Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Bisik-Bisik Kehancuran
4
Suka
5,438
Dibaca

Setelah tumbuhnya pohon dunia di enam sudut dunia yang akarnya dilahap perlahan oleh seekor makhluk yang bernama Nidhoog, alam menjadi penguasa di dunia. Gedung-gedung seakan menjadi kastil terbuang, kendaraan-kendaraan tidak berfungsi entah apa penyebabnya. Kemudian, dari perut bumi lahirlah makhluk-makhluk yang hanya ada dalam mitos, membuat kerusakan dunia semakin parah.

Tapi, di tengah kerusakan selalu ada keajaiban. Saat makhluk-makhluk itu menjadi bencana, kami lahir menjadi pembawa cahaya.

***

“Nona, berikan aku sedikit makanan jika kau punya…” rintih seorang gadis di tengah-tengah perjalananku dan Kak Victor. Aku meremas tali tas selempangku ragu-ragu. Namun, saat aku hendak mengambil satu-satunya rotiku yang tersisa, Kak Victor sudah lebih dulu memberikan roti miliknya.

“Ini. Makanlah,” katanya sambil menyodorkan roti dan sebotol air miliknya.

“Terima kasih. Terima kasih, Tuan!” gadis itu membungkuk-bungkuk sambil menangis. Kak Victor melambaikan tangan tanda balasan atas ucapan terima kasih itu.

Kami pun melanjutkan langkah kami menuju akademi. Kami akan menghadiri acara penerimaan murid baru dan makan siang bersama sebagai murid baru.

Seharusnya begitu, tapi kakakku itu. Dia sangat mencintai pekerjaannya sebagai peneliti tanaman herbal. Bahkan sekarang pun, aku memerhatikannya yang sedang jongkok sambil memerhatikan setiap jengkal dari selembar daun di hadapannya - yang bagiku itu sama saja seperti daun yang lain.

“Ayolah, Kak. Kau bisa melakukannya di sana kapanpun kau mau. Aku yakin di sana ada sepetak tanah dengan ribuan tanaman herbal!” seruku kesal.

“Haha. Iya, iya …,” jawabnya dengan cengiran khas di wajahnya. Itu jelas membuatku tidak bisa marah.

***

Sambutan-sambutan dan makan siang berjalan lancar, sangat lancar bahkan sampai terasa sangat membosankan. Tapi ada satu kejutan yang membuatku menarik kembali kata-kataku tadi. Aku bertemu teman-temanku dan sekamar dengan mereka!

Cindy dan Hana nama mereka. Teman-temanku yang manis dan menggemaskan.

***

Teng! Teng! Teng!

Bel di sudut lorong asrama berdentang nyaring. Waktunya kelas pertama dan kedua. Kami akhirnya pergi ke kelas pertama kami setelah puas menggerutu.

“Hah … Ayolah, ini hari pertama …,” keluh Cindy di balik lipatan tangannya di atas meja. Aku dan Hana hanya terkekeh melihat tingkah Cindy yang menggemaskan.

Brak! Serempak kami sekelas menoleh ke pintu yang dibuka dengan kasar. Di sana, berdiri seorang pria - yang kuyakini guru kelas pertama kami - menatap seluruh kelas sejenak untuk kemudian langsung menuliskan sesuatu di papan tulis dengan kapur yang mungkin sudah ia bawa dari ruangannya. Dystopia.

“Dystopia?” gumamku. Guru di depan menoleh seakan mendengar gumamanku tadi.

“Kehancuran. Kehancuran dunia seperti kerusakan alam atau musnahnya umat manusia yang disebabkan oleh keserakahan, kesombongan, maupun ketidakpuasan akan kekuasaan yang melebihi akal sehat manusia. Aku, Profesor Hermes, akan menyampaikan pada kalian tentang kehancuran yang terjadi pada kita.” Kami semua terdiam mendengar penjelasan dadakan darinya.

“Lihat!” seru Profesor Hermes sambil menunjuk ke luar jendela yang membuat kami serempak menoleh ke jendela. “Bukankah dari sini sudah bisa kalian lihat bibit-bibit kehancuran itu?”

“Bibit kehancuran? Yang kulihat hanya burung di ranting pohon itu,” celetuk seorang temanku yang langsung disambut tawa kami semua.

