Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kamu membangun karakter dia menjadi lebih hidup? Dengan narasi yang kamu sampaikan pada tulisan ini, mungkin saya hanya tahu bahwa tokoh utama mahasiswa laki-laki tingkat akhir yang anti sosial dan tokoh perempuan yang kamu buat datang sebagai pahlawan mewarnai harinya.” Lelaki dengan kacamata bingkai kotak itu menunjuk salah satu tulisan pada bagian penokohan di naskah novelku, “Apa kamu tidak bisa membuat cerita ini lebih buruk lagi?” tanyanya setengah menyindir.
Mataku menyipit, apakah tulisanku sudah seburuk itu sehingga Pak Dwi, editor dari penerbit yang sudah 3 tahun ini menjadi tempatku bekerja menghabiskan energi untuk memakiku sebegitunya.
“Sepertinya, ini akan menjadi comeback tulisan terburukmu sepanjang sejarah.” Lelaki tambun ini duduk di kursi kerjanya setelah tadi berdiri dengan emosi. Tarikan napas yang dia buat kembali menambah ukuran perut buncitnya. Lelaki yang selisih usianya 20 tahun denganku itu memutar kursi. Menatapku tepat di depan retina. “Revisi.” meski nadanya datar, aku tahu itu adalah sebuah pernyataan, bukan permintaan.
Mendengar perintahnya, tentu aku menurut. Tiga tahun aku menghabiskan waktu untuk menulis di bawah arahannya, tulisanku selalu berhasil bertengger di toko buku. Meski tidak masuk menjadi kategori best seller, setidaknya komisi yang kudapatkan bisa menambah uang jajanku sebagai mahasiswa dengan bekal jajan pas-pasan.
Hari ini, aku kembali ke kos dengan lunglai. Aku tidak mengira Pak Dwi menginginkan revisi sebesar itu. Jelas, jika dia tidak suka karakter laki-laki dingin dan perempuan ceria yang kubuat sebagai tokoh utama, itu artinya aku harus merevisi lebih dari sembilan puluh persen ceritanya. Aku harus membuat tulisan baru. Itu revisi yang dimaksud Pak Dwi. Awalnya aku mengira mengingat sekarang satu April, Pak Dwi melakukan April Moop melalui revisi itu. Namun ternyata aku harus tergampar dan menerima kenyataan bahwa April Moop tidak eksis di Indonesia. Artinya, mustahil om-om itu melakukannya.
Layar laptopku masih menampilan tampilan kosong microsoft word. Tidak ada inspirasi sama sekali. Terakhir kali ketika aku terinspirasi menulis ini adalah sekitar satu tahun yang lalu. Ya, benar. Sebagai penulis yang sudah menerbitkan beberapa buku, aku memang dapat dikatakan tidak produktif. Mau bagaimana lagi? Kesibukan sebagai mahasiswa teknik cukup menyita waktuku. Beruntunglah aku waktu itu bisa menemukan inspirasi dengan mewawancara teman satu angkatan, lelaki yang kata teman angkatanku katanya dingin dan menawan sehingga menjadi inspirasi tulisanku sekarang.
Namanya Hadza, aku memberinya nama karakter Ruang. Terinspirasi dengan hidupnya yang punya ruang tersendiri, tidak terbuka, dan selalu misterius dengan dunianya. Saat itu aku membayangkan bahwa Ruang adalah laki-laki yang tidak bisa disentuh siapapun. Kemudian, muncullah karakter perempuan yang ceria dan membuat hidup Ruang lebih berwarna. Seperti karakternya yang memberi dunia baru, tokoh itu aku beri nama Loka. Klise sih, tapi apa salahnya jika kukemas dengan hal baru? Toh novel-novel wattpad yang beredar pun tidak jauh bedanya.
