Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Senja selalu menjadi kanvas bagi Banyu. Bukan karena keindahan jingga yang melukis ufuk, melainkan karena di sanalah, di antara perpaduan cahaya yang memudar dan kegelapan yang merayap, masa depan kerap berbisik padanya. Sejak usia enam tahun, dunia Banyu adalah tumpukan mozaik kilasan peristiwa yang belum terjadi, tawa yang belum menggaung, air mata yang belum menitik, bahkan aroma hujan yang belum menyentuh bumi. Kelebihan itu, yang orang dewasa sebut "anugerah", terasa seperti beban di pundak kecilnya. Bagaimana tidak? Di saat teman-temannya sibuk bermain kelereng atau mengejar layangan, Banyu seringkali terhenti, terpaku oleh bayangan-bayangan yang melintas di benaknya, mengisahkan kejadian esok atau lusa yang tak seorang pun bisa melihatnya. Kepekaan ini datang tanpa undangan, tanpa bisa dikendalikan. Terkadang hanya berupa sekelebat bayangan, namun seringkali juga sangat detail, lengkap dengan suara, bau, dan perasaan yang mendalam. Banyu sering merasa seperti hidup dalam dua dunia sekaligus. Satu adalah dunia nyata di mana ia bermain dan belajar seperti anak-anak lain, dan yang lainnya adalah dunia bayangan di mana ia menjadi penonton pasif atas peristiwa yang belum tiba.
Suatu pagi, saat embun masih memeluk dedaunan di halaman belakang, dan burung-burung pipit mulai riuh bercicit di dahan jambu, Banyu melihatnya lagi. Sebuah kilasan singkat, namun cukup jelas untuk mengukir kecemasan di hatinya. Ayah, dengan senyum tipis yang selalu menjadi pelipur lara, berdiri di tepi jurang yang curam, menatap kehampaan di bawahnya. Angin berembus kencang, menggoyangkan dedaunan di sekitarnya, seolah alam pun turut berduka. Lalu, gelap. Gambaran itu hanya muncul sepersekian detik, namun cukup untuk menghentikan detak jantung Banyu. Sekelilingnya, suara riuh obrolan ibunya dengan tetangga, aroma kopi yang baru diseduh dari dapur, serta celoteh adiknya yang sedang bermain balok, semuanya terasa hampa. Seolah-olah dunia sejenak berhenti berputar, hanya menyisakan kegelapan dan kengerian di benaknya. Ia merasakan dingin yang menusuk, seolah-olah ia sendiri yang berdiri di tepi jurang itu, merasakan tiupan angin dingin dan kehampaan yang tak berujung.
"Banyu, sarapan, Nak," panggil Ibu dari dapur, suaranya sehangat mentari pagi yang baru menyinari bumi.
Banyu menyeret langkahnya, seberat langkah orang dewasa yang memikul beban berat. Mata sembabnya tak luput dari perhatian Ibu, yang langsung mendekat dengan raut khawatir. "Ada apa, jagoan Ibu? Mimpi buruk?" tanyanya lembut sambil mengusap rambut Banyu. Ibu selalu peka terhadap perubahan suasana hati Banyu, mungkin karena ia tahu ada sesuatu yang berbeda dengan putra sulungnya ini.
Banyu menggeleng pelan, kepalanya menunduk. Bagaimana ia harus menjelaskan? Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa ia baru saja menyaksikan sebuah kemungkinan yang mengerikan, sebuah bayangan Ayah yang berdiri di ambang bahaya? Ia tak ingin Ibu ikut khawatir, tak ingin menambah beban pikiran orang tuanya. Lagipula, siapa yang akan percaya cerita tentang masa depan yang belum terjadi? Ia sudah sering mencoba di masa lalu, namun hanya berakhir dengan tatapan aneh dan nasihat untuk tidak terlalu banyak berimajinasi. "Tidak apa-apa, Bu. Banyu hanya... sedikit mengantuk," jawabnya lirih, mencoba menyembunyikan getaran dalam suaranya. Ia duduk di meja makan, memilin-milin sendoknya, nafsu makannya hilang entah ke mana. Makanan yang disajikan Ibu, nasi goreng dengan telur mata sapi kesukaannya, terasa hambar di lidah.
Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca bagi Banyu. Setiap tawa Ayah terasa seperti melodi terakhir yang akan segera sirna, setiap sentuhan hangat Ayah terasa seperti perpisahan yang menyakitkan. Ia berusaha mencari tahu. Kilasan itu, Ayah di tepi jurang, apakah itu nyata atau hanya fatamorgana? Ia mencoba menafsirkan, mencari detail, tetapi masa depan terlalu sering menampakkan diri dalam bentuk teka-teki yang sulit dipecahkan. Ia sering memandangi Ayah dari jauh, mengamati setiap gerak-geriknya, seolah mencoba menemukan petunjuk. Terkadang, ia mencoba memejamkan mata dan fokus, berharap kilasan itu akan menjadi lebih jelas, namun yang datang justru kebingungan dan rasa pusing. Setiap malam, bayangan jurang itu menghantui tidurnya, membuat ia terbangun dengan napas terengah-engah dan keringat dingin. Ia bahkan tidak berani menggambar lagi, takut jika goresan pensilnya akan secara tidak sengaja mengungkapkan detail menakutkan yang baru.
Ia ingat beberapa kali sebelumnya kilasan yang ia lihat benar-benar terjadi, seperti kucing tetangga yang hilang dan ditemukan di atap rumah kosong, atau ketika neneknya tiba-tiba sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit. Namun, ini berbeda. Ini melibatkan Ayah, orang yang paling ia sayangi, dan bahaya yang ia rasakan begitu besar, begitu mengancam. Ia merasa terisolasi dengan pengetahuannya ini, sebuah rahasia berat yang membebani pundaknya yang kecil. Ia ingin berteriak, ingin memperingatkan semua orang, tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya.
Hingga suatu sore, Ayah pulang dengan semangat berapi-api. Wajahnya berseri-seri, dan senyum lebar tak lepas dari bibirnya. Ia langsung mencari Banyu dan Ibu. Ayah adalah seorang peneliti geologi, pekerjaannya sering membawanya ke tempat-tempat terpencil, jauh dari keramaian kota. "Banyu, Nak! Ibu! Ayah besok akan ikut ekspedisi ke Gunung Semesta! Tim riset Ayah menemukan jalur baru yang menjanjikan, dan sepertinya ada penemuan besar menanti kita di sana!" seru Ayah penuh antusias, tak menyadari badai yang sedang bergolak di hati putranya. Kata "Gunung Semesta" menggema di benak Banyu, memicu alarm bahaya yang selama ini terpendam.
Dunia Banyu runtuh seketika. Gunung Semesta. Jurang. Kilasan itu. Semuanya terangkai sempurna dalam benaknya, seperti potongan puzzle yang tiba-tiba menemukan tempatnya. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu. Kengerian yang selama ini ia coba pendam, kini meledak dalam bentuk tangisan yang tak tertahankan.
"Tidak, Ayah! Jangan pergi!" seru Banyu, suaranya pecah oleh tangis yang tak terbendung. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya, membasahi kemejanya yang ia genggam erat. Ia berlari memeluk kaki Ayah, seolah-olah dengan berpegangan erat ia bisa mencegah Ayah melangkah menuju bahaya.
Ayah terkejut melihat reaksi Banyu. Ia berjongkok, mensejajarkan pandangannya dengan putranya, mengusap kepala Banyu dengan lembut. "Ada apa, jagoan? Ayah akan baik-baik saja. Ini pekerjaan Ayah. Ayah hanya pergi beberapa hari." Ayah mencoba menenangkan Banyu, berpikir mungkin Banyu hanya cemas karena akan ditinggal.
"Banyu melihat... Banyu melihat Ayah di tepi jurang," bisiknya di sela isak tangis yang tertahan. "Di Gunung Semesta. Ada... ada yang tidak beres, Ayah. Banyu mohon, jangan pergi." Kata-kata itu keluar dengan susah payah, bercampur dengan isakan, tapi penuh dengan keyakinan yang menggetarkan.
Ayah terdiam. Ia mengenal Banyu. Ia tahu tentang kelebihan putranya, meskipun ia sendiri terkadang kesulitan mencerna apa yang Banyu alami. Namun, kali ini, raut ketakutan dan kepastian di mata Banyu begitu nyata, tak bisa diabaikan. Ini bukan mimpi buruk biasa, ini adalah ketakutan yang mendalam, sebuah peringatan yang tak bisa ia anggap remeh. Mata Ayah menatap mata Banyu, mencari kebenaran dalam ketulusan seorang anak yang polos. Ia melihat kengerian yang tak bisa dibuat-buat, sebuah firasat yang melampaui logika. Ayah memeluk Banyu erat, merasakan getaran tubuh anaknya yang masih terisak.
"Apakah itu pasti, Nak? Apakah penglihatanmu itu sejelas itu?" tanya Ayah, suaranya melembut, penuh perhatian. Ada nada serius yang tak pernah Banyu dengar sebelumnya dari Ayah.
