Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Bintang Mariska Bulan Dua Belas
1
Suka
681
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sepuluh dikali barisan tiga ratus enam puluh lima tanggal-tanggal kalender petang ini sudah melemparkan jangkar di akhir bulan dua belas. Mentari dan rembulan saling berganti setiap hari.

Satu dasawarsa sudah berlalu. Masih tetap ada rindu dan cinta. Walaupun sampai saat ini tidak juga ku mengerti mengapa nafasnya masih begitu kuat memeluk jiwa. Bertumbuh subur tanpa diberi pupuk penyubur.

Aku mengambil sebuah kotak, kemudian meletakkannya di pangkuan. Dengan sabar dan perlahan, aku meraih, lalu memandang satu persatu semua pengobat rindu yang selama ini masih kujaga dan kusimpan. Tidak ada yang rusak termakan udara dan waktu, hanya debu-debu halus yang menembus kotak penyimpan ini, menyelimuti barang dan foto kenangan.

"Apa kabar? Di mana kamu sekarang, apakah baik-baik saja? Anakmu pasti sudah besar.." Tanyaku membatin sambil mengelus sebuah foto lawas saat aku dan sang kekasih masih menjalani masa orientasi mahasiswa baru.

Sepasang mataku meneteskan air mata. Sejenak kembali teringat rasa sakit yang pernah disemai di dasar hamparan jiwa. 

Tidak ada yang bisa dirubah. Sudah berlalu. Aku hanya bisa memeluk semua kenangan. Bukan tubuhnya, karena bagiku dirinya memang sudah kupaksa untuk mati, bersama dengan impian dan harapan.

*****

Saat itu hari Selasa, tanggal dua puluh delapan, bulan September, tahun dua ribu sore pukul empat tiga lima, aku menatap langkahnya merayap menuju tempat diriku berdiri mematung. 

Sebuah senyum mirip lukisan alam sempurna menghias wajahnya yang selalu sangat memukau. Senyum yang mampu membuat banyak mahasiswi di kampus kami patah hati. 

Kemudian sebaris sapa terlontar menuju diriku. 

Delapan bulan tanpa tatap muka. Ada gejolak rindu begitu kuat yang kurasakan untuknya, sang Takdir Semesta. 

Sungguh aku tidak kuasa untuk memalingkan mata dan untuk menjawab sapaan seakan tidak terjadi apapun. Aku juga tidak mampu menahan luapan pertanyaan yang sudah memenuhi rongga leher dan bergelantungan di tenggorokan selama berbulan-bulan belakangan ini.

Aku berjalan maju, kemudian meraih dan menarik lengan kekarnya, yang selama ini juga menjadi salah satu kekagumanku terhadap sosoknya. 

Tangan yang kekar, kuat, dihiasi dengan tato pada pangkal lengan, yang dulu selalu merangkul pundak dan memeluk tubuhku. Melindungiku dari kakak-kakak senior yang seringkali iseng menggangguku. Namun itu dulu…

Tubuhnya sudah berdiri di hadapanku. Kami berdiri saling berhadapan. 

Di belakangku sebuah tembok bercat hitam, menjulang tinggi, kokoh menyanggah tubuhku bersandar. Sama kokoh dan sama kuatnya dengan tubuh laki-laki pujaan hati ini.

Dengan hanya berdiam diri, dia menatapku tanpa mampu memberikan penjelasan sejelas-jelasnya, yang kumohon melalui energi pancaran dua bola mataku. Aku merasakan gelombang perasaan yang sangat merasa bersalah.

Namun siang ini, aku tidak lagi merasakan keberadaan si Pengertian, sahabat terbaikku yang selama ini selalu hadir di antara aku dan dirinya. Rasanya sulit sekali untuk memahaminya.

Aku merasakan desiran angin menyapa wajahku. Desiran angin yang bercampur dengan desiran usaha lelakiku untuk memohon maaf, berusaha melepaskan dirinya sendiri dari ikatan rasa bersalah. Rasa bersalah yang hari ini sedang aku kalungkan dan aku ikat kuat dengan rantai di lehernya. 

"Maafkan aku, Bintang. Semua terjadi begitu saja. Tanpa aku mampu mencegahnya. Aku hilang kendali berkali-kali." Suaranya begitu pelan. Sangat pelan.