“Sudah tahu mereka sama, kenapa kamu malah ingin seperti mereka?” Kalimat menohok itu sempat keluar saat tadi sore aku melakukan pembelaan. Jika dipikir-pikir, Pak Dwi ada benarnya. Tapi masalahnya, tulisanku ini sekarang harus diganti dengan yang seperti apa? Bisa-bisanya Pak Dwi hanya melempar kritik kemudian lepas tangan tidak ingin memberikan saran lebih lanjut. “Ya itu urusanmu, mau kamu buat tokoh perempuannya itu punya penyakit-lah, lelakinya punya childhood sweetheart-lah, apapun itu bukan urusan saya. Intinya, saya tidak ingin karakter yang hitam putih, buat dia abu-abu sehingga dia terlihat seperti ‘manusia’. Saya ingin tulisan ini kamu revisi.”
Revisi. Jelas dengan pembicaraan yang panjang ujungnya tetap sama. Sama seperti nasib skripsiku yang kini masih revisi menuju pra-sidang padahal sudah di bulan April, nasib tulisanku juga kini berhadapan dengan kondisi serupa. Di meja belajar yang menemaniku sejak mahasiwa baru, aku menyimpan dahiku pada keyboad laptop yang layarnya masih menyala untuk merenung. Demi Upin Ipin yang sampai sekarang masih TK melulu, aku bersumpah aku sungguh butuh inspirasi cerita!
Renungan yang cukup lama itu terganggu oleh kucing ribut di depan kamar kos. Saat kuintip dari jendela, kucing oren dan kucing hitam sedang saling menatap. Bulu dan ekornya berdiri. Tatapan mereka seakan-akan saling memperingatkan bahwa satu dari mereka tidak boleh melewat teritorial satu sama lain. Kulihat waktu yang ada di layar ponselku. Pukul empat lebih dua puluh menit. Jam-jam kritis mahasiswa untuk memilih bangun atau justru melakukan hal produktif.
Denting pesan masuk ke dalam ponselku. Manusia mana yang menghubungi pagi-pagi buta begini?
“Boleh, mau wawancara kapan?”
Sebuah pesan membuatku heran. Wawancara apa yang harus aku lakukan?
Kugulir pesan itu. Pada tengah layar muncul bahwa riwayat chat kami adalah pada tahun 2023. Aku tidak pernah menghapus isi pesan dengan siapapun, tetapi mengapa pesan-pesanku menghilang dan pesan terbaru yang tersisa adalah 19 Februari 2023.
Tunggu. Februari 2023?
Aku mengecek tanggal pada walpaper ponsel yang menunjukkan tanggal 20 Februari 2023.
Aku mengedipkan mata beberapa kali berharap itu hanya kesalahan pandangan karena tubuhku yang belum sadarkan diri secara penuh. Sayangnya, mataku malah melotot karena layar ponsel masih menampilkan waktu yang sama. Apa aku mengigau sampai mengubah peraturan zona waktu? Jelas-jelas sebelum merenung aku ingat sekarang adalah bulan April. Mengingat deadline revisi selain novel adalah skripsi, seharusnya sekarang adalah tahun 2024. Tahun dimana aku akan lulus. Bukan 2023.
Tenang. Tenang. Tenang.
Aku mengecek kembali seluruh informasi di ponsel seperti riwayat chat dan juga file di laptop. Nihil. Riwayat chat-ku menunjukkan tanggal 19 Februari yang isinya merupakan teror dari Pak Dwi yang meminta aku segera menulis tulisan yang baru dan aku mengiyakan sekaligus melaporkan bahwa aku akan melakukan riset mendalam melalui wawancara. Di atasnya, terdapat pesan aku menghubungi Ruang dan memintanya untuk menjadi narasumberku dalam pengembangan cerita yang mana balasannya baru muncul hari ini.
Tunggu. Pesan yang kugulir dari tadi dikirim dari kontak bernama Ruang.
“Ruang adalah karakter dalam ceritaku. Tapi kenapa kejadian yang terjadi adalah kejadian tentang aku dan Hadza satu tahun yang lalu?” aku bergumam sembari menggigiti kuku jari. Dalam riwayat yang kutelusuri sedari tadi, aku memang kembali ke masa lalu. Tetapi terdapat beberapa perbedaan yang belum bisa aku pastikan. Mengapa aku bisa terjebak ke dalam distorsi antara tulisan dan dunia nyata? Lamunan itu berlalu sekitar sepuluh menit sampai akhirnya alarm 05.30 pada ponselku berbunyi. Alarm bergema disusul notifikasi pesan yang membuatku semakin melotot.
