Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Bidadari
2
Suka
48
Dibaca

Awan putih berbentuk kuas melukis langit di atas beranda Cahaya dengan gradasi jingga, ungu, dan sedikit keemasan, menciptakan keheningan yang terasa begitu intim. Uap tipis berbau segar dari bumi yang baru saja dikecup hujan bercampur dengan wangi teh melati dari cangkirnya. Cahaya, dengan rambut panjang yang disampirkan ke belakang telinga, menekuk alisnya dalam konsentrasi. Buku-buku Psikologi berserakan di meja kayu kecil, saksi bisu perjuangannya menelusuri labirin pikiran manusia. Di layar laptopnya, artikel tentang teori self-determination tampak bercahaya redup. Jemarinya menari di atas keyboard, merangkai kalimat demi kalimat esai tentang motivasi intrinsik, sesekali berhenti untuk mencatat ide dari buku The Psychology of Everyday Life.

Kebebasan memilih... sesuatu yang mahal harganya, gumam Cahaya, tatapannya menerawang ke taman depan yang mulai gelap. Orang tuaku memberikannya tanpa syarat, termasuk dalam urusan hati. Itu anugerah yang tak ternilai. Baginya, cinta bukanlah perlombaan, apalagi pernikahan. Ilmu Psikologi yang dipelajarinya membuka matanya pada kompleksitas sebuah hubungan. Kesiapan emosional, keselarasan nilai, dan pemahaman yang mendalam adalah fondasi yang ia cari. Saat ini, Cahaya masih menikmati petualangan intelektualnya, menyelami misteri perilaku manusia, dan memelihara mimpi-mimpi yang belum sepenuhnya ia pahami bentuknya.

Sebuah getaran lembut dari ponsel di samping cangkir tehnya memecah keheningan. Nama "Ronan" tertera di layar, sebuah nama yang selalu berhasil menghadirkan kehangatan samar di hatinya. Cahaya meliriknya, senyum tipis bermain di bibirnya, namun ia kembali fokus pada esainya, seolah ada pertarungan kecil dalam dirinya.

Di belahan kota yang lain, Ronan merebahkan diri di sofa beludru cokelat tua di ruang tamunya, ditemani rembulan sabit yang mengintip dari balik tirai tipis. Novel Toreh Topeng Berdarah terbuka di pangkuannya, namun pikirannya berkelana jauh melampaui intrik pembunuhan dan teka-teki yang memikat itu. Cahaya memenuhi benaknya, seperti melodi lembut yang terngiang tanpa henti. Suaranya yang tenang, intonasinya yang lembut saat mengajar—ciri khas yang membuatnya dihormati murid-muridnya—mencerminkan jiwanya yang sabar dan penuh empati. Ronan adalah tempat berlindung bagi banyak orang, pendengar yang ulung, dan perangkai kata yang mampu menenangkan badai dalam hati. Cahaya... namanya saja sudah seperti doa, bisiknya pada udara. Bukan hanya parasnya yang memukau, tetapi juga kedalaman pemikirannya, caranya melihat dunia... Sebuah senyum tulus menghias wajahnya.

Dengan jari-jari yang bergerak hati-hati, Ronan mengetik pesan. Ia ingin menyampaikan perasaannya tanpa menekan, tanpa membuat Cahaya merasa terpojok. "Dulu di sekolah, aku sering di kelas unggulan, lho," tulisnya, diselingi emoji tertawa kecil. "Intinya, aku paham kamu butuh waktu untuk yakin bahwa aku ini... ya, layak untukmu, kan? Percayalah!" Setelah mengirim pesan itu, ia kembali menatap halaman novel, membiarkan Cahaya mencerna kata-katanya dalam ruang dan waktunya sendiri.

Cahaya baru saja merampungkan analisis tentang hierarki kebutuhan Maslow ketika notifikasi pesan dari Ronan muncul. Ia membacanya dan tertawa kecil, gelengan kepalanya lebih merupakan respons geli pada diri sendiri daripada pada isi pesan Ronan. Sebagai seorang calon psikolog, ia terlatih untuk membaca antara baris, menangkap nuansa emosi yang tersembunyi di balik rangkaian kata. Kehati-hatian Ronan, kelembutan dalam setiap frasa, jelas menunjukkan ketulusan. Mungkin Ronan belum sepenuhnya memahami kompleksitas yang ada di benakku, pikirnya, sambil menggigit ujung pulpen. Tapi kejujurannya terasa nyata. Tidak ada paksaan, hanya keinginan untuk mengerti. Itu... menyegarkan. Jari-jarinya menari di atas layar, membalas, "Percaya itu hanya kepada Allah. Mengapa harus percaya kepada Kakak? Musyrik, hehe."

