Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Bisik bisik tetangga
1
Suka
5,584
Dibaca

Gimana udah bisa bandingin enak tinggal dimana, di kota atau kampung, pada dasarnya semua itu sudah ada porsi masing masing, senyaman apapun itu tetap kita yang ngerasain.

Jujur saja jika kalian tanya saat ini memilih yang mana, tinggal di kota atau kampung, dengan tegas bakal aku jawab "kota" yang aku pilih, bukan tentang kota yang memilik sejuta pesona, apalagi segala fasilitas kemewahan yang menunjang lifestyle.

Si anak rantau yang sudah terbiasa melanglang buana ke kota akan merasa nyaman dan senang di kota orang, gak peduli kota besar atau kecil, berjuang di kota orang dengan niat dan keteguahan hati, memulai hidup seorang diri di tengah keterasingan, orang orang baru, semangat baru dan berbagai culture yang berbeda.

Di kota aku bisa bebas berekspresi tanpa peduli di cap aneh, karena disini yang jauh lebih aneh lebih banyak, yang baik dan jahat punya kemampuan akting masing masing, terlihat kuat padahal lemah, bertemu orang orang baru dengan karakter baru, belajar memanage waktu dan keuangan, dan masih banyak lagi.

Hidup di kampung jelas lebih nyaman karena bersanding dengan keluarga dan orang tua, masih bisa menikmati asrinya pedesaan, terkadang ingat masih kecil muncul saat melewati tempat yang berkesan, seketika senyum merekah saat mengingat moment itu.

Tidak untuk membandingkan, nyatanya ada banyak faktor yang membuat kanyamanan itu terusik, ya kali lama lama terusik gak jengah, da aku tidak sestrong itu, berusaha diem dan enggak peduli itu tidak cukup, emang dasarnya enggak nyaman aja di kampung.

"Duh rajinnya pagi pagi udah beres nyuci?" sapanya saat melewati ku yang asyik melamun sambil jemur baju.

"Iya nih," jawabku males dengan sedikit senyuman bertepatan dengan ibuku yang keluar dari dalam rumah, bakal lama nih kalau gini.

"Banyak ya beli sarapannya?" tanya ibu basa basi dan berlanjut dengan cerita cerita lainnya ala ibu ibu rumpi.

"Iya buat sarapan anak sekolah, Bu si Nain lamaran semalam, nyampe enggak kuenya?"

Nain anak dari salah satu ibu, dimana setiap keluarga lamaran atau acara apapun keluarga besar suka terlibat langsung didalam, biasanya tiap abis lamaran akan ada bagi bagi kue ke para saudara dan tetangga, itu sudah menjadi tradisi disini bagi yang lamaran atau dilamar tapi sebagian ada yang masih menjalankan dan ada yang tidak.

Obrolan mereka masih berlanjut, aku sibuk menjemur, si tetangga kepo ku ini memang suka nyebelin.

"Neng kalau udah selesai pindah kerumah bibi ya," celetuk bibi Oci adik sepupu ibu lewat depan rumah mau beli sarapan nasi kuning, sama seperti tetangga kepoku tadi yang baru saja pergi.

"Siap bi asal bayarnya gede."

"Tuh si Rani ada dirumah, balik lagi kerjanya kagak betah dia, mending kawin aja dari pada tekdung dulu, pacarnya main terus tiap hari, gimana mau betah kerja," ujarnya panjang lebar duduk di teras rumahku, niat banget pagi pagi gosip.

"Kucing kali ah kawin," kataku jutek.

"Gawe kagak bener, pacaran mulu, padahal si cowoknya aja pengangguran, mau aja dipacarin pengangguran."

Aku tersenyum menanggapinya, "bi kan dia kuliah", kataku menahan tawa.

"Kuliah apa neng?" tatapnya tak percaya.

"Kuli Lumpiah,$ ha ha ha tawaku meledak, bibi pun ikut tertawa.

"Bisa aja kamu neng, tau enggak neng Ilham istrinya hamil lagi, padahal anaknya yang dua masih kecil kecil," nadanya terlihat ketus jika bicara soal ponakannya Ilham kakaknya Rina.

"Busyet eke satu aja belum jadi, ini udah mau tiga," ucapku geleng geleng kepala.

"Ya kawinlah neng, nunggu apalagi, tuh kan mulai julidnya."

"Nikah bi bukan kawin," tegasku.

"Iya nikah, buru jangan banyak omong, kalau nikahkan enak ada yang ngasih makan, biaya hidup ditanggung suami."

"Jadi tujuan nikah biar ada yang ngasih makan gitu, Ema gue juga tiap hari ngasih makan bi," jawabku ngenyel.

