Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Desing peluru memekakkan telinga. Puspa mendekap erat jurnal milik Itkas di dada. Mungkin, dia takkan sempat menunjukkannya pada dunia.
***
“Mas Itkas percaya bahwa menulis adalah jalan menuju keabadian?”
Itkas sedang merenung menatap halaman buku kosong tatkala sang istri menyela. Tangannya memegang pena, siap menulis sesuatu, tetapi dia hanya mematung untuk sekian lama. Gelagatnya itu mungkin kelihatan sepele, tetapi naluri peka istrinya terganggu.
“Ya dan tidak.” Itkas meneguk ludah karena tertangkap basah.
“Tolong, jangan buat aku bingung, Mas.” Puspa mendesah. Jalan pemikiran lelaki akhir dua puluh itu memang tidak sesederhana penampilannya yang semenjana. Tidak heran, tragedi masa kecil telah menempa pribadi suaminya begitu rupa. Namun demikian, Itkas tidak lantas menjadi sosok lelaki berhati keras. Cara Itkas menatap dunia cenderung lugas.
“Istriku ….” Itkas meraih jemari Puspa. Tatapan keduanya bersua. Tiada kata melainkan bahasa jiwa. “Semua perbuatan kembali pada niat. Di tangan seorang pencela, menulis adalah jalan kehancuran.”
“Mas ujung-ujungnya tausiah.” Puspa menyindir.
“Sayangnya, itu fakta. Hanya butuh satu kebohongan untuk merusak kedamaian dunia.”
“Sekalipun kebohongan itu untuk kebaikan?”
“Sekalipun kebohongan itu untuk kebaikan. Sekalipun kebaikan itu seluas jagat raya.” Itkas menegaskan hingga muncul kerutan di kening Puspa. Pembahasan mereka mulai meruncing.
“Mas bicara seolah-olah menulis kebohongan adalah perkara mudah.”
“Sayangnya, itu fakta.”
Embusan napas Puspa seolah tidak puas. “Fakta apa yang sedang ingin Mas sampaikan?”
Bukannya menjelaskan, Itkas malah balik bertanya, “Kamu sekarang rajin ke rumah Bu RT. Untuk apa?”
“Bukan hanya aku, tapi ibu-ibu tetangga juga. Kami jualan kue dan suvenir untuk didonasikan ke Palestina,” tutur Puspa.
“Oh, begitu?”
“Tidak semua hal, ‘kan, harus disampaikan secara lisan. Ada orang yang lebih nyaman menunjukkannya dalam perbuatan.” Itkas tertunduk seolah kalimat Puspa bagai beban berat di pundaknya. Dia berusaha tidak terkejut, mengingat masa lalu istrinya sebagai aktivis. Dunia sedang dihantam gelombang kejut yang meremukkan perasaan hingga setiap nurani terketuk untuk turun tangan dengan cara masing-masing. Salah satunya, menggalang dana bagi para korban kemanusiaan.
“Mas Itkas sedang menulis apa?”
Itkas lekas menutup buku di hadapannya. Rasa penasaran di hati sang istri pun kian memuncak.
“Mas, tidak ada rahasia di antara kita. Selama ini, Mas Itkas selalu kasih lihat tulisan yang Mas buat. Kenapa kali ini disembunyikan?” ungkap Puspa dengan perasaan bergejolak.
“Bukan begitu, Istriku. Aku hanya belum siap menunjukkannya padamu.”
“Kenapa? Apakah itu sesuatu yang terlarang?”
“Aku belum bisa bicara sekarang.”
“Tiada hal di dunia ini yang hancur lebih cepat daripada kepercayaan, Mas.”
“Istriku.” Itkas bangkit untuk menyejajarkan pandangan dengan istrinya. Tiada pula hal yang lebih menggelisahkan dirinya saat itu selain keraguan Puspa. “Maafkan aku.”
***
Satu permintaan maaf saja tidak cukup. Memang betul, lelaki adalah makhluk egosentris sekalipun langit runtuh di atas mereka. Namun, Puspa tidak habis pikir. Bagaimana bisa lelaki yang dia kenal sebagai orang jujur, mendadak menjadi manusia bertopeng dengan isi hati penuh rahasia? Maka, hanya ada satu jalan: Puspa harus mencuri jurnal milik suaminya.