Percakapan mereka mengalir seperti sungai yang berkelok, diwarnai canda ria dan sindiran lembut yang hanya dimengerti oleh keduanya. Ronan, dengan kebijaksanaannya yang tenang, berusaha meraba-raba labirin pemikiran Cahaya tanpa mencoba memaksakan perasaannya. "Kalau aku sujud, kamu sujud. Kalau aku tasyahud akhir, ya kamu tasyahud akhir. Ikuti imammu, hehe," balasnya. Cahaya membayangkan ekspresi wajah Ronan saat menulis itu, senyum kecil yang pasti menghiasi bibirnya.

"Jadi, hubungan ini seperti salat berjamaah, ya," jawab Cahaya, sambil menyesap tehnya. "aku harap kamu bisa mengikuti ritmeku. Kalau makmumnya belum siap jangan mulai dulu. Makanya sebelum solat liat - liat dulu kebbelakang. Hehe"

Di tengah gurauan tentang salat berjamaah, Ronan tiba-tiba mengirim pesan yang lebih serius, namun tetap dengan sentuhan khasnya. "Kamu tahu, Cahaya," tulisnya, "sejak dulu aku sering mendengar tentang bidadari. Bagiku, bidadari itu seperti cahaya... memancarkan kebaikan dan kehangatan. Dan ketika aku melihatmu, aku merasa seperti melihat cahaya itu dalam wujud manusia. Matamu yang besar itu... entah kenapa setiap kali menatapnya, hatiku terasa damai dan bahagia."

Cahaya membaca pesan itu dengan kening berkerut samar. Sebagai seorang mahasiswi Psikologi, ia terbiasa menganalisis konsep dan keyakinan. "Bidadari," balasnya, "dalam pemahaman harfiahnya sering digambarkan sebagai makhluk surgawi yang penuh keindahan. Namun, jika kita melihatnya dalam konteks yang lebih luas, 'bidadari' bisa menjadi metafora untuk kualitas-kualitas luhur dalam diri seseorang—kelembutan hati, ketulusan, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk membawa kedamaian bagi orang lain. Jadi, ketika Kakak melihat 'cahaya' dalam diri saya, mungkin yang Kakak lihat adalah pancaran dari nilai-nilai itu, bukan sekadar mata yang besar."

Ronan terdiam sejenak di balik layar ponselnya, merenungkan jawaban Cahaya. Kesederhanaan pikirannya tentang bidadari—wanita dengan mata indah yang mampu menghadirkan kebahagiaan—terasa begitu polos dibandingkan analisis mendalam Cahaya. "Mungkin kamu benar," balasnya akhirnya. "Bagiku, melihatmu memang sederhana saja. Ada kehangatan dan kebahagiaan yang sulit dijelaskan setiap kali aku melihat matamu. Mungkin 'cahaya' yang kamu maksud itu memang terpancar dari kebaikan hatimu. Tapi, mata besarmu juga ikut berperan, hehe."

Ronan mengangguk dalam hati di balik layar ponselnya, matanya sesaat kembali ke baris-baris novel yang terbuka, namun pikirannya tetap tertuju pada Cahaya. Kesabarannya bagaikan air yang menetes perlahan, mengikis kerasnya batu tanpa tergesa-gesa. "Aku sudah menetapkan kamu sebagai tujuan perjalananku," tulisnya, sebuah pengakuan tulus yang terasa begitu dalam. "Aku siap menyesuaikan langkah. Sambil menunggu, aku buat kolam ikan lele di depan rumahmu, ya?" Cahaya tersenyum menggeleng, membayangkan betapa absurdnya ide itu. "Jangan menunggu," balasnya. "Kamu berhak bahagia, bahkan jika kebahagiaan itu datang dari wanita pilihan tantemu."

