Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Between the Crown and the Heart
0
Suka
8
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

BALAI UTAMA ISTANA IMPERIAL GILLIAN

Langit sore memantulkan warna keemasan di atas menara istana. Viviane melangkah perlahan melewati lorong panjang bertiang marmer. Gaun biru pucatnya mengalun ringan, rambut keemasannya ditata elegan, mempertegas pancaran hijau emerald di matanya.

Di depan singgasana, berdiri seorang pria berusia empat puluhan dengan bahu lebar, seragam menteri berwarna hitam dan biru tua, serta mata emas yang menusuk, menatap lurus padanya.

Elliant Pisson, sang Marquess, tengah melapor kepada Kaisar Edward, namun langkah Viviane menghentikan sejenak tutur katanya.

Elliant (suaranya dalam dan tenang):“...Maaf, Yang Mulia. Siapa gadis ini?”

Kaisar hanya tersenyum tipis.

Kaisar Edward:“Putri Duke Vione. Viviane. Salah satu calon permaisuri masa depan. Dia baru tiba hari ini.”

Viviane menyentuh ujung roknya dan membungkuk dengan anggun.

Viviane (lembut tapi percaya diri):“Senang bertemu Anda, Marquess Elliant.”

Mata emas itu menatapnya lebih lama dari seharusnya.

Elliant (perlahan):“Kau… tak terlihat seperti gadis seusiamu.”

Sebelum suasana makin kaku, tiba-tiba terdengar suara riang dan langkah cepat memasuki aula.

???:“Ayah, kau membuat tamu kita gemetar.”

Seorang pemuda tinggi, tampan, dengan rambut perak berkilau dan mata hijau emerald—Pangeran Soviech—muncul dengan senyum jahil di bibirnya. Ia menatap Viviane dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan nakal.

Soviech (menunduk sopan sambil tersenyum lebar):“Aku suka calon-calon permaisuri yang cantik dan... tampak berani.”

Viviane hanya tersenyum tenang, tapi jantungnya berdebar tak karuan. Di hadapannya berdiri dua pria, keduanya berkarisma mematikan—yang satu menusuk dengan dingin, yang satu membakar dengan pesona.

Pangeran Soviech Gillian berjalan santai menghampiri Viviane, langkahnya ringan seperti angin sore, dengan senyum yang terlalu manis untuk tidak mencurigakan.

Soviech (dengan nada nakal):

"Calon permaisuri, katanya? Hmm... Tapi kenapa aku merasa kau lebih cocok jadi ancaman buat ketenanganku yang setiap harinya abu-abu tanpa bunga merekah."

Ia menyeringai, matanya menyapu Viviane seolah membaca buku terbuka.

Viviane menahan napas. Perkataannya… terlalu dekat. Terlalu lancang. Tapi tidak bisa dipungkiri—pangeran ini tahu caranya mengguncang hati siapa pun yang mendengarnya.

Viviane (tenang, tapi mengangkat alis):

"Yang Mulia sepertinya terbiasa menyapa tamu dengan pujian beraroma perangkap."

Soviech tertawa, lalu memberi hormat kecil, pura-pura tak bersalah.

Soviech:

"Ah, aku memang berbahaya... tapi hanya pada yang menarik."

Dari sisi aula, Elliant Pisson berdiri diam. Tangannya tetap memegang laporan yang belum selesai ia sampaikan. Tapi matanya, yang biasanya tenang seperti danau beku, kini bergerak pelan mengamati keduanya.

Bibirnya tertutup rapat, tapi rahangnya mengeras sedikit.

Elliant (nada datar, sedikit lebih dingin dari sebelumnya):

"Pangeran Soviech, percakapan ringan mungkin lebih baik dilakukan di taman. Istana adalah tempat tugas, bukan arena berburu."

Soviech menoleh sambil tersenyum lebar, tidak tersinggung sama sekali.

Soviech:

"Ah, Marquess Elliant. Kau memang selalu serius... Tapi entahlah, aku justru merasa istana jadi lebih hidup hari ini."

Ia menatap Viviane lagi, lalu menunduk sopan.

Soviech:

"Sampai jumpa, Lady Vione. Aku harap kita punya banyak waktu untuk... berdiskusi lebih santai nanti."

Setelah Soviech pergi dengan langkah ringan, suasana menjadi hening.

Viviane melirik ke arah Elliant.

Viviane (pelan):

"Apakah beliau selalu... seperti itu?"

Elliant menjawab tanpa menoleh.

Elliant (datar):

"Pangeran selalu menikmati candaannya . Tapi itu tidak selalu berarti ia tukang bermain-main."

Viviane mengerutkan kening pelan. Kalimat itu mengambang di udara—dan entah kenapa, terasa seperti bukan hanya tentang Soviech.

BALAI UTAMA, SESUDAH PANGERAN SOVIECH PERGI

Setelah Pangeran Soviech berlalu, suasana aula kembali sunyi. Hanya langkah lembut para pelayan yang sesekali terdengar di kejauhan. Viviane berdiri tegak di hadapan singgasana, menahan degup jantung yang entah kenapa terasa terlalu cepat.

Kaisar Edward Gillian menatapnya dari singgasana tinggi bertatahkan obsidian dan emas.

Kaisar Edward (suaranya mantap):

"Viviane Vione, putri dari Duke Vione, kau telah dipanggil ke istana tidak semata karena garis darahmu."

Ia berdiri perlahan, sorot matanya tajam namun tidak mengintimidasi.

"Kau dipanggil… karena kerajaan ini membutuhkan sosok baru. Bukan sekadar pendamping. Tapi penerus semangat."

Viviane menunduk sopan, suaranya jernih tapi pelan.

Viviane:

"Saya terima kehormatan ini, Yang Mulia, meski hati saya belum sepenuhnya mengerti apa yang akan saya hadapi."

Kaisar tersenyum tipis, lalu mengangguk pada seorang pelayan. Sebuah dokumen bersimbol kerajaan dibawa maju, lalu dibentangkan di hadapan Viviane.

Kaisar Edward:

"Mulai hari ini, kau akan tinggal di Istana Dalam. Kau akan belajar, dilatih, dan diuji. Jika kelak kau lulus dari semua itu, maka nama Vione akan bersatu dengan nama kerajaan ini."

Ia berhenti sejenak, lalu menoleh ke sisi kanannya.

"Marquess Elliant, kau akan bertanggung jawab mengawasi perkembangannya."

Viviane menoleh cepat—refleks.

Sementara Elliant hanya membungkuk tenang, tanpa ekspresi terguncang sedikit pun.

Elliant:

"Saya mengerti, Yang Mulia. Saya akan mengawasinya dengan cermat."

Namun saat ia berdiri tegak kembali, pandangannya bersirobok dengan Viviane. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat napas Viviane tercekat.

Ada sesuatu di mata Elliant. Bukan rasa ingin tahu… tapi seperti pengakuan diam-diam bahwa ia tahu apa yang dirasakan Viviane—dan ia menyembunyikan sesuatu juga.

Kaisar Edward (melanjutkan, tenang):

"Kau bebas mundur dari titah ini, Viviane. Tapi sekali kau memilih, tak ada jalan kembali."

Suasana terasa sunyi.

Viviane menatap dokumen itu. Dalam dadanya, berputar bayangan Pangeran Soviech yang menyebalkan, dan… pandangan dingin Elliant yang entah kenapa ingin ia pecahkan.

Ia menarik napas pelan.

Viviane:

"Saya... menerima titah ini, Yang Mulia."

Kaisar mengangguk puas.

Kaisar Edward:

"Maka, dimulailah jalanmu sebagai calon permaisuri Kerajaan Gillian."

