baik-baik saja, dan kembali dengan membawa cerita-cerita yang luar biasa, hasil dari petualangannya.
***
“Selamat tidur ya, Nak.” Ucap Mama.
Setelah Mama mematikan lampu kamarku, sesuatu seperti kerikil menghantam jendela, satu kali, dua kali, dan tiga kali. Aku tak mau memeriksa karena aku takut, aku memilih bersembunyi dalam selimut, dan sedikit mengintip. Ketakutanku sirna saat aku lihat wajah Stefani muncul dari balik jendela. Aku tidak menyangka dia akan kembali lebih cepat. Aku melompat dari kasur dan bergegas membukakan jendela untuk Stefani. Saat jendela terbuka, bukan hanya Stefani yang ada di sana, tapi juga bocah merah.
“Hai, kamu tidak kembali ke duniamu?”
“Bukan tidak, tapi belum. Kami menunggumu.” jawab bocah merah.
“Benar, kami menunggumu. Awalnya hanya aku dan bocah merah yang akan berangkat, tapi tentu itu tidak akan menyenangkan jika kamu tidak ikut. Kitakan sudah berjanji akan pergi bersama.” jawab Stefani..
Stefani memang begitu, dia adalah teman yang tidak pernah ingkar janji. Dia bilang, dia ingin seperti Hans Brinker, tokoh anak laki-laki dalam dongeng The Silver Skates yang penuh tanggung jawab dan sangat setia pada sebuah janji. Stefani tersenyum ke arahku, tampak manis, matanya berbinar-binar, kedua tangannya bersimpul di belakang punggung, seperti menyembunyikan rahasia kecil, dan satu kakinya menjinjit. Bocah merah hanya berdiri saja menatapku, gagang pintu yang lebih mirip kristal berbentuk hati itu masih dipegangnya, cahayanya lebih terang dari yang kemarin.
“"Kau ikut ya, ya, ya. Aku mohon!" Stefani menunjukkan wajah memelas. Aku sedikit tertarik, tapi tetap saja aku takut Papa dan Mama akan memarahiku.
"Bukan, tidak mau, aku hanya..."
"Tenang saja, kita akan pulang sebelum fajar, dan aku akan melindungimu." Belum selesai aku berbicara, Stefani sudah menimpali. Tubuhku mulai bergerak sendiri, aku mengambil sepatu dan kaos kaki dari lemari, membawanya bersamaku dan melompati jendela. Mungkin ini adalah kali pertama aku melompat dari jendela. Setelah berada di luar, Stefani membantuku memasang sepatu, karena aku tampak kesulitan.
“Biaklah kita siap berpetualang,” ucap bocah merah.
Pagi itu terasa sangat dingin, sepi, dan hanya kami bertiga. Mungkin jika ada orang lain, mereka hanya akan melihat dua orang, karena orang lain tidak bisa melihat bocah merah. Setelah sampai di batu besar, bocah merah menempelkan kristal... maksudku, gagang pintu itu ke batu besar, dan dari batu besar keluar cahaya, membentuk sebuah pintu. Bocah merah memutar gagang pintu itu (sekarang kristal berbentuk hati itu sudah benar-benar mirip seperti gagang pintu). Saat pintu dibuka, bukan keluar seseorang yang mirip bocah merah, hanya saja lebih tinggi dan menyeramkan. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak aku dan Stefani tahu..
“Wou! seperti di film Narnia, hanya saja bukan lemari tempat pintu masuknya, tapi batu.” Ucap Stefani.
“Baiklah, kalian boleh bertamu ke dunia kami, guru bilang tidak apa-apa asal kalian tidak nakal.”
Stefani sangat girang, sementara aku semakin ciut. Stefani menggenggam tangan kiriku, mungkin karena tahu aku takut, "Tidak apa-apa, ada aku," katanya. Aku sedikit lebih tenang. Lalu bocah merah menggenggam tangan kiri Stefani, kini kami mulai berjalan bergandengan, memasuki pintu bercahaya yang ada di batu besar.
