Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dezan sedang asyik bermain gitar di kamarnya. Pria berusia 25 tahun itu sungguh lihai memainkan alat musik tersebut. Tak semua orang bisa. Bakat bermusiknya itu menurun dari ayah dan ibunya. Puluhan tahun yang lalu orang tuanya adalah musisi hebat. Terkenal di Jawa Barat pada masanya. Tapi, kini mereka sudah pensiun.
Selain, gitar Dezan juga mampu memainkan alat musik seperti biola, harmonika dan piano. Meski begitu, dirinya tidak minat masuk sekolah musik. Pria tampan itu lebih tertarik dengan Sains.
Triiinng!ย
Triiinng!
Ponsel Dezan berdering keras sekali. Sudah berulangkali di peringati sang ibu agar volume dering ponselnya jangan terlalu full. Sang ibu amat sangat terganggu. Apalagi kalau malam hari ada yang menelepon.
"Dezan! Berisik!" teriak sang ibu dari arah ruang tengah.
Pintu kamar pria itu di biarkannya terbuka lebar. Otomatis orang serumah pada dengar. Akan tetapi, hanya ibu saja yang protes.
Triiinng!ย
Triiinng!
"Angkat! Buruan!" teriak sang ibu, lagi. Gondoknya mulai meningkat.
"Siapa, sih malam-malam gini nelpon?" Dezan menggumamkan kalimat tanya.
Ia bergegas turun dari ranjang tidur, lalu mendekati meja belajar. Tempat dimana ponselnya tergeletak.
Dezan mengernyit ketika melihat nama si pemanggil yang tertera di layar ponsel pintarnya. Kemudian segera mengangkat panggilan tersebut. Barangkali penting, pikirnya.
"Ya, Le? Ada apa?" tanya Dezan, begitu dia angkat.
"Bokap gua besok sore mau di operasi. Lu besok bisa ke rumah sakit gak? Temenin gua gitu," jawab Leon dari seberang telepon genggam.
"Nginep gak, nih? Kan, gua bisa siap-siap dulu."
"Nginep. Semalam aja, kok."
"Oke. Bisa. Pulang dari gawe langsung ke sana gua."
"Oke, dah. Gua tunggu, ya besok."
"Sip."
"Dah ya gitu aja. Bye.
"Bentar amat."
"Ngantuk gua, Bro. Mana besok harus bangun pagi. Ada banyak yang harus di urus menjelang operasi."
"Oh, gitu."
"Ho oh. Lagi ngapain lu?"
"Lagi main gitar aja. Oh, iya ke RS boleh bawa gitar gak, sih?"
"Mau ngapain ? Ngamen?"
"Kagak, Njir. Biar gak bosen aja."
"Gak boleh. Udah lah gak usah aneh-aneh. Mending bawa jajanan yang banyak."
"Boleh. Boleh. Gua yang beliin, lu yang bayar ya?"
"Dih. Ogah."
"Tuh, kan suka gitu dirimu mah."
"Udah. Udah. Gua mau bobo ganteng dulu. Biar fresh besoknya."
"Hm. Ya udah."
"Bye."
"Bye juga."
Obrolan mereka berdua berakhir. Dezan lanjut main gitar lagi.
*****
Dezan telah tiba di rumah sakit pada pukul enam sore. Ia masih di lantai dasar, menunggu pintu lift terbuka. Sambil menunggu ia merapikan rambutnya yang berponi, khas oppa-oppa Kroya. Eh. Ralat. Oppa-oppa Korea. Dan juga mengecek aroma mulutnya. Barangkali masih tertinggal bau jengkol pas istirahat makan siang.
"Ha! Ha!" Dezan mengembuskan napas dari mulutnya ke telapak tangannya.
"Gak bau, ah. Kan, udah kumur-kumur," katanya dengan suara kecil.
Padahal di sebelah kanannya ada seorang wanita parubaya. Dan di belakang ada dua orang pria seumuran dengannya. Ia sungguh tidak malu berlaku seperti itu.
Ting!
Akhirnya pintu lift membuka. Orang yang dari dalam keluar semua. Kini, gantian Dezan dan lainnya yang masuk ke dalam lift.
Pria berwajah bersih itu menekan tombol angka enam. Tadi siang Leon mengiriminya chat singkat. Memberitahukan bahwa papanya di operasi dan di rawat di lantai enam.
Tak lama kemudian, tibalah Dezan di lantai yang ia tuju. Ia keluar dari lift seorang diri.
Dezan berjalan pelan menyusuri koridor yang sangat sepi. Lantai enam di khususkan untuk kelas VVIP.
Ruang operasi berada di ujung koridor. Dezan semakin mempercepat langkahnya.
"Bro!" sapa Dezan. Lalu duduk di samping Leon yang menunggu sendirian.
Dari awal sang papa di larikan ke rumah sakit dan berakhir di opname, Leon senantiasa setia menungguinya. Dua adiknya paling cuma berkunjung sebentar lalu pulang. Di karenakan mereka harus sekolah.
Ibu mereka telah berpulang lebih dulu menghadap Sang Pencipta.
"Oi! Baru nyampe lu?"
