Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku berdiri di atas cintaku. Mendekap rindu meski telah kau putuskan menginggalkanku demi dia. Aku tahu cintamu memang masih dalam untuknya, namun tidak bisakah melihat sebentar dan katakan bahwa cinta yang kuberi selama ini telah sampai kepadamu?
Aku yang seorang wanita ini sempat pesimis, namun kau jugalah yang berikan semangat lampu hijau. Di tepat satu minggu kita intens bertemu, kau berkata, "Aku justru kagum ada wanita yang berani mengakui perasaannya seperti kamu."
Lalu, kudekatilah kau bawa rasa tulus di dalam sanubari, bukan karena harapkan balasan. Tidak pernah kubertanya bagaimana rasamu, sebab tidak perlu. Akulah yang mencintai dan itulah resiko mencintai. Namun, terasingkan seperti ini, tiba-tiba tanpa aba-aba, bukankah sedikit kejam? Mengingat kau jugalah yang akhirnya buka jalan agar aku bisa ambil hati yang sudah tanpa tuan itu.
"Ya, sudah. Aku juga nanti akan berusaha untuk membuka hatiku. Asalkan jangan sampai ada di antara kita yang berselingkuh. Itu saja syaratnya," ucapmu waktu itu di hutan kota GBK.
Dua bulan sudah aku mendekatimu saat itu. Tidak hanya dirimu, orang tua dan adikmu satu-satunya pun kudekati. Syukurnya, mereka juga terbuka menyambut dengan baik. Sore waktu itu tidak terlalu mencolok, namun kau buat jadi indah dengan bahasa lampu hijau lagi. Aku menganggukkan kepala sangat bahagia. Duduk di sampingmu dengan rasa yang akhirnya terlihat ujungnya, adalah awal kenangan indah. Kaos putih bergambar band kesukaanmu, celana jeans biru gelap, topi denim senada warna celana dan sepatu abu-abu, tidak akan lebih indah jika orang lain yang memakainya. Rumput hijau dan angin lewat turut ucapkan setuju bahwa hari itu kau adalah pemeran utama duniaku di bawah langit sore.
Aku berdiri diatas lukaku, mencoba untuk hadapi bahwa kau tidak akan lagi menoleh. Kucoba netralisir rasa sakit ini, namun harus habis lagi tenaga oleh rasa cinta yang belum tuntas terhapus. Bertumpuk-tumpuklah hingga buat aku kewalahan hadapi undangan pernikahan kalian yang tergeletak di atas meja kerjaku. Di kursi tempat aku biasa menghabiskan waktu 9-5, tidak pernah menyangka jadi tempat berteriak histeris memanggil-manggil namamu. Sebab, meski sudah berkali-kali membaca nama pengantin pria di undangan itu, tidak berubah juga susunan hurufnya. Namamu, nama lengkapmu, ada di sana.
Kala itu, sudah satu tahun dua bulan berlalu dari sore di hutan GBK, undanganmu itu datang. Dua bulan sebelumnya, kau sama sekali tidak bisa dihubungi. Nomormu tidak aktif, media sosialmu tidak lagi bisa kucari dengan akun utamaku. Nomor keluarga dan teman-temanmu pun tidak pernah lagi respon pesan dariku.
Tiga bulan sebelum undangan itu, kau katakan wanita yang pernah hampir kau bawa ke kursi pernikahan datang ke rumahmu. Dia hanya ingin menyapa adikmu yang juga sahabatnya. Diiringi penyanyi live band di KOBAin Kafe Plaza Semanggi, kala itu kau bercerita betapa dia tidak berubah sama sekali. Tetap manis, lembut dan sopan. Aku masih bersikap biasa saja. Sampai akhirnya, cerita sampai pada bagian ibumu yang mengundangnya datang ke pesta keluarga merayakan ulang tahun adikmu. Tentu saja itu wajar karena mereka sahabatan.