Dunia bocah merah sangat unik, langitnya tampak seperti malam hari, dan selalu begitu. Pohon-pohon dan tanaman-tanaman aneh yang tidak pernah kami lihat ada di sana. Stefani bilang ini menyenangkan, seperti hutan tempat nenek sihir tinggal, mirip seperti di dongeng katanya. Bocah merah memberi kami buah yang mirip seperti buah beri, dan saat kami coba, rasanya seperti permen karet. Semakin kami berjalan, banyak makhluk-makhluk seperti bocah merah menatap kami dengan mata bercahaya. Aku takut, tapi Stefani mengencangkan genggamannya. Aku tenang kembali. Bocah merah bilang, ini masih perbatasan antara yang atas dan yang bawah. Kami tidak paham apa maksud dari yang atas dan yang bawah. Saat kami bertanya, bocah merah mulai menjelaskan, tapi dia tidak pandai menjelaskan, jadi kami tetap saja tidak paham.
“Ini adalah ujung perbatasan, tolong pakai ini ya.” Bocah merah memberi kami pakaian yang mirip seperti yang ia pakai. Sekarang, kami terlihat seperti domba. Dari kejauhan, kami melihat guru bocah merah terbang di atas langit, kemudian mendarat di depan kami dengan sayap seperti kelelawar. Mereka kembali mengucapkan bahasa-bahasa yang aneh.
“Kamu, bilang apa kepada gurumu?” tanya Stefani.
“Aku bilang, aku memberi kalian pakaian yang kalian sebut bulu domba, agar pria bercahaya yang selalu marah tidak mengenali kalian,” jawab bocah merah.
Kami tidak mengerti, dan tetap memilih mengikutinya. Sekarang bocah merah meminta kami saling berpegangan tangan. Tangan kiri bocah merah kini memegang tangan gurunya, dan tangan kanan meraih tangan Stefani. Wusss! Kami terbang! Aku mulai menikmati ini. Ini sangat menyenangkan. Aku mulai membayangkan diriku sebagai elang. Kami melihat pemandangan yang unik, ada gunung berapi dengan masing-masing gunung memaparkan warna yang berbeda-beda. Benar kata bocah merah, ternyata api di dunianya memiliki banyak warna. Dan wusss! Kami terbang lebih cepat, lalu melambat. Pemandangan mulai berubah; ada sungai yang berisi larva panas berwarna hitam, seperti aspal. Ada kalajengking raksasa, dan ular raksasa. Dan wusss! Kami terbang lebih jauh lagi. Kini, di bawah kami, terbentang api seperti lautan yang tak bertepi, dipenuhi cairan berwarna merah dengan retakan yang memuntahkan lava mendidih. Udara dipenuhi jerit-jerit yang bergema seperti nyanyian sedih tanpa akhir, sementara menara hitam menjulang dengan ujung-ujungnya menyerupai duri, menembus kabut merah pekat. Suara-suara aneh keluar dari gua-gua raksasa, dihuni makhluk-makhluk aneh berwujud samar-samar. Aku tidak bisa melihat makhluk itu, tapi Stefani bilang ia melihat jengkorang, makhluk yang ada di dongeng bajak laut. Katanya makhluk itu menatap kami dengan mata kosong, namun memancarkan rasa iri dan penyesalan. Langitnya berbeda dari langit yang pertama kita lihat. Langit di sini berwarna abu-abu kelam, yang diterangi semburat kilat oranye, tapi tak mengeluarkan gemuruh. Segala yang kami lihat hanyalah api, api berwarna-warni, seolah dunia itu sedang terbakar dari dalam. Aku, Stefani, bocah merah, dan guru bocah merah melayang di atas pemandangan itu, seperti sepasang burung api yang menari di tengah kehancuran.