Banyu mengangguk mantap, meski tubuhnya bergetar hebat. Ia mengangkat kepalanya, menatap Ayah dengan mata yang masih basah. "Banyu tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi... Banyu tidak mau Ayah pergi. Firasat Banyu sangat kuat, Ayah. Banyu melihat angin kencang dan... lalu gelap. Sangat gelap."
Malam itu, di bawah temaram lampu kamar, Ayah berunding dengan Ibu. Bisikan-bisikan mereka terdengar samar di telinga Banyu, yang masih terjaga dalam tidurnya yang gelisah. Ia tahu betapa pentingnya ekspedisi ini bagi Ayah, betapa besar harapan Ayah terhadap penemuan baru itu. Ini adalah proyek besar yang sudah lama Ayah persiapkan, melibatkan banyak rekan dan sumber daya. Namun, ia juga tahu betapa mengerikannya penglihatan itu, seolah bayangan maut melayang di atas kepala Ayah. Banyu tahu Ayah adalah seorang yang rasional, seorang ilmuwan yang mengandalkan data dan fakta, namun ia berharap Ayah mau mendengarkan hati kecilnya kali ini, mendengarkan bisikan yang hanya bisa ia dengar. Ibu, meskipun awalnya ragu, melihat betapa seriusnya Ayah menanggapi kekhawatiran Banyu. Ia tahu, suaminya tidak akan pernah main-main dengan keselamatan.
Keesokan paginya, ketika fajar menyingsing, dan sinarnya mulai menyelinap di antara celah jendela, Ayah membuat keputusan. Ia membatalkan kepergiannya. Tim risetnya terkejut, beberapa bahkan mencoba membujuknya kembali, menjelaskan betapa ruginya proyek jika Ayah tidak ikut. Namun Ayah hanya berkata, "Ada firasat yang tak bisa saya abaikan. Keselamatan lebih utama." Ia tidak menjelaskan detail tentang penglihatan Banyu, hanya menatap putranya dengan tatapan penuh syukur dan kelegaan yang mendalam. Banyu melihat Ayah menelepon rekan-rekannya, suaranya mantap meskipun jelas ada rasa kecewa. Tapi di mata Ayah, Banyu melihat ketenangan yang muncul dari keputusan yang benar.
Beberapa hari kemudian, kabar buruk datang dari Gunung Semesta. Sebuah tim ekspedisi lain yang mencoba jalur baru yang sama, mengalami kecelakaan. Salah satu anggota mereka tergelincir di tepi jurang, kehilangan nyawa. Jurang yang sama. Tempat yang sama. Persis seperti yang Banyu lihat. Berita itu menyebar cepat di komunitas peneliti, menjadi pelajaran pahit tentang risiko eksplorasi. Ayah menunjukkan berita itu pada Banyu, dengan mata berkaca-kaca.
Banyu memeluk Ayah erat, air matanya kembali mengalir, namun kali ini bukan air mata ketakutan, melainkan air mata kelegaan dan rasa syukur yang mendalam. Sebuah beban besar terangkat dari pundaknya. Ayah membalas pelukan itu, mencium puncak kepala Banyu. "Terima kasih, Nak. Terima kasih sudah memberitahu Ayah. Kamu sudah menyelamatkan hidup Ayah." Ada rasa cinta dan kepercayaan yang tak terhingga dalam pelukan itu. Ibu bergabung, memeluk keduanya, merasakan kehangatan keluarga yang utuh.
Di pelukan Ayah, Banyu menyadari bahwa kelebihan ini, meskipun kadang memberatkan dan menyisakan kecemasan, juga bisa menjadi mercusuar. Bukan untuk mengubah takdir sepenuhnya, melainkan untuk memberikan pilihan, untuk sedikit melengkungkan alur yang mungkin, atau setidaknya, memberikan peringatan. Ia tidak akan pernah bisa menghentikan kilasan-kilasan itu datang, tapi ia bisa belajar untuk menafsirkannya dan, yang paling penting, ia bisa mempercayai orang-orang yang ia cintai untuk mendengarkannya. Senja sore itu terasa berbeda. Jingga masih membakar ufuk, tetapi kini, ia membawa serta sedikit kelegaan dan harapan. Bisikan masa depan mungkin akan datang lagi, gelap atau terang, namun kali ini, Banyu tahu ia tidak sendiri. Ia memiliki Ayah dan Ibu yang percaya padanya, dan dengan cinta serta kepercayaan mereka, ia bisa menanggung beban melihat bayangan waktu, bahkan mungkin mengubahnya. Mungkin, "anugerah" ini tidak seburuk yang ia bayangkan selama ini. Mungkin, ini adalah bekalnya untuk melangkah di dunia, untuk menjadi penjaga bagi orang-orang yang ia sayangi.
~selesai~