Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Bila Esok Matahari Bersinar Cerah
0
Suka
11
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Ingatlah wahai para pengembara, ketahuilah bahwa esok matahari tetap akan bersinar cerah sekalipun badai menerjang lebih lama.”

(Suatu sore, dipenghujung tahun 2024)

***

Matahari telah berganti, aku tersungkur tepat disamping ranjang kamarku. Masih terasa aroma amis yang menyeruak masuk kedalam hidungku, bersama noda merah yang belum sempat kuseka sore itu. Aku mendengar suara tawa anakku diluar yang sedang bermain bersama Bapaknya, seakan ia telah melupakan apa yang terjadi pada kami beberapa waktu sebelumnya.

Langit sudah sedari pagi mendung, ia pun tak kuasa menahan apa yang dikandungnya. Hingga sore menjelang, air yang tumpah terlihat meninggalkan genangan yang masih terus terisi oleh rinai hujan. Sesekali aku bertanya apakah gemuruh diluar pun sama terdengarnya dengan apa yang terjadi dalam rumahku?.

Aku menyingkap tirai memastikan tiada lebih banyak telinga yang patut mendengar, dan tiada mata yang lebih banyak melihat biduk rumah tangga kami. 

Tiada yang salah bila pasangan membagi suka duka nya, sama halnya dengan saat ini. Ketika Bapak lebih memiliki banyak keresahan, tak ayal ia membaginya kepada kami. Seperti pasangan lainnya, dengan seksama telingaku mendengar lebih banyak dari kata yang keluar dari mulutnya berharap setidaknya langkahnya lebih ringan walau mungkin aku tidak bisa membantu menyelesaikan masalahnya.

Di penghujung senja yang telah kehilangan semua warnanya aku meronta, entah setan apa yang tengah merasukiku, mungkin betul kata orang tua dahulu bahwa setan mulai keluar di waktu petang, mengingatkan aku bahwa aku tidak boleh meninggalkan tiga rakaatku seraya menjagaku dari kemungkaran. Seperti saat ini aku telah tersinggung atas ucapan yang terlontar dari mulut Bapak. Perasaan terhina yang merujuk kepada ketidakpuasannya terhadapku.

Masih terngiang-ngiang kalimat itu.

"Kamu wanita tak berguna !. Kau tahu.. ini yang buatku enggan menyentuhmu. Bahkan aku jijik ketika melihat wajahmu !!," ucapnya kepadaku. 

.

.

Aku sejenak terdiam, mencerna keadaan ini. Gila. Ini sungguh gila. Ada yang mendidih ingin mencuat dari dalam diriku. Aku berbalik melontarkan isi kepalaku, menunjuk tepat di wajah iblis yang menjelma dalam raga suamiku.

“Mengapa kau perlakukan aku seperti sampah yang tak ada harganya?.”

Aku membuka baju menunjukan tanda kebiruan yang melekat hampir di sekujur tubuhku.

“Bukan kamu saja yang menderita dengan pernikahan ini, melainkan AKU !!.”

Tubuhku bergetar menahan emosi. Ia tidak menampik sama sekali. Sudah kuduga. Cinta yang semula di perjuangkan hanya sebatas kenangan. kenangan yang aku sendiri terlalu jijik untuk dikenang. Aku menangis, seperti kebanyakan wanita umumnya yang telah mendapatkan kekerasan dari pasangannya.

Aku ingin sekali mempertanyakan mengapa ia memilihku padahal ia tahu aku bukan tipe wanita yang ia suka. Apakah semata iseng-iseng berhadiah?, ataukah aku hanya ingin dijadikan investasi hari tuamu?. Bahkan untuk sekedar investasi, masih dibawah standar modal yang kau keluarkan untuk mendapatkanku.

Semua berjalan sesuai kendalimu sebelum aku mengetahui semua kebusukan, terutama yang merugikan orang-orang yang konservatif sepertiku.