Profesor Hermes tidak menanggapi hal itu dan kembali ke posisinya semula. “Berhati-hatilah. Kehancuran bisa jadi sudah tepat di depan mata,” lanjutnya.

Kehancuran ? Apa maksudnya kedamaian kami ini akan hancur? Batinku sambil terus mengikuti gerak-gerik Profesor Hermes.

“Sekarang, tugas untuk kalian! Kumpulkan tugas ini di mejaku dengan tenggat waktu dua hari,” katanya sambil menulis di papan tulis.

“Tugas? Tugas di hari pertama?!” seru Hana tiba-tiba.

Tangan Profesor Hermes berhenti menulis tepat di titik dan menoleh, menatap Hana sejenak.

“Kalau tugas seperti ini saja tidak sanggup kau kerjakan, bagaimana Kau akan menghadapi kehancuran? Sekian. Selamat siang.” Profesor Hermes berkata cepat dan langsung pergi meninggalkan pintu yang tidak ia tutup kembali.

***

Bel tanda istirahat berdentang menggema di penjuru gedung setelah kelas kedua. Aku, Cindy, dan Hana dengan semangat pergi ke kantin. Kami membeli sebotol minuman dan beberapa camilan yang kami bawa ke taman yang mencuri perhatian kami.

“Hah … Yang benar saja! Masa tugas di hari pertama?! Soalnya memang hanya satu, sih. Tapi kenapa harus minimal sembilan puluh kata?!” gerutu Cindy sambil menguyah rotinya. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

“Jangan senyum-senyum kamu, Alina. Mentang-mentang di antara kami kamu yang paling pandai merangkai kalimat …,” ujar Hana. Aku tertawa.

“Ya, mungkin besok aku akan mengumpulkannya lebih dulu dari kalian.” Aku tersenyum miring.

“Tapi, tapi … Aku dengar dari kakak kelas. Katanya, Profesor Hermes itu memang sedikit … kalian tahu.” Kata Hana.

“Aih! Menyebalkan!” seru Cindy yang kemudian meninju pohon di dekat kami.

Bum! Tiba-tiba pohon itu berlubang, kemudian berdecit dan berakhir tumbang ke belakang kami.

“Cindy?!” seruku dan Hana.

***

Esoknya, aku pergi ke ruang Profesor Hermes untuk mengumpulkan tugasku. Tapi, tanganku yang hendak mengetuk pintu, terhenti kala mendengar suara percakapan di dalam sana. Aku lumayan hafal suara itu, suara Profesor Hermes dan wali kota.

“Miss Alina dan teman-temannya, tak akan kubiarkan Kau menyentuh mereka barang sehelai rambut, Erebus.” Aku sedikit terkejut mendengar namaku disebut. Dan aku bersiap mengetuk pintu saat tiba-tiba pintu itu terbuka dari dalam.

“Sekarang Kau keluar-” terlihat keterkejutan di wajah Profesor Hermes yang segera ia hapus. “Ada perlu apa, Miss Alina?”

“Anu. Maaf mengganggu, Professor. Saya datang untuk mengumpulkan tugas yang anda berikan kemarin,” kataku sambil menyerahkan selembar kertas.

Profesor Hermes menerimanya dan membacanya sejenak sebelum berkata, “bagus. Kau adalah orang pertama yang mengumpulkan tugas ini. Kau boleh kembali.” Profesor Hermes balik kanan dan kembali ke mejanya, itu bersamaan dengan wali kota yang keluar dari ruangan Profesor Hermes.

“Selamat siang, Miss Alina. Sedang waktunya istirahat?” pertanyaannya hanya kujawab dengan anggukan. “Baiklah. Aku akan kembali ke pekerjaanku. Selamat siang, Miss,” ucapnya sambil berlalu ke ujung lorong dan menghilang di belokan sana.

“Miss Alina dan teman-temannya, tak akan kubiarkan kau menyentuh mereka barang sehelai rambut, Erebus.” kata-kata itu terngiang di atas kepalaku yang kubawa muara itu kembali ke kelas.

***

Enam bulan terlewati tanpa terasa. Kini, aku, Cindy, Hana, dan Kak Victor pergi ke ruang kepala sekolah atas panggilannya.

