Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Black Friday
1
Suka
17
Dibaca

Dompetku hanya berisi beberapa lembar uang puluhan ribu saja, padahal esok adalah black friday. Mulai dari baju, tas hingga sepatu incaranku diskon sampai 90%. Aku harus berusaha keras untuk mendapatkan uang demi pesta diskon terbesar tahun ini. 

Untunglah sekarang black friday tidak hanya dirayakan oleh orang eropa atau amerika saja, Indonesia pun sudah merayakan black friday jadi aku tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk berbelanja. Ongkos ke luar negeri bisa kubelanjakan juga, hahaha. 

Tetapi masalahnya sekarang, aku tidak punya uang sama sekali. Saldo di ATM pun hanya tinggal saldo endapan yang mana tidak bisa ditarik. Tabunganku telah terkuras ketika momen 11-11 bulan lalu. Ya, kalian bisa memanggilku Ratu Shopping. Dimana ada diskon besar, di situ aku belanja. 

Perempuan di keluargaku memang terlahir untuk gila belanja. Lihat saja nenekku, ia punya beberapa butik dan retail baju yang isinya adalah baju-bajunya yang dibeli saat diskon. Dulu, nenek hanya menimbunnya di gudang tapi sekarang ia jual karena baju itu masih berkualitas bagus dan beraroma vintage. Orang-orang membelinya dengan harga sedikit lebih tinggi dari harga normal. Padahal, nenek membelinya saat diskon minimal 75%. Untung sekali, kan, nenekku? Hasilnya? Ia pakai untuk berbelanja diskonan lagi! Sungguh kapitalis. 

Ibuku adalah seorang pengoleksi tas dan sepatu. Ia membeli barang-barang itu walaupun diskon di toko palsu. Ya, mereka menaikkan harganya dua kali lipat kemudian melabeli dengan kata-kata 'diskon 50%' atau menaikkan harga hingga selangit dan memberi tag bertuliskan 'diskon 90%+10%'. Yah, jangankan yang seperti itu, tertera diakon 1% saja, ibuku bakal membelinya. 

Namun, ibu tidak seperti nenek. Ia tidak menjual tas-tas koleksinya melainkan membeli sebuah gedung untuk dijadikannya Museum Tas Nyonya Ita. Meski setiap hari sepi pengunjung, ibuku yakin jika suatu saat museumnya akan terkenal dan banyak didatangi orang. Tak seperti Nenek, ibuku adalah seorang idealis. 

"Kenapa kamu cemberut, Ima?" tanya nenek ketika aku melangkah menaiki anak tangga. 

Kulihat tubuh renta itu berhiaskan kalung rantai tebal berlapis tiga dari logam mulia. Gelang nenek juga sangat besar dan tebalnya sekitar dua sentimeter. Wanita tua ini kaya raya dan siap menghabiskan uangnya untuk black friday besok. "Uangku habis, Nek," ucapku memelas, meminta belas kasihan darinya. 

"Ya, ampun! Ita!" Nenek meneriakkan nama Ibu hingga perempuan cantik dengan kebaya modern biru laut itu muncul di balik pintu kayu berukir daun-daun purba. "Ajak anakmu nyari uang, Ita! Katanya dia tidak punya uang untuk besok. Itu kiamat! Lekas, malam ini malam yang baik."

Setelah ucapan Nenek menghilang, Ibu mengajakku naik ke lantai dua dan memasuki sebuah kamar yang sebelumnya tidak pernah ada di sana. Demi apapun, memang pintu itu tak pernah ada di antara kamar Nenek dan Ibu. Akan tetapi, sekarang aku memasukinya. 

Ruangan itu cukup sempit jika dibandingkan dengan kamar lain di rumah ini. Berukuran tiga kali dua meter. Beberapa nampan berjejer dengan isi kembang tujuh rupa, tujuh gelas kecil yang berisi teh dan kopi serta sejenis es buah, pisang yang sepertinya dari tujuh jenis berbeda, kue pasar yang kuhitung juga ada tujuh jenis berbeda, serta sebuah nampan berisi lilin dan dudukannya. Aroma bunga segar menusuk hidung. 