Tapi entah kenapa, timbul rasa khawatir sebab pada hari-H aku sungguh-sungguh tidak akan bisa datang. Perjalanan dinas ke luar negeri tidak bisa ditunda atau diganti, hanya bisa dikurangi sampai satu bulan saja. Kau bilang agar aku tidak perlu khawatir, sebab tidak akan pernah terbuka lagi hati untuk wanita yang pernah menghianati di saat-saat terpurukmu dulu. Di saat kau sedang berusaha angkat martabat keluarga agar pantas bersanding dengannya. Untuk itulah kau memujiku yang bisa mandiri mengangkat martabat keluargaku. Kau bilang, kita punya niat tulus yang sama untuk keluarga kita. Kau juga bilang, andai bertemu aku duluan dari pada dia, maka tidak perlu ada luka hati. Aku pun senang dan tenang sekali mendengarnya, sebab namaku jadi pemenang atas dia.
Kulepaslah ragu dan khawatir saat itu tanpa alasan-alasan lagi. Tidak pernah menyangka pada akhirnya akan sesali tatapan mata indahmu yang bantu yakinkanku, sebab sejak tanggal pesta kecil-kecilan itulah kau tidak lagi bisa kuhubungi.
Saat itu aku berniat mengirim video yang sudah kuedit berjam-jam untuk adikmu, di tengah malam ulang tahunnya. Centangnya tetap satu sampai dini hari. Kucoba kirim ke nomormu, tidak ada bedanya. Centang satu sampai pagi, sampai siang, sampai sore, dan sampai seterusnya. Gelisahku di negeri orang, teramat gelisah, hingga tidak bisa membedakan sepatu kerja dan sendal rumah. Beberapa kali aku salah menaiki gerbong tube, sebab konsentrasi habis menunggu kabar darimu. Di dalam gerbong tube aku selalu berharap 'memanggil' yang tertulis di layar berubah jadi angka durasi. Lalu, karena putus asanya diri ini, setidaknya 'memanggil' itu berubah jadi 'dering' saja tidak apa-apa. Setidaknya masih ada nomorku di handphonemu.
***
Aku berdiri menangis tak berhenti ketika perjalanan dinas selesai, sampai kaki ini pijakkan jejaknya di bandara Soekarno Hatta, tetap tidak berubah tulisan di layar memanggil nomormu. Tidak ada jalan lain lagi sebab semua akses telah tertutup. Aku memandangi langit-langit bandara di kursi kedatangan. Kupanjatkan permintaan, setidaknya kau masih ingat tanggal kepulanganku. Setidaknya masih ingat ada aku yang pernah jadi wanita yang kau kagumi karena keberaniannya. Setidaknya masih ada rasa bersalah telah telan ludahmu sendiri. Setidaknya masih ada rasa bersalah di nurani karena telah lupakan janji tuk jemputku dari bandara yang terlihat hampa, meski lalu-lalang orang-orang tidak pernah habis. Air mata untuk ke sekian-kalinya tumpah lagi dan tidak bisa aku berbuat apa-apa.
Kupanggil-panggil namamu di dalam hati, di setiap langkah pulang ke apartemen. Kubiarkan supir taksi online menatap kebingungan saat dengar suara tangisku pecah tidak terkendali. Syukurlah masih ada supir itu yang sodorkan tisu. Syukurlah masih ada dia yang dengar ceritaku. Syukurlah masih ada dia yang beri wejangan tuk teduhkan hati sejenak. Sepanjang perjalanan, kuminta ia pilih dan putarkan lagu yang gambarkan cerita ini. Maka, selama tiga jam perjalanan akibat macet ibu kota yang tidak kunjung berkurang, lagu Mahadewa-Immortal Love Song berkumandang berulang-ulang sampai tiba ke tujuan.
Mendekap ilusi, menangisi cinta telah kandas tanpa alasan, hanya itulah yang sanggup kulakukan. Tidak berani aku datangi rumah atau tempat kerjamu. Tidak berani walau hanya keluar dari apartemen tuk cari angin segar, sebab kutahu kakiku ini pasti akan paksa diri pergi ke sana. Tak berani tuk ganti sandi pintu, kalau-kalau nanti kau berubah pikiran lalu datang minta cintaku kembali. Lebih tidak berani lagi singkirkan semua tentangmu dari apartku, sebab itu sama saja akan membuang sebagian diri ini.