Namun, Ronan, dengan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, tidak mudah menyerah pada arus takdir tanpa berjuang. "Aku akan tetap membuka diri untuk kemungkinan lain, tapi aku tidak ingin menyesal karena tidak memperjuangkanmu. Ada sesuatu tentangmu yang... berbeda," tulisnya, nada softspoken-nya seolah berbisik melalui kata-kata itu. Kepekaan Cahaya sebagai seorang yang mempelajari jiwa manusia merasakan getaran tulus di balik pesan itu. Ia tahu, Ronan tidak hanya berbicara dari emosi sesaat, tetapi dari keinginan yang mendalam untuk menghormati batasan yang ia tetapkan. "Kadang, seseorang hadir dalam hidup kita bukan untuk menjadi pelabuhan terakhir," balas Cahaya, matanya menerawang ke langit senja yang semakin gelap. "Mungkin ia hanya singgah untuk memberikan pelajaran, atau justru menguji seberapa kuat kita berpegang pada keyakinan hati. Kita tidak pernah tahu rencana-Nya. Tetaplah berprasangka baik."

Malam semakin larut, bintang-bintang mulai bermunculan di langit yang bertransformasi menjadi kanvas biru tua bertabur cahaya. Cahaya merapikan buku-bukunya, menutup laptop dengan helaan napas lega. Esainya hampir selesai, sebuah pencapaian kecil yang memberinya kepuasan. Di sisi lain kota, Ronan menyelipkan pembatas buku di novelnya, meletakkannya di meja samping sofa. Percakapan mereka berakhir dengan candaan ringan yang meninggalkan senyum tipis di bibir keduanya. "Sebelum mengetuk pintu rumahku, ketuk dulu pintu hatiku, haha," tulis Cahaya, mencoba menyembunyikan debaran halus di dadanya. "Sudah pernah. Tiga kali ditolak, tapi pintunya antik, jadi sekalian dikagumi," balas Ronan, dengan humor khasnya. Cahaya tertawa, namun di lubuk hatinya, ia mengirimkan doa diam-diam agar Ronan, dengan kesabaran, kebijaksanaan, dan ketulusannya, menemukan kebahagiaan yang selayaknya ia dapatkan.

Cahaya berjalan menuju jendela, memandang bintang-bintang yang berkelip bagai permata di beludru malam. Ia tahu, perjalanan hidup masih panjang dan penuh kejutan. Dengan pemahaman Psikologi yang terus ia dalami, ia ingin menavigasi setiap likunya dengan kesadaran penuh. Ronan mungkin akan menjadi bagian penting dalam ceritanya, atau mungkin hanya menjadi bintang yang bersinar terang dalam konstelasi kenangan. Untuk saat ini, Cahaya hanya ingin fokus menjadi cahaya bagi dirinya sendiri, menerangi jalannya sendiri—dan itu terasa lebih dari cukup.

TAMAT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Annoying Healer
Harisa Maksalini
Novel
Jalang
Dinda Angelica
Novel
Dentuman Hati di Balik Tabir
Shyellee
Cerpen
Bidadari
Ron Nee Soo
Novel
Resep Cinta Noni Kaca
Mambaul Athiyah
Novel
ANGKASA untuk RANIA
Fenny C Damayanti
Novel
Bronze
Bukan Gagal Nikah
Diena Mzr
Skrip Film
Perjalanan Terbaik Sebelum Menikah
Bagaskara Adhy Putra
Novel
Gold
Everything For You
Bentang Pustaka
Cerpen
Bronze
Sebelum Kamu Pergi
Faizah Salsabila
Novel
Tetangga Lima Langkah
Lirin Kartini
Novel
Fallen Angel
Iis Susanti
Novel
SAPUTANGAN TANDA CINTA
KH_Marpa
Komik
LOVE TO MEET YOU
vivi len
Cerpen
Bronze
Badut
aksara_g.rain
Rekomendasi
Cerpen
Bidadari
Ron Nee Soo
Flash
Hak Cipta
Ron Nee Soo
Flash
Lontong Sayur
Ron Nee Soo
Cerpen
Memahat Jalan
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Jejak Sujud dan Lantunan Doa Anak-anak Surau
Ron Nee Soo
Cerpen
Kenapa Dia tak Pernah Datang?
Ron Nee Soo
Cerpen
Apakah Saat Ini, Aku Sedang Patah Hati
Ron Nee Soo
Cerpen
Ironi Kotak Amal Sekolah
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Sebuah Doa yang Bertabrakan
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Sekiranya Aku adalah Menantunya
Ron Nee Soo
Cerpen
Dalam Cinta Kubertanya?
Ron Nee Soo
Cerpen
Jangan Mencinta Terlalu Dalam
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Dua Tahun Lagi
Ron Nee Soo
Cerpen
Tiga Hari
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Apakah ada Ruang Untuk Cinta yang Sama
Ron Nee Soo