Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Beruntungnya Menjadi Orang Gendut
1
Suka
195
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tahulah Rizal sekarang betapa perutnya yang membuncit, pipinya yang menebal, lehernya yang bergelambir, dan tubuhnya yang melebar memberikan sebuah rahmat tak terduga di kemudian hari. Ditambah pula ia tak punya waktu cukup lagi untuk rajin mencukur kumis dan jenggotnya. Dan kini ia mesti memakai kacamata karena pandemi kemarin mengharuskannya kuliah di rumah, di depan laptop hampir seharian, yang itu pada akhirnya membuat matanya kabur untuk melihat objek-objek yang jauh.

Di kedai bakso itu, di meja sebelah, ada seorang teman lama yang sedari tadi bola matanya sesekali sudah mengarah pada Rizal tapi tak juga mengenalinya. Tetapi Rizal tahu ia harus segera menjauh dari situ karena tubuhnya yang gempal beserta tetek-bengek yang kuceritakan tadi, biasanya hanya sanggup menyamarkannya dalam kondisi seperti itu dalam waktu empat menit dua puluh satu detik belaka. Segera ia meninggalkan es teh manis yang masih tersisa separuh (untungnya semangkuk bakso itu sudah tandas), membayarnya, lantas pergi. 

Kini waktunya Rizal akan ke toko buku membeli sebuah novel yang ditulis oleh seorang pengarang dengan gelar juara sebuah sayembara, meski bukunya tak begitu populer alias hanya sedikit yang berminat membeli dan membacanya. Buku itu, setelah beberapa tahun akhirnya dicetak ulang juga. Dan kini ia bisa membeli edisi yang baru setelah sebelumnya buku miliknya dengan judul yang sama dipinjam seseorang (kamu tahu bagaimana akhir riwayat si buku).

Kalau pergi ke toko buku atau ke perpustakaan, Rizal tak perlu khawatir akan bertemu dengan teman-temannya yang dungu seperti Aldo (seseorang di warung bakso tadi). Sebab, orang-orang yang hobinya membicarakan keburukan orang lain tak mungkin betah dengan buku. Tuhan barangkali menciptakan semacam oposisi biner bahwa tak mungkin dalam jiwa seseorang terdapat dua tabiat sekaligus yaitu suka menggunjing dan suka membaca. 

Pada mulanya Rizal betah saja duduk-duduk dengan manusia-manusia semacam Aldo. Namun, sejalan dengan perubahan pada tubuhnya, berubah pula pola pikirnya soal pertemanan dan tutur kata (tentu saja ini bukan hubungan sebab-akibat). Mengapa manusia senang mengisi kepalanya dengan perihal orang lain sementara energi dan waktu yang sedikit saja itu tak pernah cukup untuk menyelesaikan perkara diri sendiri? Ia sampai pada kesimpulan bahwa orang yang gemar bergibah adalah orang yang sebenarnya tidak suka dengan dirinya sendiri. Ia butuh menceritakan keburukan orang lain demi merasa lebih percaya terhadap diri sendiri. Dan, agar orang-orang yang mendengar ocehannya tak sempat melihat coreng di jidatnya.  

Begini ceritanya. Mereka bertiga berteman akrab di SMA Meski mereka selalu bertiga kemana-mana, duduk di meja makan yang sama di kantin, antara satu sama lain tetap memiliki hubungan yang khusus. Misalnya, Rizal dan Aldo senang membicarakan sepak bola khususnya tentang sebuah klub paling hebat di belahan Eropa, Chelsea FC dari Inggris. Saat itu, maka mereka tak merasa perlu mengajak Yanto. Yanto pun segera mafhum jika sewaktu-waktu mendapati Rizal dan Aldo membicarakan klub yang markasnya di kota London bagian barat itu tanpa mengundang dirinya. Ia lalu hanya meneruskan membaca kumpulan puisi Umbu Landu Paranggi. 

Nah, lain pula antara Rizal dan si Yanto, menyenangi obrolan soal sastra baik tentang cerpen, novel, maupun puisi. Tak perlu pula mereka merasa perlu mengundang Aldo yang membaca setengah halaman saja sudah ingin muntah (kecuali buku yang ada gambarnya, ia bisa membaca satu setengah halaman). 