Di balik semua seremoni itu, Viviane hanya bisa bertanya dalam hati:

"Kenapa… saat aku menoleh, yang paling ingin kulihat reaksinya hanyalah dia?"

Tatapan Elliant tak berubah. Tapi di balik sorot emas itu… ada percikan yang tak bisa disangkal.

LORONG ISTANA MENUJU TAMAN TEH

Langkah Viviane bergema pelan di sepanjang lorong berkarpet ungu tua. Di belakangnya, seorang pelayan berjalan sopan.

Pelayan (pelan tapi ramah):

"Taman teh sudah disiapkan, Lady Vione. Perintah dari Yang Mulia agar Anda beristirahat sebelum memasuki pelatihan pertama esok hari."

Viviane mengangguk kecil, meski dalam hatinya ia gelisah.

Minum teh... sendirian? Di taman sebesar itu?

Sesaat sebelum menuruni anak tangga menuju taman, Viviane menoleh ke belakang. Sosok Elliant masih berdiri tak jauh dari pintu balai utama, tengah berdiskusi singkat dengan petugas istana.

Viviane ragu sejenak, lalu memberanikan diri.

Viviane (nada datar, tapi ada sedikit harap):

"Marquess Elliant... Anda sibuk?"

Elliant menoleh. Seperti biasa, wajahnya tenang. Tapi ada sedikit jeda sebelum ia menjawab—dan itu cukup untuk bikin perut Viviane berputar.

Elliant:

"Tidak. Ada yang bisa saya bantu?"

Viviane menahan napas, lalu berbicara cepat—seolah ingin menyelesaikannya sebelum dia berubah pikiran.

Viviane:

"Saya hanya… berpikir, jamuan teh di taman mungkin akan terasa canggung jika saya duduk sendirian. Jika Anda tidak keberatan, tentu saja."

Ia buru-buru menambahkan:

"Bukan dalam kapasitas pribadi, hanya... demi menjaga etika."

Elliant menatapnya selama beberapa detik. Kemudian mengangguk.

Elliant:

"Baiklah. Etika, tentu saja."

Entah kenapa, jawabannya terdengar seperti senyuman yang tak diucapkan.

TAMAN TEH KERAJAAN

Meja bundar berlapis linen putih sudah tertata di bawah pohon magnolia. Teh hangat mengepul dari teko perak, dengan piringan kecil berisi kue mungil di sekelilingnya.

Mereka duduk berseberangan. Hening sesaat.

Viviane (pelan):

"Saya belum pernah menyangka menjadi calon permaisuri melibatkan... banyak pelajaran. Saya kira hanya akan belajar menata rambut dan memilih warna kain."

Elliant (tenang):

"Menjadi permaisuri bukan sekadar tampilan. Anda akan diajarkan protokol, diplomasi, pengelolaan wilayah, sejarah kerajaan..."

Viviane (menyesap teh):

"...dan bercocok tanam?"

Elliant berhenti sejenak. Alisnya terangkat sedikit.

Elliant:

"Ah. Anda lumayan santai mengucapkannya.."

Viviane menahan tawa.

Viviane:

"Itu terdengar... ganjil. Mengapa seorang calon permaisuri diajari bercocok tanam?"

Elliant (pelan tapi serius):

"Karena kerajaan melihat calon permaisuri sebagai pembawa kehidupan. Secara simbolik... dan biologis."

Hening.

Viviane menyembunyikan wajahnya di balik cangkir teh.

Viviane (berbisik):

"Itu halus sekali untuk membahas... calon penerus tahta."

Elliant tidak menjawab langsung. Tapi sudut bibirnya bergerak. Nyaris tak terlihat, tapi jelas ada.

Elliant (samar):

"Saya hanya menyampaikan kurikulum yang berlaku."

Viviane meletakkan cangkirnya, menatap ke taman.

Viviane:

"Tapi mengajarkan itu di minggu pertama? Bukankah seharusnya dimulai dari... menyapa bangsawan tanpa tertukar gelar?"

Elliant:

_"Saya akan mencatatnya sebagai saran. Tapi jangan khawatir... pelajaran membuat calon penerus hanya praktik ringan di kebun herbal."

(sejenak hening, lalu dengan nada datar)

"Bukan yang Anda pikirkan."

Viviane tidak bisa menahan tawanya. Untuk pertama kalinya sejak datang ke istana, ia tertawa lepas.

Elliant menatapnya beberapa detik, lalu kembali pada tehnya. Tapi Viviane tahu, senyum tipis itu... ada di sana.

TAMAN TEH, MASIH SORE

Tawa Viviane baru saja mereda saat langkah kaki terdengar dari arah jalan batu kecil di taman. Langkah ringan, berirama—dan tentu saja, suara yang sudah ia kenal muncul dengan gaya santainya.

Soviech Gillian:

"Oh? Sepertinya aku tidak diundang ke pesta teh paling menarik di istana hari ini."

Viviane menoleh cepat.

Elliant, seperti biasa, hanya mengangkat pandangan tanpa reaksi berlebihan.

Soviech berjalan mendekat dengan senyum lebar, mengenakan jubah santai berwarna krem pucat. Ia tidak meminta izin untuk duduk—langsung menarik kursi dan menempatkan dirinya di sisi Viviane.

Soviech (melirik ke cangkir):

"Teh herbal? Hmm… biasanya ini untuk ibu hamil. Ada pesan tersembunyi di sini, Lady Vione?"

Viviane (dingin, tersenyum tipis):

"Saya rasa Yang Mulia terlalu banyak membaca simbol dari secangkir teh."

Soviech:

"Mungkin. Tapi kita kan sedang membahas pelajaran menjadi permaisuri? Bagian favoritku justru soal membuat calon penerus."

Ia bersandar santai, lalu menatap Viviane tanpa sungkan.

"Kalau boleh tahu... berapa anak yang kau bayangkan nanti, hmm? Tiga? Lima? Atau satu saja tapi mirip aku?"

Viviane langsung tersedak pelan, buru-buru meraih cangkirnya.

Elliant memicingkan mata.

Elliant (dingin):

"Pangeran, kurasa ini bukan topik yang patut dibicarakan di sore hari. Apalagi... tanpa batasan yang jelas."

Soviech (berpura-pura polos):

"Oh, jangan terlalu serius, Ayah Menteri. Calon permaisuri perlu tahu bagaimana... proses biologis itu bekerja. Aku bahkan bersedia menjadi tutor privat."

Viviane terdiam, antara malu dan bingung harus tersinggung atau tertawa.

Soviech (masih lanjut, nada rendah):

"Lagipula, gaya itu penting, bukan? Katanya postur tubuh memengaruhi keturunan. Posisi yang tepat bisa—"

Elliant langsung memotong, suaranya dalam dan tenang, tapi nadanya mengiris seperti pedang:

Elliant:

"Pangeran, sewajarnya saja. Anda lupa? Malam pertama sang Putra Mahkota dan Putri Mahkota bukan urusan pribadi... itu bagian dari tradisi istana."

Soviech langsung berhenti, lalu melirik Elliant sambil mengangkat satu alis.

Elliant (melanjutkan, masih dingin):

"Akan ada saksi. Termasuk para saintes kerajaan, penasehat istana, dan kepala kamar bangsawan."

Viviane membeku. Matanya membelalak.

Viviane (pelan):

"Tunggu… itu… disaksikan... secara langsung?"

Elliant menatap Viviane, sedikit lembut kali ini.

Elliant:

"Bukan dalam arti harfiah. Tapi cukup... mengganggu kenyamanan. Maka dari itu, sebaiknya pembicaraan soal gaya... ditunda. Hingga setidaknya, engkau tahu siapa yang akan menulis laporan upacaranya."

