Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Senja mulai menyelimuti lapangan kecil desa dengan lembayung yang menggantung rendah di langit. Seperti biasa, lapangan kecil itu sedari tadi ramai diisi oleh belasan anak dengan riuh rendahnya tawa mereka. Di antara rombongan anak-anak kecil tersebut, ada enam orang anak yang hampir setiap hari tidak pernah absen untuk berkumpul dan menikmati indahnya masa kecil. Kaki-kaki mungil mereka berlarian dengan bebas di atas tanah berumput. Suara riang tawa menggema, berpadu dengan desir angin yang membelai dedaunan. Setelah hampir setengah jam lebih bermain kejar-kejaran, salah satu dari mereka tiba-tiba saja berhenti.
“Aku capek main kejar-kejaran dari tadi. Kita main yang lain, yuk!” ujarnya dengan nada yang tidak menunjukkan sedikit pun rasa lelah.
“Memang kamu mau main apa, Sat?” tanya Andi, seorang anak berambut pendek hitam.
Satria menjawab pertanyaan itu dengan amat bersemangat. “Gimana kalau kita main petak umpet?”
“Ah, kalau main petak umpet sama kamu pasti kami ketemu terus.”
Kalimat yang baru saja diucapkan oleh Dinda itu memancing anak-anak lain untuk ikut berpikir. Dalam kelompok bermain mereka, semuanya tahu bahwa Satria adalah anak yang paling pandai bermain petak umpet. Tidak peduli ke mana pun teman-temannya bersembunyi, Satria selalu bisa menemukan mereka dengan berbagai cara. Meskipun begitu, mereka juga tahu bahwa bermain petak umpet tanpa Satria tidak akan terasa semenyenangkan itu.
Setelah belasan detik berlalu, Raka membuka suara. “Enggak apa-apa, deh. Kita main petak umpet aja. Tapi, ada syaratnya!”
“Apa syaratnya?” tanya Satria penasaran.
“Kamu yang jaga paling pertama. Gimana, Sat?”
Mendengarnya membuat Satria menunjukkan ekspresi wajah kesal yang dibuat-buat. “Yaudah, iya, deh! Aku yang jaga.”
Tanpa banyak bicara, anak berusia delapan tahun itu mulai berjalan mendekati dinding terdekat dan menangkupkan kedua tangannya di depan mata.
“Satu, dua, tiga …,” lantang terdengar suara Satria yang mulai berhitung.
Mendengar hitungan tersebut, lima anak lain mulai sibuk berlarian. Tidak satu orang pun dari mereka langsung berhenti ketika menemukan tempat untuk bersembunyi. Bahkan masing-masing anak itu mencari tiga hingga empat kali, sampai akhirnya memutuskan untuk menunggu dan bersembunyi di tempat yang menurut mereka paling tidak bisa ditemukan.
“...sembilan belas, dua puluh. Siap atau enggak, aku datang!”
Terdengar lagi suara lantang Satria yang baru saja selesai menghitung. Kedua matanya kini sudah terbuka lebar untuk mengamati sekeliling. Lapangan yang tadinya ramai kini terasa begitu sunyi, menyisakan hanya suara daun-daun kering bergerak ditiup angin.
Tak perlu waktu lama, Satria memulai pencariannya dengan langkah-langkah cepat. Ia menengok ke belakang tiang listrik di samping lapangan, namun tak menemukan siapa pun di sana. Anak itu kemudian melihat sekelebat bayangan di sudut lapangan dan tanpa ragu langsung bergerak menghampiri. Sayangnya, yang ditemukan di sana hanyalah bayangan pohon bergerak tertiup angin.
“Mereka ke mana, ya?” gumam Satria pelan sambil terus mencari.
Satria lalu membawa langkah kakinya bergerak ke arah rumah tua tak berpenghuni di ujung lapangan. Biasanya rumah tersebut sering dijadikan tempat persembunyian. Dan benar saja, begitu ia sudah berada dalam jarak cukup dekat, mulai terdengarlah bisikan tertahan dan suara cekikikan kecil.
“Ketemu!” teriak Satria yang tiba-tiba saja muncul dari balik dinding, sembari jarinya begitu bersemangat menunjuk ke arah Dinda dan Andi yang tengah meringkuk bersembunyi.
“Yah, ketahuan deh!” keluh Dinda, sambil tertawa kecil.
Andi menggaruk-garuk kepala seolah tempat persembunyian mereka seharusnya tidak mudah ditemukan. “Ah, Satria curang! Masa cepet banget udah langsung ketemu!”
“Ya, iyalah langsung ketemu. Kalian, kan, tiap hari sembunyinya enggak jauh-jauh dari sini,” jawab Satria sambil tersenyum puas.
Tak lama, Dinda dan Andi lekas berdiri lalu mulai mengikuti langkah Satria yang berjalan kembali ke arah lapangan. Dua orang sudah ditemukan. Maka sekarang adalah waktunya mencari tiga orang yang lain.
Selama sibuk mencari teman-teman lain yang masih bersembunyi, Dinda dan Andi tertawa-tawa kecil sambil saling mendorong. Di depan mereka, Satria sesekali menengok ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun sudut yang luput dari pandangan mata.
Memeriksa sudut-sudut dari beberapa rumah tanpa membuahkan hasil, Satria kemudian menaruh pandangan panjang ke belakang pagar rumah Pak Hasan. Memperhatikannya dengan lebih seksama, terlihat Raka sedang meringkuk di balik tumpukan kayu. Tanpa pikir panjang Satria langsung berlari mendekat.
“Raka ketemu!” teriak Satria lantang.
