Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kamu membangun karakter dia menjadi lebih hidup? Dengan narasi yang kamu sampaikan pada tulisan ini, mungkin saya hanya tahu bahwa tokoh utama mahasiswa laki-laki tingkat akhir yang anti sosial dan tokoh perempuan yang kamu buat datang sebagai pahlawan mewarnai harinya.” Lelaki dengan kacamata bingkai kotak itu menunjuk salah satu tulisan pada bagian penokohan di naskah novelku, “Apa kamu tidak bisa membuat cerita ini lebih buruk lagi?” tanyanya setengah menyindir.
Mataku menyipit, apakah tulisanku sudah seburuk itu sehingga Pak Dwi, editor dari penerbit yang sudah 3 tahun ini menjadi tempatku bekerja menghabiskan energi untuk memakiku sebegitunya.
“Sepertinya, ini akan menjadi comeback tulisan terburukmu sepanjang sejarah.” Lelaki tambun ini duduk di kursi kerjanya setelah tadi berdiri dengan emosi. Tarikan napas yang dia buat kembali menambah ukuran perut buncitnya. Lelaki yang selisih usianya 20 tahun denganku itu memutar kursi. Menatapku tepat di depan retina. “Revisi.” meski nadanya datar, aku tahu itu adalah sebuah pernyataan, bukan permintaan.
Mendengar perintahnya, tentu aku menurut. Tiga tahun aku menghabiskan waktu untuk menulis di bawah arahannya, tulisanku selalu berhasil bertengger di toko buku. Meski tidak masuk menjadi kategori best seller, setidaknya komisi yang kudapatkan bisa menambah uang jajanku sebagai mahasiswa dengan bekal jajan pas-pasan.
Hari ini, aku kembali ke kos dengan lunglai. Aku tidak mengira Pak Dwi menginginkan revisi sebesar itu. Jelas, jika dia tidak suka karakter laki-laki dingin dan perempuan ceria yang kubuat sebagai tokoh utama, itu artinya aku harus merevisi lebih dari sembilan puluh persen ceritanya. Aku harus membuat tulisan baru. Itu revisi yang dimak...