"Ah susah ngomong sama kamu mah neng, ema kamu udah tua neng."

"Lah emang anak tanggungan orang tua selama belum nikah, kalau udah nikah baru suami yang jadi tanggungannya bi," jelasku.

"Neng gara gara kamu belum nikah para uwa uwa kamu itu nyuruh ema kamu buat minta tolong sama si embah embahnya," ucapnya sedikit berapi api seketika hati ini teriris mendengarnya kuperlihatkan senyum sinis.

"Ya udah nanti aku nanya sama Embah Google jodohnya kapan otw," ucapku menahan emosi.

"Kamu tuh neng bisa aja jawabnya."

"Ya mau gimana lagi atuh, saya enggak mampu bayar embah embah mereka yang mahal, mending saya modal kuota aja nanya embah google itu juga dapet ngutang pulsanya, kuota abis utang belum kebayar."

"Mereka mah duitnya banyak ya neng, )" aku mengangguk tak menatapnya rasanya masih tidak percaya dengan omong mereka, pengen nangis tapi ditahan sakit sekali.

"Ya udah ah nanti keburu abis lagi nasi kuningnya."

"Idih siapa juga yang nyuruh duduk, pake acara ngerumpi segala," selaku.

"Lagian kamu juga mau aja pagi pagi diajak ngerumpi," belanya tak mau kalah.

"Kalau enggak diladeni ngambek lagi, udah sana pergi," usirku bangkit dan mendorongnya yang lebih dulu berdiri.

"Sialan lue neng ngusir," kesalnya sambil berlalu.

Pandanganku mengikuti arahnya hingga sosoknya menghilang terhalang rumah warga, bi Oci satu satunya bibiku yang paling dekat meski usia kita jauh berbeda, mungkin karena dia paling asyik diantara yang lain, kalau ghibah sama dia itu bisa seharian, ngomongin A-Z, berbagi pengalaman, tak jarang dia menja

Aku masih terdiam, sedikit terusik ketenangan hati, ini salah satu contoh mengapa aku malas tinggal di kampung, mereka yang selalu ikut campur kehidupanku, selalu membandingkan dengan kehidupan teman seusiaku yang sudah memiliki dua anak, malu kali memiliki keluarga sepertiku yang belum nikah diusia matang, aku seperti aib untuk mereka.

Seribu kali penjelasan tidak akan pernah mengarah untuk mereka jika jalan pikiran kita berbeda, maklumlah keluargaku ini termasuk keluarga pemikiran kolot, sementara aku tidak nyaman dengan pemikiran mereka, aku mengerti dan pahami perbedaan itu tapi tidak dengan orang tuaku yang kadang labil, hari memihakku besok memihak mereka, aku pun tidak bisa mencegah itu.

Soal embah yang tadi dibahas, jujur aja aku merasa terluka, apalagi kalau bukan soal jodoh yang sangat sensitif untuk ku, apa yang salah dengan pilihan hidupku, bukan masalah prinsip ini tentang sebuah perjanjian kita pada Tuhan dimana didalam bernilai ibadah dengan hadiah pahala yang besar.

Ya kali mau maen comot aje, intinya belum nemu yang pas, kalau jodoh mah mau gimana caranya akan disatukan, good looking dan good rekening adalah bonus tapi semua juga yang nolak dapet begitu, bisa buat memperbaiki keturunan dimasa de... lamunanku terpotong gara gara sesuatu melayang menimpa kepalaku.

"Plukk, Innailaihi..." seketika sebuah tawa menggelegar tak jauh dariku, ha ha haa... tawanya begitu puas seraya memegangi perutnya.

"KOPET..."

"Esuk esuk uwis ngelamun??"

Ku pasang wajah seram nan kesal saat Iges duduk sebelahku masih dengan tawanya yang sedikit mereda, "pagi pagi tuh sarapan bukan ngeharap", celetuknya sok bijak.

_Ya makanya sana lue beli sarapan sebelum gue menaruh harapan di pagi hari," ketusku mendorong tubuh Iges.

"Jangan maen maen sama harapan, jatuh sendiri sakit sendiri."

"Sebuah harapan adalah penyemangat hidup, harapan gue tanggung jawab gue, yang penting gue enggak bawa bawa orang buat nikmati sakit gue, apalagi sampe menaruh harapan sama orang, gue lebih milih percaya sama diri sendiri,"’ kataku tanpa jeda.

"Nafas Bun, takut mati."

"Brengsek lue, pagi pagi bikin naik darah."

"Tuh muka kusut amat, mikirin pemilihan kades Bun?"

