Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Bernasib Seperti Socrates
1
Suka
29
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di sebuah kelas yang sunyi, tepat sebelum lonceng tanda istirahat berbunyi, Raka duduk di bangkunya, tenggelam dalam halaman-halaman buku tebal yang terhampar di depannya. Judul di sampul buku itu berbunyi Sejarah Filsafat Barat, karya Bertrand Russell. Jari-jarinya lincah membalik lembar demi lembar, seolah setiap kalimat yang ia baca mengisi pikirannya dengan perenungan mendalam tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan. Mata cokelatnya yang tajam dan penuh rasa ingin tahu menyusuri setiap baris dengan tekun, sementara teman-temannya sibuk dengan percakapan remeh temeh di sekitar mereka.

Tiba-tiba, di antara gumaman dan tawa pelan, suara yang tak asing lagi terdengar di sebelahnya.

“Buku apaan, tuh?” suara itu milik Yudha, teman sebangkunya yang dikenal dengan julukan "si tukang nanya". Yudha sering kali terlihat bosan dan tak bersemangat saat belajar, tapi dia selalu memiliki rasa penasaran yang tak pernah surut setiap kali melihat Raka membaca sesuatu yang "aneh" menurut standar anak seumuran mereka.

Raka mengangkat alisnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. Dia sudah tahu ini akan terjadi. Setiap kali dia membawa buku tebal yang bukan dari kurikulum sekolah, pertanyaan serupa selalu muncul. Namun, kali ini, Raka merasa berbeda. Ada perasaan hangat dalam hatinya, mungkin karena dia sedang asyik menikmati gagasan-gagasan besar yang dibahas dalam buku tersebut. Dia merasa siap untuk berbagi, bahkan kepada Yudha yang biasanya tak menunjukkan ketertarikan yang serius.

"Ini," kata Raka sambil menunjuk sampul buku dengan ujung jarinya, "bukunya Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat. Russell adalah seorang filsuf terkenal dari abad ke-20. Dalam buku ini, dia membahas banyak pemikir dan aliran filsafat sepanjang sejarah Barat, dari Yunani Kuno hingga zaman modern."

Yudha mengernyit. "Filsafat? Bukannya itu cuma mikir-mikir yang nggak ada ujungnya? Apa serunya?"

Raka menutup bukunya, meletakkannya di atas meja, dan menatap Yudha dengan senyum tipis. Bagi sebagian besar anak SMA, filsafat memang terdengar seperti sesuatu yang berat dan tak berguna dalam kehidupan sehari-hari. Tapi bagi Raka, buku ini adalah pintu menuju dunia yang lebih luas, dunia yang penuh pertanyaan besar, misteri tak terpecahkan, dan mungkin, kebenaran tersembunyi.

"Filsafat bukan cuma soal mikir, Yud," jawab Raka dengan nada lembut, "tapi soal memahami kenapa kita mikir seperti itu. Russell, misalnya, dia nggak hanya bicara tentang pemikiran orang-orang dulu, tapi juga mengkritik cara kita memahami dunia. Dia menganggap agama dan teologi sebagai bentuk kebingungan manusia yang belum bisa menjelaskan hal-hal yang ada di sekitar mereka dengan rasional."

Yudha mengangkat bahunya, agak tergelitik. "Maksudmu, dia nggak percaya Tuhan?"

Raka menggeleng pelan, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Lebih tepatnya, dia skeptis. Russell percaya kalau banyak dari keyakinan agama itu dibangun di atas rasa takut dan ketidakpastian. Jadi, dia lebih memilih pendekatan rasional, mencoba memahami dunia dengan logika dan bukti, daripada menerima sesuatu hanya karena kita disuruh untuk percaya."

Yudha terdiam sejenak, tampak berpikir. Bagi anak seperti dia yang hidup di tengah keluarga yang taat beragama, konsep ini terdengar aneh, mungkin sedikit mengganggu. Tapi di dalam dirinya, ada rasa penasaran yang terusik oleh apa yang baru saja dikatakan Raka.

"Jadi, lo percaya sama dia?" tanya Yudha, kali ini suaranya lebih serius.

Raka terdiam, sejenak memandangi jendela kelas yang menampilkan langit cerah di luar sana. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan itu? Sebagai seorang remaja yang baru mulai mengeksplorasi pemikiran-pemikiran besar, dia sendiri belum yakin dengan apa yang dia percayai. Tapi ada satu hal yang pasti, dia tertarik untuk terus mencari, terus bertanya, dan mungkin, suatu hari nanti, menemukan jawabannya sendiri.