Yanto dan Aldo terlibat pula pada percakapan yang Rizal tak pernah tertarik ikut nimbrung, yaitu diskusi soal bagaimana melakukan budidaya ikan haruan. 

Pada mulanya, ini tiada lain hanya soal kecocokan tema perbincangan. Namun, pertemuan-pertemuan khusus antara dua orang-dua orang tadi, yang tak melibatkan satu orang lainnya, menjadi ajang unjuk bakat Aldo dalam menggibah. Pergunjingan memang selalu mensyaratkan ketiadaan orang yang digunjing. Mental orang yang menggunjing berbeda dengan mental para pengejek yang bisa melakukannya di hadapan yang diejek (sedikit lebih mending).

Di hadapan Rizal, Aldo menceritakan betapa muka Yanto yang menurutnya sungguh mirip pantat. “Aku tak bisa mendeskripsikannya, tapi nuansanya seperti itu, Kawan. Pantat sekali wajah teman kita itu. Hahaha.” Berulang-ulang ia sampaikan itu pada Rizal, seolah-olah “fakta penting” yang semakin berkali-kali disampaikan, semakin benar. 

Suatu kali ia juga membeberkan rahasia yang seharusnya disimpan sampai mati yaitu perihal bagaimana Yanto lahir di dunia dari kedua orang tuanya. Usahlah kudetailkan ini padamu, kamu sendiri mungkin paham. Rizal sudah merasa aneh kepada Aldo ketika berita itu ia sampaikan, seperti menyampaikan berita warung nasi goreng tutup. Santai saja. Tanpa beban. Meluncur cepat dari mulutnya, bagai bocah berusia lima tahun yang main perosotan dengan kecuraman lumayan.  

Rizal diam saja tak pernah menceritakan kelakuan Aldo kepada Yanto, pun ia juga tetap berteman dengan Aldo walau Aldo sudah melakukan hal yang sangat dilarang dalam relasi pertemanan (membeberkan aib yang-seharusnya-disimpan-sampai-mati itu). 

Sampai suatu ketika Yanto keceplosan bilang kepada Rizal, “Benar kata kau, guru baru itu cantik sekali. Pantas kau naksir, memberinya hadiah coklat setiap minggu.” Bajingan, batin Rizal. Ia hanya pernah menceritakan itu pada Aldo dan kini entah siapa pula yang mengetahuinya. Ia mulai menyadari bahwa ada suatu tindakan terkait perangai Aldo yang harus diberi tindakan tapi belum juga ia realisasikan. 

Aib memalukan yang diceritakan Aldo itu tetap Rizal tutup rapat-rapat. Yanto dan Aldo tetap berteman akrab, padahal perlu sekitar sepuluh kata saja yang ia sampaikan pada Yanto, bisa meluluh lantakkan pertemanan rekat itu bahkan bisa berujung ke baku hantam sampai sekarat.

Maka, demi menghindari potensi terjadinya perang, Rizal rela tetap berteman dengan Aldo seolah-olah tidak pernah ada masalah krusial, seorang iblis di antara mereka. Bahkan ketika Yanto memberikan smartphone bekasnya pada Aldo yang jika dijual harganya masih di atas 1,5 juta, Rizal tetap diam, membiarkan Yanto mendapatkan pahala atas keikhlasannya.  

Setelah lulus dari SMA, mereka tak lagi sesering dulu bertemu. Rizal dan Aldo berkuliah di kampus yang sama meski beda fakultas, sementara Yanto merantau ke Surabaya untuk kuliah sastra (maka Yanto otomatis hanya bisa bertemu dua teman akrabnya dua kali dalam setahun, saat liburan semester). 

Lepaslah kini hantu beban yang selama ini bergelayut di bahu Rizal, sebuah upaya untuk tidak membongkar kejahatan Aldo manakala mereka bertiga bertemu, saat-saat Aldo begitu lincahnya berperan sebagai teman yang baik, padahal ia musuh dalam sarung (Aldo tak punya selimut). 