Soviech tertawa terbahak.

Soviech:

"Kau tetap Elliant yang membosankan tapi penuh kejutan. Tapi baiklah, Lady Vione. Anggap ini preview dari betapa... 'kompleks'-nya kehidupan istana."

Ia bangkit, menunduk dramatis.

Soviech:

"Sampai jumpa saat pelajaran berikutnya, Calon Permaisuri."

Setelah ia pergi, Viviane menatap tehnya lama.

Viviane (pelan):

"Saya harap ‘pelajaran membuat penerus’ bisa ditunda sampai… beberapa tahun cahaya lagi."

Elliant mengangguk pelan, nada suaranya netral tapi ada senyum samar di ujungnya.

Elliant:

"Kalau bisa, saya akan ajukan proposal reformasi kurikulum."

KAMAR CALON PERMAISURI, MALAM HARI

Kamar Viviane seolah diambil dari lukisan istana—berkanopi gading, tirai sutra transparan, dan cahaya lilin yang memantul hangat di dinding-dinding berlapis lukisan bunga peony.

Tujuh pelayan pribadi bergerak sigap namun diam. Mereka membuka gulungan kain tidur, mempersiapkan baki teh herbal, dan menyiapkan air mandi dalam sebuah kolam pribadi yang dilapisi kelopak mawar, melati, dan lavender.

Viviane duduk di tepi tempat tidur, tertegun melihat semua yang disiapkan untuknya.

Pelayan Kepala (lembut):

"Silakan, Lady Vione. Air bunga akan membantu mengendurkan ketegangan hari ini."

Tak lama kemudian, Viviane merendam tubuhnya dalam air hangat. Wangi bunga menyeruak pelan, menempel lembut di kulitnya. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati keheningan yang begitu langka sejak ia tiba di istana.

Viviane (dalam hati):

"Semua terasa asing. Tapi… entah kenapa, terasa seperti bagian dari takdirku."

VIVIANE SUDAH BERGANTI PAKAIAN TIDUR KERAJAAN, DRESS KAIN TIPIS BERWARNA MUTIARA

Pelayan tengah menyisir rambutnya ketika suara ketukan terdengar dari pintu luar.

Pelayan (berbisik):

"Yang Mulia Pangeran Gillian meminta izin menemui Anda."

Viviane langsung menoleh, alisnya naik setengah.

Viviane:

"Pangeran Soviech? Sekarang?"

Sebelum ia sempat menjawab, pintu telah terbuka sebagian—dan tentu saja, muncul wajah Soviech yang nakal, dengan senyum setengah miring dan ekspresi seolah tak ada yang salah.

Soviech Gillian (berjalan masuk santai):

"Aku cuma ingin memastikan kau tidak tersesat di kamar seluas aula ini."

Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti di Viviane yang duduk anggun dalam balutan gaun malam sutra tipis dan rambut basah setengah kering.

Soviech:

"Wangi bunga... cocok denganmu."

Ia melangkah lebih dekat, terlalu dekat.

Viviane menghela napas, berdiri dengan sopan namun menjaga jarak.

Viviane:

"Apakah Yang Mulia lupa waktu? Hari ini sudah terlalu panjang untuk ditambah dengan kunjungan mendadak."

Soviech (berkedip pelan):

"Tak ada salahnya mengobrol sedikit sebelum tidur. Kamar calon permaisuri seharusnya tidak terlalu sunyi, bukan?"

Namun sebelum Viviane sempat menjawab, terdengar suara langkah sepatu berat dari luar, diiringi dentingan rantai perhiasan dan suara dalam yang penuh wibawa.

???:

"Viviane."

Pintu terbuka lebar. Seorang pria tinggi berdiri di ambang pintu—berjubah hitam dengan sulaman emas, rambut perak gelap yang disisir rapi ke belakang, dan mata tajam penuh kelelahan namun tetap bersinar hangat. Di tangannya, ia membawa kotak panjang berukir.

Damaskus Vione, ayah Viviane, telah tiba.

Soviech memutar tubuh, agak terkejut—tapi langsung tersenyum.

Soviech:

"Duke Vione. Sungguh waktu yang... pas."

Damaskus hanya menatap dingin ke arahnya.

Damaskus:

"Jamuan malam pribadi tanpa izin di kamar putri saya… bukan kebiasaan yang kami toleransi di rumah Vione, Pangeran Soviech.."

Suasana langsung tegang. Soviech tertawa pelan, lalu memberi hormat tipis.

Soviech:

"Saya akan mundur... demi menghormati tamu baru kita."

Ia melirik Viviane, senyum terakhir sebelum keluar.

"Selamat malam, Lady Vione. Mimpikan aku yang tampan ini."

Setelah pintu tertutup, Viviane menghela napas lega.

Damaskus mendekat, meletakkan kotak berukir di meja.

Damaskus:

"Aku membawa sesuatu untukmu. Hasil dagang dengan Serikat Timur. Mereka bilang permata ini hanya muncul saat bulan biru."

Viviane membuka kotaknya perlahan—berkilauan dalam cahaya lilin, ada safir biru pekat, giok langka, dan batu mata kucing yang berkilau kehijauan.

Viviane:

"Ayah… ini terlalu banyak."

Damaskus tersenyum lembut.

Damaskus:

"Kau akan menghadapi banyak orang yang ingin memiliki segalanya darimu. Tapi selalu ingat—kau membawa nama Vione. Kami memberi… bukan untuk membayar, tapi untuk melindungi."

Viviane berdiri anggun, mengenakan satu anting giok dan menatap cermin.

Meski lelah, ia terlihat seperti seorang ratu muda yang tengah tumbuh dalam senyap.

MALAM DINGIN, KEDIAMAN MENTERI ELLIANT PISSON

Di tengah ibu kota kekaisaran yang tak pernah tidur, berdiri sebuah mansion besar bergaya barok, berhalaman luas dengan air mancur di tengah dan pohon-pohon juniper yang ditata simetris. Dari luar, rumah itu tampak mewah dan penuh kehidupan. Namun di dalam...

...hening.

Suara langkah kaki pelayan terdengar berirama pelan, seperti menjaga agar kesunyian tetap utuh. Ada dua puluh pelayan tinggal dan bekerja di rumah ini—namun tak satu pun suara canda, tawa, atau percakapan akrab yang terdengar.

Elliant membuka pintu utama dengan ayunan tenang. Jubah menterinya masih melekat di bahunya, debu istana masih menempel di ujung sepatunya.

Pelayan utama segera menyambut.

Pelayan:

"Selamat datang kembali, Yang Mulia Menteri. Kami telah mempersiapkan air hangat dan kamar Anda sudah dibereskan."

Elliant hanya mengangguk, suara rendahnya terdengar lirih.

"Terima kasih. Biar aku sendiri."

LUKISAN YANG TERLUPAKAN

Di lorong dalam mansion, tergantung satu lukisan besar yang diselimuti kain abu-abu tua. Perlahan, Elliant menarik kain itu turun.

Lukisan itu menampilkan seorang wanita cantik berambut cokelat lembut dengan mata teduh, memeluk seorang bocah laki-laki kecil yang tertawa.

Istri dan anaknya.

Elliant menatapnya lama. Terlalu lama.

Tangannya sempat menyentuh pigura kayu berukir emas itu. Sorot matanya keras tapi lelah—seperti seseorang yang berusaha tetap hidup meski sebagian jiwanya terkubur di masa lalu.

MANDI DALAM SENYAP

Uap tipis mulai memenuhi ruangan saat air hangat mengalir dalam bak mandi batu yang dalam. Pelayan menaruh satu wadah kecil berisi minyak lavender dan segera undur diri.