“Setelah kelas hari ini, bagaimana?”
>>>
Hukum pasti sebuah lingkaran mengatakan bahwa titik pusat harus memiliki jarak jari-jari yang sama terhadap titik yang mengelilinginya agar lingkaran itu tetap sempurna. Mungkin, itulah alasan mengapa tidak dari satu orang pun gadis mau mendekat pada lelaki berkemeja kotak-kotak yang selalu duduk di kursi paling belakang ketika mengikuti kelas. Lelaki itu dipandang sempurna, dan para perempuan yang mengaguminya itu adalah titik-titik tak hingga yang mengelilinginya. Lelaki itu adalah Hadza, dan mungkin di dimensi entah berantah kali ini dia bernama Ruang. Dan dia memilih duduk di kursi kelas yang cukup depan.
Ruang bukan laki-laki yang akan unjuk gigi pertama kali ketika ditanyakan bakat saat masa pengenalan kampus, bukan laki-laki yang rajin menjawab dosen ketika akhir perkuliahan, atau yang akan memimpin orasi di lapangan. Dengan kondisi seperti itu, jelas aku tidak mengenal dia dan mungkin tidak menyadari keberadaannya di dunia. Jangankan di dunia, aku baru tahu ada dia saja ketika kami sudah menginjak kuliah semester 5. Lebih tepatnya, sekitar 6 bulan lalu. Ah, mungkin itu terlalu hiperbola mengingat pada saat mahasiswa baru aku pernah satu kelompok dengannya dalam melakukan riset ketika magang di himpunan. Meskipun aku tidak memiliki kesan terhadapnya, tentu saja.
Ruang kini tengah menyurai poni rambutnya ke belakang. Aku mengetahui keberadaannya karena dia sering digosipkan oleh teman-teman perempuan di sekitarku. Kata mereka, Ruang itu tampan. Iya sih, dia berada di barisan menengah ke atas kalau misal kita beri peringkat dari ketampanan, setidaknya di jurusanku yang lima puluh persen dari 80 orang adalah laki-laki. Aku tidak paham mengapa mata hooded eyes yang biasanya dikeluhkan oleh orang-orang nampak cocok dengan proporsi wajah yang dia miliki. Bahkan, itu menambah kharisma dia yang jarang sekali menatap fokus pada hal lain selain layar laptop yang dia gunakan.
Lihatlah, dia tidak menyadari bahwa gadis-gadis di kelas sedang berbisik-bisik karena suraian itu meningkatkan ketampanannya berkali-kali lipat. Dia tidak sadar bahwa dia menjadi pusat perhatian kelas sekarang.
Terima kasih pada dimensi yang mengantarkan aku ke masa lalu. Dengan beban hidup berupa mengulang masa perkuliahan, aku juga dihadapkan dengan beban menulis ulang novel dan skripsi yang seharusnya sudah nyaris lengkap di masa aku hidup. Setidaknya sampai hari kemarin sebelum aku memutuskan melamun di depan layar laptop yang blank. Dan mengingat semua ini terjadi karena novel tentang Hadza yang sekarang bernama Ruang, aku jadi tertarik memperhatikannya terang-terangan. Ya, ketampanannya mengurangi bebanku sedikit. Mengapa pada dimensi satu tahun lalu aku tidak menyadari itu?
Seperti menyadari tatapan memicing yang aku arahkan, Ruang yang kini duduk di timur laut menoleh ke arah kiri dimana aku duduk. Aku berpura-berpura pura fokus pada catatan kuliahku. Sampai Delima berbisik, “Ri, itu sketsa Ruang?” Saat itu, aku tersadar bahwa sedari tadi aku membuat sketsa lelaki bernama Ruang.
Ruang. Ruang. Ruang.
Sebenarnya apa yang terjadi di dimensi ini?