***

Jauh setelah itu, ketika Rizal sedang menyimak kuliah yang membosankan tentang metodologi penelitian di semester dua, menggulir-gulir layar ponsel, membuka-buka pesan di WhatsApp yang belum terbaca, muncullah kabar tentang lelaki ceriwis itu terpilih sebagai ketua alumni angkatan.

Aldo, yang hobinya nongkrong, dalam beberapa hari kemudian muncul dengan program kerja yang menurutnya terobosan penting yaitu kumpul-kumpul dua minggu sekali. Ujarnya, ini demi mempererat silaturahmi. Jangan sombong kalau nanti sudah jadi orang, begitu katanya. Dan bahwa dalam kumpul-kumpul ini kita saling bertukar masalah, saling mencari solusi. Nanti, menurutnya, kalau kami sudah semakin dewasa, pertemuan ini bisa menjadi jejaring kuat untuk menempuh karir bla bla bla dan bla.

Rizal hadir di pertemuan ketiga program itu, tak ada visi-misi yang seperti diutarakan di grup WhatsApp, yang ada adalah obrolan ngalor-ngidul tak berdestinasi. Rizal turut serta menyumbangkan topik pembicaraan yaitu tentang apakah mungkin Dajjal turun di Kalimantan Selatan. Ia tanpa beban hadir di kegiatan itu karena Yanto tak mungkin datang jauh-jauh dari Surabaya (dan bertemu Aldo).

Pada pertemuan keempat ia hadir lagi. Sampai pada pertemuan kelima, terjadilah momentum, manakala Aldo menguasai topik pembicaraan di malam itu. Aldo mempresentasikan tentang tujuh orang teman angkatan yang jarang hadir di pertemuan, beserta masing-masing dosa mereka, termasuk Yanto yang memang tak pernah bisa ikut.

“Presentasi aib teman angkatan” itu ia sampaikan dengan cara yang seolah-olah bukanlah masalah, macam hanya sekedar menjadi bahan lucu-lucuan. Sesekali ia bumbui pula cerita-cerita itu dengan hikmah yang bisa diambil pelajaran daripadanya. Yang lain manggut-manggut mendengar celotehan si ketua angkatan ceriwis. 

Sementara, Rizal terdiam membisu. Kepalanya pusing. Ia merasakan sensasi yang berbeda. Seolah-olah ada tujuh peluru bergerak dengan kecepatan dahsyat mengelilingi kepalanya, berdesing nyaring. Seakan-akan pula tujuh peluru itu segera akan menembus dahinya. Ia tidak mengerti apa yang ia sedang alami dan lantas jatuh pingsan.

***

Rizal berusaha memberi arti apa yang kemarin malam ia alami, di mana saat itu jiwanya berada di antara perasaan sadar dan tak sadar, seperti mimpi tapi bukan mimpi. Kepalanya masih terasa berat. 

Hari demi hari berlalu, ia menjumpai lagi kondisi itu waktu siaran televisi di kamarnya menyiarkan berita gosip Setajam Gunting. Dua peluru mulai berputar di kepalanya, belum kencang, dan ia sudah peka akan kedatangan mereka. Segera ia matikan televisi, sesegera itu pula peluru itu lenyap. 

Pahamlah ia sekarang apa makna dua peluru itu. Di teve tadi, Setajam Gunting sedang mewartakan kabar tentang dua orang artis yang hendak berpisah. Waktu itu, manakala tujuh peluru membuatnya pingsan di acara kumpul-kumpul alumni, juga ada perihal tujuh orang yang sedang ia dengar. Dua-dua. Tujuh-tujuh. 

Maka, keesokan harinya ia mencoba lagi menonton siaran Setajam Gunting. Berita tentang artis yang ternyata pernah terjerat obat-obatan terlarang di masa lalunya. Satu peluru mulai muncul di udara, entah dari mana. Siap menyerang. Ia matikan televisi serta-merta.