Elliant melepaskan kemeja panjang dan sabuk kulitnya. Tubuhnya kekar, penuh luka samar hasil medan politik maupun pelatihan militer. Ia duduk perlahan ke dalam bak, hingga air hangat menyentuh lehernya. Embusan napasnya berat, seperti beban puluhan tahun.

Kepulan asap tipis naik pelan, seakan menyelubungi pikirannya yang tidak tenang.

Lalu…

Wajah Viviane muncul dalam pikirannya.

Bukan suara atau ucapan, hanya siluet—gerakan anggunnya saat berjalan mendekati singgasana, cara ia menunduk penuh tata krama, caranya menghindari pandangan Soviech tanpa kehilangan martabat.

Begitu mirip…

Begitu menyakitkan.

Elliant menutup mata, membenamkan separuh wajahnya ke dalam air.

Lalu ia bergumam pelan—suara yang hanya didengar oleh uap dan dinding batu.

Elliant:

"Terlalu mirip... bahkan cara dia memalingkan wajah saat tak ingin terlihat lemah."

Ia membuka mata, menatap langit-langit. Tak ada senyum lebar. Hanya… senyuman samar, nyaris seperti ilusi.

Elliant:

"Viviane Vione..."

Air bergolak pelan saat ia mengubah posisi duduk.

Suasana tetap hening. Tapi kini, bukan karena kehampaan—melainkan karena kenangan yang mulai bangkit.

PAGI HARI DI ISTANA, RUMAH KACA DI TAMAN DALAM

Cahaya matahari pagi menyusup lembut melalui panel-panel kaca rumah kaca istana. Tanaman hias langka dari berbagai negeri tumbuh subur di dalamnya—ada anggrek dari hutan lembab utara, bunga api merah dari daratan selatan, hingga pohon mini wisteria yang menjuntai manja dari atas kerangka besi hitam yang melengkung artistik.

Viviane duduk anggun di kursi rotan bercat putih. Di depannya, meja kayu bundar berlapis taplak renda menyuguhkan sarapan kerajaan: croissant hangat, keju lunak, buah segar, dan teh herbal dari gunung paling tinggi di barat kekaisaran.

Gaun paginya sederhana tapi halus, berwarna hijau sage dengan renda di ujung lengan. Rambutnya disanggul ringan, memperlihatkan leher jenjangnya.

Namun... ketenangan pagi itu segera berakhir dengan suara ceria yang terlalu dikenalnya.

Soviech Gillian:

"Wah, pagi-pagi sudah seanggun ini, calon permaisuri kita sungguh patut dipuji."

Viviane tidak berdiri, hanya menoleh dan memberi anggukan sopan.

Viviane:

"Yang Mulia Pangeran datang tanpa pengawal, apakah pagi ini Anda kabur dari pelajaran lagi?"

Soviech tertawa sambil menarik kursi di seberangnya, lalu duduk tanpa meminta izin.

Soviech:

"Kau pikir jadi putra mahkota semenyenangkan itu? Aku bahkan belum diberi waktu libur setelah misi utara minggu lalu."

Ia menyambar sepotong croissant dan menggigitnya tanpa beban.

Soviech:

"Tapi pagi ini... aku memang penasaran, seperti apa calon permaisuri saat sarapan. Ternyata... cantik juga."

Viviane menyeruput tehnya, memilih tidak menanggapi pujian yang dilemparkan dengan mudah. Namun dalam hatinya, ia ingin sekali berdiri dan pindah tempat—sayangnya, itu akan dianggap tidak sopan.

Soviech:

"Oh, jangan tegang begitu. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dalam, Viviane."

Ia mendekat sedikit.

"Kau tahu kan, kita akan... mengemban tugas negara bersama. Termasuk... membuat penerus kekaisaran."

Viviane sedikit terbatuk kecil, meletakkan cangkir teh ke tatakan.

Viviane:

"Itu... bukan topik yang patut dibahas saat sarapan, Pangeran."

Soviech:

"Ah, justru itu—pelajaran paling penting untuk calon permaisuri, bukan? Kamu sudah dapat pelajaran itu? Yang... cocok tanam?"

Viviane menahan napas. Matanya melirik sekeliling—pelayan istana berdiri di sudut, pura-pura tidak mendengar. Rumah kaca itu tiba-tiba terasa lebih panas dari biasanya.

Soviech (senyum nakal):

"Kau belum menjawabnya, jadi mau punya berapa anak, hm? Tiga? Lima? Atau kamu tipe yang suka... mencoba semua posisi dulu sebelum memutuskan?"

Viviane:

"Yang Mulia, saya rasa pembicaraan ini sudah—"

??? (suara datar memotong):

"Pangeran Soviech. Mohon jaga kebiasaan bicara Anda."

Viviane menoleh—Elliant Pisson berdiri di dekat pintu rumah kaca, mengenakan jubah abu kebiruan dengan bros lambang kementerian di dadanya. Wajahnya tenang, tapi tatapan matanya tajam seperti ujung pena diplomat.

Elliant:

"Ingatlah bahwa malam pertama pasangan kerajaan akan disaksikan oleh dewan tertinggi dan Saintes Kekaisaran. Setidaknya... jaga kesan pertama calon permaisuri Anda."

Soviech terkekeh pelan, seperti tidak malu sedikit pun.

Soviech:

"Wah, Tuan Menteri datang pagi-pagi. Apa kau cemburu?"

Elliant tidak menjawab.

Tatapannya bergeser ke arah Viviane dan dalam sekejap, hanya Viviane yang melihat sedikit... perhatian di balik wajah beku itu. Hanya sesaat, namun cukup untuk membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

Elliant:

"Mohon maaf, Yang Mulia. Saya hanya mampir untuk mengantar salinan pelajaran calon permaisuri hari ini. Selanjutnya saya permisi."

Ia meletakkan dokumen di atas meja lalu berbalik dan pergi.

Viviane menatap punggungnya yang menjauh... dan entah mengapa, ia merasa pagi itu lebih berwarna dibanding kemarin.

RUANG BELAJAR CALON PERMAISURI – SIANG HARI

Viviane duduk tegap di meja panjang dari kayu ek, dikelilingi tumpukan dokumen, gulungan peta wilayah kekaisaran, serta catatan hukum dan sejarah. Sinar matahari masuk dari jendela tinggi yang dihiasi vitrase ringan.

Di depannya, berdiri seorang perempuan elegan berambut perak keabu-abuan yang disanggul rapi. Wajahnya dingin tapi berwibawa, sorot matanya tajam seperti membaca isi hati murid-muridnya dalam sekali pandang.

Madam Edelweiss Laurence, dikenal di seluruh penjuru kekaisaran sebagai "Pelatih Permaisuri yang Tak Tergantikan".

Madam Edelweiss:

"Menjadi permaisuri bukan soal duduk cantik di samping kaisar."

Suara beliau tenang namun bergetar tegas.

"Ini adalah jabatan politik, sosial, dan spiritual. Kamu akan menjadi jantung istana—kalau kamu lemah, rakyat akan ikut runtuh."

Viviane hanya mengangguk, meski napasnya mulai berat. Ia sudah belajar tentang sistem perdagangan antarprovinsi, peran permaisuri dalam menyeimbangkan hubungan politik para adipati, hingga ritual-ritual yang harus dipahami agar tidak menyalahi tata cara keagamaan.

Setiap malamnya, Viviane membaca ulang semua materi, sementara tubuhnya menahan lelah. Tangan kanannya sampai memerah karena terus mencatat.

TAMAN DALAM – SORE HARI

Viviane duduk di bawah pohon aprikot yang belum berbuah. Di pangkuannya ada buku kecil catatan kebijakan istana, tapi matanya sudah kosong. Ia menengadah, mengamati langit jingga yang mulai temaram.