"Iya. Lumayan macet jalanan."
"Wajar aja. Sekarang, kan malam Minggu."
"Iya, ya. Lah, kita malam Mingguan malah di rumah sakit, ya. Hehe," kata Dezan sembari cengengesan.
"Emang lu malam Mingguan mau ke mana, Paijo? Kayak punya pacar aja lu," ledek Leon yang juga menyandang status jomlowan.
"Muterin Bandung," balas Dezan, asal bunyi.
"Capek, deh. Mending tidur."
"Oh, ya operasinya udah jalan berapa lama?" tanya Dezan, mengubah topik pembicaraan.
"Baru aja," jawab Leon, singkat.
"Bentar lagi Maghrib. Salat dulu aja, yuk," ajak Dezan, mendadak sholeh.
"Habis itu do'ain bokap lu. Semoga operasinya berjalan lancar," sambungnya.
"Hayuk lah." Leon mengiyakan.
Mushola berada di lantai delapan. Itu pun jarang di gunakan. Mungkin karena suasananya yang kelewat sepi. Jadi, mereka pada takut. Apalagi kalau lagi salat sendirian.
*****
Akhirnya operasi sinusitis selesai dan berjalan sesuai prosedur. Para tenaga medis kemudian memindahkan Pak Nazmi ke kamar inap.
Di lantai enam ada empat kamar inap dan di tandai dengan huruf abjad di depan pintu bagian atas. Terdiri dari kamar A, B, C, dan D.
Pak Nazmi menempati ruang kamar inap B.
"Pak Nazmi masih belum siuman. Soalnya obat biusnya masih bekerja. Inshaa Allah besok sudah membaik," terang Dokter Keenan.
"Suster akan memantau dan mengecek secara berkala kondisi ayah Anda," imbuhnya.
"Baik. Terima kasih banyak, Dok," ucap Leon.
"Terima kasih, Dok." Dezan turut mengucapkannya.
"Sama-sama. Saya permisi, ya. Masih ada pasien lain yang harus segera saya tangani," ungkap sang dokter.
"Oh, ya, Dok," balas Leon.
Dokter Keenan beranjak pergi. Leon dan Dezan duduk di sofa panjang yang tersedia di dalam ruangan.
Sungguh kamar inap yang nyaman dan bersih. Pun fasilitasnya lengkap.
"Kamar ini ada balkonnya, Zan," info Leon sembari menuang air mineral ke dalam gelas.
"Asik, Nih."
"Iya. Kalau malam gua suka ke situ. Ngopi sambil main game. Soalnya gak bisa tidur cepet," papar Leon, kemudian meneguk air minumnya sampai habis.
"Nanti ke sana lah. Begadang sekalian." Dezan nampak antusias.
"Boleh. Boleh," ujar Leon seraya manggut-manggut.
"Oh, ya, Le, gua kan bawa jajanan." Dezan baru ingat. Lantas membuka ranselnya dan mengeluarkan beberapa jajanan khas Jawa Tengah.
Di atas meja kini ada lanting, dodol, bakpia, belut goreng dan keripik tempe.
"Banyak amat," ucap Leon, kemudian membuka kotak berisi bakpia beraneka rasa.
"Temen kantor gua abis pulkam. Kebetulan gua akrab banget sama dia. Jadi, di bawain oleh-oleh banyak," tandas Dezan. Girang bukan kepalang mendapat banyak oleh-oleh.
Leon menyicipi bakpia isi kacang hijau. "Enak," pujinya singkat.
"Mau juga, ah." Dezan ikut mencobanya. Ia makan dengan lahap.
Kedua pria itu tampak asyik mengunyah jajanan-jajanan tersebut.
*****
Pada pukul 19.35 WIB, pintu kamar di ketuk sebanyak tiga kali. Refleks, Dezan dan Leon menoleh ke arah pintu. Tak lama, muncul empat orang dari balik pintu tersebut. Kedua pria itu mengenali mereka semua. Lalu dengan gelagapan keduanya merapikan meja yang penuh jajanan tadi.
"Assalamu'alaikum," ucap mereka serempak.
"Wa'alaikumsalam," balas Dezan dan Leon, kompak.
Keempat orang itu adalah Om Rully, Tante Sonia, Adel, dan Ellea.
Usai berberes, Leon dan Dezan menghampiri Om Rully dan istrinya untuk bersalaman.
"Om sama tante kok, gak ngabarin kalo mau ke sini?" tanya Leon.
"Gapapa. Mumpung lagi ada waktu luang juga. Besok pagi kita mau ke luar kota soalnya," jawab Om Rully. Ia dan istrinya adalah pebisnis sukses.
"Oh, gitu." Leon merespon singkat.
"Operasinya lancar, kan?" tanya Tante Sonia, adiknya Pak Nazmi.
"Alhamdulillah lancar, Tan. Hanya saja papa belum sadar," balas Leon sembari menatap sendu sang papa yang tergolek di ranjang pasien.
"Don't cry. Semoga papa kalian lekas pulih dan bisa berkumpul lagi bersama kalian."
"Aamiin," jawab mereka semua dengan nada pelan dan yakin.