Di bus kota, ia mendengar lagi bunyi peluru itu mulai berisik, dan kepalanya pun mulai pusing. Sebelum rebah, lekas ia keluar di halte terdekat meninggalkan dua orang yang sedang bergosip tentang temannya yang membeli iPhone menggunakan jasa pembayaran paylater.

Bagaimanalah aku bisa hidup normal, pikir Rizal, jika begini terus sementara peluru itu bisa muncul di mana saja tak mengenal tempat dan waktu. Maka, ia mulai mencoba membiasakan diri mendengar gemuruh bunyinya yang berputar-putar, dengan cara cuek dengan apapun pembicaraan yang ia dengar. Telinganya tetap bisa mendengar, tapi ia memilih untuk tak menyimaknya (seperti berpura-pura mendengar penjelasan dosen, padahal pikiran mengembara).

Dua minggu ia berlatih, dan peluru itu sudah tak muncul lagi. Kadang-kadang muncul juga, tetapi peluru itu lekas menciut lalu lenyap. Meskipun ia sudah bisa menguasai diri, ia tetap bisa merasakan sensasi pusing jika terlampau lama mendengar orang membicarakan orang lain.

Maka, ia bertekad sebisa mungkin tak hadir lagi di acara atau kondisi apapun yang memungkinkan “penyakit pelurunya” kambuh, kecuali jika terpaksa. Dan kalau terpaksa, ia sudah tahu cara mengatasinya, walaupun tak sempurna. 

***

Mungkin kamu sudah bisa menebaknya, enam tahun belakangan, Rizal tak pernah hadir lagi di acara alumni. Ia memilih untuk menyelamatkan diri. Pun, sedikit demi sedikit, ia sudah bisa menyusun hikmah mengapa ia harus menghindarkan diri dari obrolan tentang orang lain.

Maka inilah yang membuatnya bersyukur menjadi orang gendut. Ia tak langsung dikenali oleh teman-temannya selagi SMA, ketika bertemu di bioskop, di kedai bakso, di masjid, di antrean BPJS, atau di halte bus. Sekalipun berat badan berlebih ini membuatnya menjadi gampang sakit, sering ngos-ngosan, dan tidak selincah dulu. Oleh penyuluh kesehatan puskesmas setempat, ia diminta mengurangi bobot. Oleh sepupu-sepupunya, perutnya ditepuk-tepuk dan ditanyai sudah hamil berapa bulan.

Ah biarlah, pikirnya. Tersebab gendut ini, ia bisa menghindarkan diri dari desing peluru.

Ia sudah sampai di tujuannya, sebuah toko buku yang tak besar, tapi estetik. Ia menyeret kakinya ke rak yang menghimpun novel dan beragam karya fiksi. Lalu mencari karya Paseo Pusia, pemenang sayembara novel sebuah dewan kesenian. 

“Nah, ketemu!” serunya pelan. Ia sentuh buku berjudul Bertemu Pujangga di Toilet Bandara itu. “Desain sampul yang baru ini bukan kaleng-kaleng, makin senada dengan isinya,” Rizal menggumam sendiri.

“Tidak relevan lagi sekarang menyebut ‘bukan kaleng-kaleng’, mestinya ‘bukan saset-saset’ karena plastiklah yang lebih menjadi ancaman bagi lingkungan.” Suara perempuan lirih menjawab.

Ia segera memalingkan tubuhnya sebagian, melihat dari mana suara renyah itu berasal. Paseo Pusia! Eiiit, bukan. Terlalu anu kalau plotnya begitu. Suara itu berasal dari seorang remaja yang berseragam SMA bersama bersama seorang temannya. 

“Kakak, ke sini untuk membeli karya Paseo Pusia juga?”

“Eh, iya.”

“Kukira tidak ada orang lain yang suka.”

“Aku sudah mengikuti Paseo Pusia sejak cerpennya muncul di koran Mata Angin, awal tahun 2000.”

“Oh. Saya belum lahir. Kamu penggemar beratnya?”

“Enggak juga. Aku lebih suka tulisan Jollyiansyah yang menulis cerpen di Mata Angin jauh sebelum itu.”

“Kenapa membelinya?”

“Karena aku suka membaca. Kamu bolos sekolah?”