Pikiranku yang tidak jelas itu menghantuiku berhari-hari. Setelah melewati beberapa hari hidup di dimensi ini, aku menyadari bahwa tidak terdapat perubahan berarti di dimensi ini dengan masa satu tahun yang lalu selain nama Hadza yang berubah menjadi Ruang.
Aku tidak mengerti alur seperti apa yang semesta rencanakan. Namun yang jelas, berada di dimensi manapun tidak mengubah fakta bahwa aku tetap harus mengejar deadline ide tulisan untuk dikirimkan ke penerbit. Hal itulah yang mendorong aku duduk di kursi kantin fakultas dengan segenap peralatan wawancara meski aku sudah tahu sebagian besar informasi tentang Hadza, lebih tepatnya Ruang.
Ruang merupakan penggemar barcelona, penyuka film thriller, penggemar makanan pedas, pendengar lagu-lagu band lama, dan mempunyai hobi olahraga futsal. Jawaban yang dia berikan hampir sama dengan jawaban satu tahun lalu. Singkat, padat, dan jelas. Saat ini, mengingat revisi yang diberikan Pak Dwi di dimensi yang lain, aku menambahkan pertanyaan baru padanya dibanding tahun lalu, “apakah kamu punya pacar? Atau kamu pernah punya childhood sweetheart?” dan tentu jawabannya singkat, “tidak.”
Sekitar dua jam aku menghabiskan waktu mengobrol dengan Ruang. Oh, lebih tepatnya percakapan paksa karena nampaknya dia tidak dalam mood untuk berinteraksi denganku. Setelah itu, Ruang pergi meninggalkanku yang kemudian menyusun materi. Mungkin jika aku segera cepat menyelesaikan naskah ini, aku bisa kembali ke dimensiku yang lama.
Sejak kemarin aku menyusun teori-teori yang mungkin bisa membuatku kembali. Satu kemungkinan paling mungkin adalah aku harus menyelesaikan naskah novel di dimensi ini. Setelah novel ini terbit, aku bisa kembali ke dimensi yang lama. Setelah kembali pada ruang waktu itu, aku akan menuliskan kembali novel yang berhasil kutulis di dimensi ini. Sepertinya rencanaku itu luar biasa.
Namun, apa yang bisa kutulis agar cerita ini menarik? Aku tidak mungkin menulis alur yang sama dengan yang pernah aku tulis. Tentu itu pasti mendapat penolakan dari penerbit. Sementara hasil wawancaraku mengatakah bahwa lelaki ini belum memiliki niat untuk menjalin asmara, dia juga belum tahu rasanya sehingga tidak ada hal yang bisa dia ceritakan. Atau mungkin, dia memang tidak mau bercerita. Lama melamunkan ide berakhir dengan ide gila yang terbit dari kesengsaraanku.
“Cerita time traveler! Karakter Loka aku buat menjadi karakter perempuan yang memiliki pacar kakak tingkat. Di masa depan, dia menyadari bahwa kakak tingkat ini menghianatinya. Ruang merupakan teman kuliah yang bertrasformasi menjadi teman kerja. Mereka selalu bertengkar dan berebut kursi mahasiswa berprestasi. Ruang yang cool pada masa kuliah tidak terlalu dekat dengan Loka. Tapi suatu kecelakaan membuat Loka kembali ke masa lalu dan menyadari bahwa ternyata Ruang melakukan segala hal untuknya sejak mereka berstatus mahasiswa. Bagaimana Pak?” aku menceritakan rencana tulisanku dengan antusias. Aku membuat tulisan begitu idol drama dimana cowok ini mencintai secara ugal-ugalan. Siapa yang tidak mau membacanya?
Alis Pak Dwi berkedut dan mulutnya sedikit mencebik. Tak berselang lama dia manggut-manggut. “Bagus,” ujarnya. “Baiklah, Coba kamu eksekusi dulu untuk menulis novel tersebut. Saya kasih waktu buat menulis bab 1 sampai 3 sekitar dua minggu. Nanti di minggu tersebut kita diskusi kembali.”