"Makasih om dan tante udah mau menyempatkan waktu buat jenguk papa." Si cantik Ellea buka suara.
Om Rully dan Tante Sonia mengumbar senyum. Sebuah senyum ketulusan.
Leon lalu mempersilakan om dan tantenya untuk duduk di sofa. Mereka bertiga berbincang banyak hal.
Sementara, Ellea, Dezan dan Adel berada di balkon. Karena Adel anak yang hiperaktif. Takutnya mengganggu perbincangan orang dewasa.
"A, kok gak ikut ngobrol di dalam?" tanya Ellea.
"Gak, El. Lagian aa bukan bagian dari keluarga kalian," jawab Dezan di iringi senyum malu-malu.
"Oh. Oke. Kalo gitu di sini aja. Temenin aku sama Adel," kata Ellea. Sebuah senyuman indah menghiasi wajah ayunya.
"Baiklah, Nona." Dezan tidak merasa keberatan.
Dezan jadi salah tingkah. Apalagi saat ini ia berdiri tepat di samping gadis berusia dua puluh tahun tersebut.
๐๐๐๐
"Om sama tante pulang dulu, ya. Kalian baik-baik di sini. Jaga kesehatan. Dan jangan sampai telat makan," ucap Tante Sonia di selipi amanat.
Om Rully dan Tante Sonia sangat peduli terhadap ketiga anak Pak Nazmi.
"Om dan tante kapan main ke rumah lagi?" Adel melontarkan pertanyaan.
"Nanti, ya kalau kami udah gak terlalu sibuk," jawab Om Rully ramah seraya mengusap kepala bocah itu.
"Adel, mau minta di beliin apa?" sambungnya dengan kalimat tanya.
Adel tersenyum lebar. "Boneka Teddy, Om. Beliin dua, ya," balasnya. Tak tanggung-tanggung.
"Adel, gak usah, ya. Nanti bonekanya biar aa aja yang beliin. Banyak, kok toko boneka di Bandung." Leon dengan lembut mencoba membujuk sang adik.
"No! I want another one." Adel merengek kecil. Wajar, sih, ia kan masih berusia enam tahun. Tapi, uniknya di usia sebegitu mudanya sudah fasih berbahasa Inggris.
"It's okey. It's okey. Nanti kami belikan." Leon mengalah.
Leon beralih ke Om Rully. "Ngerepotin, Om."
"Nggak sama sekali, kok. Udah, ya Adel jangan ngambek lagi."
Adel berhenti merajuk.
"Kita pulang, ya. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Om Rully dan Tante Sonia beranjak pergi dengan langkah santai.
Jam besuk di batasi hanya sampai jam delapan malam saja. Om Rully dan Tante Sonia setengah jam berada di sana.
Leon duduk kembali di sofa. Di ikuti Dezan dan Ellea. Sedangkan, Adel sibuk berlarian ke sana- ke mari. Bocah menggemaskan itu sungguh lincah. Semua barang di dalam kamar tak luput dari jamahan tangan mungilnya.
"Adel, mau pulang gak?" tanya Ellea.
"Nanti, Teh," balas Adel, suaranya imut khas anak kecil.
"Jam besuk udah mau abis." Ellea menengok jam kecil di tangannya.
"Pulang, yuk, Sayang," kata Ellea lagi kepada sang adik.
"Hayuk," balas Dezan. Padahal bukan ngajak dia.
"Weh!" Leon melirik tajam ke arah Dezan.
"Bercanda. Bercanda." Dezan tertawa kecil.
Ellea hanya tersenyum.
"Nanti kita beli es krim coklat stroberi kesukaan Adel." Ellea masih bersikeras membujuk.
"Two ice creams," jawab Adel, masih berlarian kecil di dalam ruangan.
"Okey."
"Promise?"
"Yes. I'm promise."
"Let's go."
Akhirnya Adel mau di ajak pulang setelah di janjikan dua buah es krim.
Ellea bangkit dan bersiap keluar. Namun, Leon tiba-tiba mencegahnya.
"Tunggu."
Ellea menatap bingung. "Kenapa, A?"
"Gua laper. Pengen nasi goreng. El, tolong beliin nasi goreng depan rumah sakit, ya." Leon mengutarakan keinginannya.
"Sekalian, dong." Dezan ikut-ikutan.
"Hhmm." Ellea mendeham pelan. Mau menolak, tapi kasian.
"Pedes gak, nih?" tanyanya kemudian.
"Aa Dezan yang sedang-sedang aja pedesnya," tutur Dezan.
"Kalo gua yang ekstra pedas, ya. Jangan pake jeroan. Only chiken and egg. Terus acarnya banyakin," pesan Leon, banyak permintaan.
"Oke."
"Ikut," kata Adel pada tetehnya.
"Yuk."
Ellea keluar dari kamar sembari menggandeng tangan kanan Adel. Akan tetapi, baru beberapa detik bocah itu malah berlari, mendahului langkah sang kakak.
"Adel, wait me !" seru Ellea, mempercepat gerak kakinya.