Akan tetapi, benda misterius itu tidak ada di mana-mana kendati Puspa sudah membongkar isi lemari dan ranjang. Puspa juga menelusuri tanda-tanda keberadaannya di antara peralatan sablon milik Itkas. Puspa sudah memeriksa semua tempat hingga dia kehabisan akal. Puspa pun menunggu suaminya pulang dari musala dekat rumah. Sepasang matanya bergerak jeli tatkala Itkas melepas sarung dan peci, lalu berganti kaus dan celana longgar.
Saat sang suami tidur siang, Puspa berhasil menemukan secarik kertas terlipat dalam saku kemeja. Sebagian teka teki terjawab tatkala dia mendapati tulisan tangan tentang beberapa ayat Al-Qur’an. Setelah Puspa mencari tahu di mushaf, ternyata itu adalah bagian dari surah At-Taubah. Hati Puspa bergetar tak kuasa ketika membaca tafsirnya.
“Ini apa, Mas?” Puspa tidak menunda waktu untuk meminta penjelasan dari Itkas setelah lelaki itu bangun. Sebuah halaman mushaf bertanda pita hijau terbuka di tangannya.
“Apakah ini ada hubungannya dengan konflik di Masjid Al-Aqsa?” cecar Puspa lagi. Itkas justru beranjak menuju jendela, lalu tatapannya menerawang ke arah langit biru yang menaungi desa. Tampak objek kecil berwarna-warni membentuk formasi acak di kejauhan, tetapi bergerak selaras menentang arah angin. Puspa pun meniru jejak suaminya.
“Di sini,” ujar Itkas dengan suara parau, “anak-anak bisa bermain layang-layang dengan gembira. Sementara di sana, roket dan drone pengintai memenuhi langit. Di tangan setiap anak pun tertulis nama masing-masing agar mudah dikenali jika maut menjemput mereka sewaktu-waktu.”
‘’Mas.” Puspa meraih lengan suaminya. Itkas yang biasanya dia kenal tidak suka berbicara tentang kekerasan, kini dengan lantangnya mengungkap sisi gelap perang. Pemberitaan dan kabar mengenai situasi di Tanah Suci Ketiga pasti memengaruhi suaminya begitu dalam. Puspa sudah menahan diri untuk tidak turun ke jalan setelah membina rumah tangga dengan Itkas. Namun, Itkas rupanya berpikiran lain.
“Kenapa sekarang? Palestina sudah lama tertindas.”
“Situasinya memburuk, Istriku. Penjajahan di Tanah Suci sudah melampaui batas yang sanggup ditanggung oleh kemanusiaan. Orang-orang, terutama anak-anak dan perempuan meninggal setiap waktu. Palestina telah menyeru kaum muslimin. Patutkah kita mengabaikan dan membiarkan saudara kita mengemis bantuan pada orang lain?”
Puspa memegangi dada hingga Itkas bergegas merangkul bahu perempuan itu. “Maaf, aku tidak bermaksud membebanimu. Karena itulah, aku menyembunyikannya darimu. Aku menunggu waktu yang tepat.”
“Waktu yang tepat untuk apa?”
Lidah Itkas kelu ketika tatap penuh tanya Puspa menghujaninya bertubi-tubi. Lelaki itu tahu bahwa dia takkan bisa berkelit lagi.
“Mas Agus, putra Kiai Tulus, akan berangkat ke Mesir dalam rombongan relawan kemanusiaan. Dari sana, rombongan akan mencoba menembus blokade Gaza untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan. Rencananya, mereka juga akan menyelundupkan bahan bakar untuk operasional internet.” Suara Itkas memelan di kalimat terakhir. Hampir sama dengan suara Puspa yang nyaris tidak terdengar. “Mas ingin ikut?”
Itkas mengangguk.
“Zionis menembaki semua orang tanpa pandang bulu, Mas! Apalagi kalian bawa bahan bakar. Rombongan kalian pasti akan jadi target!” Suara perempuan itu tiba-tiba meninggi hingga mengguncang seisi kamar, lalu merenteti Itkas tanpa ampun. Sekalipun Itkas berharap bisa lolos dari kemungkinan buruk yang dibeberkan oleh Puspa, dia tidak punya kesempatan untuk membantah kebenaran dalam kata-kata istrinya. Masuk ke Gaza sama saja dengan mengumpankan diri ke dalam lubang tanpa jalan keluar. Hatinya bagai tertusuk sembilu.
