Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
BISU
0
Suka
34
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ia berdiri di tengah aula tua yang pernah disesaki suara.

Kursi-kursi teratur rapi seperti pasukan tanpa pasukan.

Papan tulis penuh coretan.

Tapi tak ada yang membaca.

Tak ada yang menjawab.

Tak ada yang bertanya.

Dan anehnya, Ia tetap bicara.

Suara parau memantul ke dinding, lalu kembali seperti gema yang kehilangan asalnya.

Ia mengajar. Bukan karena ada yang butuh diajarkan, tapi karena ia tidak tahu cara lain untuk merasa masih hidup.

Ia membuka buku tua di mejanya, halamannya menguning, penuh catatan tangannya sendiri.

Buku itu tidak lagi menantang.

Hanya mengingatkan.

Ia membalik halaman.

Perlahan.

Membaca keras, meski tidak ada siapa pun di depan.

Bukan karena lupa, tapi karena suara sendiri lebih mudah ditelan daripada suara orang lain yang mungkin menyela.

Ia menulis di papan.

Kapur berderit.

Tulisan itu lurus dan dingin.

Garis bawah.

Lambang.

Kutipan dari filsuf yang namanya hanya dikenalnya sendiri.

Tiba-tiba kapur patah.

Ia diam.

Lalu mengambil yang lain.

Dan melanjutkan, seolah patah bukan bagian dari pelajaran.

Seolah patah adalah gangguan kecil dalam sistem yang sempurna yang hanya perlu diganti, bukan direnungi.

Seseorang mungkin pernah mengatakan bahwa “orang bijak adalah mereka yang tahu kapan harus diam.”

Tapi Ia bukan orang bijak.

Ia hanya takut mendengar diam.

Karena dalam diam, mungkin ada jawaban yang tak sesuai keinginannya. Dan dalam ketidaksiapan itu, Ia memilih satu hal yang lebih aman terus bicara.

Walau tak ada telinga.

Walau tak ada yang mengerti.

Walau suaranya sendiri akhirnya menjadi beban.

Dan aula itu… tetap kosong.

Ia meninggalkan aula.

Langkahnya bergema di lorong batu. Dinding-dinding tinggi seolah memantulkan kenangan yang tak pernah ia akui sebagai kenangan.

Di pojok perpustakaan tua, terdapat satu cermin kecil yang menempel di sisi lemari kaca.

Tak ada yang merawatnya.

Tak ada yang mengelapnya.

Ia buram, retak di sisi kanan bawah.

Ia berdiri di depannya.

Bayangannya muncul samar seperti siluet yang enggan menunjukkan wajah.

Ia mengangkat tangannya.

Bayangan itu meniru, tapi tidak menyambut.

Waktu dulu, ia menatap cermin itu dengan bangga.

Setiap kali ia berhasil membungkam murid yang mencoba bertanya, ia berdiri di depan cermin ini dan berkata dalam hati, “Tak ada yang tahu lebih banyak dariku.” Hari ini, ia tak bisa bicara. Karena bayangan itu tak lagi sepenuhnya miliknya.

Ada garis-garis samar di matanya yang tidak ia kenali.

Ada kerutan di dahi yang tidak ia ingat kapan muncul.

Ada kekosongan yang tak pernah ia sadari tumbuh, di antara helai rambut putih dan langkah yang makin lambat.

Ia memegang bingkai cermin itu. Tangannya bergetar sedikit. Bukan karena tua tapi karena sesuatu dalam dirinya…tidak lagi percaya bahwa ia benar.

Ia ingat satu wajah.

Seorang lelaki yang datang dua dekade lalu, menjadi asistennya, lalu menulis makalah yang berbeda dari pandangannya.

Waktu itu, ia menyobek naskah itu di hadapannya.

Ia bilang “Kau belum layak berpikir sejauh ini.”

Murid itu tidak membantah.

Tidak menangis.

Hanya diam.

Dan tak pernah kembali.

Dan anehnya…di balik semua murid yang datang dan pergi, hanya diam anak itu yang terus tinggal.

Bukan pujian.

Bukan sanjungan.

Bukan tepuk tangan.

Tapi diam.

Yang membekas.

Yang membentur jiwanya hari ini seperti palu di ruang kosong.