*****
Beberapa menit berlalu. Ellea masuk ke kamar, tentunya dengan dua bungkus nasi goreng pesanan sang kakak dan kawannya.
Namun, anehnya gadis itu datang sendirian. Lalu di manakah Adel?
"Nih pesanan kalian. Punya aa yang ada sobekannya dikit. Buat penanda." Ellea menaruh plastik putih di atas meja.
Tentu saja langsung di serbu oleh dua pria itu.
"Makasih, Dek."
"Makasih, El cantik."
Selagi mereka menyantap nasi goreng, netra Ellea menyapu seisi ruangan mencari keberadaan adik kecilnya.
"Adel mana, ya?" tanya Ellea mulai panik.
Dezan dan Leon pun baru sadar dengan ketiadaan Adel.
"Lah, iya, ya tuh bocah ke mana?" kata Leon dengan mulut penuh nasi goreng.
"Aku kirain dia udah ke sini duluan."
Dezan dan Leon seketika menjeda makan mereka.
"Kita dari tadi gak liat ada yang masuk ke mari, El," ungkap Dezan.
"Duh!" Ellea kian panik.
"Kamu gimana, sih, El, kok bisa misah sama Adel?" Leon agak gusar karena Ellea teledor.
"Tadi kita naik lift bareng, kok, A. Begitu pintu lift kebuka Adel langsung lari gitu aja. Cepet banget larinya. Aku kira dia udah masuk ke sini," terang Ellea, mimik mukanya tidak berubah sedetikpun.
"Tapi kenyataannya Adel gak ada di dalam sini," sewot Leon. Di tambah lagi capek dan lapar juga. Oleh sebab itu, amarahnya mudah terpancing keluar.
"Tenang, Bro. Tenang. Jangan pakai emosi." Dezan menepuk-nepuk bahu sang kawan.
Ellea menunduk dan mulai menitiskan air mata, oleh sebab bentakan sang kakak. Jarang sekali ia melihat kakaknya semarah itu.
Dezan melirik Ellea yang masih berdiri tak jauh dari meja. Ia tampak kasihan padanya.
"Dari pada diem-dieman gini, mending sekarang kita cari Adel," saran Dezan.
"Bener lu, Bro. Ayo!" titah Leon. Kemudian berjalan duluan keluar kamar.
Dezan mendekat pada Ellea dan berkata lembut, "Udah jangan nangis. Si aa kayak gitu karena lagi khawatir aja. Sebenarnya dia kakak yang baik, kan."
Ellea mengusap air mata yang membasahi pipinya. Perhatian Dezan, sedikit menenangkan hati gadis berhijab merah jambu tersebut.
"Sekarang kita cari Adel. Semoga dia baik-baik aja," sambung pria itu.
Ellea mengangguk pelan.
"Yuk." Dezan mengajak gadis itu untuk keluar bersama-sama.
"Kita usaha dulu. Kalo belum ketemu juga baru kita lapor pihak rumah sakit." Leon memberikan pengarahan.
"Oke. Kita berpencar. Periksa tiap lantai," lanjutnya.
Mereka bertiga mulai berpencar. Bangunan rumah sakit ini hanya sampai delapan lantai saja.
Yang mereka takutkan, Adel di ajak pergi sama orang tak di kenal.
Satu jam mereka mencari keberadaan gadis kecil tersebut. Namun sayangnya, tidak membuahkan hasil.
Dezan, Leon dan Ellea berkumpul di depan pintu kamar rawat inap C. Ketiganya nampak kelelahan.
"Adel, ke mana, ya? Menghilang kek di telan bumi." Leon bertanya-tanya.
Hening beberapa saat.
"Atau jangan-jangan dia salah masuk kamar." Dezan menduga-duga.
"Bisa jadi." Ellea sepemikiran.
"Kok, gak kepikiran dari tadi, ya," sesal Leon.
"Oke. Gini aja, kita cek satu per satu kamar di lantai enam. Kali aja Adel ada di salah satu kamar di sini."
"Betul, tuh, Zan. Ayolah kita mulai dari kamar A." Leon tampak tidak sabaran.
Baru saja akan menuju kamar rawat inap A, tiba-tiba mereka bertiga mendengar suara bocah perempuan memanggil-manggil di sertai isak tangis.
Suaranya kecil, tetapi masih dapat di dengar.
"Kalian dengar gak?" tanya Leon dengan suara lirih.
"Iya." Dezan dan Ellea menjawab bersamaan.
Di luar hanya ada mereka bertiga. Lantai enam luar biasa sepi nan sunyi. Mereka menajamkan pendengaran.
"Aa! Teteh!"
Sepersekian detik kemudian mereka bertiga serentak menoleh ke arah pintu kamar rawat inap C.
"Sumber suaranya dari dalam kamar ini," ucap Leon dengan raut wajah serius.
"Itu suara Adel. Aku yakin banget," tutur Ellea, tanpa keragu-raguan.
"Aa! Teteh!"
Suara itu masih ada. Mereka bertiga saling tatap satu sama lain.
"Aa! Teteh! Tolong!"
"Adel!" Leon sontak berteriak memanggil adiknya.
