Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Bintang Berkelip dengan Jenaka
0
Suka
127
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

BINTANG BERKELIP DENGAN JENAKA

Oleh : denhenry

Andai saja kau mau membagi secuil saja kecintaanmu pada astronomi untuk bidang ilmu yang lain, maka kau akan menjadi seorang pembelajar yang sempurna. Kau tak pernah tertarik pada struktur bahasa, apalagi deret angka. Menghafal rasi bintang yang jarang kudengar namanya, jauh lebih penting bagimu ketimbang nama-nama latin spesies, genus, dan famili yang tertulis dalam huruf miring.

“Orbital decay!”, serumu sambil mengacungkan raport yang dihiasi beberapa tinta merah itu. “Nilai-nilaiku tertarik pada gravitasi angka nol yang kuat, seperti bulan yang jatuh ditarik gravitasi planetnya sendiri! Hahahaha….”

“Terra, seriuslah sekali ini saja. Tahun depan kita sudah harus lulus. Cuma sekarang kesempatanmu kalau memang masih niat jadi astronom.”

“Jangan kaku-kaku ah jadi orang. Kamu ini manusia, bukan bintang neutron, fleksibel sedikit lah…”, lagi-lagi kau membandingkanku dengan benda langit yang entah apa. “... kamu tahu kan bintang neutron? Benda langit paling rigid yang pernah dikenal. Bayangkan, satu sendok teh materinya saja dapat memiliki massa sekitar satu miliar ton!” Kau mengejekku dengan menggambar bintang di udara tepat di depan wajahku.

“Jangan mengalihkan pembicaraan.” kutepis tanganmu yang berhenti tepat satu sentimeter di depan hidungku.

“Lagian siapa yang mau jadi astronom, Chandra sayang…, aku cuma merasa bahagia saat sedang memandang ke atas, itu saja….” Ada jeda yang menjengahkan sebelum kau pura-pura bergidik ngeri sambil mengerling nakal ke arahku. “Membayangkan masuk FMIPA ITB dikelilingi orang-orang kaku sepertimu saja sudah merinding aku!”

“Sialan!” Kulemparkan bungkus permen karet yang sedari tadi kugenggam ke arahmu.

“Aku ini Terra…”, ujarmu sambil berdiri dan membuat gestur seolah memamerkan proporsi tubuhmu yang ideal dengan lekukan-lekukan yang sudah mulai terlihat jelas, “...kalaupun aku gagal bersinar, tinggal kupilih satu bintang yang paling terang dan mengorbit padanya, aman kan?”

Kaupun tergelak. Tawamu begitu lepas tanpa beban. Mata yang bulat itu memancarkan pesona serupa cakram akresi, lingkaran cahaya di sekitar lubang hitam, yang indah tapi mampu menenggelamkan. Deretan gigi putih rapi dibingkai bibir seindah nebula Rosette yang merah merekah, aku memandanginya… sedikit terlalu lama.

Lalu seperti bulan yang tak mampu menolak tarikan gravitasi bumi, aku kembali jatuh hati, tertarik oleh pesona yang luar biasa. Ku palingkan wajah pada apapun yang bisa kupandangi selain wajahmu. Merekam semua keindahan itu dalam diam sambil sekali lagi membenamkan perasaanku dalam-dalam.

***

Hubungan kami tak bisa dibilang dekat. Lebih seperti interaksi Pluto dan Charon. Sial, aku mulai terbiasa menggunakan analogi benda langit untuk menerangkan sesuatu. Kujelaskan saja dengan cepat ya, aku harus segera menyudahi lamunanku dan kembali belajar, ujian akhir sudah mendekat.

Pluto, sebagaimana yang kalian tahu, adalah planet katai di tepian tata surya, sedangkan Charon adalah satelit terbesarnya. Karena ukuran dan massa mereka yang tidak jauh berbeda, maka Charon tidak mengorbit pada Pluto, tetapi mereka mengorbit pada suatu titik pusat massa yang sama, tepat di luar permukaan Pluto.

Nah, titik ini adalah ketertarikannya pada astronomi. Hanya di dekatku ia bisa menjadi dirinya sendiri, mengocehkan segala sesuatu tentang benda-benda angkasa pada satu-satunya orang yang tahan mendengarkan. Dan hanya pada saat itu jugalah aku bebas mengaguminya dari dekat tanpa harus mengerahkan segala daya upaya sebagaimana puluhan laki-laki lain yang berebut perhatiannya. Tenang saja, aku tentu tahu diri untuk tidak merusak harmoni unik ini. Bagiku, memiliki momen-momen yang cuma kami sendiri yang tahu sudah lebih dari cukup tanpa harus berharap lebih lagi.