Ia memalingkan wajah dari cermin.

Tapi bayangan itu sudah menempel.

Bukan di kaca, melainkan di dalam dirinya.

Ia melangkah pelan menuju rak buku, mengambil satu buku yang paling ia banggakan bukunya sendiri.

Ia buka halaman depan.

Ada tanda tangan.

Ada kata pengantar.

Ada daftar isi. Tapi tidak ada halaman yang bisa ia baca tanpa mengingat…bahwa semuanya ditulis tanpa suara orang lain.

Hanya monolog.

Hanya satu arah.

Dan buku itu terasa berat.

Bukan karena isinya, tapi karena ketulian yang menyusunnya.

Ia letakkan kembali buku itu.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa buku itu terlalu ramai untuk dibaca oleh orang yang pernah ia diamkan.

Langkahnya membawanya ke ruang kecil tempat ia dulu menyimpan semua “yang tak perlu didengar.”

Di sana, sebuah meja kayu, usang di pinggirnya.

Lacinya keras saat ditarik.

Berkarat.

Seperti dirinya.

Ia membuka perlahan.

Di dalamnya, tumpukan kertas.

Beberapa adalah jadwal seminar lama, sertifikat, dan salinan tulisan-tulisan ilmiahnya sendiri.

Tapi satu hal menarik perhatian sebuah amplop.

Kuning.

Berdebu.

Tertulis: “Untuk Bapak yang pernah mengajar dengan cahaya.”

Tangannya berhenti.

Ia tahu siapa yang menulisnya.

Ia tahu kapan surat itu datang.

Dan ia tahu… kenapa ia tidak pernah membukanya.

Karena bukan isi surat yang ia takuti. Tapi apa yang mungkin ia rasakan setelah membacanya.

Ia menatap amplop itu lama.

Panjang.

Seolah menunggu surat itu berubah isi. Atau mungkin menunggu dirinya cukup berani untuk mengaku:

bahwa ia tidak tahu segalanya.

Ia membuka.

Perlahan.

Kertasnya masih utuh, tapi ada bekas lipatan waktu yang terlalu jujur untuk disembunyikan.

Isi surat itu pendek.

Tertulis tangan.

“Bapak, Saya tidak ingin menjadi benar. Saya hanya ingin dipahami. Ilmu yang Bapak ajarkan membuka jalan, tapi suara Bapak terlalu keras, hingga kami semua belajar untuk diam. Terima kasih sudah mengajar. Tapi maafkan saya yang ingin bertanya.”

M

Ia membaca ulang.

Sekali.

Dua kali.

Sepuluh kali.

Tapi tak satu pun baris berubah.

Dan dalam hening ruang itu, bukan hatinya yang retak. Melainkan sesuatu yang lebih dalam keyakinan bahwa menjadi guru berarti menjadi yang selalu benar.

Tidak.

Kadang…menjadi guru adalah belajar untuk mendengar, bahkan dari murid yang tidak setuju.

Ia menunduk.

Menutup surat itu.

Dan menahannya di dada, seolah dari sana ia bisa mendengar suara yang selama ini tak ia izinkan masuk.

Dan tiba-tiba, ruang itu terasa penuh.

Bukan oleh orang. Tapi oleh suara-suara yang selama ini diredam oleh suaranya sendiri.

Ia berjalan ke arah luar kota.

Tidak banyak orang tahu jalan itu, kecuali mereka yang pernah duduk bersila di tepi sungai untuk mendengar, bukan berbicara.

Dulu, ia dan gurunya sering ke sana membawa buku, sesekali buah delima, dan lebih sering diam. Karena gurunya bukan tipe yang suka bicara panjang. Tapi setiap kalimatnya selalu memuat jarak jarak antara ilmu dan kebijaksanaan, antara tahu dan benar, antara suara dan makna.

Hari ini, jalan itu masih ada.

Bersemak.

Sunyi.

Langkahnya meninggalkan jejak yang rapuh di tanah yang tak pernah sepenuhnya kering.

Di ujung, sungai itu menyambutnya. Bukan dengan arus, bukan dengan gemercik. Tapi dengan keheningan yang asing.