"Aa! Teteh! Tolongin Adel!" Bocah itu memekik ketakutan. Berkolaborasi dengan suara tangisan.
๐๐๐๐
"Adel! Astaga!
"Kami akan menolongmu, Dek!"
"Adel, sabar dulu sebentar. Aa akan mengeluarkan Adel dari dalam sana."
Mereka bertiga panik berjamaah.
"Gimana, A?" Ellea bertanya. Ia sangatย mengkhawatirkan si bungsu.
"Langsung aja kita buka, nih pintu," ujar Leon.
Tanpa banyak cincong Leon lekas menggerakkan engsel pintu tersebut.
Ceklek!ย
Ceklek!ย
Ceklek!
Berulangkali Leon menaik turunkan gagang pintu dengan gerakan cepat. Akan tetapi, pintu tidak mau terbuka.
"Pintunya dikunci." Leon menyadarinya.
Mereka bertiga semakin panik tingkat dewa. Di samping itu, Adel masih menjerit dan menangis dari dalam sana.
"Dobrak aja udah," ide Dezan.
"Ngaco lu. Ogah gua ganti rugi buat kerusakannya," tolak Leon, tegas.
"Terus caranya ngeluarin Adel gimana?" tanya Dezan, lagi. Sudah kehabisan ide.
Hening sesaat.
"Oh, ya gua baru inget. Kamar sebelah, kan ada balkonnya juga. Kita bisa lewat sana buat nolong Adel," terang Leon.
"Oke. Kalo gitu ayo," pungkas Dezan, tak mau banyak omong.
Mereka bertiga masuk kembali ke kamar rawat inap B. Lantas menuju balkon. Benar, kamar sebelah ada balkonnya juga.
"Gua yang bakal bawa Adel." Leon berkehendak.
"Iya. Lu, kan kakaknya." Dezan justru tidak masalah.
Dengan penuh kehati-hatian Leon menyeberang ke balkon sebelah. Macam di film-film action.
Untung pintu kaca gesernya tidak di kunci. Sebab, itu akses satu-satunya untuk masuk ke kamar tersebut.
"Hati-hati, A," tutur Ellea, agak takut dengan aksi sang kakak.
Dua puluh menit berlalu. Leon berhasil membawa Adel keluar dari ruangan sebelah. Butuh perjuangan ekstra.
"Alhamdulillah." Ketiganya mengucap syukur.
Meski, sudah berada di tempat yang aman tetapi Adel masih menangis sangat kejer.
"Adel, udah di sini sama aa sama teteh. Tenang, ya." Ellea menggendong sang adik sembari mengelus punggungnya.
Adel tidak mau berhenti menangis. Karena takut mengganggu sang papa akhirnya Ellea memutuskan membawa pulang Adel bersamanya.
"A, kita pulang dulu, ya."
"El, kamu ke sini bawa kendaraan gak?" tanya Leon.
"Nggak, A. Pas ke sini naik mobilnya Om Rully," jawab Ellea.
"Di depan rumah sakit masih ada taksi?" tanya Leon, lagi.
"Masih, kok, A."
"Ya udah kalian naik taksi aja. Jangan ojek. Udah malam soalnya. Udaranya dingin." Leon tampak memedulikan kedua adiknya.
"Iya, A. Ya udah aku pamit, ya. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati."
Ellea beranjak pergi dengan masih menggendong si kecil Adel yang terus-menerus menangis.
Leon dan Dezan bersamaan menjatuhkan diri ke sofa. Sungguh hari yang melelahkan. Saking capeknya, sampai-sampai mereka lupa dengan nasi gorengnya. Yang pastinya sudah dingin.
Setengah jam kemudian kedua pria lajang itu baru mulai memakan nasi gorengnya lagi.
*****
23.30 WIB
Langit malam tampak mendung. Angin berembus semilir menambah dingin udara di malam ini. Dezan dan Leon tengah duduk santai di balkon sambil menikmati kopi seduh hangat dan berbagai macam camilan.
Di sana tersedia satu meja bundar kecil beserta dua kursi. Dezan dan Leon duduk berhadapan.
"Bro, gua masih kepikiran gimana caranya si Adel bisa masuk ke kamar sebelah. Sementara itu pintu dikunci." Dezan mengawali perbincangan. Rona wajahnya terlihat bingung.
"Mungkin sebelumnya pintu itu gak di kunci. Makanya Adel bisa masuk. Namanya anak kecil main masuk gitu aja, kan," jelas Leon, menurut logikanya.
"Tapi, Bro kenapa Adel jerit-jerit sampe segitunya, ya?" tanya Dezan, dengan sejuta rasa penasaran.
"Gelap banget woi di dalem," jawab Leon sedikit heboh.
"Hah! Kok, gelap? Emang tuh kamar gak ada pasiennya? Coba cerita, Bro." Dezan tak kalah heboh.
Mereka berdua masih membahas perihal Adel yang terjebak di kamar rawat inap C.
"Sempat kaget gua begitu nyampe dalem. Gelap banget, Anjir."
"Terus. Terus." Dezan semakin tertarik.