“Aku suka api hijau, itu seperti rambut Pinokio yang sudah mulai di tumbuh rumput.” Ucap Stefani.
“Api itu menyakitkan, sangat menyakitkan. Kira-kira panasnya 1000 kali api yang ada di dua dunia kalian,” jelas Bocah Merah. Aku tak terlalu paham perkalian. Kata Kakak itu pelajaran sulit. Dan aku rasa juga begitu, karena Mama tidak pernah mengajariku perkalian, dia hanya mengajariku menghitung jumlah apel dan pensil, kadang juga membagi dan menguranginya.
“Meski panasnya 1000 kali, kamu yang sekarang tidak akan bisa merasakannya, karena api itu hanya membakar sesuatu yang keluar dari badanmu,” ujar Bocah Merah melanjutkan.
“Emm, kentut?” Stefani mencoba menebak.
“Hahaha!” Bocah Merah tertawa terbahak-bahak. “Ya sejenis itu, tapi tidak berbau.”
Aku juga sempat berpikir tentang kentut. Tapi untunglah bukan aku yang mengatakannya, sehingga aku tidak ditertawakan oleh Bocah Merah.
Setelah puas berputar-putar, Bocah Merah mengajak kami kembali ke perbatasan dunia antara yang atas dan yang bawah. Setelah menurunkan kami, Bocah Merah kembali bercakap-cakap dengan gurunya. Dan wuss! Gurunya kembali terbang dan menghilang. Saat guru Bocah Merah terbang, aku melihat cahaya yang sangat indah di sana, sekilas aku melihat burung raksasa dengan sayap emas berkilau terbang di sana.
"Itu apa? Sesuatu yang indah itu?" Tanyaku.
"Wah, aku terkejut kamu bisa melihatnya."
"Melihat apa? Semua di atas sana tampak samar," Stefani mengerutkan kening, menatap ke atas sambil menaruh telapak tangannya di jidat. Sepertinya dia tidak bisa melihatnya.
“Aku pernah bertanya pada guru, itu tempat yang tidak akan pernah bisa makhluk seperti kami datangi, karena begini dan begitu, lalu, piaakkk! Dan busss!” Lagi-lagi bocah merah tidak menjelaskan dengan benar.
Kami mulai berkeliling, dunia yang dihuni Bocah Merah dipenuhi dengan kabut, udaranya cukup sejuk. Ada ular yang memiliki kaki, kupu-kupu dengan sayap bercorak wajah manusia, Penguin setinggi dan sebesar kulkas, burung dengan empat sayap, dan ayam dengan empat kaki. Ada bunga yang seperti kembang api, berwarna ungu, dan bercahaya jika disentuh. Bocah Merah bilang, aku boleh memetiknya. Aku mengambil tiga tangkai dan memasukkannya ke dalam saku, akan aku berikan kepada Mama nanti sebagai oleh-oleh saat kami pulang.
“Pulang!.. ya ampun, sudah berapa lama kami di sini?” Ucapku dalam hati. Aku tersentak setelah kata ‘pulang’ terlintas dikepalaku.
“Hei, lihat itu, seperti kelinci bertanduk.” Tangan Stefani menggapai tangan kiriku, tapi aku tidak bergerak. Stefani menatapku, dan pada saat itu juga aku meminta untuk pulang. Bocah merah bilang, "Nanti dulu, karena kita belum banyak bersenang-senang," tapi tetap saja, aku ingin pulang. Genggaman tangan Stefani sudah tak lagi mempan untuk menahanku. Saat itu, tatapan mata Stefani mulai berbeda, dan dia melepaskan genggamannya.
“Hati-hati ya, aku akan menyusul!” itu saja yang Stefani katakan, bersama senyuman manisnya. Dia melambaikan tangan ke arahku sebagai tanda perpisahan, dan mulai berlari mengejar kelinci bertanduk.
