 
				 
							Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu, hutan Rimba Sunyi benar-benar mewujudkan namanya. Tidak ada gemerisik daun yang biasa dibawa angin, tidak ada jeritan burung hantu yang memecah sepi. Hanya keheningan yang tebal, mencekik, dan gelap yang pekat kegelapan yang terasa memiliki bobot dan substansinya sendiri.
Aris, seorang peneliti alam yang terlalu ambisius, terperosok ke dalam kegelapan itu. Ia datang untuk memetakan flora langka, tetapi kini ia hanya ingin melewati malam. Gubuk kecil dan reyot di tengah hutan ini adalah satu-satunya penampungannya, sebuah struktur kayu lapuk yang ia temukan di tepi sungai kering. Penduduk desa terdekat telah memperingatkannya; mereka menyebut hutan itu "tanah yang tidur," dan gubuk itu "tempat yang terlupakan."
Di dalam gubuk, Aris menyalakan satu-satunya lampu minyak. Cahaya kuning yang lemah berjuang melawan kegelapan yang merayap dari setiap sudut. Debu tebal menyelimuti lantai papan yang berderit, dan udara lembap dipenuhi bau apak kayu busuk. Aris mengeluarkan ranselnya, merangkai tenda kecil di sudut gubuk, meskipun ia tahu tenda itu hanya perlindungan psikologis, bukan fisik.
Ia mencoba menyalakan api di tungku batu yang berlumut, tetapi kayu-kayunya terlalu basah. Dingin mulai menusuk, dan keheningan di luar terasa semakin mengancam. Aris meraih buku catatan tebalnya, berharap fokus pada tulisan bisa mengusir rasa cemas yang perlahan membelit perutnya.
Tepat ketika jemari Aris menyentuh halaman buku, ia mendengarnya.
Bukan suara keras, bukan ketukan, melainkan sesuatu yang jauh lebih halus dan menakutkan: bisikan.
Suara itu sangat lembut, hampir seperti desahan angin yang terjebak di antara celah papan dinding, tetapi memiliki ritme yang jelas. Awalnya terdengar seperti senandung tanpa lirik yang sangat pelan, nada rendah yang bergetar.
Aris menahan napas. Ia mematikan lampu minyak. Insting purbanya berteriak bahwa dalam kegelapan yang absolut, suara adalah satu-satunya indikator ancaman. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya angin yang memainkan trik pada struktur gubuk yang sudah tua.
Namun, gubuk itu terlindungi dari angin. Hutan itu sunyi senyap.
Bisikan itu tidak berhenti. Itu mulai mengambil bentuk, terdengar seperti sebuah nama.
"...Riss..."
Aris merasakan bulu kuduknya meremang. Ia menoleh perlahan, senter di tangan kanannya diarahkan ke sudut ruangan tempat ia mendirikan tenda. Tidak ada apa-apa, hanya bayangan yang menari-nari di bawah cahaya senter yang bergoyang.
Ia kembali menyalakan lampu minyak, menciptakan kembali ilusi aman. "Hanya kelelahan," gumamnya, suaranya parau dan jauh dari meyakinkan. "Hanya gema dari ketakutan."
Ia mencoba membaca. Satu paragraf. Dua. Lalu bisikan itu kembali, kali ini lebih dekat, seolah-olah subjek suara itu bergerak melintasi lantai kayu yang seharusnya berderit di bawah beban apa pun.
"...Aris... Kau sendirian, bukan?"
Suara itu terdengar seperti gerusan pasir halus, berbisik di telinga. Itu tidak datang dari dinding, bukan dari luar. Itu datang dari kegelapan yang ada di dalam gubuk itu sendiri.
Aris melompat berdiri, lututnya menabrak meja kayu rapuh. Lampu minyak hampir terjatuh. Ia mengambil langkah mundur, punggungnya menempel di dinding kasar.
"Siapa di sana?!" serunya. Suaranya pecah dan lemah, ditelan oleh keheningan hutan.
Tawa pelan, seperti gemerincing kaca pecah, adalah jawabannya.