Mendapati dirinya telah ditemukan, Raka langsung tertawa terbahak-bahak. “Padahal hampir aja tadi kamu enggak bisa nemuin aku.”
Satria ikut tertawa mendengar ucapan tersebut, walaupun ia sendiri tahu persis bahwa mencari Raka bukanlah sesuatu yang sulit. Satria lalu mengulurkan tangan untuk membantu temannya bangkit dari tempat persembunyian. Setelah berkumpul, mereka berempat mulai berkeliling bersama mencari sisa pemain yang belum ditemukan. Rasanya hampir seluruh sudut kampung itu mereka jelajahi, mengendap-endap seolah sedang menjadi agen rahasia. Kegembiraan dan tawa menghiasi setiap langkah kaki mereka.
Namun, tibalah di suatu titik ketika mereka berempat berjalan melewati sebuah lorong yang sedikit gelap. Pada titik itu Satria melihat sesuatu yang membuat tawanya langsung memudar. Di ujung lorong tersebut berdiri sebuah kaca besar yang retak di beberapa bagian, diletakkan sembarangan di samping tembok tua. Kacanya terlihat kotor dan hanya memantulkan bayangan mereka dengan samar.
Lalu Satria memperlambat langkahnya tanpa sadar. Matanya tertuju pada pantulan yang ada di kaca. Teman-temannya masih berbicara dan bercanda seperti biasa, tetapi bayangan pada kaca seolah menunjukkan sebuah keanehan. Satria mencoba melihat dengan lebih dekat, memperhatikan pantulan bayangan temannya satu-persatu. Dinda, Andi, dan Raka. Seketika itu pula jantung Satria berdetak jauh lebih kencang dari sebelumnya.
Terpantul dari kaca retak tersebut bukanlah bayangan anak-anak yang selama ini bermain bersamanya. Pantulan di kaca itu justru menunjukkan sosok-sosok menyeramkan. Dinda terlihat seperti sosok perempuan berambut panjang dengan wajah pucat tanpa mata, Andi berubah menjadi makhluk hitam dengan tubuh tak beraturan, dan Raka tampak sebagai sosok tinggi kurus dengan mulut menganga lebar seolah siap menelan apa saja. Tidak hanya itu, melalui pantulan kaca Satria melihat pergerakan tiga orang temannya juga tidak selaras dengan apa yang sedang benar-benar terjadi. Seolah bayangan-bayangan di kaca tersebut memiliki kehidupannya sendiri.
Satria mengedipkan mata dan mencoba memastikan sekali lagi apa yang sedang terlihat. Hatinya berdegup semakin kencang, hampir tak percaya pada apa yang ada di depannya. Dia menoleh ke arah teman-temannya yang masih terus berjalan riang. Mereka tetap tertawa, seolah tidak ada yang salah.
“Satria, ayo cepetan! Kita harus nyari Bayu sama Nanda!” seru Andi sembari menarik tangan Satria dengan santai.
Tarikan tersebut membuat Satria sontak melihat kembali pada kaca yang retak. Di sana terlihat bayangan menyeramkan Andi sedang melirik, tersenyum sinis dengan gigi-giginya yang tajam. Dalam sekejap pemandangan itu membuat sekujur tubuh Satria langsung gemetar hebat. Secepat kilat ia segera menarik tangannya dari genggaman Andi dan mundur satu langkah.
“Kalian … kalian siapa?” tanya Satria dengan suara bergetar. Akan tetapi, tak satu pun dari teman-temannya mendengar pertanyaan itu. Mereka terus berjalan, mengobrol, dan tertawa, seolah tak ada yang salah. Bahkan Andi tak sedikit pun peduli dengan apa yang baru saja temannya lakukan.
Rasa mual mulai memenuhi seisi perut. Pemandangan di kaca itu seperti mimpi buruk yang memerangkap. Ingin sekali Satria berlari, namun kedua kakinya terasa seperti sedang terikat. Kaca itu seakan memaksanya untuk terus menatap dan memperlihatkan kebenaran. Barulah kemudian Satria mulai menyadari bahwa sejak ia membuka mata setelah hitungan dua puluh, dirinya tidak lagi berada di dunia yang sama. Dia sudah tersesat di tempat berbeda, di mana teman-temannya kini hanyalah ilusi mengerikan dari entitas yang bersembunyi di balik wajah-wajah polos.
“Satria, kok diem aja sih? Ayo!” panggil Dinda lagi, kali ini suaranya terdengar sedikit lebih jauh dan samar, seolah mereka berbicara dari tempat yang sangat jauh.
Satria menarik mundur kakinya satu langkah lagi. Matanya tak bisa lepas dari bayangan-bayangan menyeramkan di dalam kaca. Dan entah dengan kekuatan apa, sepasang kaki yang semula tidak bisa diangkat itu tiba-tiba saja bisa dibawa berlari meninggalkan lorong tanpa menoleh ke belakang. Langkah kaki Satria terhuyung dan dunia di sekelilingnya mulai kabur. Suara tawa teman-teman yang sudah ditinggalkan jauh di belakang perlahan mulai memudar, berganti menjadi desisan aneh yang menggema di telinga.
Satria berlari dan terus saja berlari hingga lapangan kecil muncul kembali di hadapannya. Namun, semuanya kini tidak lagi sama. Lapangan itu benar-benar sepi, sunyi, dan tak menunjukkan sedikit pun kehidupan. Dengan begitu terengah-engah Satria berusaha mencari napas, tetapi rasanya dunia ini sudah kehilangan udara.
“Aku … aku di mana?”
Lirih sekali bisikan itu terdengar. Semakin lirih, dan kian lirih. Sampai pada akhirnya, yang terdengar hanyalah desis angin bercampur tawa.