“Fyuhh! Baiklah, kawan.” Bocah merah meletakkan gagang pintu di sebuah pohon besar, dan pintu bercahaya muncul dari sana. “Sampai jumpa lagi, kawan!” Bocah merah memelukku, dan mempersilahkanku masuk. Aku menyusuri lorong itu sendirian, sepi sekali, dingin, dan takut. Aku berhenti sebentar dan melihat ke belakang. Aku berharap Stefani datang menyusulku, tapi tidak. Bocah merah masih di sana, melambaikan tangan ke arahku. Aku memutuskan untuk terus melangkah maju. Tiba-tiba kepalaku terasa pusing, pandanganku kabur, aku berusaha terus berjalan, terus berjalan, dan terus berusaha berjalan. Namun, pada akhirnya aku rubuh dan kehilangan kesadaran di lorong.
Aku terbangun, di dalam sebuah mobil. Aku tahu itu mobil karena suara dan guncangannya seperti saat aku tertidur di mobil Papa, tapi bedanya baunya seperti obat, bukan bau kopi seperti yang ada di mobil Papa. Perlahan, aku membuka mata. Suara sirene yang samar-samar mulai terdengar di telingaku. Apakah aku berada di mobil ambulans?
“Mama…” Ucapku pertama kali, melihat wajah Mama. Papa juga ada di sana.
Saat aku tersadar, Mama langsung memelukku dengan erat, sementara Papa hanya memegangi tanganku. Kenapa Mama menangis? Dan kenapa aku ada di dalam mobil ambulans? Kata Mama, mobil ambulans itu untuk mengantar orang sakit, sedangkan aku merasa tidak sakit. Aku hanya sedikit pusing setelah pulang dari... dunia bocah merah.
“Stefani... di mana Stefani, Ma?” tanyaku, saat nama teman kesayanganku terlintas di kepala.
“Kami juga sedang berusaha mencarikannya, sayang,” ucap Mama, masih terisak.
Mencari? Jadi, Stefani belum kembali? Padahal, dia bilang akan pulang sebelum fajar. Stefani selalu menepati janji. Aku mencoba menatap jendela yang tertutup tirai hijau. Cahaya yang menerobos dari baliknya membuatku tahu bahwa hari sudah siang.
“Kalian menghilang sejak dua bulan lalu,” Mama makin terisak, “Kami berusaha mencarimu, Mama tidak menyangka akan menemukanmu di dekat batu besar, sayang.”
“Apa? Dua bulan? Tidak mungkin! Kami baru saja pergi sebentar, tidak sampai satu jam. Satu jam itu lama, karena kata Kakak, satu jam itu ada enam puluh menit. Kenapa kami bisa hilang dua bulan? Tunggu, apakah ini mimpi?” Aku teringat dengan bunga mirip kembang api yang aku bawa dari dunia bocah merah. Dengan tangan yang masih diselang infus, aku merogoh celanaku. Ada! Bunga itu ada, tapi tidak lagi mengeluarkan cahaya, kembang itu layu, dan kini lebih mirip seperti bunga Higanbana. Aku pernah lihat di bukunya Mama. Berarti aku tidak bermimpi, aku dan Stefani benar-benar pergi ke sana.
Aku berusaha bangun, tapi Mama dan Papa membantuku dengan sangat hati-hati. Ambulans masih melaju dengan kencang, melintasi jalanan yang macet. Sirene dan klakson bersahut-sahutan. Aku melihat lagi pergelangan tanganku yang tampak pucat, lalu kembali menatap wajah Papa dan Mama.
“Mama, Stefani masih di sana, di Dunia Bocah Merah!” Mama dan Papa hanya berpandangan. Mama mengusap air matanya dengan punggung tangannya, lalu berpindah mengusap rambutku.
“Bocah Merah… siapa itu, sayang?”