Otakku seketika mendapat asupan topik menarik dipagi hari, "nah itu dia", kataku sumringah menghadap Iges, "lue dapet apa dari nomer dua??"

"Dapet duit lah, lue pilih mana?" iges ikut terpancing.

"Jelaslah nomer satu, menang atau kalah tetep satu, gue enggak butuh duit butuh perubahan desa ini, pokoknya yang ganteng yang gue pilih," sombongku tak mau kalah.

"Gue butuh duit buat beli kuota, kalau ada duit gue pilih, enggak peduli dia pake cara apa yang penting dapet rejeki, inget ya dosa ditanggung masing masing."

"Inget dosa lue?" cibirku.

"Inget lah, walau belum Istikomah, sholat bolong bolong, masih doyan bohong, suka nyolong duit orang tua."

Aku tertawa mendengarnya, ha ha ha.. jujur amat Bun.

"Heh lue juga sama ya, kita tuh enggak jauh berbeda, cuma umur kita yang beda jauh."

"Enggak usah bawa bawa umur yee, kita cuma beda tujuh tahun, lue aja yang kecepatan kopet," ku pukul bahunya keras, Iges memang lebih muda karena di adalah keponakan anak dari kakak sepupuku, Iges dan bi Oci itu temen ghibah dan satu frekuensi.

"Cie yang udah tua, eh tapi menurut lue siapa yang menang," Iges kembali ke topik.

"Tetep yee uang berkuasa diatas segalanya, sebagus apapun visi misi uang tetap juaranya, gila ya politik uang, gaji kepala desa sebesar apa sih?" aku berapi api jika membahas politik padahal kagak paham betul, politik memang itu menggelitik.

Iges manggut manggut, "sarapan yuk," ajaknya nyelonong masuk kedalam rumah tanpa permisi.

Disinilah kita, rebahan rebahan dan rebahan sambil lanjut ghibah ditemani musik menggema memenuhi ruang kamarku, niat sarapan menguap jika sudah rebahan.

"Gue baru putus semalem," curhat Iges lemas.

"Ya elah biasa aja keles, ngapain pusing lue masih muda jangan diperbudak cinta, fokus masa depan, baru lulus udah pusing mikirin jodoh," kataku sok bijak.

"Ya tetep aja galau tau."

"Galau sih galau tapi jangan terlalu lama, buang buang waktu, jodoh dibawa santai aja enggak usah buru buru, mau kemana sih?"

"Mau ke hongkong, Eh kemaren gue maen kerumah teh Irma nengokin anaknya yang baru lahir," Iges merubah posisi tidurnya cepat.

Feeling gue udah enggak enak nih melihat gestur tubuhnya, "tau enggak teh Irma bilang apa??" tanyanya berapi api, aku menautkan kedua alisku menunggu kelanjutannya, "dia tiba tiba ngomongin lue", aku nyengir kuda, lebih senyum sinis sih.

"Dia nanya lue tuh punya pacar enggak sih, betah banget enggak nikah nikah, dijodohin kagak mau, gimana mau dapet jodoh kerjaannya diem aja dirumah? pilih pilih banget jadi orang," tuh kan masih tentang status, gerutuku dalam hati.

"Terus lue jawab apa?" tanyaku melihat Iges diam menunggu responku.

"Itu mah urusan pribadi dia, takut salah jawab, gue ngomong gitu aja tapi dia mancing mancing gue buat buka aib lue, gue jawab aib lue yang menurut gue termasuk katagori aman," Iges mengangkat satu alisnya diringi cengiran.

Hmmm.. aku menghela nafas untuk tidak terpancing, "diem di rumah diomongin, giliran keluar ngomongnya maen terus, serba salah jadi gue".

"Enggak usah dipikirin, nyarap yuk biar ada energi ghibah," ajak Iges bangkit.

"Lengkoh?"

"Hayuh gaskeun."

Setelah berganti baju lebih rapih aku dan Iges pergi membeli nasi lengkoh untuk sarapan, tempatnya yang tidak terlalu jauh jadi kita memilih jalan kaki, yang otomatis lewat warung tempat ibu ibu tengah berbelanja sayuran dipagi hari, dan pastinya ramai.

Warung adalah salah satu tempat ghibah tanpa disadari oleh pelaku, pembeli yang didominasi ibu ibu sering berkeluh kesah karena anak atau suaminya suka rewel kalau dimasakin, hingga merambat menggosipkan tetangganya, kejelekan keluarganya sendiri, sudah jelas termasuk aku didalamnya, menjadi bahan gosip karena statusku yang single di usia cukup matang, udah gitu pengangguran pula.

