Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Besan Toxic
0
Suka
50
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

 

Buring duduk di kursi kayu tua di sudut ruang tamu, memandangi dapur kecil yang menjadi saksi bisu atas segala kekesalannya. Matanya menatap tajam ke arah rak bumbu yang sudah hampir kosong.

"Dua liter minyak goreng habis dalam dua hari... satu kilo Masako hanya bertahan seminggu... garam satu pack habis dalam sebulan... ini gila!" gumamnya dalam hati.

Buring menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Ini bukan pertama kalinya dia melihat kebiasaan boros di rumah ini. Dua bulan yang lalu, dia sudah mencoba menasihati menantunya, Rini, agar tidak terlalu banyak menggunakan minyak dan garam dalam masakan, apalagi Rini sedang hamil.

Namun, ucapannya seolah tak pernah didengar. Justru sejak itu, situasinya semakin buruk. Buring tahu, dia tidak bisa menegur lebih jauh karena takut pihak besan tersinggung.

Besannya, Pak Mardi dan istrinya bu Mardi, adalah sama-sama pemarah orangnya dan tidak suka dikritik. Jika ada sedikit saja perkataan yang dianggapnya merendahkan, bisa jadi pertengkaran besar tak terhindarkan.

Pak Buring memang maklum, karena di lihat dari jenjang pendidikan juga jauh, pak Buring dan istrinya sama-sama tamatan S3 dan S2, sedangkan besannya hanya tamatan SMP dan SD.

Meskipun pendidikan ini bukan jaminan, ada juga orang bersekolah tinggi cenderung bodoh dan justru yang bersekolah rendah yang penuh pengertian. Tetapi besannya ini memang cenderung segala sesuatunya di selesaikan dengan otot.

Istrinya, Sarti, keluar dari kamar dan mendekatinya dengan wajah yang terlihat gusar.

Keduanya tidur di tingkat dua yang sewaktu siang sangat panas, karena menantu mereka dan anak mereka tidak mau tidur di atas. Meskipun istri Buring kepayahan naik turun taangga karenaa usianya yang mulai uzur, tetapi terpaksa keduanyalah yang mengalah.

"Kowe mikir apa, Pak?" tanyanya pelan sambil duduk di sampingnya.

Buring menoleh ke arah istrinya dan menggeleng lemah. "Aku bingung, Bu. Aku ingin menegur, tapi takut salah. Mereka itu kalau dibilangi malah tersinggung, ujung-ujungnya marah."

Sarti mengangguk pelan. "Aku juga ngerasa begitu. Bayangno, dulu kita dua liter minyak goreng cukup untuk enam bulan, sekarang cuma dua hari. Cucian juga asal jadi, piring masih berminyak, lantai basah terus. Aku sudah tak tahan."

Belum sempat Buring menjawab, terdengar suara Rini dari dapur. "Ibu, minyak goreng habis lagi. Bisa beli sekarang nggak?" panggilnya dengan nada santai.

Buring mengepalkan tangannya, mencoba menahan kekesalan yang hampir meluap. Sarti hanya meliriknya sekilas, lalu berdiri dan berjalan ke dapur.

“Sabar Pak,” bisiknya sambil turun ke bawah menuju dapur.

"Sudah habis kah Nak? Rasanya kan baru beli dua hari yang lalu?" tanya Sarti, berusaha tetap tenang.

Rini hanya tersenyum kecil. "Ya habis, Bu. Masak buat suami dan anak-anak kan harus enak. Makanya banyak minyak biar gurih."

Buring tak bisa lagi menahan diri. Dia turun dan menuju dapur, berjalan kerah dapur dan menyeletuk, "Rini, kamu tahu nggak? Banyak minyak itu memang rasanya enak. Tetapi kamu tahu nggak, pakai banyak minyak terlalu banyak juga nggak sehat, apalagi kamu sedang hamil."

Sebenarnya pak Buring baukan hanya kesal terlalu boros mi nyak, tetapi semua barng sekarang harganya naik, jadi menurutnya tidak perlulah boros-boros.

Rini menghela napas dan menaruh panci yang dipegangnya. "Bapak ini kenapa sih? Dikit-dikit minyak. Nggak apa-apa, Pak, suami saya suka kalau masakannya kaya rasa. Yang penting kan enak di makan."

Jawaban itu bagaikan cambuk bagi Buring. Dia menatap menantunya dengan tajam, tetapi memilih diam. Tidak ada gunanya berdebat, terutama jika pihak besannya sempat mengetahui bahwa dia sudah menegur Rini lagi.

Sarti yang menyadari ketegangan itu segera menengahi.

"Sudahlah, Pak. Biar saja, nanti kita beli lagi," katanya lembut, mencoba menenangkan suaminya.

Buring menahan kemarahannya, dengan pelan naik ke atas dan kembali ke kursinya. Di dalam hatinya, dia merasa marah, kecewa, dan lelah. Dia dan istrinya hanya bisa mengamati segala yang terjadi tanpa bisa berbuat banyak.

Beberapa hari berlalu, tetapi kemarahan Buring belum mereda. Kebiasaan buruk di rumah itu semakin menjadi-jadi. Rini tetap memasak dengan boros, sementara anak-anak besannya mencuci piring dan pakaian dengan asal-asalan.

Lantai dapur selalu licin dan basah, cucian masih berbau sabun, dan peralatan dapur tetap berminyak. Buring hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala setiap kali melihatnya.