“Sesungguhnya, tidak ada tempat yang benar-benar aman di muka bumi ini, Istriku. Musuh mengepung kita dari segala arah. Hanya menunggu waktu sampai seluruh dunia terlibat. Ini bukan lagi tentang Palestina atau Islam, tapi ini adalah perang antara kebaikan dan kejahatan. Kemanusiaan kita terancam mati bersama kebenaran yang terkubur di bawah selubung pembiaran.” Ini adalah bidang yang Puspa kuasai, tetapi Itkas merasa perlu menegaskan pandangannya sendiri. Satu hal yang justru paling menakutkan baginya karena dia tidak mau menyakiti Puspa. Mata istrinya mulai basah. Hujan kemudian turun di pipi ranum perempuan itu.
“Bagaimana pendapat Kiai Tulus?” Nada lirih Puspa terdengar pasrah saat menanyakan saran dari sang guru, orang yang kata-katanya paling dihormati oleh Itkas.
“Beliau tahu kalau ketakutan terbesarku sebetulnya adalah meninggalkanmu di sini, Istriku. Karena itulah, aku bermaksud menitipkanmu pada keluarga Kiai Tulus sampai … insyaallah jika aku kembali.”
Puspa menyeka air matanya dengan punggung tangan. “Bagaimana dengan Pak Kadjib?” Puspa kembali menanyakan pendapat sahabat karib suaminya, orang kedua yang suaranya akan didengar oleh Itkas.
“Pak Kadjib meminta aku tetap tinggal untuk meneruskan perjuangan di jalan dakwah.”
“Lantas, Mas merasa itu tidak cukup?”
“Maafkan aku, Istriku. Aku sebetulnya punya mimpi pergi ke Baitullah bersamamu. Tapi, ternyata panggilan ini datang lebih dulu.”
“Kalau keputusan Mas sudah bulat, aku ikut.”
“Istriku…, jangan main-main. Aku akan pergi ke tempat di mana anak-anak dan perempuan terbunuh!” Tatapan Itkas meluncur tepat ke manik mata Puspa yang berkilat-kilat. “Kita sama-sama keturunan terakhir keluarga kita. Kamu harus bertahan. ”
“Setelah mendiang Ayah tiada, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Mas Itkas.”
“Tapi, sebentar lagi kita akan bertiga.” Mata Itkas berkaca-kaca tatkala tangannya berpindah mengusap perut Puspa.
“Tolong, jangan gunakan standar ganda, Mas. Apa bedanya anak ini dengan ribuan anak yang mati di Palestina? Jika membunuh anak-anak itu tidak masalah bagi Zionis, maka apalah artinya anak dalam kandunganku yang bahkan belum lahir ini?”
“Stop. Kamu tahu aku tidak mungkin menang melawanmu .” Itkas memohon.
“Karena tidak butuh argumen selangit jika bicara tentang kemanusiaan, Mas. Kita hanya butuh nurani dan akal sehat. Suka tidak suka, kita adalah milik zaman ini. Anak kita pun milik zaman ini. Jika memang panggilan Allah telah datang untuk kita, maka bagaimana pun caranya, kita pasti akan tetap ke sana. Sekalipun nyawa adalah taruhannya.”
“Masyaallah ….” Itkas berjalan setengah terhuyung menuju ranjang, lalu terperenyak di sana. Kepalanya tertunduk dalam. Dia sudah kehabisan akal untuk melawan pendirian Puspa. “Inilah yang aku takutkan jika rencanaku ketahuan olehmu,” tutur lelaki itu lirih seakan mengeluh pada diri sendiri. Puspa menyusul sang suami, lalu bersimpuh di sisi ranjang seraya membuka satu halaman mushaf. Dia letakkan firman Allah tersebut di pangkuan Itkas.
“Aku bersyukur karena telah mencuri satu langkah darimu. Maka, bacalah ini, Mas. Jawabannya ada di sini.”
Dengan dada bergemuruh, Itkas menengadah melakukan permintaan istrinya. Bibirnya bergerak tanpa suara tatkala ekor matanya menyusuri satu ayat yang ditunjukkan oleh Puspa. Hatinya dibanjiri oleh keharuan luar biasa oleh bah yang tertumpah tiba-tiba dari langit. Bah itu pun menyapu semua keraguan yang bercokol dalam benak. Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS. At-Taubah: 24).