Dua minggu berikutnya, Pak Dwi setuju dengan tulisanku. Dalam tulisan itu, imajinasiku adalah aku sebagai tokoh utama Loka yang disukai oleh Ruang. Aku menulis Ruang dengan penuh semangat. Imajinasi liar tentang betapa rela berkorbannya Ruang membuatku mau tidak mau harus membayangkan cowok itu. Di kelas, aku sering diam-diam melirik untuk memerhatikan gerak-geriknya. Curi-curi pandang ini berhenti hingga temanku yang kini sarapan bersama mengatakan, “gue pengen ajak Ruang nonton, deh.”
Boom!
Tidak ada angin dan tidak ada hujan, aku merasa dadaku ditusuk oleh garpu yang sedang aku pakai makan sekarang.
“Kok tiba-tiba?” aku bertanya heran. Maksudku, aku sengaja bercerita tentang Ruang padanya agar dia bisa menambah sedikit ide untuk tulisanku.
“Nanti kalau lo mau nambahin gue jadi tokoh juga gapapa,” alis mata kanan gadis itu terangkat, “jadi ceweknya misalnya.”
Aku tertawa canggung, “apa gue jadiin lo pacar dia sebentar terus putus, ya?” Demi Upin Ipin yang sekarang udah nggak jadi bocil kematian, kenapa kalimat itu keluar dari mulutku sekarang?
“Boleh,” Ana menyuap satu sendok soto ke dalam mulutnya, “Lo bantuin gue chat Ruang buat nonton, ya?”
“Hah?”
Lagi dan lagi aku menganga. Nasi rames di depanku kini tidak ada harga dirinya. Aku tidak nafsu makan sama sekali.
“Lo kan sering chat sama dia bahas naskah!”
Meskipun aku dan Ruang tidak sedekat itu, mau tidak mau, aku mengetik ajakan itu untuk Ruang. Jelas dia menjawab itu dengan penolakan.
Namun, beberapa hari kemudian Ana berbicara, “Lusa gue nonton sama Ruang.”
Ternyata Ruang meresponnya. Rupanya Ana memberanikan diri menghubungi secara pribadi.
Melihat respon Ruang, aku sedikit kecewa.
Sebenarnya, aku tidak memiliki masalah atas itu. Hanya saja mengetahui Ana dan Ruang memiliki perkembangan yang begitu pesat dalam tahap pendekatan, aku tiba-tiba takut mereka menjalin hubungan.
Jangan salah sangka, aku bukan cemburu! Hanya saja, orang gila mana yang akan menulis cerita romantis, dengan mengimajinasikan kamu sebagai tokoh utama, dan cowok temanmu sebagai tokoh utamanya? Jelas-jelas itu tidak beretika! Terakhir kali aku menulis tentang seseorang saja aku batal menanjutkannya karena dia menjalin hubungan dengan teman sekelasku saat SMA. Masa aku harus membatalkan tulisan ini juga?
Jika begitu, ada risiko yang harus kubayar, aku terancam gagal kembali ke dimensiku!
Aku meraup seluruh rambutku yang kini terurai. Merusak hubungan Ana dan Ruang saat ini juga bukan hal yang baik. Meski ini berada di dimensi yang tidak nyata, probabilitas aku kembali ke dimensi lalu dengan menyelesaikan novel itu tidak pasti. Bagaimana jika aku bertahan di dimensi ini dan tidak bisa kembali? Jelas mengumpulkan musuh di dimensi ini bukan hal yang bagus.
“Buruk sekali.” Tumpukan lembar naskah Pak Dwi lempar ke atas meja, tidak lama pria itu berdecak. “Bab empat hingga bab tujuh ini benar-benar kacau. Apa yang terjadi padamu, Riri? Kenapa kamu mengeksekusinya dengan seperti ini? Narasinya tidak ada perasaan sama sekali, karakter inkonsisten karena tiba-tiba Ruang seakan bukan lagi cowok yang diam-diam melakukan segalahal untuk seseorang yang dia cintai sebagaimana yang kamu gambarkan. Dan Loka? Masa dengan mudah dia jatuh cinta seperti itu? Sebenarnya kamu mengenal karakter tokoh yang kamu tulis ini, tidak?!”