"Ya gua nyalain senter hp lah. Abis itu cari Adel. Dan lu tau gak, ternyata si Adel ada di pojokan. Lagi jongkok ketakutan dia. Langsung aja gua samperin. Terus gua gendong bawa keluar," papar Leon dengan nada serius. Supaya ada efek mencekamnya.
"Di dalam gak ada siapa-siapa berarti?"
"Gak tau gua. Tapi, seinget gua monitor yang ada di samping ranjang nyala."
"Lah, berarti ada pasiennya."
"Gak tau pasti gua. Soalnya gua fokus ke Adel. Boro-boro liat yang lain-lain. Udah kepalang takut gua, Njir."
"Ah, cemen lu."
"Bodo amat lah di bilang cemen."
Emang dasarnya si Leon ini penakut parah. Pas lagi situasi genting saja ia beranikan diri. Kan, ia kakak tertua. Lelaki pula.
Sebisa mungkin Leon menyembunyikan rasa takutnya.
"Hhmm. Agak janggal," ungkap Dezan. Lalu tertegun.
Jeda sesaat.
"Beberapa hari di sini emang lu gak ngerasa aneh sama itu kamar C?" tanya Dezan setelahnya.
"Gak, sih. Biasa aja malah. Yah, walaupun gua ngerasa kamar C selalu sunyi," jawab Leon santai seraya mengunyah dodol.
"Lu gak takut, Bro?" Dezan bertanya dengan sorot agak beda.
"Takut, sih. Tetep positif thinking aja, dah."
"Gua merinding, Bro," ungkap Dezan tanpa ekspresi.
Leon mendadak berhenti mengunyah dan menaruh camilannya lagi di atas meja. "Jangan nakutin gua napa. Kalo bukan gua siapa lagi yang bakal nemenin bokap ke rumah sakit."
"Gua anak lelaki satu-satunya dan di andalkan," sambungnya.
"Aneh aja gitu."
"Udah. Udah. Obrolin hal lain aja. Lagian Adel gak kenapa-napa ini."
"Tapi hal-hal gaib selalu seru dan menarik untuk di bahas."
"Oh gitu, ya. Awas lu, ya gak bakal gua restui seandainya lu kepengen nikahin adek gua si Ellea," ancam Leon. Bukan sekadar semata-mata ancaman.
"Hehe. Jangan gitu atuh. Okelah, kita ngobrol yang lain aja." Dezan nyengir.
Mereka berdua sepakat tidak akan membahas hal itu lagi. Beralih ke topik lainnya. Pasti banyak lah berita-berita yang sedang viral.
Kedua pria itu ngobrolin banyak hal. Pokoknya ngalor ngidul. Apa saja di obrolkan. Sampai tak terasa waktu menunjukkan pukul duabelas teng.
Dezan yang pegal karena kelamaan duduk memutuskan berdiri. Sambil menikmati udara sekaligus pemandangan alakadarnya.
Balkon tersebut menghadap langsung ke area parkir. Kala itu lampu di parkiran tampak temaram.
Beberapa saat kemudian, melaju sebuah mobil Kijang jadul menuju parkiran. Entah mengapa perhatian Dezan langsung tertuju pada Kijang tersebut.
Memang, sih ia memiliki kenangan tersendiri dengan Kijang jadul itu.
Tapi, kali ini benar-benar berbeda. Netranya seperti di suruh untuk terus mengamati mobil Kijang itu.
Tak berapa lama pintu depan dan belakang mobil membuka bersamaan. Keluarlah para penumpang mobil itu. Ada sekitar tujuh orang. Dan mereka orang dewasa semua.
Walaupun minim pencahayaan, namun Dezan masih bisa melihat orang-orang itu. Leon yang asyik dengan ponselnya tidak tahu akan hal tersebut.
Tujuh orang itu pergi meninggalkan parkiran. Mereka menuju gedung rumah sakit.
Dezan merasa aneh kemudian mengutarakan pertanyaan pada Leon. "Bro, emang jam segini masih boleh nerima kunjungan?"
"Gak, deh. Setahu gua batas akhir jam besuk sampe jam delapan malam aja," balas Leon, fokusnya masih ke gawai.
"Tadi gua liat ada mobil bawa rombongan di tempat parkir. Masa, sih mereka mau jenguk?"
"Mungkin pihak rumah sakit lagi berbaik hati ngasih kebebasan buat mereka yang mau menjenguk," kata Leon, sesantai itu.
"Hhmm." Dezan tertegun.
Beberapa menit kemudian, Dezan dan Leon mendengar suara cukup ramai dari kamar sebelah, yakni ruang kamar inap C.
Dezan duduk kembali di kursinya. "Lu dengar, Bro?" tanyanya. Hendak memastikan bahwa bukan dirinya saja yang merasakan.
"Dengar kok dengar," ujar Leon, lantas meletakkan gawainya di meja.
"Apa mungkin mereka rombongan yang gua liat barusan?"
"Iya lah. Siapa lagi? Gak mungkin lah mereka setan."
"Aneh aja gitu masa jenguk tengah malam gini."
"Baru sempatnya sekarang kali." Leon berusaha positif thinking.
"Berarti kamar sebelah gak kosong, dong."