Itkas memandang wajah istrinya dengan perasaan tak terbendung. “Istriku, jika terjadi sesuatu kepada kita, apakah kamu akan menyesal?”
Puspa justru membalas tanpa rasa takut. “Mas lupa? Jika aku cuma mau hidup enak, aku tidak akan memilih menikah denganmu.”
Itkas meraih Puspa ke dalam dekapannya. Dia sadar bahwa keselamatan keluarganya benar-benar bergantung di tangan Allah. Tidak ada yang bisa menolak keburukan yang akan menimpa mereka kecuali Allah semata. Dan, tidak ada yang bisa mencegah mereka dari perubahan arus zaman yang telah menjadi ketetapan dari Allah. Pilihan mereka pun terbatas layaknya berdiri di atas garis hitam atau putih.
***
“Mau sampai kapan kamu sibuk main game? Kalau kamu memang merasa jagoan, lebih baik kamu ikut bergabung bersama para mujahidin yang sedang berjuang di Palestina!”
Sutikno melampiaskan kekesalan tatkala iseng mengintip aktivitas putranya. Dia heran, semenjak bangun tidur sampai sang ayah pulang dari sawah, Sigit tidak beranjak sedikit pun dari depan gawai. Ternyata, Sigit sedang asyik memainkan aplikasi pertempuran yang sedang viral.
Bukan sekali dua kali ini saja bapak dan anak itu bertengkar perihal serupa. Hobi Sigit tidak berubah, bahkan kian parah. Hati bapak mana yang tidak khawatir generasi muda dalam keluarganya kecanduan game online? Namun, Sigit selalu punya alasan pemungkas. “Bapak mau aku bunuh diri? Ke sana sama aja cari mati. Aku belum tua dan siap mati kayak Bapak. Aku masih mau menikmati hidup sebelum tobat.”
“Bocah gendheng! Kamu memang tidak pantas jadi mujahid! Bantu Bapak ke sawah saja tidak becus! Mau jadi apa kamu kalau tiap hari cuma main game, Git … Git!” Sumpah serapah bertebaran dari mulut Sutikno.
“Kalau itu mau Bapak, baiklah. Aku akan cari uang agar Bapak senang,” dumal sang putra.
“Cari uang bagaimana? Kerja saja tidak!” Kemarahan Sutikno meledak. Tingkah Sigit berhasil menguras stok kesabarannya.
“Bisa, dong, Pak, lewat kompetisi game online. Kalau menang, hadiahnya lumayan buat ongkos makan sebulan.”
“Astagfirullah, hanya itu yang ada dalam pikiran kamu, Git?”
“Bapak, kok, marah-marah terus sama kehidupanku? Aku ini cuma ikut arus, Pak. Zamanku berbeda dengan zaman Bapak.”
“Berbeda apanya, hah? Dunia sudah di ambang perang, tapi kamu masih mimpi di awang-awang. Mestinya, kamu malu, HP digunakan untuk main-main saja. Kamu bisa belajar dari situasi sekarang! Kalau kamu mau-maunya terus dibodohi, suatu saat kamu bisa dijajah sama orang!”
Sang putra pun terdiam. Agaknya, kata-kata terakhir sang bapak menampar Sigit dengan keras. Pemuda itu sampai berhenti segera dari aktivitas main barengnya. Harapan Sutikno sempat menyala ketika Sigit lantas bangkit dan menjauh dari gawai untuk sementara. Entah ke mana pemuda itu kemudian, Sutikno tidak mempertanyakan karena dia berusaha memberi Sigit waktu untuk merenung.
Keesokan hari, Sigit kembali bermesraan dengan gawainya seolah-olah pemuda itu tidak bisa bernapas sejenak saja tanpa daring. Andai Sigit bukan putranya, Sutikno tentu tidak demikian patah arang. Namun, kali ini dia ingin mencoba pendekatan berbeda.
“Sigit, apa yang sedang kamu kerjakan, Nak?”