Kacamata dengan bingkai persegi itu dia simpan di atas meja. Jari jemarinya memijat pangkal hidung, disusul dengan tarikan napas begitu dalam. “Riset Riri, kamu sempat mengatakan pada saya bahwa tokoh ini terinspirasi dari temanmu bukan? Apa susahnya kamu dekati dia dan mengamati hidupnya dia?” Lelaki ini kemudian menggeleng, “Lagi pun tanpa mengamati harusnya imajinasi kamu mengalir. Ini cerita fiksi, bukan biografi!” ucapnya berkebalikan dengan titah sebelumnya.
Lelaki empat puluh tahun ini berdiri, berjalan lambat ke arah jendela yang melihatkan aktivitas perkotaan dari lantai tiga gedung penerbitan. “Untuk mendapatkan hal luar biasa, kamu harus melakukan hal luar biasa juga, Riri. Ulat saja harus berjalan sejengkal demi sejengkal untuk mendapat pucuk teh terbaik. Dia mengabaikan daun-daun dan ranting yang dia lewati. Dia fokus dan tidak terdistraksi oleh hal-hal tidak berguna.”
Meski petuah itu ada benarnya, nyatanya aku malah terpikir dengan iklan teh dengan ulat hijau bergerak sambil teriak “Pucuk! Pucuk! Pucuk!” Membayangkan itu aku terkikik geli. Mungkin hal tersebut menarik perhatian Pak Dwi di depanku. Demi Upin dan Ipin yang nggak tahu kapan rambutnya akan tumbuh, muka Pak Dwi sangat menyeramkan sekarang! Sebelum hidung jambunya itu kembang-kempis, lebih baik aku segera merevisi tulisan yang katanya sampah itu!
“Si-siap Pak! Saya akan berusaha saat revisi!” Kupeluk erat naskah yang sangat aku yakini akan dibuang Pak Dwi beberapa saat lagi. Detik itu aku segera berlari keluar ruangan.
Beberapa jam berikutnya, aku berdiam diri di sudut cafe untuk memperhatikan orang-orang. Mungkin pelayan merasa kesal karena dari sekian jam sejak aku datang, aku hanya memesan lemon tea tanpa memesan makanan. Sayangnya, aku sedang tidak mood untuk makan apapun. Selain dari revisi novel, pagi tadi aku sempat bertemu dengan dosen pembimbing skripsiku. Tidak banyak yang terjadi karena aku sudah tahu revisi apa saja yang perlu kulakukan. Jadi sebelum arahan itu diberikan, aku sudah merevisinya kemarin malam.
Tapi untuk cerita tentang Ruang...
Lelaki itu adalah anomali, aku menyesal tahun kemarin hanya mengamatinya sekilas kemudian kuabaikan sehingga naskah yang kutulis begitu kacau. Tanpa konsultasi, tanpa revisi bulanan, hal itu membuat draft naskah keseluruhan dicaci maki Pak Dwi di ruangan.
Suara dentingan lonceng cafe terdengar, laki-laki dengan kemeja flanel kotak-kotak masuk dari pintu kaca dan berjalan ke arah kasir kemudian berbicara sesuatu. Dari gerak-geriknya aku menebak bahwa dia tengah memesan minuman. Kepalanya berputar mencari kursi yang kosong. Kebetulan hanya tersisa satu, tepat di depanku. Dia menunjuk meja ini.
Sama seperti kisah dalam novel yang biasa orang-orang baca. Ya, lelaki itu Ruang. Kini dia duduk sembari membuka laptopnya. Aku hanya mengamati dari balik laptop yang kini menutupi setengah mukaku. Dari jarak satu meter yang meja ini berikan, aku bisa melihat wajah serius lelaki ini ketika mengerjakan sesuatu. Momen-momen duduk berhadapan dengan teman lelaki sekelas itu sangat langka, mungkin terjadi hanya ketika kerja kelompok. Aku ingin mengutuk nasibku yang dari enam jenis kerja kelompok besar dalam enam semester bernama studio, aku tidak pernah beruntung untuk satu kelompok bersama Ruang.