"Tidak ada 'siapa' di sini, Aris. Hanya... kau. Dan kami." Bisikan itu kini berlapis-lapis, seolah banyak suara kecil—anak-anak, wanita, pria—berbicara dalam unisono yang mengerikan.
Aris mengayunkan senternya, tetapi cahaya seolah terserap oleh kegelapan. Ia tidak melihat sosok, tidak ada bayangan, hanya kegelapan yang jauh lebih dalam di luar jangkauan cahaya lampu.
"Kalian... apa yang kalian inginkan?" Aris meremas gagang senter, buku catatan sudah jatuh dan terlupakan.
Keheningan sesaat kembali, lebih menekan daripada sebelumnya. Lalu, bisikan itu menjadi satu suara, suara wanita yang lembut, tetapi dengan nada yang sangat tua.
"Kami hanya ingin... keluar."
Aris menggeleng. "Aku tidak mengerti. Keluar dari mana?"
"Dari tempat ini. Kami terperangkap di sini, Aris. Terjebak oleh... yang menjaga. Kau bisa membebaskan kami. Kau adalah orang luar, dia tidak bisa menghentikanmu."
Bisikan itu kini terdengar memohon, sebuah permohonan yang menggoda dan sangat pribadi. Mereka mulai menceritakan kisah. Kisah tentang penghuni gubuk sebelumnya, tentang kesalahan yang mereka lakukan, tentang ritual kuno yang mengikat mereka pada tanah ini. Mereka menawarkan janji—pengetahuan yang tak tertandingi, kekayaan yang tersembunyi, hingga kebebasan dari rasa takut itu sendiri.
"Buka pintunya, Aris. Biarkan kami melihat bulan. Kami sudah lama tidak melihat bulan, Aris."
Pintunya. Mereka ingin ia membuka pintu gubuk. Aris melihat ke arah pintu yang terkunci dengan gerendel berkarat. Di baliknya adalah hutan, dan di baliknya adalah kegelapan yang tak terbatas.
Aris merasa pusing. Bisikan itu menyusup ke dalam pikirannya, memintanya, memohonnya. Ia melangkah satu inci ke arah pintu. Rasa dingin menjalar di kakinya, seolah-olah ia berjalan di atas es.
Tiba-tiba, mata Aris menangkap sesuatu di lantai, di bawah tumpukan jerami busuk. Itu adalah goresan. Ia berlutut, menggeser jerami.
Goresan itu bukan sekadar goresan. Itu adalah serangkaian simbol yang diukir dalam papan lantai, membentuk sebuah lingkaran konsentris. Simbol-simbol kuno, yang ia kenal dari buku-buku lama tentang mitologi hutan.
Dan di tengah lingkaran itu, tertulis, diukir dengan pisau yang sama tajamnya:
"JANGAN PERCAYA BISIKAN. MEREKA BUKAN TAHANAN. MEREKA ADALAH PENJARA."
Jantung Aris serasa berhenti berdetak. Ia membaca kembali kalimat itu.
Mereka adalah Penjara.
Dalam sekejap, semua janji manis, semua permohonan memelas dari bisikan-bisikan itu, runtuh menjadi debu. Mereka tidak ingin bebas; mereka ingin mengikat yang lain. Mereka ingin menarik mangsa ke dalam lingkaran terkutuk ini.
Bisikan itu mendeteksi perubahan dalam dirinya. Nada mereka langsung berubah.
"Apa yang kau lihat, Aris? Itu hanya goresan. Masa lalu. Lupakan. Datanglah ke pintu. Buka kami. Kami merindukan cahaya." Suara wanita tua itu kini terdengar mendesak, hampir mengancam.
Aris merangkak mundur, senter kembali diarahkan ke sudut ruangan.
"Tidak," jawabnya, suaranya kali ini kuat dan mantap, meskipun tubuhnya bergetar hebat. "Aku tidak akan membukanya. Kalian tidak akan memilikiku."
Sejak saat itu, bisikan-bisikan itu tidak lagi memohon.
Mereka menuntut.
"Kau akan membuka kami! Kau milik kami! Semua yang datang ke sini adalah milik kami!"