“Ah, tidak. Aku sudah lulus. Tinggal wisuda. Tadi gladi.”

“Oh, iya. Lanjut kuliah?”

“Iya.”

“Di mana?”

“Sastra Indonesia. Di Unesur. Sudah diterima. Ingin juga seperti Paseo Pusia meski ia sebenarnya lulusan Ilmu Kedokteran.”

“Lah? Ada teman saya yang ngajar di sana. Orang Banjar juga. Namanya Yanto.”

“Hah. Benarkah ada orang kita yang mengajar di sana?”

***

Dua pengantin baru itu sedang menata kontrakan baru, lima tahun setelah pertemuan di toko buku.

“Kliping cerpenmu di koran mau diletakkan di mana?” seru Rizal dari kamar.

“Biarkan saja di kotak itu, Kak.”

Rizal membuka kotak kardus lainnya, dan ia dapati foto-foto yang dibingkai. Tadi pagi, mereka mengangkut kotak-kotak ini dari rumah orang tua Lisa. Ada foto Lisa sewaktu kuliah, sewaktu SMA, dan… SMP? Deretan orang-orang berseragam SMP berfoto di depan kelas. Rizal mencari-cari Lisa di foto tersebut, tapi tak ketemu. 

“Oh… itu? Sebaiknya kita letakkan di atas meja ini saja sebagian, ya? Yang kecil-kecil.” Lisa mendekat ke Rizal, meraba lengannya. “Kamu lagi lihat foto yang mana? Serius amat.”

“Ini, kok kamu tidak ada?”

“Hahahaha, ada kok. Ini!” Ia menunjuk seseorang yang duduk di kursi paling kiri, perempuan dengan badan yang besar. “Gimana? Kaget? Haha. Di zaman itu, aku jadi incaran bullying. Lulus dari sana, aku tak mau perundungan berlanjut di SMA. Setiap hari aku joging pagi, juga diet.”

Rizal senyum-senyum saja sebenarnya, tidak terkejut. Masih menatap gadis SMP itu. Aura kecantikannya sudah dari dulu.

“Waktu SMA aku malah jadi kembang sekolah, Kak. Dipuji-puji adik kelas, dirayu kakak kelas. Ah, keputusan untuk mengubah diri itu sekarang menjadi hal yang sangat kusyukuri. Entah kau mau mengobrol denganku di toko buku waktu itu atau tidak, kalau aku belum berubah. Beruntungnya menjadi orang kurus!”.[]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup
Rafael Yanuar
Novel
Antara Cinta Dan Mimpi
nuraisah
Novel
Ples Dan Mines
bungasamudra
Cerpen
Beruntungnya Menjadi Orang Gendut
Muhammad Ilfan Zulfani
Novel
One Persen Of People
Renita Sylvia
Novel
Bronze
Tikus-Tikus Dalam Otakku
Rifan Nazhip
Novel
Di Balik Senyum Rinjani
quinbbyyy
Skrip Film
Junior & Jameela (script)
amor
Cerpen
Bronze
NARTI
ina marlena
Cerpen
Bronze
Segenggam Beras Terakhir
Kim Sabu
Cerpen
Sembuh datang Setelah rindunya tuntas
Marliana
Novel
Gold
Go Where Your Heart Takes You
Noura Publishing
Novel
Aku & Kehilangan
Nurmala Setianing Putri
Novel
Bronze
Namaku Susan
Johanes Gurning
Novel
Gold
Setrum Warsito
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Beruntungnya Menjadi Orang Gendut
Muhammad Ilfan Zulfani
Flash
Mesin Waktu
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Perihal Nama Bapak
Muhammad Ilfan Zulfani
Flash
Buku Puasa Dhoni
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Siboi, Penjual Gorengan
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Dua Puluh Enam Makam Tanpa Nama
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Zenki, Elya, El-Zenki, Zenki, Zenki
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Bocah Pecandu Lem
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Kisah Maling yang Tolol
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Jatuh Jauh
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Ini Bukan Perkara Remeh-Temeh
Muhammad Ilfan Zulfani