Lihat saja mata mereka sudah seperti cctv yang aktif 24 jam penuh, begitu tajam menyoroti objek, saat aku dan Iges melewati kerumunan ibu ibu yang sedang berbelanja, diantara mereka akan ada yang basa basi nanya berujung jadi bahan bully dan ghibah, kita tunggu beberapa detik suara sumbang itut an terdengar merdu sekali, saking merdunya rasanya mual dan ingin muntah.

"Duh cah ayu, esuk esuk uwis ayu ayu," celetuk ibu berbaju lengan pendek, celana panjang plus kerudung yang tak menutupi lengannya yang terbuka, konsep yang aneh, jangan lupakan sebatang rokok menyala di tangan kirinya, serta sayur kangkung di tangan kanannya.

Dan beberapa pasang mata langsung tertuju pada kami sang objek yang siap jadi mangsa mereka dipagi hari.

"Esuk esuk dagang gula," celetuk Bu RT sinis.

Aku tersenyum tak sengaja bertemu pandang dengan tetanggaku yang terkenal tukang gosip dan julid, "duh wangi nemen ya perawan lewat", terdengar suaranya sesaat langkah kami sedikit jauh.

"Yakin belilah masih perawan kuh," sela sang suara yang sudah ku hapal betulnya suaranya, tak lain adalah tetangga belakang ku si emas berjalan.

Aku dan Iges saling tatap dan tawa kami pun meledak tak terkendali.

"Ya elah ngomong masih perawan apa kagak, lah anaknya sendiri yakin kagak masih perawan kagak Bu," komentar Iges menahan tawa

"Ya kali perawan punya suami," timpalku dengan muka kesal sedikit meledek.

"Perawan nikah enam bulan udah lahiran aja," ekspresi Iges sangat tidak sedap dipandang, aku pun tertawa kembali melihatnya, sepanjang jalan kami tertawa, sesekali saling bertegur sama saat bertemu orang yang dikenal.

Celoteh mereka terkadang begitu menyakitkan, siapa sih yang enggak terluka diremehkan direndahkan seperti itu, sayang ini jalan satu satunya yang bisa dilewati, harus siap siaga saat melewati karena sering mendapat serangan dadakan.

Jika suasana hati lagi stabil dan enggak lagi goyah, aman aman aja dapet serangan bertubi tubi pun, anggap aja celoteh mereka angin berlalu.

Tumben banget rame, gerutuku dalam hati melihat kerumunan ibu ibu yang sedang mengantri, aku dan Iges memilih menepi dari kerumunan asyik dengan ponsel masing masing.

Dan beginilah ibu ibu dimana mana kalau udah kumpul pasti ada aja yang dibahas, kali ini terdengar satu salah dari mereka mengeluh karena anaknya kerja belum balik modal udah keluar, padahal uang dapet minjem sama renternir, yang otomatis harus bayar tiap bulan pada renternir perbulan.

Ya renternir yang mereka bicarakan adalah salah satu saudaraku, sepuluh dari ibuku, keluarganya sudah turun temurun menjalani bisnis itu.

"Emang berapa Bu daftar masuknya?" tanya seseorang yang tak ku tahu namanya.

"Empat juta ce, tinggal sajuta deui padahal," keluhnya terlihat lemas.

"Ayeuna mah areuk digawe oge kudu loba duit nya."

"Iya bener, anak saya aja kemaren masuk PT bayar dua juta setengah, ya Alhamdulillah udah balik modal, udah kebeli motor juga," cerita si ibu penjual ikut nimbrung.

Sudah beberapa tahun ini memang wanita di desaku memilih kerja di sebuah PT kota sebelah, sebagian mereka ada pula yang sudah berkeluarga, sayangnya setiap tahun daftar masuknya makin meroket, makin kaya si calo, mau kerja aja biar mulus harus ada pulus.

Sebagian para laki laki disini ada yang memilih kuliah alias kuli lumpiah, apalagi mereka yang putus sekolah atau mereka yang tidak mampu melanjutkan pendidikan. Para pelaku usaha kulit lumpiah sedang marak, mereka rela berjuang di kota lain, hingga keseberang pulau Jawa.

Biasanya mereka yang memilih pulau Jawa punya sistem satu tahun kerja, pulang hanya saat lebaran, dikarenakan biaya ongkos perjalanan tidak murah, kalau tidak betah mereka boleh pulang, apalagi mereka yang punya urusan mendadak.

Satu persatu mereka sudah pergi, sekarang giliranku dan Iges yang dilayanin, nasi lengko adalah makanan kesukaan ku, biasanya aku beli dengan harga tiga ribu saja karena porsinya yang cukup untuk perutku.