Langkah sepatu halus terdengar mendekat.

Tanpa menoleh, Viviane sudah tahu siapa yang datang. Entah kenapa, aura langkah itu... tidak asing lagi.

Elliant Pisson:

"Anda terlihat seperti bunga layu yang terlalu lama disiram aturan."

Viviane menoleh pelan, menatapnya sambil menyipit.

Viviane:

"Dan Anda terdengar seperti pujangga istana yang kelelahan mengurus laporan rakyat."

Elliant hanya mengangkat alis tipis, lalu duduk di bangku taman di seberangnya. Hari ini ia mengenakan pakaian sipil, bukan jubah kementerian. Jas hitam sederhana dengan kerah tinggi membuatnya tampak lebih muda, namun tetap menjaga aura menteri.

Viviane:

"Tiap hari aku belajar bagaimana mengatur dapur istana, menjawab surat pengaduan warga, hingga cara memilih bahasa tubuh saat menemui duta besar."

Ia memejamkan mata.

"Tapi tidak ada yang mengajariku bagaimana mengistirahatkan pikiranku."

Sesaat hening, sebelum suara bariton rendah itu kembali terdengar.

Elliant:

"Istirahat bukan berarti berhenti peduli. Kadang, diam di bawah pohon seperti ini... bisa menyelamatkanmu dari keputusan bodoh."

Ia menoleh ke arah Viviane.

"Saya bicara dari pengalaman."

Viviane membuka matanya perlahan.

Viviane:

"Apa Anda pernah membuat keputusan bodoh, Tuan Menteri?"

Elliant tidak langsung menjawab. Ia menatap langit sejenak.

Elliant:

"Saya pernah terlalu cepat kehilangan sesuatu... hanya karena ingin terlihat kuat."

Viviane menatapnya, kali ini lebih lama. Di balik sikapnya yang kaku, ia bisa merasakan luka yang belum sembuh. Tapi cara Elliant menyembunyikannya... membuatnya terlihat tenang dan mengagumkan.

Viviane (pelan):

"Terima kasih, Tuan Menteri."

Elliant:

"Saya tidak melakukan apa-apa."

Ia berdiri, menepuk celana panjangnya.

"Tapi kalau Anda butuh... pelajaran tentang membakar dokumen tak penting dan pura-pura mengerti semuanya—saya bisa jadi guru dadakan."

Viviane tertawa pelan. Pertama kalinya hari itu.

Viviane:

"Baiklah, pelajaran itu sepertinya belum ada di daftar Madame Edelweiss."

Elliant (tersenyum singkat):

"Kalau begitu, saya yang akan mengisinya."

Ia berjalan pergi pelan-pelan, membiarkan Viviane duduk sendiri di bawah cahaya senja.

Namun, di dalam dada Viviane, hari yang berat terasa sedikit lebih ringan.

HALAMAN ISTANA – SIANG HARI

Matahari memancar hangat, menyinari jalan setapak berbatu putih yang membelah taman-taman istana. Viviane melangkah perlahan sambil memeluk buku tebal pelajaran protokol kerajaan. Napasnya teratur, meski di dalam hati masih mengulang-ulang materi yang tadi disampaikan Madame Edelweiss.

Ia butuh udara segar. Hanya ingin jalan tanpa arah.

Kakinya menuntun ke arah sisi istana yang belum pernah ia lewati...

Sampai—

Suara denting logam saling beradu terdengar nyaring.

Viviane menoleh. Di balik pagar besi berpola kerajaan, sebuah area pelatihan terbuka terlihat jelas. Tanahnya dilapisi pasir, tampak beberapa kesatria muda sedang berlatih pedang dan bela diri. Tubuh-tubuh mereka berlumur keringat, gerakan mereka lincah, tak ada yang main-main.

Tapi hanya satu sosok yang langsung menangkap matanya.

Pangeran Soviech Gillian.

Bertelanjang dada, rambut peraknya sedikit berantakan, keringat mengalir dari pelipis hingga dada berototnya. Tangannya menggenggam pedang latihan kayu—tapi caranya mengayun seperti pejuang sejati.

Viviane berhenti. Tidak bisa mengalihkan perhatiannya.

Cara Soviech bergerak begitu presisi, ekspresi wajahnya fokus, dan ketika dia menyudahi latihan dengan satu tebasan berputar yang memukul jatuh lawannya, semua kesatria di sekitarnya mundur memberi hormat.

Viviane tak sadar ia sedikit ternganga.

Tapi detik berikutnya, mata Soviech menangkap keberadaannya.

Ia menyeringai nakal.

Soviech (teriak sambil jalan ke arah pagar):

"Oh! Calon permaisuri kita ternyata sedang inspeksi barak? Haruskah hamba memberi hormat dalam keadaan seperti ini?"

Ia menyapu rambutnya ke belakang, makin menunjukkan dada dan lengan kekarnya.

Viviane buru-buru memalingkan wajah, berdeham pelan.

Viviane:

"Saya hanya... lewat. Istana ini terlalu besar untuk dihafal semua arahnya."

(Ucapannya mencoba tenang, meski wajahnya memerah)

Soviech mencondongkan tubuh ke pagar, menatap Viviane seakan ingin menjahilinya lagi.

Soviech:

"Kalau tersesat, tinggal cari aku. Aku bisa jadi penunjuk jalan... atau pemandu khusus ke ruangan tersembunyi."

Ia mengedipkan mata.

Viviane:

"Tidak perlu. Saya tidak ingin dibimbing ke tempat yang tidak penting."

(Ucapannya tajam, tapi matanya sempat melirik dada Soviech sekali lagi sebelum buru-buru menunduk)

Soviech (tertawa):

"Yakin? Padahal aku bisa ajarkan banyak hal... selain pelajaran dari buku tebal itu."

Ia menunjuk buku yang dipeluk Viviane.

"Misalnya, pelajaran bela diri tangan kosong. Supaya bisa menghindari pelukan yang tidak diinginkan—atau malah... menyambutnya."

Viviane langsung membalikkan badan, memutuskan pergi sebelum makin dibombardir godaan.

Viviane (gumam pelan):

"Tak bisa dibiarkan terlalu dekat... terlalu berbahaya."

Tapi dalam langkahnya yang cepat, Viviane sadar jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya—entah karena malu, kaget, atau...

...sedikit terpesona?

KORIDOR ISTANA – MASIH SIANG HARI

Langkah Viviane cepat, terlalu cepat. Pikirannya masih dipenuhi suara tawa dan godaan Soviech barusan. Buku di pelukannya makin erat, napasnya belum kembali tenang.

Viviane (dalam hati):

"Pangeran itu... benar-benar membuatku kehilangan fokus."

Tapi dalam kesibukannya berjalan, hak sepatunya tergelincir sedikit di batu pinggiran koridor.

Viviane terhuyung—dan hampir jatuh.

Dalam sepersekian detik, sebuah tangan kuat menyambar lengannya, menahan tubuhnya dari terjatuh ke lantai marmer.

Tubuh Viviane tertahan—tepat di dada seseorang.

Elliant.

Dengan napas sedikit terkejut, ia memegangi Viviane. Tangannya secara tak sengaja berada sangat dekat—bahkan menyentuh pangkal dada Viviane yang tertutup kain halus gaunnya.

Elliant (terperanjat, buru-buru melepas dan mundur):

"Maafkan saya, Yang Mulia... saya tidak bermaksud... menyentuh terlalu... ah..."

Viviane (sedikit terkejut, tapi mencoba tenang):

"T-tidak apa. Justru... terima kasih telah menolong saya."