“Ini adalah undangan makan malam dari wali kota untuk kalian yang diadakan dua hari lagi.” Kepala sekolah menyodorkan empat lembar surat undangan. Kami menerimanya dengan girang, kecuali Kak Victor yang malah membolak-balikkan surat itu dengan kernyitan di dahi.

“Kenapa hanya kami yang diundang?” tanya Kak Victor. Duh, tidak bisakah dia terima saja? Kita akan makan enak, lho. Sempat sekali dia menanyakan hal itu. Gerutuku dalam hati.

“Tentu saja karena kalian yang memiliki banyak sekali prestasi hanya dalam enam bulan ini. Terima saja, Victor. Ini bisa kalian jadikan peluang untuk mendapatkan posisi yang bagus di masa depan.” Senyum tersungging di wajah kepala sekolah. Akhirnya, Kak Victor mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Kami pun keluar dengan perasaan girang tak tertahankan. Tapi kami mencoba menyembunyikannya sampai di asrama. Kami langsung bersiap ke kelas malam masih dengan senyum tertahan. Tentunya kecuali Kak Victor.

***

Kelas malam telah selesai, waktunya kami tidur dan menunggu esok lusa. Dan selalu saja ada hal yang menyebalkan terjadi di tengah malam. Panggilan yang tak bias ditunda membuatku harus membuka pintu dan pergi ke toilet di lantai bawah.

Aku selalu berharap agar tidak bertemu sesuatu yang mengerikan di setiap tengah malam. Itu selalu terkabul. Tapi malam ini, tengah malam yang sunyi nan dingin menjadi latar dari sebuah pertarungan hebat dalam sebuah tabir tak kasar mata.

Aku tidak salah lihat, aku yakin tidak salah lihat. Di depan sana, Profesor Hermes dan seseorang dengan jubah hitam sampai kaki bertarung dengan tangan kosong. Tidak, kalau aku percaya sihir, aku akan melihat itu adalah sihir. Di dalam tabir itu sangatlah kacau dan berisik, meski tabir itu seharusnya memblokir suara dari dalam sana, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Aku berseru tertahan saat melihat Profesor Hermes diserang tepat di perutnya, darah yang ia muntahkan dan dari perutnya tidak kunjung surut. Lalu, Profesor Hermes menyadari keberadaanku. Matanya terbelalak dan berteriak.

“Lari! Lari dari sini Miss Alina! Bawa teman-teman dan kakakmu!” aku dibuat terkejut dengan teriakannya yang memekakkan telinga. Kulihat dirinya mencoba berdiri dan menghalangi sosok berjubah itu yang berjalan hendak keluar dari tabir. “Lari, Alina! Lari!” Aku masih terpaku di tempatku.

Geram melihatku yang tak kunjung pergi, Profesor Hermes menarik kasar jubah sosok itu, dan saat jubahnya robek, sosok itu segera kabur dengan terburu-buru, seolah tidak ingin wajahnya terlihat. Tabir pun menghilang. Aku segera berlari menuju Profesor Hermes yang sudah tumbang.

“Professor, bertahanlah! Saya mohon!” seruku panik.

“Miss Alina …,” lirihnya.

“Jangan berbicara! Bertahanlah, biar saya panggilkan seseorang." Saat aku hendak berdiri dan meninggalkan Profesor Hermes, ia malah menahan tanganku.

“Ada apa dengan anda, Professor?! Anda akan mati jika tidak segera kupanggilkan dokter!”

“Biarlah. Biarlah pak tua ini mati, Alina. Tapi, biarkan aku menyampaikan sesuatu padamu, setidaknya agar tak ada lagi penyesalan karena meninggalkan dunia yang tak akan terselamatkan ini.”

“Professor, ini bukan di kelas. Jangan membicarakan dystopia atau apalah itu lagi. Biarkan saya pergi memanggil seseorang!” air mataku jatuh tak karuan. Aku benar-benar takut. Seseorang akan mati di hadapanku!

“Akan kubiarkan Kau memanggil siapa pun itu, tapi dengarkan aku dulu.” Aku menjambak rambutku frustasi.