Untuk harga satu porsi nasi lengko hanya lima ribu, isi nasi lengko sendiri ada tahu dan tempe yang dipotong dadu, toge rebus, potongan timun, kerupuk plus sambel kacang serta kecap yang menjadikan nasi lengko itu sempurna, bisa juga ditambah telor balado atau perkedel, tapi harga beda ya, sumpah ini enak banget menurutku.

Aku tersenyum menghampiri si ibu penjual, "biasa Bu dua", pesan ku menunjukan dua jariku yang cukup lentik, si ibu langsung mengangguk karena sudah hapal.

"Neng Iges udah test kerjanya, tanya si ibu tiba tiba," yang ditanya malah sibuk maen hp.

Aku mengikut lengan Iges, "apa?" Iges hanya melirik sebentar, sepertinya dia memang tidak mendengar saking fokusnya pada layar ponsel.

"Ges, si ibu lagi nanya tuh," kataku menyikut lengannya lagi, barulah dia sadar.

"Eh apa Bu, maaf enggak denger," cengirnya merasa bersalah.

"Neng Iges udah test kerjanya," ulang si ibu.

"Alhamdulillah udah, senin besok udah mulai training ke Tangerang bu."

"Wah jauh amat neng."

"Untuk penempatan belum jelas ibu, itu hanya sekedar training di pusat, nanti penempatan bisa dimana saja, dan harus siap juga Bu," jelas Iges lancar jaya makmur.

"Kirain teh udah penempatan neng."

"Belum Bu."

"Ai neng Shasi gimana?" aku langsung tersenyum menanggapinya.

Si ibu masih sempat melirikku sambil mengikat nasi bungkus dengan karet, "kerja tuh susah susah gampang ya, tergantung hoki juga ya."

"Bener banget Bu, intinya kalau udah rejekinya mah enggak bakal kemana Bu," tenangku sok bijak.

"Heeh ya neng, mau dekat mau jauh kalau belum rejekinya mah ya mau gimana lagi."

Ngomong ngomong masalah pekerjaan, aku adalah seorang freelance copywriter, hasilnya memang Alhamdulillah lebih dari cukup untuk aku yang saat ini tinggal dan hidup di kampung.

Bukan tanpa alasan aku memilih sebagai freelance copywriter, hobby ku yang suka corat coret aku tuangkan disini dengan bantuan imjinasiku yang kerap tak terbendung.

Buat mereka yang tak mengerti pekerjaanku, dengan mudahnya mereka mencapku sebagai pengaguran dan benaluh bagi keluarga, wajar saja mereka memang tak paham duniaku, sakit sih ya mau gimana lagi, mau jelasin sampe mulut berbusapun mereka gak paham dan enggak peduli itu.

"Yee ngelamun," tegur Iges menepuk pahaku cukup keras membuat ku meringis kesakitan.

"Teh Shasi.." Adin berjalan kearahku yang tengah membawa setumpuk undang, nih buat teh Shasi sama teh Iges, Adin menyodorkan dua buah undangan pernikahan.

Aku membaca sekilasnya, menatap penuh tanya pada Adin, "serius tanyaku penasaran".

"Iyalah masa bohongan."

"Kirain lue lagi bohongin kita," celetuk Iges..

"Bukannya dia lagi kuliah ya din, lah terus ni cowok bukan yang terakhir jadi pacarnya?"

"Lah ini, postingan Instagramnya aja masih cowok yang kemaren, ah gue tau kenapa kamaren2 dia bikin status galau, kode kali ya," cerocos Iges bikin Adin makin geleng geleng kepala.

"Ckckck.. lue emang bener bener ya," keluh Adin.

"Bener ya yang kita omongin," Iges menepuk lengan Adin dengan undangan.

"Lue berdua kepo bener, tanya aja sama orangnya, lue berduakan kenal."

Aku tersenyum, "kepo is care Din", ucapku tak terima dibilang kepo padahal iya.

"Heeh bener, lagian dia kan dah kagak level maen sama kita level di udah beda, anak kuliahan metropolitan," gerutu Iges.

"Lah lue mah ngikut aja, teh Shasi jebur kekali aja lue pasti ngikut tanpa disuruh."

"Dia itu pengikut setia gue din," sombongku langsung dihadiahi pukulan Iges dipundakku.

"Kayak Ema Ema lue, rempong kepoin hidup orang lain."

"Yee nih bocah, kita ini the next Ema Ema Din, target kita itu keluarga lue, sama anak lue yang bakal kita ghibahain tiap hari."

Adin tertawa sumbang, "aneh lue, belum apa apa udah mendeklarasikan sesuatu yang unfaedah".