Sudah lama sejak terakhir kali aku mendengarkan ocehannya tentang galaksi, exo-planet, nebula, dan supernova. Aku sudah cukup sibuk dengan persiapan ujian dan bimbingan masuk perguruan tinggi. Membahas bintang yang jaraknya ribuan tahun cahaya pastinya bukan prioritasku saat ini. Terra sendiri sepertinya tahu itu. Dia tampak sengaja membuat jarak dariku, menyibukkan dirinya dengan apapun itu selain menekuri buku dan materi. Entah kepada siapa dia melampiaskan hasrat astronomisnya selama ini.

***

“Hoi, Bintang Neutron!”, Terra mengangkat tangannya tinggi-tinggi memanggilku yang segera berlari menghampirinya.

“Gila, niat banget!”, seruku sambil menunjuk ke arah binokular berukuran besar yang sudah terpasang pada tripod di depan tempatnya duduk. “Nyolong dimana ini?”

“Enak aja nyolong! Susah payah aku harus tahan-tahan nge-date sama si Brandon yang sok itu, cuma supaya boleh pinjam binokular punya bapaknya yang hobi astronomi juga,” Terra mendelik ke arahku lalu mengelus lembut binokular itu, “langka nih… Celestron SkyMaster 15x70.”

“Demi apa?!”, seruku setengah tak percaya, “sampe segitunya banget?”

“Harus dong… kan ada tiga hal yang kita rayakan sore ini. Pertama, my astronomical partner is finally back! Gila, kamu nggak akan pernah bisa bayangkan segila apa aku harus nahan-nahan nggak ngomongin soal langit beberapa bulan terakhir. Kedua, Hukum UGM! Gila Chandra… jalur SNBP lho! Emang ngga kaleng-kaleng sahabatku ini. Ketiga, nah ini yang paling penting. The Great Conjunction is happening! Peristiwa langka banget ini, dua puluh tahun sekali! Jupiter dan Saturnus akan tampak sejajar dan ada pada titik terdekat satu sama lain.”

“Widih… rapelan ni ceritanya? Thank you lho! Bahkan langit ikut merayakan ya… .” Kita tertawa nyaris bersamaan. Wajahmu tampak begitu cantik ditimpa cahaya senja.

Tepat setelah matahari terbenam di ufuk barat, kita mengamati peristiwa langit langka ini dengan penuh khidmat. Jupiter tampak sebagai cakram kecil dengan cahayanya yang berwarna kuning keputihan. Sejajar dengannya, Saturnus tampak lebih pucat dengan cincinnya yang terlihat seperti struktur terpisah. Kau beberapa kali berdecak kagum sambil sesekali memaksaku melihat lebih lama melalui lensa binokuler, ketika aku tak kunjung menemukan titik-titik kecil di dekat Jupiter - yang kau identifikasi sebagai Io, Europa, Ganymede, dan Callisto - empat bulan terbesarnya.

Kita masih duduk bersisian di atas tikar kecil yang kau bentangkan di rerumputan, bahkan ketika malam telah jauh turun menyelimuti bukit itu dengan kegelapan. Langit memamerkan koleksi rasi bintangnya dengan begitu cemerlang, yang tentu saja terus-terusan kau pandangi lekat-lekat.

“Lalu bagaimana denganmu?”, tanyaku hati-hati, “Kau benar-benar tak akan kuliah?”

“Bapakku - si penjudi dan pemabuk itu - tak akan repot-repot memikirkan pendidikanku,” ada gusar di nada bicaramu, sedang matamu tak lepas memandangi konstelasi, “masih untung kalau aku tak dipaksa kawin dengan salah satu cukong yang dihutanginya….”

Aku pun terdiam, tak tahu harus menanggapi apa. Kau memandangku sambil tersenyum.

“Tenang saja,” katamu lagi, “aku akan baik-baik saja, kau kejarlah cita-citamu ke Jogja sana, akan kujaga kota ini untukmu. Lagian, dia bapakku satu-satunya, aku tak mau secepat itu jadi yatim piatu.”