“Erebus. Ia akan datang padamu untuk mendengarkan bisik-bisik tentang kekuatan dari sebuah batu saphire bersimpulkan ruby, jangan sampai ia mendapatkanmu, Alina. Alina, lihatlah keluar jendela, Kau yang bisa melihat dari suara, sadar sepenuhnya dengan apa yang terjadi pada kita. Hanya kau yang bisa, Alina. Kau, teman-teman, dan kakakmu adalah keajaiban yang lahir di tengah-tengah dunia yang sekarat ini, kami semua beruntung kalian lahir saat ini juga.”

“Sudah cukup, ‘kan? Aku akan pergi dan panggilkan seseorang untukmu. Tunggulah.” Profesor Hermes kembali menahan tanganku, membuatku ingin sekali berteriak padanya.

“Jangan hadiri jamuan makan malam itu, Alina. Erebus, ada di sana,” katanya dengan suara yang makin lemah dan darahnya bahkan merembes ke gaun tidurku.

Malam itu, Profesor Hermes dinyatakan meninggal dunia.

***

Sejak malam itu, aku benar-benar tidak bisa keluar dari selimutku, pikiranku terus dipenuhi setiap kata yang disampaikan Profesor Hermes dengan suaranya yang tinggal di kerongkongan. Bahkan, jamuan makan malam tak kuhadiri, entah karena aku yang tidak memiliki keinginan untuk bangun atau karena peringatan dari Profesor Hermes yang tak berhenti menghantuiku.

Dan malam itu, aku terbangun. Ada suara, banyak sekali sampai memenuhi kepalaku sampai rasanya akan meledak. Suara rintihan, suara tangis, suara-suara sarkas yang terdengar seperti berada di bawah kubur, membawaku menuju gerbang gedung akademi tanpa alas kaki. Entah kenapa, saat aku melewati gerbang, seolah tak ada yang tahu, tak ada yang lihat.

“Grraaaoooo!!!” suara geraman binatang buas yang disusul teriak ketakutan membuatku tersentak. Segera aku lari ke asal suara.

“Tidaaaaakkk!!! Jangan ambil putraku! Tidak!” teriak seorang ibu yang menyaksikan anaknya dibawa oleh seekor serigala raksasa, Fenrir. Di sekitarnya tidak ada yang berusaha mengejar serigala itu ataupun menenangkan ibu yang sekarang menangis sambil bersujud itu, semuanya memilih menghindar dan meringkuk melindungi diri mereka sendiri. Aneh, tidak ada yang membantu?

“Tidak usah heran. Bukankah selama ini kita hidup di dunia yang seperti ini? Apa kau lupa?” tiba-tiba sebuah suara berbisik di telingaku. Tidak. Suara itu di dalam pikiranku. “Dan sudah menjadi tugasmu menghentikan suara kerusakan yang baru.” Setelahnya, suara itu tak lagi muncul.

***

Sejak kematian Profesor Hermes, semua kedamaian, rasa aman yang selama ini kurasakan, menghilang dengan sempurna. Seakan-akan langit cerah yang selama ini kupandang hanyalah kepalsuan yang menutupi betapa gelapnya langit itu sebenarnya. Dan sudah kuputuskan, langit mendung itu, akan kusibak dan membawa kembali damainya langit cerah kami.

“Teman-teman, ayo kita berpetualang,” kataku tiba-tiba di meja kantin.

“Berpetualang?” tanya Hana.

“Ya. Berpetualang mencari saphire bersimpul ruby untuk mencegah Erebus menciptakan kerusakan dunia yang baru,” jawabku yakin.

“Alina, kuharap Kau tidak kerasukan arwah Profesor Hermes. Haha ….” Cindy tertawa kecil.

“Aku tidak sedang bercanda. Aku terus mendengarnya. Tangisan, rintih kesakitan, keluh atas dunia ini yang semakin lama semakin sekarat, juga bisik-bisik kerusakan yang seolah akan menjadi kenyataan.” Hana dan Cindy menatapku dalam diam.

“Alina, aku tahu Kau tertekan setelah menyaksikan kematian Profesor Hermes di depan matamu, tapi kuharap Kau tidak ….” Hana tampak ragu mengatakan kata yang sudah kutahu.

“Baiklah, kalau begitu. Aku yang akan berpetualang sendiri. Akan kubawa kembali kedamaian kita yang sesungguhnya.” Aku meninggalkan mereka yang termenung.

“Apakah Alina marah?” tanya Cindy di belakang sana yang masih bisa kudengar.

