Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Nak, ayo coba turun. Ini sudah tahun ketiga kamu ikut bapak melaut.” ucap bapak pada Syahril. Anak pertamanya itu sering membantu dirinya pergi mencari ikan. Namun sampai usianya 12 tahun ini, dia belum berani untuk berenang dan menyelam.
Syahril menghela nafas, dia juga ingin menghilangkan rasa takut terhadap kedalam air laut. Apalagi dalam setahun terakhir, dirinya memang sudah rutin berlatih renang pada kolam air tawar.
“Huft, baiklah. Bismillah,”
Dibelahnya laut itu dengan kedua tangannya yang diruncingkan diatas kepala. Dan sejarah telah tercipta, ini pertama kalinya Syahril melihat kehidupan bawah laut.
Soal nafas, Syahril sudah terlatih. Dia bergerak ke berbagai arah, melihat dengan seksama aneka makhluk hidup yang selama ini banyak dirinya dan sang bapak tangkap. Matanya juga menangkap betapa indahnya berbagai terumbu karang
Sang bapak sangat percaya pada anaknya itu. dirinya tidak khawatir anaknya tenggelam. Perlahan, dia semakin mendalam. Laut yang sedang tenang sungguh membantunya mengenali tempat orang tuanya mencari rezeki.
Sekitar 2 menit, Syahril kembali ke permukaan.
“Gimana? Serukan?” tanya sang bapak.
“Indah banget pak!”
Syahril kembali ke perahu. Dia melepas kacamata renangnya, lalu kembali menatap ke bawah laut. Saking birunya air, beberapa terumbu karang yang dia raba juga terlihat.
“Apakah semua laut di Indonesia se indah ini pak?” tanya Syahril.
Sang bapak tersenyum dan menjawab, “Sejatinya, memang iya. Kita ini satu dari sekian negeri Archipelago, seperti Jepang dan Pilipina. Dari Sabang sampai Merauke ada lebih dari 17 ribu pulau.”
Syahril merespon dengan antusias, “Nanti kalau aku udah gede, pengen deh keliling Indonesia. melihat kawasan laut lainnya.”
Sang bapak menurunkan senyum di bibirnya. Dia harus mengatakan realita tentang berbagai belahan laut Indonesia diluar lingkungannya.
“Laut tempat bapak mencari rezeki ini beruntung belum banyak dilihat ril. Di kawasan lain belum tentu seindah dan sejernih ini. Sudah banyak laut yang rusak oleh serakahnya manusia.” pungkas bapak.
Medengar respon sang bapak, Syahril bertanya dengan polos, “Emang laut bisa rusak pak? Bukannya lautan itu besarnya lebih dari manusia?”
Mendengar pertanyaan itu, sang bapak bingung menjawabnya harus seperti apa. Pertanyaan itu seharusnya tidak ada. Namun kalau dikaji lebih bersih, pertanyaan polos anaknya itu sungguh punya makna filosofis yang mendalam.
“Gimana jawabnya ya,” gumam bapak.
“Pak?” Syahril memegang tangannya.
“Eh iya, bisa dong nak. Meskipun laut ini besar banget, tapi manusia yang mengelolanya. Namun karena kadang ada rasa egois dari manusia, jadi lautan juga bisa kena dampaknya.” Jelas sang bapak. Namun sepertinya, jawaban yang dilontarkan tidak memuaskan pikiran kritis anaknya itu.
Dan benar saja, bukannya puas, Syahril bertanya lebih mendalam, “Emang contoh egoisnya manusia gimana pak?”
Sang bapak mengalihkan perhatian dengan melihat jam tangan. Terlihat sudah memasuki pukul 14.30. itu berarti sudah 1 setengah jam mereka berada di lepas laut.
“Nanti kamu akan tahu sendiri bagaimana manusia sering egois kepada alam. Sekarang pulang dulu yuk!” Ucap sang bapak dengan tersenyum.
Syahril cemberut. Dia tidak puas dengan percakapan itu.
Keesokan harinya, Syahril sekolah seperti biasa. Ketika jam istirahat tiba, beberapa temannya ingin pergi ke perpustakaan yang satu ruangan dengan arena pembelajaran komputer.
“Ada yang mau main ke perpus gak?” tanya Manda.
“Akuu!”
“Ayo aku ikut juga.”
Teman-temannya sangat antusias. Entah apa yang merasuki Manda, jarang sekali cewek tomboy itu mengajak yang lainnya ke jalan yang benar.
“Ikut gak ril?”tanya Manda.
Syahril menjawab, “Ayo deh,”
Saat mereka tiba di perpustakaan, sebuah meja dengan beralaskan peta dunia terlihat di pinggir pintu sebelah kanan. Syahril terpukau, lalu menghampirinya dan menelaah setiap jengkal peta. Dia melihat bagian Indonesia, lalu tersadar tentang dominasi lautan dalam tanah airnya.
“Aku disini ya,” gumamnya yang menunjuk teluk Limau dan pantai Tungau.
Namun peta ini bukan sekedar menampilkan visual dari landscape udara. Ada deskripsi yang menceritakan tentang bagaimana potensi teluk ini secara umum.
Disana tertulis, “Teluk ini begitu cantik. Bebatuannya sungguh eksotis untuk di pandang. Ombaknya juga sangat bersahabat, membuat siapapun bisa tenang melangkah ke tumpukan batu granit itu. Ditambah perahu yang sedang berbaris, menjadi simbol kawasan yang penuh potensi ini.”
Syahril takjub dengan kalimat sederhana ini. tempat Tumbuh dan kembangnya itu memang seindah itu untuk di ceritakan.
“Ini seperti yang sering bapak lakukan.” gumamnya dengan pelan saat melihat gambar perahu berbaris.