Sesaat semua menjadi hening. Ada rasa mencekam yang menyelimuti sekujur tubuhku. Tatapan mata itu tak biasa, pupil matanya melebar seakan bola matanya akan keluar dari tempatnya. Kulihat badannya tampak menggigil, tapi ini bukan kedinginan melainkan sebuah tanda kemurkaan.

Sebuah kepalan tangan mendarat tepat didepan wajahku. Ia sengaja melakukannya. Dan aku?, aku tak bergeming sama seperti sebelumnya. Hingga ia hendak mengambil sesuatu dibawah tempat tidur kami. Aku tahu dibawah sana ada sebilah parang yang memang disediakan untuk berjaga-jaga. Lantas aku berpikir apakah ini merupakan upaya berjaga-jaga pula?, berjaga-jaga agar aku tetap tunduk dibawah kendali seorang suami.

Agama seharusnya menjadi pedoman dalam kehidupan, menciptakan kehidupan seimbang dan harmonis. Namun seringkali aku merasa banyak batasan yang dibuat dengan dalih agama untuk seorang wanita.

Wanita dituntut penurut. Ia dijadikan sebuah objek seksualitas yang dituntut untuk memuaskan pasangannya. Ini adalah ego yang dikedepankan dengan tameng religi. Lalu bagaimana dengan wanita yang mengutarakan penolakannya?, ia akan dicap sebagai wanita yang durhaka, wanita yang halal dilaknat oleh api neraka. Padahal kalian yang merasa derajad kalian lebih tinggi juga dilahirkan melalui seorang wanita, manusia yang biasa kalian hina. Bukankah memalukan kehinaan itu diucapkan oleh orang yang hina?, yang Tuhan ciptakan dari air yang hina.

Berkacalah pada Adam yang telah diturunkan dari surga, bahwa Tuhan pun akan memberikan balasan kepada orang yang tidak mengindahkan perintahnya, yang tidak serta membalikan mereka ke surga walaupun tangis dan sujudnya lebih lama dari seluruh kehidupan kita. Pantaskah kamu berjalan dengan tanpa rasa dosa?. Sungguh iblis pun tahu jika ia telah berdosa.

***

Satu setengah bulan berlalu, kami masih hidup seperti biasanya tak banyak yang berubah. Kami masih sama dinginnya, kecuali perasaanku. Aku pun melayaninya seperti biasa sesuai nasihat yang aku terima dari kajian pekan sebelumnya.

Tampaknya Bapak hari ini cukup senang, ia datang membawa buah tangan dan beberapa mainan untuk anakku setelah perjalanannya dari Kota Surabaya. Wajahnya begitu sumringah.

“Dek, minggu depan kita pergi ke surabaya, ya?, mumpung masih libur sekolah,” ajaknya kepada Ibrahim yang tengah sibuk membuka bungkusan mainannya.

“Sepertinya proyeknya berjalan lancar,” batinku.

Tentu saja hal ini suatu hal yang melegakan, jerih payah suamiku akhirnya akan terbayar. Namun disisi lain aku merasa tidak bahagia melihat langkahnya begitu mudah, senyum yang lebar yang tergambar dari wajahnya. Aku disini masih menahan lara, bertahan dengan luka setiap harinya. 

Malam harinya Bapak mengajak kami ke pasar malam, kebetulan malam ini adalah malam minggu jadi pasar malam lebih ramai dari biasanya. Kami berkeliling sesekali menikmati kuliner yang ada. Kali ini mata Ibrahim tertuju pada wahana bianglala, lanjut meminta kami menaikinya bersama.

“Bapak, aku pengen naik itu?,” rengek Ibrahim menunjuk wahana berbentuk roda besar yang berputar itu sembari menggandeng tanganku.

Tentu saja Bapak dengan senang hati menurutinya. Toh kami kesini tujuannya hanya untuk menyenangkan anak kami.

Ibrahim begitu senang ketika kita sudah mencapai bagian paling atas bianglala, ia bisa melihat rumah-rumah terlihat lebih kecil dari bola matanya, ia juga mampu menunjukan rumah kami yang berada dibawah bukit yang bisa terlihat dari atas sini.