"Aku nggak tahu," jawab Raka akhirnya, dengan senyum yang lebih lebar. "Tapi yang jelas, aku suka cara berpikir Russell. Dia menantang kita untuk nggak menerima sesuatu begitu saja tanpa memeriksanya lebih dulu. Buat aku, itu menarik. Karena hidup ini, Yud, terlalu kompleks untuk dijelaskan dengan satu jawaban aja."

Yudha mengangguk pelan. Meski mungkin belum sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud Raka, dia bisa merasakan ketulusan di balik kata-kata temannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Raka memandang dunia, sesuatu yang membuatnya berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, ada hal-hal di luar sana yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

"Kalau begitu, ajarin aku lebih banyak soal filsafat," kata Yudha tiba-tiba, suaranya penuh keyakinan.

Raka tertawa kecil, tak menyangka permintaan itu keluar dari mulut Yudha. "Serius lo?"

"Serius. Aku bosen dengerin guru ngomong soal hal-hal yang cuma bikin ngantuk. Mungkin filsafat bisa bikin hidup aku lebih menarik."

Raka mengangguk. "Oke, aku akan ajarin lo. Tapi jangan kaget kalau lo malah jadi punya lebih banyak pertanyaan daripada jawaban."

Yudha tertawa dan menepuk bahu Raka. "Deal. aku siap."

Pintu terbuka, dan suara sepatu berderap terdengar. Seorang guru yang dikenal oleh semua siswa sebagai Pak Arman, guru agama, masuk dengan tatapan tajam dan langkah yang penuh keyakinan. Ia bukan sekadar guru agama, ia dianggap "si guru sok agamis" oleh banyak siswa, terutama Raka, karena keyakinannya yang keras dan cenderung tidak bisa menerima pandangan lain.

Mata Pak Arman langsung tertuju pada Raka, yang tampak tenggelam dalam buku yang tebal itu. Sesuatu dalam sorot mata guru itu berubah. Ia mendekati Raka dengan langkah mantap dan tanpa peringatan, menyita buku dari tangan Raka.

"Filsafat lagi?" gumamnya, namun cukup keras untuk seluruh kelas mendengar. "Kenapa kamu terus membaca buku semacam ini, Raka?"

Raka menatap guru itu dengan tenang, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman. Namun, dia tak ingin memperlihatkan kelemahannya. Dia tahu, perbincangan ini akan menjadi panjang. Dia sudah siap.

"Bertrand Russell, Pak," jawab Raka, berusaha terdengar sopan. "Ini tentang sejarah pemikiran manusia. Tentang bagaimana kita memahami dunia."

Pak Arman menghela napas panjang, seolah mendengar sesuatu yang sangat keliru. "Ini buku filsafat, Raka. Filsafat hanya menciptakan kebingungan. Buku-buku semacam ini berbahaya. Banyak filsuf yang mengajarkan hal-hal yang anarkis, bahkan anti-agama."

Raka mendengar tawa kecil di sudut lain kelas. Beberapa siswa yang mengenal Pak Arman tahu bahwa ini akan menjadi salah satu momen di mana diskusi apapun dengan guru itu tidak akan berakhir baik. Tapi Raka, anak yang dikenal sok tahu oleh teman-temannya, tidak pernah takut menyuarakan pikirannya.

“Pak,” kata Raka, kali ini suaranya lebih tegas. “Pemikiran anarkis, anti-agama, atau apapun yang Bapak sebut itu, bukanlah inti dari filsafat. Justru filsafat membantu kita memahami agama dengan lebih baik, dengan mempertanyakan apa yang kita yakini dan kenapa kita mempercayainya. Banyak tokoh agama juga seorang filsuf.”

Wajah Pak Arman memerah, jelas tidak senang dengan jawaban itu. "Kamu masih muda, Raka. Belum saatnya kamu membaca hal-hal yang bisa merusak keyakinanmu. Banyak dari pemikir-pemikir dalam filsafat ini hanya mencoba membongkar agama dan keyakinan yang sudah lama menjadi landasan hidup manusia. Filsafat itu berbahaya karena memisahkan manusia dari Tuhan. Pemikiran rasional yang kebablasan akan membawa kita jauh dari kebenaran yang hakiki."