“Anak yang sering duduk di batu besar, ayo kita ke sana! Kita harus menjemput Stefani.” Aku mencoba turun dari brankar, tapi Papa menahanku. Ia menyuruhku untuk tenang dan berkata bahwa aku masih harus beristirahat. Papa jarang berbicara, jadi ketika ia mulai berkata-kata, itu pasti tentang sesuatu yang serius. Aku menurut dan kembali berbaring. Sepanjang perjalanan, Mama terus mengusap lembut rambutku. Sentuhannya membuatku merasa nyaman. Perlahan, mataku mulai terpejam. Suara-suara di sekitarku terdengar semakin samar, hingga akhirnya aku kembali tertidur.
***
Satu hari telah berlalu. Kata Pak Dokter, aku sudah bisa pulang, hanya saja masih perlu banyak istirahat. Saat aku tanya Mama, banyak istirahat artinya harus banyak apa? Mama hanya menjawab, aku harus banyak tidur dan tidak boleh melakukan hal-hal berat. Tapi, aku tidak mau banyak-banyak tertidur. Maka, saat sampai rumah, hal yang aku lakukan pertama kali adalah menuju ke batu besar. Kali ini, bukan Stefani yang menemaniku ke sana, tapi Bibi Ole. Sekarang, Bibi Ole adalah pengasuh yang menjagaku selagi Mama dan Papa bekerja. Dan bukan lagi bocah merah yang aku temui di sana, melainkan hanya batu besar. Batu besar yang hanya jadi batu besar, sudah tidak istimewa lagi, karena bocah merah tidak ada di sana. Aku mereba-reba batu itu dari ujung ke ujung, tidak ada pintu bercahaya di sana. Aku mengetuk-ngetuk batu besar dan meneriakkan nama Stefani berkali-kali. Bibi Ole sangat khawatir denganku, dia menyuruhku untuk kembali ke rumah. Aku menolak, aku bilang aku mau menunggu Stefani. Lalu, Bibi Ole duduk di sampingku..
“Sayang, ayo pulang, Mama sudah buatkan ayam mentega kesukaanmu," kata Mama. Dia datang setelah aku menghabiskan 20 menit duduk di dekat batu besar, dengan bersandar di tubuh Bibi Ole. Karena perutku sudah lapar, akhirnya aku menurut. Mama menuntunku, sementara Bibi Ole mengikuti di belakang.
Sore harinya, orang-orang dewasa datang ke rumahku. Ada yang berkumis tebal dengan jas warna coklat, dan ada dua pria berjaket hitam dengan celana Levi’s di depan rumah. Orang tua Stefani juga ada di sana, memeluk mamaku. Mereka berdua tampak sedih dan saling menguatkan. Lalu, mereka masuk dan menanyaiku tentang sahabatku, Stefani. Aku menceritakan semua yang aku alami, tentang bocah merah yang selalu bermain bersama kami, tentang gagang pintu yang lebih mirip kristal berbentuk hati, dunia bocah merah dengan tanaman dan makhluk-makhluk aneh, serta guru bocah merah yang mengajak kami terbang mengitari dunia bawah. Tapi... mereka sama sekali tak mempercayaiku. Pria berkumis tebal itu berbisik-bisik, tapi masih bisa sedikit aku dengar. Dia meminta orang tuaku untuk memanggil dokter. Aku kan tidak sakit. Aku bilang aku berkata jujur, mama bilang berbohong itu tidak baik. Tapi orang dewasa tidak mengerti, karena mereka tidak mengerti. Aku menangis. Aku menangis saat mereka tidak mengerti dan percaya dengan apa yang aku maksud.