***

Malam ini, aku diam-diam pergi ke ruangan Profesor Hermes dengan kunci yang tak kusangka, kudapatkan dengan mudah di ruang staff. Beruntung ruangan itu belum diubah atau dipindahkan barang-barangnya, sehingga itu memudahkanku untuk mencari suatu catatan Profesor Hermes yang mungkin saja menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan saphire itu. Ketemu!

Saphire itu telah ditemukan. bukan. bukan aku yang menemukannya. Sialnya, Erebus-lah yang menemukannya. Kuharap para pembawa cahaya itu akan segera datang dan mendengarkan bisik-bisik yang membawa kekuatan itu dan menguburnya dalam cawan di bawah pohon maple, aku sudah muak dicekik oleh Erebus.

Hanya segitu? Dari banyaknya jurnal yang Profesor Hermes miliki, hanya ini yang menuliskan tentang saphire itu.

“Sepertinya aku harus datang sendiri untuk mendapatkan bisikan kekuatan itu.”

“Tidak usah repot-repot pergi, karena aku yang mendatangimu.” Tepat setelah bisikan itu habis di ujung kalimat, suara dentuman mengejutkanku. Pintu sampai setengah tembok ruang Profesor Hermes hancur lebur digantikan dengan sesosok pria berjubah hitam sampai kaki, pria malam itu. Tapi kali ini dia terang-terangan membuka jubahnya, menampilkan wajahnya yang dingin dengan seringai menakutkan.

“Kau … Wali kota?!” seruku tidak percaya.

Wali kota terkekeh, kekehannya menggema di telingaku. “Wali kota? Perkenalkan, aku adalah Erebus, dan aku datang dengan saphire ini untuk Kau dengarkan setiap kekuatan yang diucapkan darinya.” Erebus berjalan mendekatiku sambil mengeluarkan saphire dengan aura semerah ruby dari sakunya. “Nah, dengarkanlah.”

“Kekuatan tak terkalahkan. Kekuatan itu… hanya keempat pilar dunia yang bisa memberikannya. Darah mereka akan menjadi pilar paling kokoh yang menyuburkan setiap jengkal tanah. Katakanlah dari hatimu, itu yang kau inginkan.” Kata-kata itu terus berputar di kepalaku sampai aku dibuat mengambang dalam lamunan.

Darah empat pilar. Apakah itu kami? Karena Profesor Hermes berkata bahwa kami berempat adalah keajaiban di tengah-tengah dunia yang sekarat. Kami ….

“Nah, jadi … Alina yang baik hati, bisa kau beritahu apa yang ia katakan?” suara Erebus menjatuhkanku dari awan-awan lamunan.

“Apa yang akan Kau lakukan dengan kekuatan ini, Erebus?” aku memberanikan diri menatap mata Erebus.

“Hm? Untuk menjadi satu-satunya raja. Apakah Kau jawaban itu memuaskanmu?” aku tak menjawab pertanyaannya. “Ayo beritahu aku, Alina. Apa yang batu ini sampaikan padamu?” Aku menghela napas mencoba meredakan detak jantung yang tak karuan.

“Tidak.” Satu kata yang bisa dengan mudahnya menghapus seringai di wajahnya.

“Apa?!”

“Aku bilang, tidak, Erebus. Tak ada yang berhak menjadi raja dengan ketidakpuasan akan kekuasaan dan kekuatan sepertimu,” tukasku tegas. Dengan gerakan yang sangat cepat, Erebus mencekikku dan memojokkanku ke dinding.

“Katakan!” teriaknya penuh amarah. Sial, orang ini mudah tersulut sekali. Aku mulai kehabisan napas, aku yakin wajahku memerah sekarang. Dan saat aku hendak melawan sesuatu telah menghantam Erebus lebih dahulu, membuatnya melepaskan cengkeramannya di leherku. Aku terduduk dan terbatuk.

“Woohooo!!! Bagus, Cin! Pukul lagi om-om itu!” aku mendongak, mendapati Hana yang berdiri di ambang pintu bersama Kak Victor dan Cindy yang menuruti kata-kata Hana untuk memukuli Erebus.