“Kamu udah selesai isi daya ponselnya?” pertanyaan itu membuatku gelagapan. Meski tidak bertanya secara gamblang, aku merasa tertangkap basah sedang mengamatinya.
“Udah,” aku mencabut pengisi daya dari stop kontak, “silahkan kalau mau pakai.”
Lelaki itu mulai menyambungkan pengisi daya pada laptopnya. Tampak fokus dengan yang dia kerjakan. What a beautiful moment!
“Aku ragu deh novel kamu bisa selesai.”
Mata dengan bulu mata lentik itu terkerejap beberapa kali. Dia baru menyadari aku mengajaknya berbicara setelah beberapa saat.
Dia terkekeh, “Ada baiknya selesai.”
Aku tersenyum tipis mendengar pernyataan itu. Akan ada baiknya jika kamu memberikan aku kesempatan untuk mengenal lebih jauh. Akan ada baiknya jika yang dekat denganmu adalah aku, bukan Ana. Mungkin, tulisan ini tidak akan sulit aku selesaikan.
“Aku sempat akan menghubungimu untuk membatalkan tulisan ini.”
Ya, aku sempat berniat seperti itu pada minggu lalu setelah mendengar cerita Ana tentang kencan pertamanya dengan Ruang. Ruang menjemputnya dan menurunkan pijakan motor untuk Ana adalah cerita yang bahkan aku tanyakan pada diriku sendiri, Apakah itu benar-benar Ruang yang kukenali? Cerita itu membuatku bertanya, apa seharusnya tokoh yang menjadi tokoh utama itu Ana saja?
Ruang masih diam, beberapa saat kemudian suaranya terdengar, “Ya, terserah.”
Seandanya arti terserah yang dia katakan memiliki arti sama dengan yang perempuan selalu katakan, mungkin aku senang. Terserah berarti jangan batalkan, aku berharap. Terserah berarti jangan batalkan, aku dukung kamu. Terserah berarti jangan batalkan, kamu pasti bisa. Nyatanya terserah bagi Ruang berarti tidak jauh berbeda dengan yang ada pada KBBI, melepaskan dan memasrahkan pada orang lain dan tidak mau terlibat.
“Ruang, apa kamu jatuh cinta?”
Untuk kedua kalinya lelaki itu terkerejap, tetapi kemudian dia tidak menjawab. Melihat responsnya, aku segera menggeleng, “Lupakan, aku asal bertanya.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Meskipun begitu, aku mengusahakan agar beban penyesalan bertanya itu tidak dia dengar. Fikiran dan perasaan kembali aku fokuskan pada layar laptop yang kini masih menyala. Aku berfikir dalam untuk menciptakan cerita-cerita fiksi meski dalam hati memendam rasa takut jika sebenarnya lelaki yang di hadapanku ini tidak berhak untuk kuimajinasikan lagi.
Waktu berlalu begitu cepat, jam menujukkan pukul sepuluh malam dan aku bergegas membereskan beberapa barang untuk pulang. Ruang masih fokus pada laptopnya, tidak ada percakapan lanjutan setelah pernyataan sepihakku tadi. Mungkin memang dari sekian banyak manusia yang bisa mengalami kecocokan berinteraksi, aku dan Ruang adalah sebagian kecil lainnya yang tidak termasuk bagian itu.
Setelah beranjak dan menggeser kursi, aku segera menyampirkan tootbag di pundak kanan, bersiap untuk pamit meski aku tahu risikonya tidak ada dia dengar atau tanggapi.
“Belum,” suara itu tiba-tiba terucap dari mulutnya. Pandangan matanya masih fokus pada layar laptop, “Aku belum jatuh cinta.” Wajahnya mengangkat dan menatap mataku. Untuk pertama kalinya tatapan itu seakan menghipnotisku untuk terdiam. Sejenak aku tersadar dan kemudian memberikannya senyum.
“Aku duluan,” pamitku.
Setidaknya, aku bisa menulis dengan lega sekarang.