Sigit terkejut tatkala sang bapak mengajaknya duduk bersama dan berbicara dengan lemah lembut. Sigit pun menjelaskan bahwa dia sedang membuat konten di media sosial untuk tujuan khusus. “Jika kontenku banyak yang tonton dan berlangganan, aku bisa dapat insentif iklan dari sana, Pak,” jelas Sigit singkat kendati Sutikno hanya terangguk-angguk lantaran tidak paham sepenuhnya. Dia baru mendengar hal positif semacam ini dari aktivitas daring sang putra.
“Memangnya, apa yang kamu buat, Nak?” tanya Sutikno penasaran.
“Mmm … opini, Pak.” Aneh, Sigit mulai kelihatan tidak nyaman.
“Tentang apa?” Sutikno terus mendesak. Setelah beberapa waktu, akhirnya Sigit pun menyerah lantas memperlihatkan konten video yang baru saja dibuat ke hadapan Sutikno. Darah lelaki tua itu kontan mendidih ketika tahu Sigit membuat video bermuatan negatif tentang perjuangan rakyat Palestina.
“Apa ini, Git?”
“A … anu. Iseng aja, Pak. Kalau bikin konten kayak gini, katanya bisa dapat cuan banyak. Makanya, aku mau buktikan kebenarannya.”
“Astagfirullah, Sigiiit! Sungguh tidak tahu malu, menjual iman dan kebenaran demi harta dunia yang amat sedikit! Kita memang cuma keluarga petani, rakyat kecil, tapi jangan sampai miskin iman! Kita harus punya harga diri sebagai muslim! Cuma Allah yang mampu membeli diri dan harta kita, Git!”
Pemuda itu pun kembali menanggung kemarahan bapaknya. Sutikno mengancam akan mengusir Sigit keluar dari rumah jika meneruskan tindak tercelanya.
***
“Derajat orang-orang yang berjihad lebih tinggi di sisi Allah daripada mereka yang menjaga air minum bagi orang berhaji atau memakmurkan Masjidil Haram.”
“Tapi, kebanyakan manusia tidak berpikiran demikian, Kapten. Orang-orang mencari jalan keselamatan masing-masing. Mereka hidup bergelimang kemewahan, lalu lari bersembunyi ke bungker-bungker bawah tanah saat ancaman kematian datang.”
Seorang lelaki berusia tiga puluhan tersenyum pahit mendengar komentar anak buahnya. Tak kurang dari dua pekan, kapal perang mereka bersiaga di Laut Mediterania yang termasuk dalam kawasan Siprus. Mereka berdalih sedang latihan perang di wilayah tersebut, tetapi sewaktu-waktu siap memasuki perairan Palestina jika komando turun. Bukan hanya itu, juga ada beberapa kapal perang dari negara lain mondar-mandir dengan niat yang sama, yakni bersiap meluncurkan serangan ke arah Israel. Membalas rudal-rudal Zionis yang telah meratakan gedung-gedung di Gaza dan membunuh ribuan warga sipil.
“Setiap manusia normal memang pasti ketakutan jika dihadapkan dengan kematian, apalagi bagi mereka yang sangat mencintai dunia.”
“Tapi, orang-orang tidak bisa lari dari Gaza dan kematian, Kapten. Mereka dipenjara di kamp konsentrasi, lalu dihujani roket tanpa henti.”
Sang kapten menggemeretakkan gigi. Dia kehabisan kata-kata untuk menanggapi kebenaran yang disampaikan oleh anak buahnya. Maka, sang kapten yang bijak itu pun menyitir sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sesungguhnya, mereka itu hidup dan dianugerahi rezeki di sisi Tuhannya.”
Sang kapten dan anak buahnya lantas terdiam memandang ke cakrawala di seberang Laut Mediterania seolah-olah mereka sedang melihat pembantaian massal yang sedang berlangsung di suatu tempat.
***
“Kejahatan yang sedang berlangsung di depan mata dunia tiada bedanya dengan genosida. Di sini, kebebasan pers hanyalah ilusi. Baru saja ada seorang kawan jurnalis kami beserta seluruh keluarganya gugur dalam satu serangan bom yang menimpa kediamannya.” Seorang jurnalis laki-laki berkebangsaan Palestina melaporkan sebuah berita langsung. Jurnalis itu lalu melepaskan helm dan rompi pelindung seraya berteriak dengan putus asa. “Saya beri tahukan kepada Anda semua, semua perlengkapan ini tidak berguna untuk melindungi kami! Hanya tinggal menunggu waktu sampai kami gugur satu per satu di tempat ini!”