Airnya nyaris hilang. Tersisa genangan di celah-celah batu. Tak cukup untuk mencuci tangan, apalagi hati.

Ia duduk di batu besar, tempat gurunya dulu duduk, kakinya menggantung.

Ia menunduk, melihat bayangannya sendiri di permukaan air keruh.

Buram.

Goyang.

Seperti sosok yang tidak pernah selesai menjadi manusia. Ia meletakkan surat yang tadi ia bawa di atas batu. Angin hampir menerbangkannya, tapi ia tahan.

Dan untuk pertama kalinya, ia tidak berbicara.

Tidak membaca.

Tidak menjelaskan.

Ia hanya duduk.

Diam.

Mendengar suara air yang tidak ada.

Mendengar suara guru yang telah lama mati.

Mendengar… dirinya sendiri, tanpa gangguan dari suara yang ingin menang.

Dan dalam diam itu, ia sadar “Bukan dunia yang berhenti bicara. Tapi aku yang tak pernah belajar mendengarkan.”

Ia kembali berdiri.

Meninggalkan sungai kering.

Tidak kecewa.

Tidak juga lega.

Hanya lebih ringan.

Karena dalam ruang itu, ia tidak lagi membawa kebenaran, tidak lagi membawa nama, tidak lagi membawa suara.

Hanya satu hal yang ia genggam bahwa kadang, satu-satunya pelajaran yang benar-benar penting adalah kesediaan untuk menjadi bisu, agar dunia bisa kembali terdengar.

Ia kembali ke aula tua.

Papan tulis masih penuh goresan kapur kemarin.

Kursi-kursi tetap dalam barisnya, rapi, tapi hampa.

Tak ada suara, dan kali ini, ia tidak mencarinya.

Ia tidak membawa buku.

Tidak membuka catatan.

Tidak menyiapkan pengantar.

Hanya masuk.

Duduk di kursi paling depan yang dulu ia anggap sebagai milik satu-satunya yang layak bicara.

Kini ia memilih diam di situ.

Memandang ke depan, seperti murid.

Bukan lagi pengajar.

Karena ia tahu, pelajaran terakhir bukan sesuatu yang disampaikan. Melainkan sesuatu yang diterima, setelah sunyi cukup lama untuk mengetuk.

Di atas meja, ia meletakkan surat itu.

Dibuka.

Terbaca.

Tak lagi ditolak.

Ia menarik napas pelan.

Menghembuskan dengan mata tertutup.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa hadir, bukan karena ia bersuara, tapi karena ia berhenti membungkam.

Di luar, angin bertiup tenang.

Daun gugur satu-satu.

Ada sesuatu yang berubah, tapi tak satu pun yang perlu dijelaskan.

Karena tidak semua perubahan butuh kata.

Kadang cukup…dengan bisu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Her Podcast Case
Irvinia Margaretha Nauli
Cerpen
BISU
Muhamad Irfan
Novel
Bronze
Writing is My First Love
d Curly Author
Skrip Film
The Rising Legacies
Gadhinia Devi Widiyanti
Skrip Film
Deadline
William Oktavius
Skrip Film
(Bukan) Mimpi Buruk
diannafi
Novel
Tempurung Kaca
Panca Lotus
Novel
Bronze
Rasa yang hilang
Ratihcntiia
Novel
Malaikat Jatuh
Jesselyn Abdisaputera
Skrip Film
Marry Rich Society: Sebuah Panduan Menikah Kaya di Abad 21
Marcel Rustandie
Flash
Pemuda Tampan
Irma Susanti Irsyadi
Novel
Bronze
Literatur Bernyawa
Rainzanov
Flash
Orang Tanpa Penghasilan
Berkat Studio
Skrip Film
ARKANA
Sherly Amanda Islami Ramadhani
Flash
Bronze
Tamu Tengah Malam
Fahri Nurul A'la
Rekomendasi
Cerpen
BISU
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan yang Tidak Pernah Pulang
Muhamad Irfan
Cerpen
Jaket Merah yang Tak Pernah Dikembalikan
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan di Meja Sebelah
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Sepotong Roti Hangat di Ujung Hujan
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bukan Lagi Kita
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bunga yang Tak Pernah Ditaruh di Vas
Muhamad Irfan