Kami kembali duduk bersisian dalam diam. Salah satu bintang di atas sana berkelip dengan jenaka, memandangi kami dua makhluk sunyi dengan riuh suara di kepala masing-masing.

***

Setahun pertamaku di Yogyakarta, kami masih sering mengobrol lewat telepon dan saling berkirim pesan. Ia terus memperbarui informasi untukku tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi ribuan tahun cahaya di atas sana. Sesekali ia bercerita tentang usahanya menghidupkan kembali warung makan peninggalan mendiang ibunya, dan di lain waktu menggodaku karena tak kunjung memperkenalkan pacar kepadanya.

Menjelang tahun ketiga, aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Pesan yang kukirim tak pernah sampai, telepon pun tak kunjung tersambung. Kutanyakan pada temanku yang masih tinggal di sana, rumahnya kosong dan warungnya pun tutup. Aku berbaik sangka, mungkin saja ia menemukan pekerjaan yang lebih menjanjikan di kota lain, buru-buru pergi dan lupa mengabari.

Skripsi sungguh-sungguh menyerap habis perhatianku. Malam-malam tanpa tidur dan mensinkronkan waktu dengan Dosen Pembimbing, benar-benar menguras energiku. Hingga akhirnya aku dinyatakan lulus sidang dan di-wisuda, aku sama sekali tak pernah memikirkan tentangnya lagi.

***

Tak ada yang menyenangkan dari tiba sepagi ini di bandara ibukota. Aku merapikan dasiku di cermin toilet yang penuh gurat meski baru dibersihkan, lalu mengenakan jas menutupi kemeja abu-abuku. Tepat saat aku melangkah keluar hendak mengambil dosis kafein di satu-satunya minimarket yang sudah buka, aku melihatmu.

“Terra?”, panggilku dengan nada yang sedikit meragu. Kau menghentikan langkahmu yang terburu, memaksa roda-roda kopermu mengerem di atas lantai bandara yang dingin.

“Chandra? Ini benar kamu?”, kau memandangku dari kepala hingga kaki lalu kembali ke wajahku dan berhenti cukup lama di sana, sebelum berjalan ke arahku dan menjabat tanganku erat-erat, “sudah lama sekali! Apa kabar?”

“Baik. Kamu gimana?”, aku mencoba berbicara santai menutupi gemuruh di dadaku yang menyimpan sejuta tanya. Kau masih cantik seperti dulu, bahkan jauh lebih cantik.

“Seperti yang kamu lihat, masih Terra yang dulu kan?”, sekali lagi kau tertawa dan sekali lagi pula aku jatuh hati, “kerja di sini?”

“Nope. Nyangkut di Jogja, kesini karena urusan kerjaan aja. Biasalah budak korporat, musti siap diutus kemana saja. Kamu di Jakarta sekarang?”

“Sejak beberapa tahun terakhir… maaf aku tiba-tiba menghilang, Chan. Aku tak tahan lagi, berkali-kali bapak mencuri uang dan barang-barang, terakhir ia menjual handphone-ku diam-diam. Aku kabur merantau ke Jakarta membawa semua sisa uang yang kupunya saat itu….”, matamu mulai berkaca.

“Yang penting sekarang kita ketemu lagi,” kupaksakan sebuah senyum demi menghiburmu.

Suara pengumuman panggilan terakhir untuk boarding memecah kesunyian di antara kami.

“Pesawatku, Chan…”, cepat-cepat kau mengeluarkan handphone dari tas tanganmu demi mendapati layarnya yang mati, kau menggumamkan sesuatu tentang lupa mengisi daya sambil sekenanya mengeluarkan secarik kertas sebesar kartu dari saku celanamu, “tuliskan nomormu di sini, nanti aku hubungi kalau handphone-ku sudah bisa menyala. Aku tak hafal nomorku, kau tahu sendiri….”

“Kamu benci menghafal deret angka,” aku meneruskan kalimatmu sambil menuliskan nomor dan namaku pada secarik kertas itu, lalu mengembalikannya.

“Kita harus ketemu lagi ya, Chan. Banyak yang harus kuceritakan padamu tentang itu.” telunjukmu menunjuk langit.

Aku memutar bola mataku, “Astaga… masih?”

“Selalu,” jawabmu sambil sekali lagi memamerkan senyum yang melemahkan itu, “aku benar-benar harus pergi sekarang, Surabaya sudah menungguku.” Kau memelukku sekilas lalu berbalik menjauh menuju gerbang boarding.

