Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sini kau kupeluk. Kudekap erat dalam kedua lenganku yang panjang. Walau maaf jika tak nyaman, tanganku sibuk bergerak mengusir serangga yang berdatangan. Meskipun begitu, badanmu yang mungil itu tetap menggigil. Tak mampu menahan hawa sang dingin. Sampai terdengar gemertuk pada gigi-gigi susumu yang kecil.
Kubalutkan dirimu ke dalam selimut mencari sedikit kehangatan. Selimut tipis, usang, dengan warnanya yang telah memudar. Meskipun begitu, kau dengan bangga menjadikan selimut itu barang kesayanganmu, bahkan sejak pertama kali kita mendapatkannya dijalanan beberapa waktu silam. Selimut yang kau bilang baunya mirip harum tubuh ibumu. Bikin rindu.
Terkadang, kalau sedang memperhatikanmu bermain dan memeluk erat selimut itu, pikiran tentang asal-usulnya sesekali masuk dalam lamunku. Apa warna sebenarnya dari selimut pudar itu? Mungkinkah dulu ia pernah tebal dilapisi dengan bulu-bulu hangat? Siapakah pemiliknya? Apakah dia anak lelaki atau anak perempuan sepertimu? Apakah anak itu bertahan hidup? Tetap hidup, meski kekurusan dan mengidap ISPA akibat debu tebal yang mengisi rongga pernapasan. Mungkin, di salah satu tenda pengungsian yang tersebar di penjuru kota ini, si anak tersebut masih mencari selimutnya. Bertanya pada ayahnya atau ibunya, atau mungkin, hanya termangu tak tahu harus bertanya pada siapa.
Atau jangan-jangan, memang ibumulah yang memakai selimut itu sebelum kepergiannya? Hingga aku teringat ibumu pergi dipangkuanku. Kedinginan dan penuh luka. Dengan setengah dari tubuhnya tertimpa reruntuhan bangunan.
Jika sudah bosan mengarang bagaimana asal-usul selimut pudar itu, aku berpaling ke atas, memandangi langit kelabu akibat bubungan asap tak ada habisnya. Aku sering bertanya pada ibumu yang telah lebih dulu bersama Tuhan di langit. Satu pertanyaan yang selalu kuulangi. Pertanyaan kapan aku dan dirimu akan menyusulnya?
Namun, ibumu, juga langit kelabu itu tak pernah sekalipun menjawab. Mereka hanya diam. Seakan tahu tak berhak memberiku harapan semu.
Seringkali lamunan-lamunan itu bertahan cukup lama, hingga tangan mungilmu mengambil genggam pada tangan kasarku. Senyum manis pada wajah itu seketika mampu mengilangkan kabut samar dalam kepalaku. Dan tanpa perlu banyak berbicara, kita kembali berjalan mencari tempat perlindungan.
***
Gulita malam semakin mendekap. Kudekatkan dahimu ke bibir untuk kecupan selamat tidur. Walau maaf jika tak akan selembut bibir ibumu. Entah sudah berapa lama bibir ini tak lagi menyentuh air sesuai kebutuhannya. Kau yang setengah mengantuk, mengusap pelan kedua matamu yang berdebu, memintaku untuk menceritakan sebuah kisah pengantar tidur. ‘Seperti yang dulu ibu sering lakukan,’ ucapmu. Kisah-kisah yang dibuat ibumu berdasarkan kejadian yang kita lalui bersama. Kisah yang dimulai semenjak rumah bukan lagi tempat yang aman bagi keluarga kecil kita.
Aku mencoba memilah yang masih teringat. Hingga ingatan-ingatan pada kisah itu bagai meminum air madu di tengah kerontangnya padang pasir. Semua kisah yang ibumu ceritakan bak magis penuh fantasi. Menawarkanmu mimpi-mimpi indah, melupakan sejenak kenyataan yang mengerikan. Maka, kuceritakanlah satu yang dulunya paling kau suka. Yang aku juga suka.
Kisah ini muncul saat kau bertanya kenapa selalu banyak orang tertidur di sepanjang jalan yang kita lewati. Maka ibumu menjawabnya dengan sebuah cerita, yang ia beri judul: Bianglala di Langit Abu-abu. Ibumu memulai ceritanya dengan warna-warna cerah bak bianglala yang akan muncul di langit kita yang biasanya kelabu. Meskipun disebut bianglala, warna-warna cerah tersebut tidak melengkung ke atas dan kemudian jatuh ke bawah seperti bianglala pada umumnya. Akan tetapi, warna-warna cerah tersebut akan terus naik ke langit. Menembus gumpalan asap hingga akhirnya tak lagi kasatmata bagi manusia biasa.