"Duduk, Ima."

Aku menurut. Kini Ibu dan aku duduk berhadapan. Perempuan yang terlihat awet muda ini tersenyum janggal. "Dengar," katanya, "jika api di atas lilin ini bergerak hebat seperti tertiup angin, maka kamu harus meniupnya sebelum api ini padam sendiri, Ima. Ingat itu! Jangan sekali-kali tertidur atau melepas pandangan dari api ini." Sorot matanya menghipnotis. Aku hanya mampu mengangguk patuh. 

Kemudian Ibu menyalakan lilin dan menyelimuti diri dengan tikar yang terbuat dari pandan. Ia menghilang kemudian. Aku tertegun. Tidak mungkin jika ini seperti yang kukira, seperti yang selalu diceritakan orang-orang atau film dan sinetron murahan di tv. 

Kulihat nyala api di depanku. Dia membesar tetapi tenang. Sebuah gambaran perlahan muncul. Seekor hewan gendut yang menggesek-gesek kulitnya pada tembok-tembok rumah seolah ia tengah menghilangkan rasa gatal di tubuhnya. Sesekali api bergoyang halus dan gambaran hewan itu menghilang tetapi kembali lagi ketika api tenang. 

Kemudian nyala api padam. Aku tersentak. Apakah aku sudah melakukan kesalahan? Apakah Ibu akan mati? Tapi tidak. Ibuku muncul dari balik tikar pandan dengan tumpukan uang menimbunnya. 

Dengan bibir merahnya yang menggoda ia tersenyum. "Ini bagianmu, Ima. Kalau kurang bilang saja," katanya seraya menyerahkan bergepok-gepok uang merah ke dalam pangkuanku. "Jangan heran. Ini memang sebuah kewajiban kita. Tidak perlu merasa berdosa."

Kewajiban? Kewajiban apa? Merampok uang dengan jalan ngepet? Atau kewajiban menghabiskan uang kala black friday? Memang kami akan berdosa pada siapa jika tidak melakukannya? 

***

Seharian ini aku hanya tiduran saja di kamar. Tidak berangkat kerja atau berburu baju dan pernak-perniknya. Malas. Itu kata satu-satunya yang diketahui tubuhku setelah semalam ibu memberiku uang yang banyak. 

Tak pernah kusangka kalau keluargaku mendapatkan harta banyak dengan jalan yang tidak masuk akal seperti itu. Sungguh. Kupikir harta peninggalan kakek dan ayahku cukup untuk hidup kami bertiga yang memang boros tingkat dewa. 

Nenek seorang pengusaha, begitu juga Ibu. Aku berkali-kali melihat laporan keuangan perusahaan mereka yang tak kurang dari dua belas digit tiap bulannya. Ternyata masih juga kurang. 

"Ima! Cepat belanja keluar!" teriak Nenek dari luar. Ini kesembilan kalinya Nenek berteriak sementara Ibu tak henti menelepon dan menyuruhku belanja online

Tiba-tiba pintu kamar didobrak. Di sana ada Ibu dan Nenek yang tampak sangat marah. Mereka mendekatiku dan menyeretku keluar. 

"Belanja, Ima! Belanja!"

"Habiskan uang itu! Habiskan! Cepat!"

Aku memberontak dan melepaskan cengkraman Nenek dan Ibu. "Tidak mau! Aku tidak mau! Itu bukan uangku!" teriakku gusar. 

"Cah geblek!" Nenek menyurungkan kepalaku. "Tinggal belanja apa susahnya? Kamu tidak perlu mencari uangnya, sudah ibumu siapkan!" 

"Ima, ayo belanja, Nak. Ayo, ibu temani," bujuk Ibu. Tetapi aku bergeming menatap kantong belanjaan dua wanita itu yang memenuhi ruang keluarga. 

"Tidak mau."

"Ima!" hardik Ibu. Tak pernah kulihat ia semarah ini. Mata bulatnya melebar sempurna, menyembunyikan eye shadow ungu metalik pada kelopaknya. "Belanja saja seperti biasanya! Atau—" Ia melirik ke kiri dan kanan. "Kamu bisa mati kapan saja, Nak. Maka belanjalah selagi masih hidup. Masih ada waktu satu jam," katanya melembut. 