***
Satu minggu berlalu dan Stefani belum juga kembali. Sejak hari itu, aku lebih sering bangun sebelum fajar, hanya untuk memastikan batu besar; aku ingin menyambut kepulangan Stefani. Satu bulan berlalu dan Stefani belum juga kembali. Poster-posternya yang dipasang di sekitar kompleks rumahku mulai luntur, sobek, dan berjatuhan menjadi kertas-kertas sampah. Setengah tahun berlalu dan Stefani belum juga kembali. Orang-orang mulai menganggap Stefani telah tiada. Mereka menaruh banyak bunga dan memajang foto Stefani di rumah pohon, tempat kami sering bermain. Tapi aku tahu, Stefani masih hidup. Ia ada di dunia bocah merah. Satu tahun berlalu dan Stefani belum juga kembali. Orang tua Stefani memutuskan pindah. Kini rumah Stefani bukan lagi rumah Stefani, rumah itu sudah menjadi milik keluarga kecil yang baru saja menikah. Lima tahun berlalu dan Stefani belum juga kembali. Orang-orang sudah mulai melupakan Stefani, bahkan sebagian dari mereka tidak tahu jika seorang anak bernama Stefani pernah hidup di dunia ini. Tapi aku ingat dan akan selalu ingat, dan akan terus begitu.
Kemudian, lima tahun menjadi sepuluh tahun, sepuluh tahun menjadi dua puluh tahun, dua puluh tahun menjadi tiga puluh tahun, dan Stefani belum juga kembali. Sekarang, aku telah menikah. Istriku adalah seorang pemilik toko bunga, bersamanya aku dikaruniai satu anak laki-laki dan satu anak perempuan yang menggemaskan. Meski begitu, aku masih menunggu Stefani. Masa penantianku berlanjut hingga empat puluh tahun, dan kemudian menjadi enam puluh tahun. Kini, umurku sudah menginjak 64 tahun. Mungkin sudah waktunya aku berhenti menunggu kepulangan Stefani. Aku yakin betul dia masih hidup dan asyik bersenang-senang dengan bocah merah di sana. Aku pun sudah memiliki cucu yang lucu. Umurnya sekarang seperti umurku waktu pergi bersama Stefani ke dunia bocah merah. Agar nama Stefani tidak hilang di muka bumi, aku sering bercerita tentang kisah anak pemberani bernama Stefani kepada cucu-cucuku, bagaikan sebuah dongeng. Tapi, dongeng yang benar-benar nyata. Dan benar saja, cucu-cucuku sangat mengidolakan Stefani, tokoh utama dalam kisah yang aku buat.
Suatu pagi, rumah orang tuaku, yang kini menjadi rumahku, diketuk oleh seseorang. Cucuku, laki-lakiku yang bernama Elon, yang umurnya 7 tahun, meminta izin untuk membuka pintu. Kebetulan dia menginap bersama kakaknya hari ini. Aku tak langsung beranjak, aku masih duduk di kursi goyang, bersantai di belakang rumah, sambil meminum susu coklat. Elon kembali, dia tampak bersemangat sekaligus bingung.
“Kakek, ada anak perempuan memanggilku Henry, katanya aku mirip dengan Henry. Bukannya Henry itu nama Kakak?”
Aku tak menjawab pertanyaan cucuku. Aku beranjak. Cucuku menuntunku menuju ke pintu utama. Jantungku benar-benar berdetak lebih kencang dari biasanya. Aku mengatur napas, dan harapan-harapan yang sempat aku kubur mulai menyeruak kembali mengisi udara. Langkahku makin cepat dan makin cepat. Cucuku masih menuntunku, tangan mungilnya menggenggam jari telunjukku dengan erat. Dan setibanya aku di depan pintu, tampak seorang gadis dengan wajah yang kusam dan baju yang kumal. Dia menatap dengan senyuman manis ke arahku. Mataku berkaca-kaca. Senyuman itu, senyuman yang paling aku kenali, senyuman yang sangat ingin aku lihat lagi, senyuman yang membasuh segala rinduku atas sebuah penantian yang panjang. Tanpa aku sadari, air mataku mulai menetes.
“Wou! ada satu lagi yang mirip dengan Henry, tapi yang ini lebih tua.” Ucap Stefani.