Wajah Viviane memerah samar. Elliant pun menunduk dalam, menyembunyikan ekspresi campur aduk—antara panik, malu, dan... rasa yang sulit dijelaskan.

Beberapa detik canggung terlewat.

Lalu Viviane, dengan suara yang pelan tapi lembut, berkata:

Viviane:

"Sebagai ucapan terima kasih... maukah Anda minum teh sore bersamaku? Taman selatan cukup teduh saat jam empat."

Elliant menatap Viviane. Untuk sesaat, semua gema istana terasa hening. Lalu, bibirnya membentuk senyum tipis yang jarang terlihat.

Elliant:

"Tentu saja. Saya akan menghargai jamuan Yang Mulia."

Viviane tersenyum tipis, lalu melangkah pergi dengan lebih hati-hati. Elliant menatap punggungnya sebentar sebelum membalik arah dengan napas pelan.

TAMAN ISTANA – SIANG JELANG SORE

Viviane duduk di balkon taman selatan, tempat teh sore seharusnya disiapkan. Tangan pelayannya baru saja menuang teh saat langkah-langkah tergesa terdengar. Seorang pelayan berlari, wajahnya pucat.

Pelayan:

"Yang Mulia... Kaisar... beliau jatuh tak sadarkan diri di ruang pribadi."

Viviane:

"Apa?"

Cangkir di hadapannya bergetar—begitu pula dadanya. Pelayan-pelayan segera bergerak, dan dalam hitungan menit seluruh istana seperti berubah jadi medan perang diam-diam. Suara langkah cepat, pelayan berlarian, para menteri dikumpulkan. Soviech tak terlihat. Elliant menghilang dari pandangan.

Viviane segera diarahkan oleh pelayan ke lorong utama, menuju ruangan tempat Kaisar dirawat oleh para saintes dan tabib istana.

---

RUANGAN KAISAR – SETELAHNYA

Kaisar Edward Gillian, dengan wajah pucat dan napas berat, akhirnya membuka mata. Suara lirihnya menggema di antara keheningan semua orang.

Kaisar Edward (lemah):

"Percepat... pengangkatan permaisuri... Aku tak tahu... berapa lama lagi waktu tersisa untukku."

Semua membungkuk. Suara setuju dari para penasihat mengiringi suasana mencekam itu.

Di sudut ruangan, Viviane berdiri membatu. Matanya terarah pada wajah sang Kaisar, tapi pikirannya berputar cepat.

Viviane (dalam hati):

"Percepat? Begitu cepat... Aku bahkan belum benar-benar mengenal siapa yang akan jadi suamiku. Hatiku pun belum selesai membaca semua ini."

Di balik para pelayan dan penasihat, Elliant berdiri—memandang Viviane dengan tatapan penuh perhatian. Ia menangkap kegelisahan itu di mata Viviane, meski wajah wanita itu tetap tampak anggun.

KAMAR VIVIANE – MALAM HARI

Viviane duduk di sisi ranjangnya. Gaun tidur sutra putih membalut tubuhnya, dan rambutnya digelung sederhana. Di pangkuannya, buku pelajaran permaisuri terbuka, tapi tak dibaca.

Viviane (gumam):

"Apa aku benar-benar siap? Apa aku hanya bidak dalam permainan ini... atau aku bisa menuliskan takdirku sendiri?"

Dari jendela, cahaya bulan menyinari wajahnya. Di kejauhan, suara denting jam menandai tengah malam.

TAMAN ISTANA – MALAM HARI

Udara malam itu lembut, diterangi cahaya bulan yang jatuh remang di antara dedaunan. Gemericik air dari kolam kecil dan aroma bunga malam membuat suasana terasa syahdu.

Viviane berjalan perlahan di sepanjang jalan berbatu, memeluk buku tebal yang tak sempat dibaca. Di kejauhan, ia melihat sosok Elliant duduk seorang diri di bangku taman, tangan bersedekap, kepala tertunduk menatap tanah.

Ia ragu sejenak, namun akhirnya melangkah mendekat.

Viviane:

"Malam belum larut... tapi suasana terasa berat ya."

Elliant menoleh, agak terkejut, namun wajahnya segera melunak.

Elliant:

"Terkadang, malam justru waktu terbaik untuk menyembunyikan beban yang tak sempat dibagi di siang hari."

Viviane duduk di ujung bangku, menjaga jarak namun cukup dekat untuk mendengar detak sunyi yang tak terdengar.

Viviane:

"Apa kau sering ke sini?"

Elliant (pelan):

"Hanya saat... aku ingin mengenangnya."

Hening sejenak. Angin malam menyapu pelan. Kemudian, dengan suara berat, Elliant mulai bicara.

Elliant:

"Istriku... dia meninggal saat melahirkan anak kami. Anaknya selamat hanya dua hari. Sejak itu, rumah kami terasa kosong. Bahkan dengan dua puluh pelayan, suara mereka tak bisa menutupi sepinya."

Viviane menunduk, tak menyangka mendengar pengakuan sejujur ini.

Viviane:

"Aku... turut berduka. Aku tidak tahu—"

Elliant (mengangkat tangan, menghentikan):

"Tak perlu mengatakan apa pun. Aku tak pernah ceritakan ini pada siapa pun di istana. Tapi malam ini... sejak bertemu denganmu... aku merasa lukaku mulai terusik kembali."

Viviane mengerutkan kening, pelan.

Viviane:

"Maksudmu?"

Elliant menatapnya, mata kelamnya memantulkan cahaya bulan.

Elliant:

"Gerakanmu, caramu menatap, bahkan suaramu... Kau sangat mirip dengannya. Tapi bukan itu yang mengguncangku. Bukan kemiripan fisik... tapi perasaan yang muncul. Perasaan yang tidak seharusnya ada."

Viviane terdiam. Matanya membelalak pelan. Dadanya terasa berat—campuran bingung, takut, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Viviane (pelan):

"Aku... tidak tahu harus berkata apa."

Elliant (lembut):

"Tak perlu katakan apa pun. Aku hanya tak ingin terus memendam. Kau calon permaisuri. Hatimu adalah milik kerajaan. Tapi malam ini, aku hanya manusia biasa yang jujur pada dirinya sendiri."

Viviane berdiri perlahan, menahan isak yang mulai terasa di dada. Ia menunduk dalam-dalam.

Viviane:

"Maafkan aku... Aku harus kembali."

KAMAR VIVIANE – KEMUDIAN

Viviane masuk ke kamar dan mengunci pintu. Ia menjatuhkan diri ke sisi ranjang, dan untuk pertama kalinya sejak masuk istana, ia menangis.

Bukan karena takut, bukan karena marah—tapi karena hatinya sendiri mulai ikut bicara.

Viviane (dalam hati):

"Kenapa aku merasa bersalah...? Padahal aku tak berjanji pada siapa pun. Tapi mengapa hatiku terasa seperti dikhianati... oleh diriku sendiri."

RUANG GANTI PERMAISURI – SIANG HARI

Kilau cahaya dari jendela tinggi memantul di permukaan gaun-gaun pengantin yang tergantung rapi. Kain satin, renda halus, dan bordir emas menyatu dalam harmoni elegan. Pelayan-pelayan sibuk menyesuaikan panjang ekor gaun dan menyematkan kerudung tipis berhiaskan mutiara ke kepala Viviane.

Viviane menatap bayangannya di cermin tinggi. Wajahnya cantik luar biasa—namun matanya menyimpan gemuruh.

Madam Edelweiss (lembut):

"Yang Mulia sangat memesona. Gaun ini seperti memang dijahitkan untukmu."

Viviane mengangguk kecil, tersenyum sopan. Tapi dalam hatinya, ia merasa seperti berdiri di persimpangan: antara takdir dan keinginan hati.