“Kamu tidak apa-apa, Alin? Sudah kuduga. Aku sudah curiga sejak kita diundang makan malam,” kata Kak Victor sambil tangannya menggosok sesuatu yang kemudian ia oleskan pada leherku. Kekuatan penyembuhan. Tiba-tiba aku berpikir begitu. “Ini akan segera membaik, Kamu juga jangan-”

Aku menggenggam tangan Kak Victor. “Sekarang bukan saatnya memberi nasehat seperti dokter, Kak. Sekarang, ayo kita ke taman sekolah, ke pohon maple.” Aku segera bangun tanpa menghiraukan tatapan bingung dari Kak Victor dan dua temanku itu. Aku mengambil saphire yang sepertinya terjatuh saat Erebus dipukul oleh Cindy tadi.

“Ayo!” tanpa banyak tanya, mereka menurutiku. Kami berlari secepat mungkin untuk segera sampai di pohon maple yang jaraknya cukup jauh.

Sesampainya di hadapan pohon maple itu, kami disuguhkan sebuah kalimat dengan tulisan yang sangat tidak kami kenali.

“Cabut pohon ini dengan kekuatan Si Kuat, kemudian ambillah cawan yang berada di bawah akarnya.” Kami menoleh bersamaan pada Hana. “Entah, entah bagaimana aku bisa-”

“Ya, terserah. Sekarang, Cindy. Cabut pohon ini” perintahku.

“Hah? Dicabut?!”

“Tidak usah terkejut. Waktu itu kau pernah menumbangkan pohon, Cin,” ujar Hana.

Dengan ragu-ragu Cindy memeluk pohon itu dan dengan mudahnya pohon itu terangkat sampai akar-akarnya. “Waaaah!!!” seru Cindy.

Tanpa menanggapi keterkejutan Cindy, aku segera menarik cawan yang setengahnya sudah terlihat. Insting menyuruhku menaruh saphire di genggamanku ke dalam cawan itu. Sinar merah dan biru bersinar menyilaukan mata kami.

“Teman-teman, Kak Victor. Jika … jika pada akhirnya kita berakhir di sini, apakah kalian siap?” tanyaku sambil menatap saphire dalam cawan.

“Itu terdengar menakutkan, Alin. Jangan berbicara seperti itu,” kata Kak Victor sambil menatapku sedih.

“Yah, baiklah. Aku rela diriku menjadi makanan untuk kedamaian dunia. Seperti yang Kau katakan waktu itu” Hana menyahut.

“Ya. Asalkan di kehidupan yang lain, kita bersama lagi,” sambung Cindy.

Aku mengangguk. Tanpa bicara, aku menaruh jari telunjukku di atas saphire itu, diikuti Cindy, Hana, dan Kak Victor. Cahaya merah dan biru bersinar lebih terang. Dan jiwa kami perlahan menyatu dengan tanah dari kaki. Seruan Erebus terdengar di belakang kami. Tapi kami terlanjur menjadi batu dan menjadi pilar kedamaian yang abadi untuk dunia ini.

Sampai jumpa di gerbang kehidupan yang baru.

TAMAT(?)

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Ketika Cinta Menuntun Pulang
Willian Selva
Cerpen
Bisik-Bisik Kehancuran
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Bronze
Ketika Dunia Tak Lagi Mengingat Namamu
Fahri Nurul A'la
Novel
Eternity
bintaro bastard
Novel
Pejuang sejati
Bambang Supriono
Novel
HAMPIR TERLUPA
Ri(n)Jani
Novel
Bronze
Bulan Bersedih Di Jakarta
Herman Sim
Novel
Bronze
Retak Berhamburan
blank_paper
Novel
Bayang-bayang Dibalik Janji
Lukmanul Hakim
Flash
Bronze
PENCURI PENGLIHATAN
Nimas Rassa Shienta Azzahra
Cerpen
Bronze
Penjaga Musala Tak Mau Salat
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
Icy Miss Right
Momo
Novel
A Straight Rain: A Story about Their Gathering in Tokyo
Anis Maryani
Novel
Jejak Umbu di Tanah Bertuah
Sika Indry
Skrip Film
A Writer and A Liar (Script Film)
Silvia
Rekomendasi
Cerpen
Bisik-Bisik Kehancuran
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Suara dari Salju Utara
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Dua Kaki Anak Kelinci
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Seperti Abu Tembakau
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Penebusan Dosa Kucing
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Effugium Cafe
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Hujan Rea
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Sorrow Lady
Adinda Haifa Febru