Masih teringat jelas kuhiruplah pilu di setiap hembusan nafas kala undanganmu itu datang. Ilusi dan bagian diri pun malah jadi boomerang. Malah, semakin tidak berdaya untuk menghapus semua. Kutangisi saja setiap apa pun yang ada di dalam ruangan yang ingatkan akan diri dan perjuangan cinta yang begitu tulus kuberikan kepadamu.
Berteman diam pun jadi kebiasaanku begitu keluar dari kamar. Sebab di luar, meski hanya di dapur saja, tidak kuat daya ini saat air mata mulai keluar. Tempat tidur adalah penopang kuat agar daya tubuh tetap terjaga saat air mata tidak berhenti mengalir. Di kantor, diam adalah tembok penahan tangis supaya tidak terlihat lemah di hadapan teman-temanku, mengingat bagaimana terkejutnya mereka menyaksikan tangis histerisku sebelumnya.
Tak terbendung lagi, kuputuskan tuk berhenti sejenak dari aktivitas sehari-hari. Sisa cuti yang tidak pernah kuambil untuk urusan pribadi, semuanya sampai total 8 hari, kuajukan tanpa sisa. Atasanku terkejut, namun dengan banyaknya proposal yang goal di tangan ini, yang dia bilang tangan jenius ini, malah digenapkan sampai 10 hari, tanpa potong gaji. "Urusan bisnis," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Untuk pertama kalinya aku tersenyum saat itu. Namun malah tetap saja air mata juga ikut keluar. Kau tahu apa yang dia lakukan? Bagai seorang ibu yang lembut, ia memeluk dan ikut menangis. Katanya, aku terlalu berharga untuk pria yang tidak punya harga diri sepertimu. Bukan aku dan cintaku yang tidak layak, kamulah yang tidak layak untukku dan cintaku.
***
Kudekap diri ini tuk hargai keberadaanku di dunia ini. Dua hari sudah aku tidak menangis lagi. Teralihkan oleh megahnya pemandangan dari jendela bening besar kamar penginapan di Silancur Glamping Magelang. Hijau dan indahnya pemandangan gunung merapi Merbabu, Telomoyo, Andong dan Ungaran jadi penenang alami denyut luka. Kabut di pagi hari dengan latar sunrise penuh sihir penarik jiwa penuh luka ini, adalah teman sarapan setiap pagi. Tidak perlu lagi obat tidur tuk buat mata mengantuk. Dinginnya malam dan merdu suara serangga-serangga malam, sanggup undang rileks hingga tertidur tenang.
Sampai menggigil aku tiap kali keluar walau hanya tidur-tiduran di jaring balkon berteman udara pagi. Namun, menggigil itu akhirnya bisa kubedakan dengan menggigil saat tangis tidak terkendali di kamar apartemen. Satu minggu lebih aku di sana, semua hal akhirnya bisa kuterima dan dibahasakan dengan baik oleh nalarku.
Sampai terlelap di pagi sampai siang, di hari terakhir menginap, kukatakan pada diri sendiri, "Aku berharga, terlalu berharga untuk pria yang tidak punya harga diri itu. Dia tidak layak untukku dan cintaku. Dia tidak layak sedikit pun."
Kuulang-ulang sampai benar-benar hapal. Sampai ada nadanya sendiri. Sampai alam bawah sadar ikut menyanyikan nada itu. Menggemakan ke alam semesta agar luka ditutup saja, sebab aku telah temukan diriku kembali.
Dan jika besok berpapasan denganmu entah di mana pun itu, aku yang telah terlatih tuk hidup mandiri dan kuat ini, akan layangkan maaf meski kau tidak meminta. Sungguh, wanita yang patah hati ini, telah dapatkan pelajaran itu dari patah hatinya.
***