Tetiba Bapak menyela, sejurus kemudian pandangannya mengarah kepadaku.

"Mungkin kita sebentar lagi bakal pindah ke Surabaya, aku sudah menemukan tempat tinggal dan sekolah untuk Ibrahim disana," ucapnya dengan berbinar.

Degg…

Aku terkejut, kutatap wajahnya kali ini. Terlihat ini bukan candaan. Ini sorot mata penuh visi yang dahulu sempat membutakanku kepadanya. Anehnya selama ini kita tidak ada pembicaraan ke arah sana. Dan lucunya ia sama sekali tidak meminta pendapatku.

"Kalau kita ke Surabaya, terus bagaimana dengan pekerjaanku Pak?. Ini kan baru mau mulai semester baru. Aku masih punya beban akreditasi sekolah," terangku.

Sebenarnya aku ingin tahu bagaimana alasan Bapak dalam mempertimbangkan keputusan ini, tapi mimik mukanya langsung berubah, ia bukan tipikal pria yang mudah dibantah, lebih tepatnya tidak suka dibantah, apalagi untuk suatu hal yang sudah ia putuskan.

"Aku bilang lebih awal supaya kau persiapkan jauh-jauh hari, aku tidak meminta kamu besok langsung resign dari pekerjaanmu. Toh pekerjaanmu cuma guru TK, tidak masalah sekalipun kedepannya kamu tidak bekerja. Uangnya saja tidak seberapa", sanggahnya dengan begitu mudah tanpa mempertimbangkan perasaanku. 

"Ini bukan soal uang, pak. ini tanggung jawab !", nadaku meninggi.

"Lagipula aku lebih nyaman disini", imbuhku.

Ia hendak berdiri, seketika membuat sangkar kami bergoyang. Ibrahim sontak ketakutan, lanjut melompat ke arahku menambah posisi kita semakin miring. Aku menenangkannya dengan bacaan dzikir untuk memohon pertolongan dari Tuhan.

"Dasar wanita selalu ngeyel, kamu itu dari dulu sukanya melawan sama suami!!." Ia mendorongku dengan telapak tangannya yang besar membuatku bergidik ngeri membayangkan bisa saja kita terluka disini. Bukankah ini terlalu berbahaya?, apakah ia tidak malu menunjukan sikapnya?, bisa jadi ada mata yang mengarah ke kami.

Tidak ada kesimpulan dari perdebatan singkat malam ini. Selalu berakhir seperti itu. Aku hanya terdiam tidak membantah ketika suaraku di lucuti. apakah sebagai seorang istri boleh diperlakukan seperti ini?. 

Taatilah kehendak suamimu selama itu tidak melanggar syariat-Nya. Itu yang terngiang-ngiang dalam pikiranku.

Bukankah Allah dengan tegas melarang hambanya untuk menyakiti diri sendiri?, sedangkan membiarkan kedzaliman terjadi pada diri kita artinya kita juga turut andil menyakiti diri sendiri bukan?.

Masih kuingat sore itu, saat Bapak menyuruhku pulang dari rumah orang tuaku saat Ibrahim masih belum genap 40 hari. Ia memaki serta mengancamku akan mengambil Ibrahim dariku karena tidak menurutinya untuk segera pulang kerumah kami. Ia sama sekali tidak menanyakan kepadaku apakah ada kendala mengapa aku belum bisa pulang kala itu. Setelahnya yang kuingat hanya aku meraung hingga tak sadarkan diri sampai malam harinya.

Orang tuaku yang mengetahui masalah ini malah diam-diam segera mengatur kepulanganku ditengah kondisi keuangan kami yang tidak baik baik saja. Mereka mengantarku seolah tidak ada yang terjadi padaku. Coba saja waktu itu Abah dan Ummi tegas menyoal sikap suamiku terhadapku, mungkin saat ini ceritanya akan berbeda.