"Din, Nisa nikah sama duren," tebak Iges masih penasaran.

"Lah embah lue ye bener banget."

"Hah serius."

"Iye bener, dia bilang udah tiga bulan terus ngajak nikah, siapa yang enggak nikah sama orang yang udah mapan lahir batin."

"Jodoh orang enteng banget ya," lirih Iges.

"Lue enggak mau cariin gue duren sawit Din," wajah Adin terlihat syok mendengarnya, "duda keren sarang duit Din," lanjutku Adin hanya menunjukan wajah datarnya

"Apalagi neng," tanya si ibu penjual mengalihkan perhatian.

"Eh udah ya Bu, tambah kerupuk dua ya Bu," aku mengambil kerupuk tepat di belakang Adin berdiri, melirik sebentar terbesit ide jahilku.

Aku ambil pesanan dari tangan si ibu, "bayarnya sekalian sama Adin Bu, sama satu porsi lagi buat Adin makan disini Bu", kata menahan tawa, sementara wajah Adin sudah siap menerkam dengan mata melotot.

"Kena lagi gue," gerutunya kesal.

Iges cengar cengir seraya berbisik, "sabar ya Din."

"Pemaksaan."

Aku dan Iges langsung kabur melepas tawa.

Sesampainya di rumah aku dan Iges menghabiskan sebungkus nasi lengko di depan rumah sambil diselingi obrolan, di lanjut ghibahin oppa Drakor yang gantengnya bikin oleng, tak terasa hari sudah siang.

Sanny Dateng membawa dua buah mangga cengkir ditangannya, masih segar dan menggoda, sepertinya di baru saja metik.

"Wih mantep nih," seruku sumringah.

"Gaskeun," sambung Iges lantang.

"Yoyoy."

"Gue modal cabe deh," dengan kegesitannya Iges memetik cabe di halaman rumah tanpa izin, berasa punya sendiri.

"Woy.. cabe gue."

"Apaan sih, pelit banget sih lue," sewot Iges tak terima.

"Udah deh sana ambil peso sama yang lainnya," perintah Sanny.

"Tamu kurang ajar emang," gerutuku masuk kedalam rumah.

Cuaca panas emang pas buat ngerujak, dua buah mangga setengah matang, asem manis kecut makin merem melek, ditemani angin sepoy sepoy, ketawa ketiwi cerita ngalor ngidul sambil nonton drakor yang lagi hits.

Moment seru ini enggak bisa aku rasakan saat di kota, ngerujak buah mangga segar baru saja metik, cabe baru metik, sambel cukup tiga bahan, cabe garem dan terasi diulek, wih mantep banget pokoknya, di kota bisa saja tapi suasananya sangat berbeda.

Dari jauh terlihat bi Oci baru saja keluar dari gang kecil, replek kami memanggil bi Oci dengan lantang, sontak bi Oci langsung sadar karena suara lantang kami yang menggema.

"Bi Oci...."

Nih dia paket komplit ku, teman ghibah tersegalanya pokoknya, ada aja yang kita ghibahin, suka lupa waktu, seruku dalam hati, diantara mereka tidak ada yang seumur tapi sefrekuensi.

Bi Oci berjalan menghampiri kami yang asyik menyantap rujak mangga.

"Rujak bi?" tawar Sanny dari mengajungkan potongan mangga ditangannya.

Bi Oci duduk disebelah Iges, "mangga nyolong dimana", tanyanya mengambil potongan mangga dan mencoleknya kesambel buatan Sanny.

"Malak Adin bi," aku menjawab.

"Pedes banget sih, cabe setan ya?" keluh bi oci kepedesan, menenggak es milik Iges.

"Pedesan mana sama omongan tetangga," sergahku.

"Pedesan mulut tetangga atuh neng."

"Berarti mulut bibi pedes banget dong melebihi sambel buatan Iges?"

"Bibi mah tetangga jauh atuh neng, tah Sanny tetangga deket kamu neng lain bibi atuh," bela bi Oci.

"Justru yang jauh lebih pedes dari yang deket bi," Iges ikut menimpali.

"Setuju, betul banget ges," Sanny bersuara.

"Terima aja atuh bi jangan ngebela aja," aku mengompori.

"Enya neng, da aku mah atuh, bi Oci ngalah, ai si Adinnya mana?" bi Oci mencari cari sosok Adin.

"Lagi nganterin undangan bi," jawab Sanny.

"Undangan Nisa? ai undangan kamu kapan atuh San," sentil bi Oci menyenggol bahu Sanny yang sedang mengunyah rujak.

"Sabar atuh bi," mau ngamplop berapa juta sih bi?