Tidak ada perasaan yang lebih tepat untuk Puspa gambarkan saat menonton tayangan tersebut selain rasa sakit yang nyata. Warga sipil, jurnalis, tenaga medis, semuanya bagai sekarat di tengah ancaman maut. Napasnya tertahan setiap kali berganti dari satu tayangan ke tayangan lainnya. Tidak bertambah baik, justru sebaliknya. Sementara itu, suaminya hanya memejamkan mata dengan bibir terus melantunkan zikir. “Mereka masih membungkam suara-suara dari Gaza, Mas!” keluh Puspa geram. Itkas akhirnya membuka mata, lalu memandang sang istri.
“Orang-orang itu tidak menyukai kebenaran terungkap. Namun, percayalah. Allah akan menyempurnakan cahaya-Nya. Masih ada orang-orang berani yang akan melantangkan penderitaan di Gaza.”
“Ya, betul, sih, Mas. Banyak suara-suara dari penduduk nonmuslim di Palestina juga yang mendukung kemerdekaan negara ini,” lapor Puspa dengan nyala harapan terpancar di matanya. “Semoga Palestina kembali damai karena sejak dulu, tiga agama hidup berdampingan dengan baik di sana.”
“Aaamiiin.” Itkas menimpali doa tersebut. “Sudah cukup menontonnya? Nanti kita tidak dapat sinyal.” Puspa menggigit bibir getir. Tidak ada internet, bahkan listrik di Gaza. Lagi pula, masalah utama mereka sekarang adalah cara masuk ke sana. Dua gerbang dikuasai oleh Israel, termasuk jalur laut dan udaranya. Gaza benar-benar terisolasi dari dunia luar.
“Menurut Mas Itkas, orang-orang yang bertahan terakhir di Gaza itu terbuat dari apa?”
Itkas menggeleng. “Ka’bah pun pernah dikosongkan dari manusia sebelum serangan Abrahah. Hanya burung ababil yang datang berbondong-bondong untuk melindungi.”
Tiba-tiba, pintu belakang truk dibuka. Tampak wajah cemas sopir saat berkata, “Banyak tentara berkumpul di depan gerbang. Perjalanan kita tertahan di sini.”
Itkas dan Puspa bergegas turun, lalu melihat situasi di luar. Antrean truk bantuan kemanusiaan mengular, semua orang menunggu kesempatan untuk masuk ke Negeri Palestina yang kian kuat memanggil mereka. Sementara itu, terdengar teriakan-teriakan tentara Mesir di perbatasan yang mengancam mereka agar tidak bergerak lebih jauh.
“Buka gerbang! Bebaskan Palestina!”
Entah siapa yang memulai, provokasi tersebut memicu tembakan peringatan ke udara. Namun, kesadaran orang-orang telah terbangun dari tidur panjang. Panggilan nurani untuk menyelamatkan saudara mereka di Gaza terdengar sungguh kencang. Barisan manusia pun bergelombang turun dari truk, lalu merangsek ke arah tentara. Mereka berusaha menerobos ke arah gerbang beton yang dijaga ketat. Kericuhan dalam beragam bahasa pun tak terhindarkan. Sementara itu, Itkas menyuruh Puspa untuk kembali ke dalam truk, lalu berkata. “Kemenangan Palestina tidak akan terjadi sebelum umat bersatu di bawah komando dan hati yang sama.”
“Mas Itkas ke mana?” Puspa menahan tangan Itkas yang bermaksud menutup pintu belakang truk.
“Tunggu di sini. Harus ada yang mengingatkan orang-orang sebelum perselisihan ini jadi bentrok saudara. Kita bahkan belum mencapai Gaza.”
Pintu belakang truk ditutup. Dalam kegelapan, Puspa melayangkan doa dalam hati. Umat manusia butuh cahaya yang menuntun mereka untuk menundukkan kejahatan terhadap sesama. Semoga cahaya itu datang dalam waktu dekat sesuai janji Allah. Tugas mereka sekarang adalah menyalakannya sebagai ketukan cinta dalam hati semua orang. Semoga, karena zaman tidak pernah berhenti untuk menunggu umat manusia. Kemanusiaan akan mati terkubur bersama suara kebenaran akibat pembiaran atas sebuah kejahatan.
***