Suara-suara itu meledak dalam raungan tanpa vokal, sebuah jeritan bisikan yang memekakkan telinga. Lampu minyak di atas meja berkedip-kedip liar, seperti kehabisan napas. Aris menutup telinganya, tetapi suara itu tidak datang dari luar, ia bergema di dalam tengkoraknya.
Tiba-tiba, papan lantai di sekeliling lingkaran yang terukir mulai bergetar. Debu dan kotoran terangkat ke udara.
Kegelapan itu bergerak.
Aris melihatnya. Bukan wujud, tetapi ketiadaan cahaya yang menjadi padat. Seolah-olah bayangan di sudut ruangan menjadi lebih hitam daripada yang seharusnya. Segumpal kegelapan murni bergerak dari sudut, menyelimuti dinding, melahap cahaya lemah lampu minyak.
Aris tahu, jika kegelapan itu menyentuhnya, ia akan menjadi salah satu dari bisikan itu, salah satu arwah yang terikat dan terperangkap selamanya.
Ia meraih satu-satunya senjata yang ia miliki: korek api dan beberapa lembar kertas kering dari ranselnya. Ia tidak bisa melarikan diri, tetapi ia bisa melawan dengan apa yang paling dibenci kegelapan: cahaya dan api.
Ia menyalakan korek. Dalam api kecil itu, bisikan-bisikan mengerikan itu sejenak mereda, tergantikan oleh suara mendesis.
Dengan panik, Aris mulai merobek halaman buku catatannya yang tebal—ratusan lembar catatan berharga tentang flora langka yang kini terasa tidak berarti. Ia menyalakan lembaran-lembaran itu, melemparkannya ke tungku batu.
Api mulai hidup. Kecil, tetapi cukup.
Saat api membesar, bayangan pekat itu meringis. Bisikan-bisikan itu kini terdengar seperti lolongan kesakitan, mundur menjauh dari sumber panas dan cahaya.
"JANGAN! JANGAN BAKAR! KAU BUKAN KEBEBASAN! KAU ADALAH KEMATIAN!"
Aris mengabaikannya. Ia terus memberi makan api, melemparkan sisa buku catatan, bahkan beberapa pakaiannya yang kering. Ia tidak peduli dengan kerugian. Ia hanya peduli pada kelangsungan hidup.
Puncaknya, ia meraih lampu minyak. Dengan tangan gemetar, ia memecahkan kaca pelindungnya dan menuangkan isinya langsung ke dalam tungku.
Api meledak. Nyala api menjilat tinggi, menerangi seluruh gubuk dengan cahaya oranye yang kuat dan memantul.
Dan bisikan-bisikan itu diam.
Kegelapan yang padat di sudut ruangan mencair, kembali menjadi bayangan normal. Suhu naik drastis. Udara terasa bersih. Hening, tetapi kali ini, keheningan itu normal, bukan lagi mencekik.
Aris duduk di lantai yang dingin, kelelahan, memperhatikan api yang perlahan-lahan meredup. Ia selamat. Ia tidak membuka pintu. Ia tidak menjadi tawanan bisikan itu.
Ia menunggu sampai fajar tiba, menyaksikan melalui celah-celah dinding bagaimana langit berubah dari hitam menjadi abu-abu, lalu keemasan.
Ketika matahari benar-benar terbit, Aris membuka pintu gubuk. Tidak ada kabut, tidak ada jejak apa pun. Hutan itu tampak biasa, hanya gubuk reyot itu yang kini berbau asap dan kayu terbakar.
Aris berjalan keluar, tidak berani menoleh ke belakang. Ia meninggalkan ranselnya, tendanya, dan semua yang ia bawa. Ia hanya membawa satu hal: pelajaran berharga bahwa terkadang, hal yang paling menakutkan bukanlah apa yang bersembunyi di kegelapan, tetapi suara yang mencoba menarik kita untuk bergabung dengannya.
Ia tidak pernah lagi mendengar bisikan, tetapi setiap kali ia mendapati dirinya sendirian dalam keheningan yang terlalu lama, ia merasakan dinginnya lantai papan di bawah lututnya, dan ia mengingat pesan yang terukir: "MEREKA ADALAH PENJARA."