Suatu malam, ketika keluarga sudah berkumpul untuk makan malam, Buring mencoba mengangkat topik ini dengan lebih halus. Dia menunggu saat yang tepat, lalu berbicara dengan nada yang lebih lembut.

"Rini, mungkin lain kali kalau mencuci piring, coba dibilas lagi ya. Soalnya masih ada sisa sabunnya tadi siang. Takutnya nanti ada yang sakit perut."

Rini menatap Buring dengan ekspresi tak suka. "Bapak maksudnya apa? Saya sudah nyuci kok dibilang masih ada sabunnya?"

"Bukan begitu, Rini. Aku cuma bilang mungkin bisa lebih diperhatikan lagi," jawab Buring hati-hati.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari ujung meja. Pak Mardi, besannya, menaruh sendok dengan kasar.

"Buring, maksudmu anakku nggak bisa cuci piring? Kamu pikir di rumah sendiri lebih bersih atau di rumah kami lebih kotor, begitu?" tanyanya dengan suara meninggi.

Sarti langsung merasa tegang. "Bukan begitu, Pak Mardi. Bapak nggak usah tersinggung, suami saya cuma ingin semuanya lebih baik. Mungkin cara penyampaiannya saja yang kurang tepat."

Pak Mardi mendengus kasar. "Meskipun kami orang udik, kami juga tahu akan kebersihan dan kesehatanan. Kami sudah hidup seperti ini dari dulu. Nggak perlu diajari, apalagi dikritik di meja makan begini! Kalau nggak suka, ya bilang, jangan ngomong berputar-putar!"

Buring terdiam. Dia tahu, ini yang paling dia takutkan. Perkataannya, meskipun pelan dan penuh hati-hati, tetap saja menyulut emosi besannya. Akhirnya, dengan berat hati, dia hanya bisa mengangguk dan memilih diam. Tidak ada gunanya berdebat lebih jauh.

Makan malam itu jadi tidak enak, masing-masing melanjutkannya dalam diam. Entah mereka makan serius atau merasa kesal. Hanya rumput yang bergoyang yang tahu.

Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Buring kembali ke tinkat atas, duduk di beranda luar rumahnya dengan hati yang berat. Sarti mengikutinya dan duduk di sampingnya.

"Pak, mungkin kita memang nggak bisa ngubah mereka. Kita sudah tua, sudah capek. Kalau mereka nggak mau dengar, ya sudah," bisik Sarti.

Buring menghela napas panjang. "Aku tahu, Bu. Tapi aku cuma ingin yang terbaik untuk mereka. Aku ingin mereka hidup lebih baik, lebih sehat, lebih hemat. Apa lagi aku lihat besanku itu kurang sehat, selalu mudah marah, selalu pusing dan asam urat, padahal masih muda."

"Memang dibandingkan usia kita, sangat jauh jaraknya. Tapi, pak, kadang orang yang memang nggak mau berubah sampai mereka sendiri yang sadar," kata Sarti lembut.

Buring terdiam, lalu mengangguk pelan. Mungkin istrinya benar. Mungkin memang lebih baik dia tidak lagi berusaha mengubah sesuatu yang tidak bisa diubah. Kadang, memilih diam lebih bijak daripada menyalakan api dalam rumah sendiri.

Namun, jauh di lubuk hatinya, dia tetap berharap suatu hari nanti, mereka akan menyadari kesalahan mereka sendiri, sebelum semuanya terlambat.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Besan Toxic
Yovinus
Cerpen
Astrophile
Fianaaa
Cerpen
Bronze
Kumpulan cerita inspiratif
Banana with Cucumber
Cerpen
Bronze
Jam Malam di Warung Kopi
Muram Batu
Cerpen
Racau
Rafael Yanuar
Cerpen
Penyebab
Fata Raya
Cerpen
Mie di Kala Hujan
zain zuha
Cerpen
Bronze
OH MY BOSS
ELI WAHYUNI
Cerpen
KABULKU
Racelis Iskandar
Cerpen
JANGKA JAZ
Kiki Isbianto
Cerpen
Bronze
Mimpi yang Dikubur Hidup-Hidup
Muhaimin El Lawi
Cerpen
Bronze
Sakit Kiriman
Intan Andaru
Cerpen
Obrolan Burung
zain zuha
Cerpen
Jawaban Tuhan
spacekantor
Cerpen
Bronze
Salah Jalan
Fitri Yeni Musollini
Rekomendasi
Cerpen
Besan Toxic
Yovinus
Cerpen
Pilkada Tanpa Pilihan
Yovinus
Cerpen
Ironi Kehidupan Ras Terkuat Di Muka Bumi
Yovinus
Flash
Melahirkan Di Motor Bandung
Yovinus
Cerpen
Pak Khairul Yang Kharismatik dan Para Ayamnya Yang Usil
Yovinus
Cerpen
Mulut Mu Adalah Harimau Mu
Yovinus
Novel
Orang Orang Di Atas Angin
Yovinus
Novel
Integritas Penyelenggara Pemilu
Yovinus
Cerpen
Tutik Sang Maha Benar
Yovinus
Flash
Tukang Emas Jadi Developer
Yovinus
Cerpen
Di Balik Sungai yang Berubah
Yovinus
Cerpen
Asmara Terlarang Bu Guru
Yovinus
Cerpen
Klitsco vs Ras Terkuat
Yovinus
Cerpen
Kokoliko, Indonesia-Australia: Demi Hidup Yang Lebih Baik
Yovinus
Cerpen
Akhirnya Terjawab Sudah
Yovinus