Aku diam terpaku beberapa detik sebelum berhasil memaksa mulutku berseru, “Hati-hati, jangan lupa telepon!” Kau menjawabnya dengan tanganmu yang melambai tinggi. Kupandangi siluetmu sampai hilang serupa matahari ditelan batas cakrawala.

***

Malam ini akhirnya kita bertemu lagi. Kutinggalkan kantor dan segera mengambil penerbangan terdekat setelah menerima panggilan telepon itu. Kau duduk memunggungiku, menengadah memandang langit seperti yang selalu kau lakukan.

“Terra….”, kau tak menjawab.

Aku berjalan ke arahmu demi bisa melihatmu lebih dekat. Kau tetap bergeming saat aku berdiri di hadapanmu. Kupandangi wajah ayumu sekali lagi. Tatapan mata itu tak lagi bercahaya, berganti pandangan kosong cerminan jendela jiwa yang habis lenyap ditelan lubang hitam. Tak ada lagi sisa-sisa dirimu di sana.

Aku berlutut, kugenggam kedua tanganmu erat-erat dan sekali lagi kupanggil namamu, “Terra….”, tetap tak ada reaksi. Hanya kesunyian serupa vakum di ruang antarbintang.

Aku menangis sejadi-jadinya di hadapanmu. Menyesali semua ketidakmampuan menerjemahkan perasaanmu kepadaku, juga kehati-hatian menjaga jarak orbit ku denganmu. Mestinya ku paksakan saja menjatuhkan diriku ke arahmu, sekalipun hancur adalah resikonya.

Secarik kertas yang kukenali sebagai mediaku menuliskan nama dan nomor telepon di bandara waktu itu, terjatuh dari pangkuanmu. Beberapa baris nama dan keterangan lainnya tercetak pada sisi sebaliknya.

BINTANG ANGKASA

Manajer Perekrutan Kabin

Elang Air

Jalan Mayjen Suwono No. 58

Surabaya - Indonesia

Terra-ku yang malang telah mengorbit pada bintang yang salah….

***

Terra terbang ke Surabaya demi menemui seseorang yang berjanji akan membantunya masuk menjadi pramugari di sebuah maskapai penerbangan. Alih-alih dibantu, ia justru disekap bersama beberapa orang lainnya, dicekoki berbagai macam psikotropika keras dan diperdaya melayani nafsu bejat para bajingan tak bermoral.

Salah seorang dari mereka berhasil kabur dan meminta bantuan warga sekitar, yang kemudian menghubungi pihak berwajib untuk menggerebek tempat penyekapan. Terra berhasil diselamatkan bersama beberapa orang yang lain. Namun kondisi kejiwaannya sudah terlalu rusak.

Komnas Perempuan memutuskan untuk membawa Terra ke fasilitas pemulihan kesehatan jiwa di Surabaya. Tak ada satupun kartu identitas yang ditemukan, kecuali secarik kartu nama - yang diketahui memuat identitas salah satu pelaku penyekapan - dengan tulisan tangan berisi nama dan sebaris nomor telepon lain di baliknya.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Cinta Pengidap Kanker
Norayolayora/You
Flash
Rocko
Fitri F. Layla
Cerpen
Bintang Berkelip dengan Jenaka
Henry
Novel
I Won't Forget You
Hijra Maulany Maulud
Novel
Hari Kebalikan
Wina Anggraeni
Novel
SURGAKU DI BAWAH TELAPAK KAKI ISTRIKU
Khoirul Anwar
Skrip Film
ORANG BAIK
Christian Rumbo
Flash
Diary Alesha #2
Nazila
Cerpen
Bosku seperti tikus
Santi fardila
Novel
Bronze
BUKU HARIAN MINTARSIH
Ac Erri Yurita S
Novel
MANTAN PACAR BUKAN BERARTI MANTAN BAYI
Okino ojoeng
Novel
Bronze
You Are Too LATE
Lisnawati
Novel
Bhanuresmi
Foggy F F
Novel
Wedding in Pandemic
S Tajudin
Skrip Film
Bismahanta
Wirdatun Nafi'ah
Rekomendasi
Cerpen
Bintang Berkelip dengan Jenaka
Henry
Cerpen
JAGAD BELENGGU
Henry
Flash
Anak Kecil Penabuh Tambur
Henry