Lalu seperti seorang pemburu biadab, tidak kulepaskan buruan yang mulai masuk dalam perangkap. Hatiku mulai menangis, lagi, dan lagi, seperti yang selalu terjadi. 

Lelakiku ini tidak bisa memuaskan dahaga pertanyaan percintaanku. Aku mendengar suara jeritan dari dalam kepalaku memohon keadilan. 

"Tidakkah pernah terpikir atau terbersit di kepalamu, setiap detik aku terus terseok selama ini menunggumu? Menunggu cintamu pulang untuk menyelimuti lagi jiwaku. Hilang kendali sampai berkali-kali? Kemana imanmu selama ini?" Pertanyaan demi pertanyaan mengalir begitu saja.

"Apakah mantel tebal tidak mampu menghangatkanmu dari terpaan salju di sana sehingga harus mencari kehangatan dari…." Pertanyaanku serta merta berhenti di tenggorokan berganti dengan suara tangis serak pelan, ketika harus menyebutkan sebuah nama.

"Kumohon, maafkan aku." Dia memohon.

“Bintang, maafkanlah aku." Permintaan maaf berhamburan lagi dari gelambir bibir sang Raja Hatiku. 

Aku merasakan semilir rasa bersalah yang begitu kuat mengalir, berlari beriringan dengan putaran udara di sekeliling kami berdua, yang masih berdiri saling bertatapan. Rasa bersalahnya memaksa diriku untuk minta dimaklumi.

Sepasang penglihatannya tegak menelanjangi wujudku. Namun aku tetap berusaha untuk melawan arus ombak tatapan berbadai pejantanku yang membasahi diriku sedari tadi. 

Namun sayangnya aku gagal…

Aku mengarahkan pandangan mata menuju lantai ubin trotoar tempat kami berpijak. Di akhir penantian selama menjadi wanitanya, aku mendengar seuntai kata-kata yang merubah hidupku, bukan hidupnya. 

"Sudah berumur empat bulan lebih," lelakiku meneruskan kata-katanya lagi, memberikan sebuah nada pengakuan.

"Kenapa kamu tega banget?"

Dia hanya diam mendengar pertanyaan menusukku. Dia mematung. 

Kemudian terdengar lagi kata-katanya, "Tolong jangan membenciku. Aku sudah terhukum dengan rasa bersalahku."

Pandanganku kembali kuarahkan ke lantai trotoar. 

"Tapi kenapa harus Mariska? Kenapa bukan yang lain? Kenapa Mariska?" Aku kembali mengangkat pandangan mata menusuk, mengarah tajam kepada dirinya.

Sang Lelaki Takdirku tidak mampu berdalih. Tidak mampu menjawab.

Aku memberondongnya lagi dengan kata-kata getir, "Aku tidak pernah bisa membencimu seumur hidupku. Tetapi Mariska adalah sahabatku sejak kecil. Bahkan aku dan Mariska sudah berjanji untuk saling menjadi bridesmaid saat nanti akan menikah."

Matanya memerah. Aku memandangi wajahnya. Air mata merebak lagi. Sosok kuat di hadapanku menjadi semakin lemah karena rasa bersalah yang makin menggunung..

"Aku kecewa," sahutku.

Lalu melanjutkan berkata-kata, "Jangan merasa berdosa. Jangan merasa bersalah. Jangan merasa menyesal. Jangan pernah mengeluarkan air mata di hadapanku. Jangan pernah juga mencari jawaban. Karena rasa cinta yang datang lagi di hidupmu dengan sahabat kesayanganku, itu tidak pernah diundang, dicari, dan sudah menjadi takdir dalam hidupmu."

Detik ini aku seperti tidak mengenali diriku sendiri. Sebuah kekuatan tiba-tiba hadir. Kekuatan hati yang besar. Entah darimana datangnya.

"Aku sudah memaafkan. Jalani saja hidupmu karena itu adalah hak setiap manusia. Aku sama sekali tidak memiliki hak untuk mengatur hidup siapapun, termasuk mengatur hidupmu dan hidup Mariska. Itu hak kalian berdua."

Aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha mengisi paru-paru dengan lebih banyak oksigen berharap hati jadi bisa lebih menerima.

"Aku sudah tahu bahwa sebenarnya semua sudah terjadi sebelum aku mendengar pengakuan hari ini. Jadi jangan berusaha melakukan, atau memberikan sebuah pengakuan lagi hanya untuk sekedar menutupi rasa bersalahmu."