Namun tiba-tiba, kakak penjaga perpustakaan datang. Dia melihat Syahril dan semua temannya yang sedang beraktivitas.
“Hey, jangan berisik ya. Jangan sampai rusak juga peta itu.” katanya sambil menempelkan jari telunjuk ke mulut.
“Baik pak,” Syahril beranjak dari meja peta itu. Dia melangkah ke tumpukan koran. Namun saat dia membacanya, sebuah paradoks terjadi. Sebuah berita tentang teluk di belahan Indonesia lain sudah mengalami kerusakan.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ambon memastikan ekosistem di Teluk Ambon rusak akibat ulah manusia. Reklamasi area pantai disebut menjadi penyebab utama penyempitan dan pendangkalan kawasan teluk yang berujung kerusakan. Menanggapi kerusakan ekosistem Teluk Ambon, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta kepada pemerintah daerah untuk segera melakukan rehabilitasi kerusakan ekosistem yang terjadi di Teluk Ambon. "Saya minta kepada pemerintah daerah agar dibuatkan perda pengaturan reklamasi pantai. Sehingga apabila reklamasi memang diperlukan, terdapat peraturan yang mengikat. Sehingga meminimalisir dampak dari reklamasi," kata LaNyalla dalam keterangan resminya di Jakarta.
Koran itu menampilkan beberapa gambar pemandangan teluk Ambon terbaru. Sungguh situasi yang sangat berbanding terbaik dengan kondisi teluk di tempatnya hidup.
“Apa ini yang bapak maksud tentang egoisnya manusia?” gumam Syahril.
Di bawah beberapa gambar itu, dijelaskan bahwa semuanya akibat ulah manusia. Terlihat ada bom ikan, pukat harimau, sampai limbah hasil industri sekitarnya. Lautan bernarasi indah bagaikan surga itu kini berubah menjadi neraka dunia.
Lonceng masuk kelas berbunyi. Koran-koran itu Syahril rapihkan kembali ke tempatnya.
“Ayo guys, kita masuk lagi.” ucap Manda. Teman-teman yang lain bergegas keluar. Mata pelajaran selanjutnya akan segera dimulai.
Beberapa jam kemudian, sekolah selesai. Syahril pulang dengan pikiran tentang berbagai gambar dalam koran di perpustakaan yang merusak alam. Namun sesampainya di teras rumah, sang bapak baru mau berangkat melaut.
“Ril, ayo ikut lagi.” ajaknya dengan semangat.
Syahril bersemangat, “Ayo pak!” lalu dia berlari ke kamar, melempar tas dan baju seragamnya.
Sekitar 30 menit berlalu, Syahril dan bapak sampai di perahu. Mereka berlayar ke tengah laut dengan jaring dan pancingan sederhana. Lautnya juga sangat tenang, langit terasa ramah sebagai payung berlayar. Syahril merangkak ke lambung perahu, barangkali ada peralatan yang ada pada gambar di kotan tadi. Namun, dia tidak menemukan itu, dan kembali ke atas perahu.
“Pak, tadi aku lihat di koran ada berita tentang kerusakan laut. Mereka yang merusak menggunakan peralatan canggih ya,”
Sang bapak terkejut. Mukanya menatap wajah anaknya itu.
“Oh ya? benarkan kata bapak, manusia itu egois. Taunya hanya hasil, padahal proses alam menghasilkan sumber daya semua ini sangatlah panjang waktunya.”
Lalu Syahril bertanya, “Tapi kenapa mereka seperti itu pak? Apa enggak ada peringatan dari warga sekitar?”
Sang bapak melepaskan jaringnya sejenak. Nampaknya, jawaban untuk pertanyaan sang anak lebih penting.
“Percuma, mereka tidak akan peduli. Apalagi dengan uang dan kuasa yang mereka punya, dengan mudahnya semua bisa di suap. Mereka hanya memikirkan untung terus,”
“Bukannya hasil alam yang dijual emang harus untung pak? Kan buat kita menyambung hidup.” tanya Syahril.
Pertanyaan itu membuat sang bapak tersenyum. Bangga sekali melihat anaknya yang baru hampir 12 tahun sudah tumbuh menjadi sosok yang lumayan kritis di anak seusianya.
“Ril, hidup memang perlu uang. Dan itu diperoleh dari hasil berjualan hasil alam, khususnya untuk para nelayan seperti bapak. Namun, hidup tidak melulu soal hasil yang besar. Alam ini merupakan amanah dari tuhan. Dia perlu dilestarikan dan tidak di rusak agar keindahannya tetap menjadi simbol keagungan-Nya. Tak apa untungnya tidak sebesar mereka yang menggunakan alat dan cara ilegal. Karena yang terpenting, alam ini tetap terpelihara dan mampu terwariskan secara turun temurun.”
Syahril mengangguk, dia paham tanpa waktu yang lama.
“Nanti kalau kamu udah besar, tetap jaga alam ini yah. Mau jadi apapun kamu nanti, tetaplah berpihak pada keutuhan alam. Jangan berlebihan dalam mengambil hasilnya,” tambah sang bapak sambil mengusap kepalanya.
“Siap pak,” Syahril tersenyum dengan menunjukan semangat layaknya anak kecil pada umumnya.
Kini, dia paham. Hidup tidak melulu soal untung. Kadang kerugian diperlukan untuk kelestarian tempatnya menunpang hidup. Dan sebagai anak yang tumbuh di kawasan pesisir pantai, sudah selayaknya memperjuangkan kelestarian di atas keuntungan materi semata. Karena ini adalah rumahnya, tempat dimana untung dengan cara yang benar sangat bisa di perjuangan secara perlahan.~