>>>
Dalam waktu tiga bulan, aku berhasil menyelesaikan naskah sebagaimana yang direncanakan sejak awal. Sempat beberapa kali Pak Dwi memberikan masukan dan kritik, tetapi dua hal itu tidak pedas seperti yang terjadi sebelum aku bertemu Ruang sore itu. Sejak hari itu, aku tidak peduli dengan hubungan antara Ruang dan Ana. Apa yang terjadi antara mereka sudah tidak dalam radar keingintahuanku. Meskipun sebenenarnya apa yang terjadi pada mereka akan mempengaruhi mood dan perasaanku.
Namun hari ini berbeda, aku ingin egois sedikit saja.
Buku berjudul Ruang dan Spasi kini ada pada genggaman. Setelah mengamati tidak ada yang cacat pada setiap bagiannya, aku kembali memasukkannya ke dalam goody bag kelabu yang akan kuberikan langsung pada Ruang. Ini novel tentang dia yang rencananya akan diterbitkan bulan depan.
Ketika menulis novel ini aku mempertimbangkan satu hal penting. Jika novel ini benar-benar selesai, mungkinkah aku akan kembali ke dimensiku yang sebenarnya? Mungkinkah aku akan terbangun dan tersadar bahwa dunia yang dijalani ini tidak nyata? Muncul berbagai pertimbangan bahwa aku harus memanfaatkan kesempatan ini untuk mengakui pada Ruang bahwa mungkin, setidaknya pada dimensi ini, aku telah jatuh cinta. Toh, meski tidak kembali pada dimensi lamaku dengan novel ini, tentu pada suatu waktu aku akan kembali, bukan?
Maka dari itu, pagi ini aku bersiap untuk memberikan hadiah perpisahan sekaligus pengakuan atas apa yang aku rasakan pada lelaki yang sekarang sedang berdiri di halte menunggu bis datang.
Tepat pada saat itu dia tengah memperhatikan sisi jalan dari arah lain, tetapi dengan keberanian yang tersisa aku berteriak sembari melambaikan tangan, “Ruang!”
Lelaki itu melihatku yang kini berjalan menuju ke arahnya sembari memberikan senyum. Namun, tiba-tiba terdengar klakson memekakkan telinga dan sesaat kemudian aku menyadari bahwa sesuatu menghantam tubuhku keras sekali. Dunia terasa berputar diikuti dengan aku yang terlempar ke udara. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Aku berusaha menggerakkan tubuhku yang terasa kaku setelah terhantam ke aspal. Aku dapat melihat bahwa goody bag di tanganku terlempar dan jatuh mengenaskan dengan sebuah buku yang teronggok keluar.
Suara teriakan terdengar begitu ramai. Aku ingin bergerak, berbicara, dan meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja. Namun suhu di sekitarku tiba tiba dingin, tubuhku semakin tidak pada kendali. Dalam hati aku bertanya, apakah aku mati?
Aku terbangun ketika suara kicauan burung terdengar, suaranya nyaring dan semakin mengeras seiring aku abaikan. Bersamaan dengan itu tubuhku terasa sakit sekali. Apakah aku terbangun dengan membawa rasa sakit kematian? Namun, nampaknya itu asumsi berlebihan. Aku terbangun setelah tidur di atas meja belajar. Jelas itu menyebabkan tubuhku terasa remuk redam.
Aku melihat tanggal pada kalender ponsel yang menunjukkan 2 April 2024. Tepat pukul 04.00 dan aku terbangun di dimensiku? Jadi semua yang kualami, dimensi gila itu hanyalah mimpi? Pantas alurnya buruk sekali! Di depanku terpampang layar microsoft word yang masih putih bersih. Blank page. Haruskan aku mengingat alur yang aku tulis di mimpi itu semalam dan kembali menuangkannya untuk diterbitkan? Haruskan aku kembali mengingat berbagai perasaan pada mimpiku yang tidak pernah kurasakan di dunia sekarang?
Nampaknya, bias antara imajinasi dan dunia nyata membuatku lupa seperti apa karakter nyata seseorang. Dan itu yang terjadi semalam. Bagaimana bisa aku tiba-tiba jatuh cinta pada seseorang yang bahkan tidak pernah menghabiskan waktu denganku lebih dari satu hari. Murahan sekali hati ini!