"Jangan pernah juga merasa kasihan kepadaku, atau minta dikasihani, karena aku tidak pernah ingin menjadi orang yang dikasihani, dan juga benci orang yang memohon-mohon minta dikasihani."

Bak seorang ustadzah mendadak aku menjadi seorang perempuan yang sangat bersahaja, sangat ikhlas, sangat berdamai dengan keadaan. 

"Bintang…" Lengan kekar yang sudah tidak kekar lagi di pandanganku itu berusaha meraih pergelangan tanganku. Namun dengan pelan ku tepis.

Kemudian semuanya berakhir. Begitu saja.

Aku memaksa kakiku melangkah pergi meninggalkannya, beserta semua kenangan yang telah ia balurkan di setiap celah relung hati.

Ya, betul, aku kecewa.

Setangkai keabadian bunga kekecewaan. Hanya itu yang kini terangkai, selain permainan janji yang telah meniduriku selama ini. Kata-kata manis romantis halusinasi diiringi air mata dan rasa sakit. 

Mulai hari ini, aku mengucapkan selamat jalan, dengan pilihan yang sudah dirinya tentukan. Bersama dengan perempuan pilihan. Sahabat kecilku…

Pergilah saja jauh-jauh tanpa ada rasa kasihan, dan tanpa merasa bahwa kau memiliki kemampuan untuk menentukan bahwa sebuah kesempatan akan menjadi milik hidupku.

Selamanya…..

*****

Sebuah Monolog Bintang Kepada Langit:

Sadarkah kalian perempuan, kutukan yang melekat kuat pada kehidupan tentang arti sebuah cinta? Sudah kualami semuanya.

Berulang kali aku berada dalam cengkeraman kata cinta. Namun tidak pernah kureguk keindahan dalam cawan manis.

Aku menghabiskan waktu untuk lebih mengerti tentang semua itu, tentang apakah itu cinta, tentang manfaatnya bagi kita para perempuan. Namun aku tidak pernah menemukan jawabannya.

Tidak ada seorang pun yang menjelaskan dan memberikan penerangan kepadaku. Seperti kini aku akhirnya bercerita kepada dunia.

Cinta tidak seindah kelihatannya. Tidak ada senyum, hanya air mata. Hidupmu nantinya hanya akan dikelilingi oleh tangis bayi kecil, dan seorang suami yang harus dilayani setiap malam. Itulah cinta, itulah asmara..

Arti sesungguhnya dari keindahan surga kasih yang selama ini digambarkan. Tidak akan ada sebuah kecupan hangat di bawah sinar bulan purnama. Tidak ada sebuah pelukan mesra dinaungi hamparan lautan perak langit malam. Yang tersisa hanya sebuah kepedihan, yang hanya dipenuhi oleh kewajiban-kewajiban saja.

Apakah hidup seperti itu yang kalian cari untuk hidup kalian?

*****

"Friendship is like money, easier made than kept." - Samuel Butler


***Tamat***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Bronze
Terbungkus dalam Sunyi: Mencintai Dalam Diam
Vincentius Atrayu Januar Dewanto
Cerpen
Bintang Mariska Bulan Dua Belas
Shinta Larasati
Novel
Gold
Anne of Avonlea
Mizan Publishing
Novel
Deal, ya!
Salwaa Roudlootul
Novel
Gold
Defeated by Love
Bentang Pustaka
Novel
Rela, Where it start it end
Revain
Novel
Burn Out
Siti Soleha
Novel
Gold
The Romantics
Noura Publishing
Novel
Lovestory About Choirmaster
princess bermata biru
Novel
Gold
Little Bit of Muffin
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
FALLING STAR
Noficha Priyamsari
Novel
Bronze
Surrender
nanik widiana
Novel
Gold
Kisah Langit
Mizan Publishing
Novel
Gold
Love Splash
Noura Publishing
Novel
Gold
Beautiful Temptation
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Bintang Mariska Bulan Dua Belas
Shinta Larasati
Cerpen
Bronze
Tukang Tipu
Shinta Larasati
Cerpen
NAMA BAYIKU CORDELIA
Shinta Larasati
Cerpen
Pendar
Shinta Larasati
Cerpen
Batagor, 98, Dan Langit Kembang
Shinta Larasati