"Beras aja atuh ya sekilo buat formalitas aja, da si Adin kan juragan beras plus juragan mangga pula."

Aku tersenyum mendengar celoteh bi Oci, "heeh ya bi, makmurlah nikah sama Adin mah", kucolek lengan Sanny.

"Jangan kelamaan keburu diambil orang, yang ada cuma jagain jodoh orang lue," Iges paling semangat kalau sudah urusan julid, dengan mulut penuh buah mangga yang terus dia desak masuk takut kehabisan.

"Jangan atuh, jelek bener doanya, doain yang baik baik dong," kesel Sanny.

"Si Adin cakep, anak juragan, anak tunggal lagi, nunggu apalagi coba, niat baik itu harus disegerakan," Iges terus memojokkan.

"Niat baik kalau belum siap lahir batin buat apa, yang ada malah tersiksa sendiri, pernikahan itu tidak di ukur dari lamanya hubungan apalagi masalah kesuksesan dan usia seseorang, enggak usah membanding bandingkan dengan yang lain, pernikahan jangan buat main main," tenang Sanny menjelaskan.

"Iya juga sih," gumam bi Oci manggut manggut.

Aku menghela nafas sejenak, "intinya mah jodoh itu misteri illahi, kalau udah jodohnya namanya ragu bisa hilang, mau saat ini tak punya pacarpun kalau udah jodoh mah ya mau bilang apa, yang lama pacaran aja belum tentu jodoh", bijakku meluruskan.

"Udah ah jangan ngurusin jodoh, mending ke sawah sekalian nyari keraca," ajak bi Oci semangat bangkit dari duduknya.

"Hayuh ah," Iges ikut berdiri.

"Beresin dulu kali," sindirku mengumpulkan kulit mangga.

"Siap Bu Shasi," Iges kembali duduk mengambil cobek dan temannya dan membawanya masuk kedalam rumah.

"Sekalian cuci yang bersih ya neng Iges cantik," teriakku tersenyum jail.

"Biar jodohnya enggak brewokan," tambah Sanny.

Kampung aku ini masih dikelilingi sawah, wajar saja jika disini sebagian warga didominasi para petani, enggak kampung kampung banget sih, karena desaku ini cukup rame dan terkenal dengan kulinernya, bisa dibilang kota karena ada stasiun, lebih terkenal dari desa desa lain, cara berpakaian dan bicara saja bisa membedakan dia dari desa mana.

Hijaunya sawah selalu kurindukan, hembusan angin yang menerpa seakan menghipnotis dan membuai, hanya saja saat ini padi sebagian sudah mulai menguning, sebentar lagi akan panen.

Ingatanku melayang jauh saat ku melewati jembatan penyebrangan sungai atau biasa kali menyebutnya kali, dari ujung keujung jembatan ada tempat duduk yang sengaja dibuat. Ya dulu aku rajin sekali nongkrong disini bersama teman teman sebayaku, saat sore hingga menjelang Maghrib.

Sayangnya saat ini kenangan indah itu cuma bisa dikenang, tempat favorit kini tercemar limbah sampah yang menggunung dengan bau menyengat, mereka tidak peduli papan larangan yang terpasang, larangan itu hanya hiasan.

Bahkan nih dari mereka suka ada yang buang sampah waktu menjelang subuh, alasannya agar tidak ketahuan warga yang tinggal dekat sungai, ya mau gimana lagi pihak desa tidak ada tindakan mengenai ini.

Kalau hanya limbah rumah tangga mungkin tidak begitu banyak, tapi ini limbah para pedagang makanan yang sampahnya berkarung karung, tiap hari lagi, gimana tidak menggunung.

Sebagian dari warga masih ada yang membakar sampahnya di halaman rumah, termasuk aku juga begitu, da mau gimana lagi tidak ada sarana untuk kita, pemerintah desapun masih enggan mengatasinya, sempet ada yang bertengkar hanya gara gara asap sampah yang dibakar, padahal sendirinya suka melalukan itu, sekarang saja beralih membuang sampah sungai.

"Dulu kita seneng banget ya nongkrong disini, trus foto pake hp Nokia," Iges bernostalgia, itu memang kebiasaan kita dulu.

"Jaman dekil dan alay," celetuk Sanny.

"Belum kenal skincare san, maklum aja," kataku.

"Betah banget ya dulu kita disini sampe Maghrib, kagak ada takut takutnya Maghrib nongkrong dikali perawan pula," Iges tertawa mengingat masa itu.

"Padahal baka sorekuh akeh uwong merengut hahaha.." aku tak kuat menahan tawa kembali mengingat indah kemasa itu, tawa kami pun meledak tak tertahan.