Ibumu bilang, hanya orang-orang pilihanlah yang akan melihat warna-warna cerah itu menghiasi langit. Orang yang tertidur dijalanan, anak-anak kecil yang tidak lagi dapat bermain atau sebuah keluarga yang terjebak dalam reruntuhan rumahnya sendiri. Mereka semua adalah orang-orang yang dapat melihat warna-warna cerah tersebut dan naik bersamanya ke atas langit. Hingga akhirnya, mereka akan sampai di suatu tempat. Sebuah tempat yang lebih baik dari seluruh dunia ini dan seisinya.
Pada bagian cerita ini kamu biasanya akan bertanya pada ibumu, ‘kapan kita dapat melihat dan menaiki warna-warna cerah itu?’ Dan ibumu selalu menjawab, ‘kita akan tahu saat waktunya tiba.’
Namun, pertanyaanmu malam ini ternyata berbeda. Tak kuduga kau menanyakan apakah ibumu sudah menaiki salah satu dari warna-warna cerah tersebut. Aku mengangguk, menahan senguk. Kau kembali bertanya, ‘Kapan kita akan menyusul ibu ke sana?’ pertanyaan itu seakan mendesakku, mengajak segera untuk menemui ibumu yang sangat kau rindu itu. Membuatku tanpa sadar menitikkan air mata, memelukmu erat tanpa dapat menjawab satupun pertanyaan. Selain ucapan aku juga rindu dan permintaan maaf berkali-kali yang tak mungkin kau dengar.
Maaf, karena kau harus berada di tengah kesiagaan serangan udara yang tak kenal waktu mengancam hidup. Maaf karena kau harus kehilangan sosok seorang ibu diusiamu yang masih belia. Maaf, karena kau hanya bersama seorang ayah yang tak mampu melindungi keluarganya dari rasa duka. Aku mendekapmu dirimu semakin erat. Lalu mengucap maaf yang paling menyakitkan. Maaf, karena kau harus mengerti apa yang dimaksud dengan bianglala di langit abu-abu.
***
Kau akhirnya tertidur dalam dekap lenganku. Selimut usang kesayanganmu masih tak mengusir rasa dingin yang menusuk. Serangga yang datang juga tak acuh pada tepis tanganku. Terbang sesuka hati mencari makan dari tulang kering. Namun kau tetap tertidur, seakan rasa tak nyaman bukan lagi jadi penghalangmu untuk masuk ke alam mimpi.
Kupandangi wajah mungilmu yang manis, meskipun tergores banyak luka. Kupeluk sayang dirimu, meskipun rapuh dan tak lebih dari tulang berbalut daging. Juga, kuciumi harum tubuhmu, meskipun aku tak ingat kapan terakhir kali kita mandi. Dalam duka yang masih meliputi, tiba-tiba, dari atas langit kelabu terdengar suara bising. Suara yang menghantui semua orang di sini setiap hari. Setiap waktu.
Entah mungkin gelisahku masuk ke mimpimu, kau pun terbangun. Orang-orang mulai berteriak histeris, beberapa lari kalang kabut melempari gulita malam dengan penerangan seadanya. Wajah bingungmu seakan bertanya, apakah kita akan pergi lagi dan pindah ke tempat lain? Namun aku tersenyum menggeleng. Kemudian memindahkanmu ke pojok bangunan, menjauh dari keramaian dan memintamu untuk kembali tidur. Seakan sudah tahu, bahwa kali ini kita akan menyusul ibumu. Karena waktu kita untuk melihat bianglalapun akan segera tiba.
Sebagai penghibur aku melanjutkan kisah pengantar tidurmu. Kisah yang kubuat sendiri sebagai pengakhir dari perjalanan sebelum menaiki bianglala. Ke atas sana, menyusul ibumu, di tempat yang paling dekat dengan Tuhan. Tempat yang lebih baik dari dunia dan seisinya.
Kujelaskan padamu, kita sekarang akan meninggalkan kota yang berhujan air abu. Yang tanahnya retak mengering. Yang tak hentinya orang berteriak sampai kuping berdenging.
Kuberitahu padamu, kita sekarang akan pergi amat jauh. Sampai tak ada lagi bangunan runtuh atau tenda pengungsian yang kekurangan pangan dan alat medis.
Aku bisikkan padamu, kita sekarang hanya akan menunggu. Berdoa pada Tuhan Yang Esa agar tak perlu lagi berlari. Mengharap pada alam agar mengucap kata pisah tanpa kesakitan. Bersiap menyambut warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu-Nya membawa raga kita terbang menembus angkasa. Tempat ibumu berada.
Dalam pelukku kau melihatku dengan tersenyum. Memahami gerak tanganku seakan tahu inilah akhir dari segala perjalanan kita selama ini. Kau membuat sebuah tanda dengan jarimu, mendekap kedua tanganmu di atas dada, dilanjutkan dengan satu tanganmu menunjuk ke arahku. Tepat ke jantung hatiku. Aku ikut tersenyum, sembari memberi balasan, ‘aku juga cinta padamu.’