Tiba-tiba pintu ruang ganti dibuka pelan. Soviech muncul, tak ditemani siapa pun. Tatapannya langsung tertuju pada Viviane yang sedang mengenakan gaun putih berkilau itu.

Soviech (terpaku):

"Astaga... aku belum pernah melihat seseorang secantik ini."

Viviane hanya membalas dengan senyum kaku. Para pelayan buru-buru membungkuk dan meninggalkan ruangan, membiarkan sang putra mahkota berduaan dengan calon permaisurinya.

Soviech mendekat perlahan. Wajahnya berubah menjadi serius, jauh dari sikap main-mainnya biasa.

Soviech (pelan):

"Viviane... aku tahu aku sering terlalu santai. Tapi sekarang, aku tak bisa membayangkan istana ini tanpamu."

Viviane menggigit bibir. Ingin bicara, tapi tak ada kata-kata yang keluar.

Soviech mengangkat tangan, menyentuh lembut pipi Viviane, lalu dengan sangat hati-hati, mengecup keningnya.

Soviech (hampir berbisik):

"Aku tidak akan membiarkan siapa pun merebutmu. Termasuk... dia."

Viviane menunduk. Detik itu terasa sangat panjang. Tubuhnya diam, tapi dadanya sesak. Kecupan manis itu tidak menyakitkan—tapi juga tidak membuat hatinya hangat.

Ia hanya bisa membatin:

Viviane (dalam hati):

"Apakah menjadi permaisuri... berarti harus mengabaikan suara hatiku?"

HALAMAN ISTANA – SIANG HARI

Gema lonceng suci bergema dari menara ke seluruh penjuru kerajaan. Bunga-bunga putih berguguran dari langit seperti salju, mewarnai langkah-langkah elegan Viviane di altar kerajaan.

Rakyat bersorak dari kejauhan, para bangsawan berdiri menyambut pasangan kerajaan yang akan memulai babak baru sejarah negeri. Di tengah semua gemerlap itu, wajah Viviane seperti patung marmer—indah, tenang, namun terasa hampa.

Viviane (dalam hati):

"Mengapa dalam keramaian sebesar ini, hatiku terasa sepi?"

Ia menoleh sekilas—mencari sosok yang sudah ia tahu tak akan datang. Tapi tetap saja, matanya mencari. Elliant tak ada. Tak satu pun bayangan dirinya terlihat di antara tamu kehormatan.

Pendeta Agung:

"Dengan restu langit dan bumi, serta atas nama darah bangsawan kerajaan Gillian, aku umumkan: Putra Mahkota Soviech Gillian dan Putri Viviane Vione kini sah sebagai suami istri dan pemimpin masa depan negeri ini."

Soviech memandang Viviane dengan senyum tulus, dan dengan lembut menggenggam pipinya, memberikan ciuman pengantin. Rakyat kembali bersorak, suara musik kerajaan mengalun... namun di dalam hati Viviane, gema ciuman itu seperti palu takdir yang menancapkan paku terakhir pada perasaannya.

Viviane (dalam hati):

"Kapan terakhir kali aku merasa memilih jalanku sendiri?"

ISTANA DALAM – MALAM HARI

Ruangan pengantin dihias begitu anggun: taburan kelopak bunga, tirai sutra, dan cahaya lilin yang temaram. Pelayan istana telah menyiapkan segalanya. Malam pertama akan segera dimulai, sebagaimana tradisi, disaksikan dari luar oleh petinggi istana dan Saintes dalam ritual suci.

Soviech terlihat gugup tapi mencoba tenang. Ia menghampiri Viviane yang sudah duduk di sisi tempat tidur, mengenakan gaun tidur tipis dari negeri Seirelle. Ia menatap Viviane lembut.

Soviech (pelan):

"Kalau kamu mau berhenti di sini... aku akan menghormatinya."

Viviane tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Pasrah, namun tetap menjaga harga dirinya sebagai putri bangsawan.

Di luar, satu kursi kosong terlihat di antara para pengamat.

Saintes (berbisik ke sesamanya):

"Menteri Elliant tidak hadir malam ini?"

"Ya... katanya melakukan perjalanan ke timur. Mendadak."

KERETA KERAJAAN – MALAM YANG SAMA

Elliant duduk dalam kereta, matanya menatap kosong ke luar jendela yang diselimuti kabut malam. Di pangkuannya, ada sepucuk surat belum dibuka—bercap lilin merah bertanda istana.

Di kejauhan, menara istana masih terlihat. Gemerlap dan megah.

Elliant menarik napas panjang dan menutup mata.

Elliant (dalam hati):

Sepertinya perasaanku terlalu jauh dan lancang untuk menaruh hati pada permaisuri."

Kereta melaju perlahan ke arah timur. Menjauhi istana. Menjauhi Viviane.

ISTANA DALAM – KAMAR MALAM PENGANTIN

Langit malam menggantung sunyi, hanya diterangi cahaya bulan dan obor-obor kerajaan. Tirai beludru merah marun ditutup rapat, menciptakan ruang privat yang sebenarnya jauh dari kata "pribadi". Di balik dinding-dinding beratap ukiran emas, para pejabat tinggi kerajaan duduk di balik tirai tipis, mengikuti tradisi purba—menyaksikan malam pertama kaisar baru dan permaisuri sebagai bukti sah bersatunya garis darah penguasa.

Viviane berdiri membelakangi Soviech, tubuhnya sedikit gemetar. Gaun pengantin ringan telah ditanggalkan oleh dayang sebelum mereka mundur. Kini hanya kain sutra tipis menutupi tubuhnya. Soviech menghampiri, perlahan, matanya menyiratkan api gairah... namun juga rasa hormat yang ditahan-tahan.

Soviech (pelan):

"Aku akan berhati-hati... Kau tak perlu takut, Viviane."

Viviane tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, mencoba menenangkan degup jantungnya yang berpacu cepat. Bukan karena cinta... tapi karena gugup, takut, dan rasa asing yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Sentuhan pertama terasa dingin, meski tangan Soviech hangat. Tubuhnya mendekap Viviane, mencium pundaknya perlahan, lalu membimbingnya ke tempat tidur dengan sikap tenang meski jelas penuh hasrat.

Ketika tubuh mereka benar-benar menyatu, Viviane menggigit bibirnya. Rasa perih menghantam tubuhnya. Ia menahan napas—tidak ingin mengeluarkan suara, tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang-orang yang mungkin sedang mendengar di luar.

Soviech menggenggam tangannya erat, mencoba menenangkan... walau napasnya sendiri mulai berat.

Viviane (dalam hati):

"Apakah seperti ini nasib perempuan kerajaan? Harus menyerahkan segalanya bahkan saat belum siap?"

Soviech menyentuh wajahnya dengan lembut, menatap matanya.

Soviech (berbisik):

"Kalau terlalu sakit, katakan saja."

Viviane hanya menggeleng pelan. Air matanya menetes, bukan semata karena rasa sakit di tubuh, tapi luka yang terbuka di hatinya. Di luar ruangan, para pengamat kerajaan mulai meninggalkan tempat dengan tenang—mereka tahu, ritual malam telah tuntas.

ISTANA DALAM – KAMAR PENGANTIN, JELANG PAGI BUTA

Udara dingin pagi menyelusup perlahan melalui kisi jendela kaca patri. Tirai sutra masih tertutup, menyisakan cahaya lilin yang mulai mengecil. Viviane terbaring dalam pelukan Soviech—lelah, tubuhnya masih terasa berat, namun kini lebih tenang dibanding tadi malam.