Tok tok..

"Assalamualaikum.."

Terdengar suara salam dari ruang tamu. Seseorang masuk membawa seplastik bungkusan makanan yang masih hangat.

"Waalaikumsalam…," balasku menyambut kedatangan Ummi. Aku meraih tangannya untuk menyambut doa dari nya.

"Kok tumben nggak ngabarin, Mi?"

Ummi menggeleng, "Ummi cuma mampir sebentar," seraya memeluk tubuhku.

"Ada apa Mi?", Tanyaku heran.

Ummi mendudukan aku dan memandangku lekat-lekat, mengusap kedua tanganku dengan tangan keriputnya. Terasa hangat dan menenangkan.

"Kau tahu, apa yang dijanjikan kepada wanita yang sholehah?. Wanita yang memuliakan suaminya diatas kepentingannya sendiri. Adalah surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya. Dan apakah kau tahu, apa yang paling mulia dari keutamaan itu?. Adalah kamu bisa masuk ke surga melalui pintu manapun." Ummi merapikan kerudungku yang sudah basah dengan air mata. Ia memalingkan wajahku ke arahnya dengan lembut, "Asal kamu istikomah, Nduk," bisiknya.

Aku melepas tangan Ummi, tidak percaya ia menyuruhku tetap bertahan dan mengikhlaskan semuanya. 

"Mi, bukankah aku berhak bahagia?". Aku memandangnya dengan penuh harap, setidaknya kalian berada di pihakku.

Ia pun kembali menggenggam tanganku.

"Bahagia itu disini", menunjuk sesuatu yang bersembunyi didalam dada.

"Bisa jadi ini adalah rencana yang Allah siapkan untukmu, jadi berhusnudzonlah. Mengapa kau meragukan Dia yang maha tahu ?"

Aku sekali lagi menggeleng. Hatiku bergejolak masih tak terima.

"Tidak Mi, Allah tak sayang kepadaku. Mengapa doaku tidak pernah didengar, dan tangisanku tidak pernah dijawab?, Bukankah manusia diuji sesuai kemampuannya?, Jika benar Allah itu Maha Tahu, seharusnya ia tahu aku sudah tak sanggup lagi dengan hidup seperti ini?."

“Astagfirullahaladzim…”, Ummi kembali memelukku, sedikitpun ia tak marah dengan ucapanku barusan. Ummi hanya tersenyum, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kerikil yang ia pungut dari jalanan lalu ia berikan kepadaku.

Tentu saja kerikil itu aku terima begitu saja, "Apa ini Mi?, Mengapa Ummi berikan ini padaku?"

"Ini adalah keikhlasan", jawabnya dengan penuh keyakinan.

Aku masih menerka-nerka dengan perkataan Ummi barusan, "Ini hanya batu kerikil Mi, sedangkan keikhlasan adalah hal yang tidak terlihat"

"Kalau begitu kau buang saja benda itu jika tidak menginginkannya?"

"Mana mungkin Mi, ini kan dari Ummi. Tidak mungkin aku membuangnya, sama halnya aku menyakiti hati Ummi. Aku tahu Ummi pasti memberikan kepadaku ada alasannya.” aku meraih tangan Ummi membujuknya agar ia tak salah paham.

Ia memandangku dengan serius, pandangan yang sama seperti saat mendampingiku ketika aku hampir menyerah saat menempuh S2 ku.

"Lalu mengapa kamu bisa mengertiku namun tidak mengerti dengan Tuhanmu?. Apakah karena aku adalah Ibumu, dan kau mengenal ibumu ?.”

Aku hanya terdiam.

“Sekarang pertanyaannya Ummi ganti, jika saja kamu mengenal Tuhanmu apakah kamu percaya ia memberikanmu sesuatu tanpa sebuah alasan?." ia kembali memberikan aku waktu untuk berpikir sejenak.