"Ho oh."
"Tapi, tapiโฆ"
"Stop! Over thinking lu coba di turunin dikit-dikit."
"Sorry. Sorry."
Keduanya saling diam-diaman beberapa detik.
Dan di detik berikutnya seorang pria tua menyapa ramah Dezan dan Leon.
"Hello."
Dezan dan Leon sontak menoleh ke asal suara. Rupanya si bapak dari kamar rawat inap C. Beliau sedang berdiri sendirian di balkon.
"Hello juga, Pak," balas Dezan dan Leon di sertai anggukan kecil dan senyuman.
Pria tua itu hanya menyapa singkat lalu kembali masuk ke kamar. Suara ramai masih terdengar jelas di telinga Dezan dan Leon.
"Itu orang bukan hantu," bisik Leon dengan nada penegasan.
"Iya. Tau," jawab Dezan agak dongkol.
"Gak usah mikir aneh-aneh lagi. Malam ini ramai. Jadi enak banyak temennya."
*****
Pada pukul dua dini hari, suara orang bercanda dan berbincang ria dari kamar rawat inap C sudah tidak terdengar lagi.ย
Hening.
Dezan dan Leon berpikir kalau orang-orang itu pasti sudah pada istirahat.
"Tidur, Yuk. Ngantuk gua," ajak Leon di sela-sela menguap.
"Yuk lah." Dezan mengiyakan ajakan sang teman. Berhubung sudah berjam-jam berada di luar. Tak baik juga bagi kesehatan.
Kedua pria itu masuk ke kamar.
Dezan dan Leon membaringkan tubuh di tempat seadanya. Tanpa bantal. Hanya ada selimut.
Baru akan memejamkan mata, mereka berdua mendengar suara dengkuran keras seseorang. Sangat keras dan nyaring.
"Tuh, orang capek banget pasti," ucap Leon sembari tertawa kecil.
"Mau saingan sama kebo keknya," celetuk Dezan, turut tertawa.
"Emang kebo bisa ngorok?" Pertanyaan gokil Leon.
"Bisa." Dezan asal jawab.
Selama suara dengkuran itu masih ada Dezan dan Leon malah menertawakannya. Bagi mereka itu sangatlah lucu.
Limabelas menit berlalu. Suara dengkuran super keras itu menghilang. Akhirnya Dezan dan Leon dapat tidur dengan tenang.
*****
Esok harinya. Agak siang dokter dan seorang perawat wanita memasuki ruang kamar rawat inap B.
Dokter mengecek keadaan Pak Nazmi secara teliti dan menyeluruh.
"Semuanya bagus. Hari ini bapak sudah boleh pulang," ucap sang dokter di iringi senyum.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Dok." Pak Nazmi menunjukkan rona wajah berseri-seri.
"Langsung saja ke bagian administrasi, ya, Mas," kata si perawat wanita.
"Kalau begitu kami permisi," tutur sang dokter.
Sang dokter dan asistennya melangkah keluar ruangan. Langkah keduanya sedikit terburu-buru. Maklumlah, dokter, kan super sibuk. Pasiennya banyak.
"Pa, aku ke bagian administrasi dulu, ya."
"Iya, Nak."
"Zan, lu mau ikut gua gak?"
"Ikut, dong."
"Hayuk."
Mereka berdua bergegas menuju lantai dasar.
Setibanya di bagian administrasi, salah seorang staf bernama Ghani mengarahkan Leon.
"Silakan tanda tangan di sini dan di sini, ya," ucap Ghani.
"Oke."
Selagi Leon menandatangani beberapa lembar berkas dan mengurus segala hal lainnya, netra Dezan melihat-lihat sekitar.
Lalu pandangan Dezan terhenti pada sebuah white board berukuran kecil.
Papan tulis itu menggantung di tembok sebelah kiri dekat bagian administrasi. Dengan sangat fokus Dezan memerhatikannya.
Di white board itu ada semacam tabel kotak-kotak. Di situ tertulis, 'Lantai Enam.'
Kamar A beserta nama pasiennya. Kamar B tentu saja nama pasiennya Pak Nazmi.
Selanjutnya, Kamar C. Terdapat tanda silang besar. Tidak ada nama pasiennya. Kamar D terdapat nama pasien.
Jadi, hanya C saja yang di silang. Melihat hal demikian Dezan langsung melongo kaget.
Refleks Dezan bertanya pada Ghani. "Maaf, A itu kamar C kenapa di silang, ya?"
Mas Ghani menjawab santai. "Kamar C lagi di renovasi. Sudah beberapa hari tidak di pakai."
Leon yang mendengar jawaban itu refleks berkata, "Loh, tapi tadi malam banyak orang, kok. Ramai. Berarti, kan ada yang ngisi."
Ghani mengerutkan dahi. "Gak mungkin. Itu ruangan lagi di renovasi."
Leon dan Dezan terdiam satu sama lain. Larut dengan pikiran masing-masing.
Siapa rombongan tadi malam?
Siapa yang berbincang-bincang di kamar rawat inap C?
Siapa yang mendengkur keras tadi malam?