Di dalam keheningan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Soviech menyisir rambut Viviane dengan jemarinya, kemudian mengecup pelipisnya pelan.

Soviech:

"Aku tahu ini semua terlalu cepat bagimu. Tapi... aku ingin kau tahu, aku bukan hanya menginginkan permaisuri. Aku ingin kau... menjadi pendampingku yang sesungguhnya."

Viviane terdiam sesaat, masih menatap langit-langit ukiran mawar emas di atas tempat tidur mereka. Matanya merah, namun tak lagi berlinang air.

Viviane (pelan):

"Kita berangkat dari kehendak orang lain, tapi... jika memang harus dijalani, aku ingin kita menjalaninya dengan kepala tegak. Aku ingin jadi permaisuri yang baik... untuk rakyat, untuk kerajaan. Dan... untukmu, jika kamu juga berusaha jadi suami yang baik."

Soviech mengangguk pelan, tampak tersentuh. Ia mendekap Viviane lebih erat, seakan tak ingin ada jarak di antara mereka.

Soviech (bercanda ringan):

"Tapi, apakah istri yang baik akan kabur saat aku mencoba mencium pipinya lagi?"

Viviane tersenyum tipis, pertama kalinya sejak malam yang berat itu. Meski letih, ia mencoba mengangkat tangan dan mencubit kecil lengan Soviech.

Viviane:

"Itu tandanya aku mulai mengenalmu, bukan takut lagi."

Mereka tertawa pelan, untuk pertama kalinya, seperti sepasang pengantin sungguhan.

Namun jauh di sudut hati Viviane, bayangan mata tajam dan tenang Elliant masih mengendap… tak bisa ia hapus begitu saja.

ISTANA KEDIAMAN PERMAISURI – PAGI HARI

Matahari baru menggeliat di langit timur, sinarnya menembus kaca-kaca tinggi rumah kaca pribadi permaisuri. Burung istana mulai berkicau, bunga langka bermekaran, dan aroma teh melati merebak dari meja sarapan kerajaan.

Di antara ketenangan itu, kegaduhan kecil selalu muncul dari satu arah—kamar Permaisuri Viviane.

BRAK!

Pintu kamar dibuka tiba-tiba.

Para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan pagi spontan menunduk—beberapa dari mereka buru-buru berbalik badan, berusaha menahan senyum kikuk.

Soviech (berteriak ceria):

"Selamat pagi, istriku tercinta!"

Sebelum Viviane sempat merespons, Soviech sudah melesat seperti badai, mendekap dan mencium bibirnya dengan penuh semangat. Napasnya masih segar, tapi tindakannya tetap membuat Viviane terbelalak.

Viviane (mendorong pelan):

"Soviech...! Itu—tidak setiap pagi harus begini!"

Soviech (tertawa puas):

"Sebagai suami, itu kewajibanku. Wajib! Kau tahu, rakyat butuh raja yang mesra! Ah, pagi-pagi harus penuh cinta!"

Pelayan senior:

"Yang Mulia... mungkin kami bisa... menunggu di luar untuk sesaat?"

Soviech:

"Tidak perlu! Biar mereka tahu aku suami romantis!"

Viviane hanya bisa menghela napas, lalu mengambil serbet dan menyeka bibirnya sambil melirik para pelayan yang mulai kewalahan menyembunyikan ekspresi kaget dan geli.

Viviane (pelan):

"Kau tidak akan berubah, ya?"

Soviech (menyengir):

"Mungkin... tapi hanya akan berubah jadi lebih mencintaimu."

Viviane memalingkan wajahnya, pipinya memerah, entah karena kesal atau malu. Ia tahu, Soviech memang konyol dan seenaknya, tapi ada sisi dirinya yang mulai menerima kekonyolan itu sebagai bagian dari rutinitas.

Namun... di balik semua itu, pikirannya masih kadang melayang jauh ke tempat lain. Ke tempat yang lebih hening. Ke seseorang yang tak lagi terlihat di istana.

RUANG KERJA PERMAISURI – SIANG HARI

Ruangan luas itu sunyi namun penuh cahaya. Dua meja besar dari kayu ebony terletak sejajar, masing-masing dipenuhi dokumen—permintaan rakyat, laporan perdagangan, proposal aliansi, bahkan undangan pesta bangsawan.

Viviane duduk tegap, mencatat dengan serius. Di seberangnya, Soviech setengah rebahan di kursinya, menggigit pena bulu sambil membaca dokumen sambil menatap istrinya.

Soviech (menghela napas):

"Banyak banget ya, surat permintaan subsidi beras dari selatan..."

Viviane (menulis cepat):

"Panen mereka gagal dua musim berturut-turut. Kita perlu kirim bantuan logistik dulu sebelum benih baru tiba."

Soviech:

"Hmm... kamu beneran cocok jadi permaisuri. Serius, pinter, cantik, dan... nggak marah pas aku cium di depan pelayan. Itu poin besar."

Viviane mengangkat alis, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum tipis.

Viviane:

"Kau tetap menyebut itu sebagai kualifikasi?"

Soviech:

"Kualifikasi penting. Tapi ada yang lebih penting lagi."

Ia menyodorkan gulungan kertas ke arah Viviane. Di dalamnya, sketsa pakaian wanita bangsawan—semuanya... sangat terbuka. Model-model terbaru yang mulai jadi tren di ibu kota.

Soviech:

"Ini... tren baru kekaisaran. Baju bangsawan sekarang seksi banget. Ada pamer bahu, ada yang cuma pakai renda, dan—lihat yang ini! Gaun transparan dengan jubah bulu!”

Viviane memandangi kertas itu dengan alis terangkat tinggi.

Viviane:

"Dan apa hubungannya dengan kita?"

Soviech (menyeringai):

"Kamu harus coba dong! Kamu ‘trendsetter’ sekarang. Rakyat suka kalau permaisuri tampil percaya diri dan berani."

Viviane (sambil kembali fokus ke dokumen):

"Kalau begitu, rakyat juga perlu percaya diri dalam berpakaian tertutup. Pakaian seksi tidak akan mengalihkan musim paceklik."

Soviech (menjura dramatis):

"Wahai permaisuri tercinta, biarkan rakyat memilih antara pamer pundak atau pamer hasil panen."

Viviane akhirnya tertawa pelan. Ada rasa nyaman—aneh tapi nyata—duduk bekerja berdua dengan suaminya yang konyol, meski kadang seperti punya kepala dua.

Di luar, matahari condong ke barat. Di dalam, ruangan kerja tetap sibuk. Kertas-kertas berpindah tangan, senyum-senyum kecil terselip, dan di tengah kekacauan kekaisaran... pasangan baru ini mulai terbiasa menjadi rekan kerja.

To be continued..

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Bronze
Melody Vega
Nuel Lubis
Cerpen
Between the Crown and the Heart
Lucky Cat
Flash
Kamu Terlalu Baik Buatku
Alifian Afas Sawung Aji
Novel
Thank You Dark Time
Nova Fatika Sari
Novel
Bronze
Bias Rasa
Selvi Nofitasari
Novel
Gold
WRITE ME HIS STORY
Mizan Publishing
Novel
Gold
Perikardia
Mizan Publishing
Novel
The Art of Move On
Glen James Alexander Sahetapy
Novel
Mari Kita Selesaikan Lebih Dulu
Amelia R Maulida
Novel
Finding Soo
Dya
Novel
Bronze
Hadiah dari Tuhan
Oki Wijaya
Novel
runtuh
Erlita Scorpio
Novel
Kenangan tentang Kita
Sem Irviady Surya
Novel
Diary Kanaya
Sabelia
Novel
Gold
Pangeran Bumi, Kesatria Bulan
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Between the Crown and the Heart
Lucky Cat