“Sama hal nya dengan keikhlasan, apakah karena ia adalah sebuah hal tidak terlihat lalu kau tidak meyakininya?, lalu bila Ummi sampaikan jika keikhlasan itu adalah benda yang berwujud seperti batu ini apakah kau mempercayainya begitu saja?.“ Disini Ummi terlihat begitu emosional saat mengatakannya.

"Bahagia itu ketika iman masih ada dalam dirimu Nduk, dan jangan sekali- kali kamu kehilangannya."

"Kamu bukan siapa-siapa, kita sama seperti semua manusia diluar sana. Bukankah semua makhluk Allah itu diuji, bahkan Rasulullah justru orang yang paling dikasihi Allah ujiannya pun begitu luar biasa. Tanyakan pada dirimu, apa kau sanggup bila menjadi dirinya?, mengapa kau fokus saja pada ujianmu lalu melupakan semua kenikmatan yang telah Allah berikan kepadamu?.”

Aku tertegun mendengar ucapan Ummi, tanpa terasa air mataku mengalir deras, aku terisak sejadi jadinya.

"Allah itu maha adil, bisa jadi hubunganmu yang seperti ini adalah cara Allah memberikan hukuman untuk suamimu, dan celakalah mereka yang tidak memperbaiki diri. Ummi cuma titip pesan janganlah kau basahi lisanmu dengan merapalkan keburukan untuk suamimu, niscaya itu akan menghancurkannya baik dengan caramu atau dengan caranya sendiri," jelas Ummi mengakhiri nasihatnya. Aku pun dipeluknya lebih erat sekali lagi, sebelum ia membisikan sesuatu di telingaku, “Yakinlah akan ada matahari di esok hari, sekalipun hari ini badai menerjang lebih lama dari biasanya.”

"Iyaa Mi, yang penting Ummi jangan pernah meninggalkan aku lagi yaah?. Aku nggak bisa melewati ini tanpa Ummi. Aku rindu Ummi…” Aku masih khawatir pertemuan ini hanya sebentar saja, dan Ummi akan meninggalkan aku sendirian lagi.

Benar saja, aku tersentak bangun dari mimpiku, ternyata itu semua hanyalah bunga tidurku saja. Kudapati Ibrahim masih terlelap di sampingku, sementara Bapak terlihat sedang menghisap rokoknya di teras rumah.

Kuhamparkan sajadah dan bersujud di sepertiga malamku, memohon ampun kepada Allah, Tuhan semesta alam. Diantara seluruh makhluk dunia yang berusaha menginjak keberadaan hambanya, ternyata aku masih selalu di cinta oleh Nya. Harapan itu masih terasa bagi hati yang dekat dengan Tuhannya. Aku ingin menjadi penjaga seperti yang dilakukan Abah dan Ummi, sekalipun telah tiada, doa dan cintanya selalu menyertai langkah anaknya.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
ELIANA : Hello Broadway!
Maria Cecilia W T
Novel
- REDLINE -
Sf_Anastasia
Novel
After School
Nadya Wijanarko
Cerpen
Bila Esok Matahari Bersinar Cerah
A. F Rianti
Novel
Bullying
Maharani Anindya Wijaya
Novel
Kisah Kecil Sebuah Peralihan
Indradi Octodhiyanto
Cerpen
Bronze
Harmoni Pagi ditengah Kandang Ayam
Mochammad Ikhsan Maulana
Novel
Bronze
Putih Polos Avicenna
Ravistara
Novel
Bronze
Cloud Walker
Gemi
Skrip Film
CONSCIENCE
Ni Luh Putu Anggreni
Skrip Film
Aktor
Nehemia Berith
Cerpen
Bronze
HADIAH TERAKHIR SEORANG GADIS UNTUK IBUNYA
-
Novel
I Want To See Your Smile
Nanda Nurhaliza
Novel
Eternity
bintaro bastard
Novel
Surat dari Langit
Rahma Yulia Putri
Rekomendasi
Cerpen
Bila Esok Matahari Bersinar Cerah
A. F Rianti
Novel
LAMPA'
A. F Rianti