Siapa sosok bapak yang say hello pada mereka berdua?
Banyak sekali bermunculan pertanyaan-pertanyaan di benak masing-masing.
Setelah semua urusan selesai, Dezan dan Leon kembali lagi ke kamar rawat inap B. Dengan terburu-buru Leon mengemasi pakaian beserta perlengkapan lainnya milik sang papa.
Tanpa berkata-kata mereka bertiga bersegera pulang dengan menaiki mobil milik Leon.
Sepanjang perjalanan Leon dan Dezan masih kepikiran kejadian tadi malam. Dan juga pernyataan Ghani mengenai kamar rawat inap C yang sedang tahap renovasi.
*****
Tibalah mereka di rumah. Kedatangan Pak Nazmi di sambut penuh kegembiraan oleh Ellea dan Adel.
Karena masih tahap pemulihan Pak Nazmi di sarankan oleh dokter untuk istirahat. Jangan banyak aktifitas dulu.
Pak Nazmi masuk ke kamarnya di lantai dua. Adel lanjut main rumah-rumahan di kamarnya.
Dezan, Leon dan Ellea duduk bersama di sofa ruang tamu.
"Ada apa, A?" tanya Ellea merasa heran.
Leon menatap Dezan sekian detik. Lalu mulai menceritakan kejadian ganjil yang mereka alami semalam.
Ellea menyimak dengan sungguh-sungguh cerita sang kakak dari awal sampai akhir.
"Hah! Ya ampun. Untung aku lagi gak di sana." Ellea tercekat. Dan merasa beruntung juga tidak sampai mengalaminya.
"El, Adel cerita-cerita apa gak ke kamu?" Leon menyodorkan pertanyaan kepada sang adik.
"Iya. Tadi pagi pas sarapan dia mau ceritakan kejadian menyeramkan yang menimpanya kemarin." Ellea berujar.
"Coba ceritain ke kita berdua. Kita mau tahu," pinta Leon, penasaran tingkat alam semesta.
"Kata Adel sewaktu dia keluar lift terus lari, dia sebenarnya udah yakin banget kalau kamar yang mau dia tuju itu kamar papanya. Eh, begitu udah di dalam, Adel merasa aneh. Dia diam sebentar mengamati sekitar. Kok, sepi. Lampu kamar juga gak terang," cerita Ellea.
"Terus?" tagih Leon. Tak sabar dengan kelanjutan cerita sang adik.
"Tiba-tiba ada seorang nenek muncul tepat di sebelah ranjang pasien. Adel pun gak tahu dari mana kemunculan nenek tersebutโฆ"
"Jadi nongol gitu aja, El?" sela Dezan.
"Hu um." Ellea mengangguk mantap.
"Next," kata Leon.
"Nenek itu seluruh rambutnya putih. Kata Adel nenek itu pakai kain jarik sama kebaya. Terus si nenek manggil-manggil Adel. Gini katanya, "Sini, Nak. Main sama cucu nenek." Gitu, A." Ellea melanjutkan cerita.
"Namanya bocah polos, ya. Nurut-nurut aja gitu. Akhirnya Adel berjalan pelan mendekat ke arah ranjang pasien. Begitu sampai ternyata gak ada cucu yang di maksud si nenek. Dan nenek itu seketika menghilang," sambungnya.
Ellea istirahat sejenak. Ia meneguk minuman dingin yang di suguhkan oleh si bibi, asisten rumah tangga.
"Adel ketakutan. Di tambah lampu kamar yang tiba-tiba mati. Dia mau keluar tapi gak bisa. Pintu mendadak terkunci. Akhirnya Adel teriak-teriak minta tolong," sambungnya, lagi.
Ellea telah menuntaskan ceritanya.
"Wah, parah, sih. Berarti rombongan semalam itu bukan manusia." Leon berspekulasi demikian.
"Tuh, kan gua bilang juga apa." Dezan bersuara.
Mereka sama-sama heboh.
"Untung hari ini papa udah di bolehin pulang. Gak kebayang, deh kalau nginep semalam lagi. Mana sebelahan persis sama ruangan horor itu." Leon merasa lega.
"Rumah sakit emang gitu, A. Gak bisa lepas dari hal-hal gaib," terang Ellea, singkat.
"Pengalaman pertama gua di rumah sakit. Di tampakin jin berwujud manusia. Asli dah bikin merinding," ucap Dezan. Peristiwa horor itu selamanya akan membekas dalam ingatannya.
Suasana ruang tamu mendadak berubah. Hawanya pun menjadi agak pengap. Ketiga orang itu merinding berjamaah.
"Udah, ah gak usah di bahas lagi," kata Ellea sambil mengusap tengkuknya.
"Oke. Kisah ini cukup menjadi rahasia kita bertiga aja," timpal Leon dengan suara di pelankan.
Dezan dan Ellea mengangguk tanda setuju.
Pembahasan selesai sampai di situ. Dezan pamit untuk pulang. Emaknya nanyain terus kapan dia pulang ke rumah.
'Manusia memang mengenal jam besuk. Tapi, tidak dengan 'mereka.'
๐๐๐๐
TAMAT