"Tidak. Uangku sudah habis."

Tiba-tiba Ibu melemparkan kartu-kartu kreditnya juga uang yang ada di tasnya padaku. "Ambil! Ambil itu semua, Nak. Belanjalah apapun yang kamu mau."

"Ita …." Nenek sedikit bergumam. "Tinggalkan dia, Ita. Sudah terlambat. Ayo, tinggalkan dia!" teriak Nenek seperti kesurupan. Seolah ia melihat setan dari balik jendela yang terbuka di belakangku. 

"Tidak, Ibu! Ima anakku!" Ibu mulai terisak. Tetapi entah keajaiban apa atau darimana, Nenek menyeret Ibu dengan gampangnya. 

"Dia datang! Dia datang!" 

Kemudian dua wanita itu bersimpuh bersujud di hadapanku. Atau … 

Kuputar tubuh. Di sana tengah menyeringai seekor makhluk yang kepalanya menyentuh atap dengan wajah serupa kerbau marah dan gigi setajam hiu. 

"Ida … Ita … " Suaranya memenuhi gendang telingaku. "Akan kuambil anak ini!" 

"Tidak! Jangan bawa dia, Gulang-gulang!" Ibuku bersujud di kaki makhluk berkuku genap itu. 

Namun, makhluk itu menendang tubuh kurus Ibu hingga membentur lantai. 

"Dia tidak memujaku, dia tidak berfoya-foya di hari Jumat Ireng. Dia bukan pengikutku!"

Kemudian dari ketiak makhluk itu emas-emas sebesar telur angsa keluar. Nenek dengan rakus memungutinya tanpa peduli padaku yang berteriak meminta pertolongan. Makhluk itu tersenyum kemudian menjepitku di ketiaknya. 

"Gulang-gulang, keluargaku mati lagi. Mana bayaranku?" Sayup kudengar Nenek bicara. Aroma makhluk ini sangat pesing sehingga kesadaranku hampir hilang karenanya. 

"Seminggu sebelum Jumat Ireng tahun depan, Ida. Kau akan menemukannya di balik kasurmu."

Kemudian semuanya gelap. Sangat pengap dan sesak. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Black Friday
Keita Puspa
Cerpen
Bronze
Kutukan Danau Matano
Risti Windri Pabendan
Novel
Bronze
Hidup Dengan Mayat ~Novel~
Herman Sim
Flash
Malaikat Maut
Ahmad R. Madani
Cerpen
Bronze
Siapa Dia
Christian Shonda Benyamin
Skrip Film
Gedung Tua di Senen
bagus aprilianto
Flash
Kuyang
Rina F Ryanie
Cerpen
Bronze
Jejak Terakhir di Hutan Mutiara
Ridwan Albakri
Novel
Bronze
Rahasia Kematian
Herman Sim
Novel
Gold
Dering Kematian
Bentang Pustaka
Skrip Film
LENSA
Yoghy Abdullah
Flash
Liburan
Dark Specialist
Novel
Bulan Madu Pengantin
Rosi Ochiemuh
Skrip Film
Rumahku diatas tanah kutukan
Queen
Flash
Tatapan
Ariq Ramadhan Nugraha
Rekomendasi
Cerpen
Black Friday
Keita Puspa
Flash
Pecah
Keita Puspa
Flash
Tsun Tsun Dere Dere
Keita Puspa
Flash
LOG OUT
Keita Puspa
Novel
He Is Not My Brother
Keita Puspa
Novel
We're (Not) Really Break Up
Keita Puspa
Flash
7th Skies
Keita Puspa
Cerpen
Satu Hari di 2010
Keita Puspa
Novel
CAHAYA HITAM
Keita Puspa
Cerpen
Bronze
My Razor Blade (from Sintas Universe)
Keita Puspa
Novel
SINTAS
Keita Puspa
Flash
Masalah Jiwa
Keita Puspa