"Berasa tua ya sekarang," celetuk bi Oci enggak mikir sendirinya jauh lebih tua dari kita.

"Yaelah pake pura pura lupa, sendiri lebih tua," protes Sanny.

"Menolak tua," tegas bi Oci tawa kita tak terkendali.

Mata cantikku tak sengaja melihat keraca mangsa kita saat ini, "eta tutut meuni loba euy", seruku menarik Iges untuk mendekat dan segera mengambil keraca didalam sawah, membuang sendal begitu saja.

"Neng sawah orang, awas rusak," bi Oci mengingatkan karena aku dan Iges seperti kesetanan melihat keraca, Sanny tak mau kalah ikut nyemplung ke sawah, dia paling doyan dan paling bisa diandalkan untuk memasaknya, jika terkumpul banyak Sanny yang akan mengeksekusi, kita bagian makan dan bagian beli bumbunya saja.

Kita asyik dengan kegiatan mencari keraca hingga sore, bukan tanpa alasan bi Oci ngajak kita, niat sebenarnya dia mau nengokin sawahnya yang sudah mulai menguning, seminggu kedepan mungkin sudah dipanen.

Ya beginilah kehidupanku di kampung, desaku semakin maju dalam beberapa hal, tapi sebagian ada yang terabaikan ada pula yang sengaja diabaikan.

Tumbuh dan besar di kampung banyak kenangan yang saja dapet disini, masa bermain dengan segala permainan tradisional dan tempat yang dekat dengan alam, semua itu perlahan hilang tergantikan dengan menjamurnya para warga yang memasang darinya WiFi.

Dengan harga tiga ribu bisa menikmatinya, bermain game yang sedang viral sepuasnya dengan waktu yang ditentukan, hampir dibeberapa kumpulan anak anak asyik dengan dunia gamer, berceloteh dengan kata kasar yang tak pantas diucapkan seorang anak SD, miris tapi itu kampungku sekarang tak seramai dan seindah dulu.

Cinta, aku mencintai kampungku dengan segala kemajuan, aku hanya rindu masa indahku dengan teman sebayaku yang kini sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak, suasana yang dulu mungkin hanya bisa dikenang.

Kota dan kampung semua itu nyaman untukku, hanya porsinya yang berbeda, dan tak perlu dipusingkan cukup nikmati dan syukuri.

*Esuk esuk uwis ngelamun => pagi pagi udah ngelamun

*Duh cah ayu, esuk esuk uwis ayu => duh anak cantik, ya pagi pagi udah cantik

*Esuk esuk dagang gula => pagi pagi dagang gula, kata gula diambil dari kita gulandungan yang artinya pengaguran.

*Duh wangi nemen ya perawan => duh wangi banget ya perawan

* Yakin belilah masih perawan kuh => yakin enggaklah masih perawan tuh

*Empat juta ce, padahal tinggal sajuta deui => empat juta kak, padahal tinggal sejuta lagi

*Ayuena mah areuk digawe kudu loba duit nya => sekarang mah mau kerja harus banyak duit ya

*Padahal baka sorekuh akeh uwong merengut => padahal kalau tuh banyak orang cemberut (exspresi orang yang sedang bung air besar dikali)

*Eta tutut meuni loba euy => itu keraca banyak banget euy

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Bisik bisik tetangga
(Nur) Rohayati
Novel
METTA
Renata yohana nurak
Novel
Je taime Papa
Adlet Almazov
Novel
Di Ujung Senja
Natalius Abidin
Novel
Bronze
Ketika Cinta Berbuah Dusta
Imajinasiku
Novel
Ini Negeriku
R Fauzia
Novel
Taman Bintang
Akhmad Sekhu
Novel
MELAWAT
Aldi A.
Novel
Bronze
MY WAITING LIST : THE ORIGIN
Axel Bramasta
Flash
MANUSIA DI NEGERI SEBERANG
M Fadly Hasibuan
Novel
Gold
PCPK Online Bestfriend Offline Enemy
Noura Publishing
Novel
Hidup Mati
Justang Zealotous
Novel
Bronze
Lintang Kelana
Imajinasiku
Novel
Hello Autumn
Diey Zahirah
Skrip Film
Hate Comment
Resa Pratama Putra
Rekomendasi
Cerpen
Bisik bisik tetangga
(Nur) Rohayati
Novel
Bronze
Blue and Black
(Nur) Rohayati
Skrip Film
DARAH
(Nur) Rohayati
Flash
Menikah
(Nur) Rohayati
Novel
Bronze
Rumah
(Nur) Rohayati