Raka tak bisa menahan dirinya lagi. Sudah terlalu lama dia mendengar argumen semacam ini, dan kali ini dia merasa perlu untuk mengatakan apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya.

“Pak,” katanya dengan nada lebih tajam. “Orang yang bilang filsafat berbahaya, hanya takut kalau fantasi yang mereka bangun selama ini terbongkar. Mereka takut kalau kebohongan-kebohongan tentang konsep kitab suci yang mereka karang akan terlihat. Filsafat bukan soal menolak Tuhan, tapi soal menolak dogma buta.”

Kelas hening. Semua mata tertuju pada Raka, dan beberapa siswa bahkan menahan napas. Pak Arman tampak terkejut, matanya membelalak. Untuk beberapa detik, waktu seolah berhenti. Namun, dengan cepat, kemarahan tersirat di wajah Pak Arman.

"Keluar dari kelasku sekarang!" bentaknya, menunjuk pintu dengan tangan gemetar. "Kamu tidak pantas berada di sini dengan pemikiran seperti itu. Pergi ke ruang bimbingan konseling dan tulis surat permohonan maaf!"

Raka tetap diam, menatap balik mata guru itu tanpa sedikitpun rasa gentar. Dalam pikirannya, ia tahu bahwa dirinya tak bersalah. Justru, ia merasa lebih bebas dari sebelumnya. Namun, perasaan marah mulai tumbuh di dalam dirinya, marah karena ketidakmampuan Pak Arman untuk mendengar argumen yang berbeda.

Tanpa banyak kata lagi, Raka berdiri, menyambar tasnya, dan berjalan keluar kelas. Suara bisik-bisik teman-temannya mengikuti langkahnya, tapi ia tak memedulikannya. Yang ada di pikirannya hanyalah ketidakadilan yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa seorang guru yang seharusnya membuka jalan bagi siswa untuk berpikir kritis, justru menutup setiap pintu menuju pengetahuan?

Saat dia menuruni tangga menuju ruang bimbingan konseling, Raka menggerutu pelan. "Kampungan. Fanatik. Ini yang bikin orang jadi terjebak dalam kegelapan. Kenapa orang-orang seperti dia selalu takut pada sesuatu yang tidak mereka pahami?" gumamnya dengan suara yang semakin keras setiap kali langkahnya turun.

Langkah-langkahnya cepat dan penuh amarah. Bayangan tentang guru yang berpikiran sempit itu membuat darahnya mendidih. Di dunia yang semakin maju, bagaimana mungkin masih ada orang yang takut pada pertanyaan dan pencarian kebenaran?

Sesampainya di ruang bimbingan konseling, Raka melempar tasnya ke kursi terdekat, duduk dengan napas yang berat. Pikirannya penuh dengan dialog batin yang mengutuk sistem pendidikan yang seolah menghalangi siswa untuk berpikir secara kritis.

Tak lama setelah itu, ia melihat guru bimbingan konseling masuk, menatapnya dengan senyum ramah. "Raka, kamu disuruh ke sini karena masalah dengan Pak Arman, ya?" tanyanya lembut, seolah tahu persis apa yang terjadi.

Raka mengangguk, tetapi ia tidak ingin bicara. Ia masih terbakar oleh perasaan kesal yang membara. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan di sini mungkin tidak akan banyak membantu. Namun, ada hal lain yang menambah beban pikirannya—panggilan telepon yang dibuat Pak Arman kepada orang tuanya.

Sementara itu, di ruang kelas, Pak Arman berdiri di meja guru, wajahnya masih merah setelah konfrontasinya dengan Raka. Dengan cepat, ia mengeluarkan ponselnya dan memanggil nomor orang tua Raka.

"Assalamualaikum, Bu. Saya Pak Arman, guru agama Raka. Saya hanya ingin melaporkan kejadian di kelas tadi. Anak Ibu membaca buku filsafat yang... ya, saya kira kurang pantas untuk usia dan tahap pendidikan anak-anak. Lebih parah lagi, dia berdebat dengan saya dan menyebut agama sebagai 'fantasi' dan 'kebohongan.' Saya sangat khawatir dengan cara pikirnya yang... menyesatkan. Mungkin Ibu dan Bapak bisa berbicara dengan Raka mengenai hal ini."

Di seberang telepon, suara ibu Raka terdengar bingung, tetapi sopan. "Terima kasih, Pak Arman. Kami akan bicara dengan Raka nanti di rumah."

Setelah panggilan telepon itu berakhir, Pak Arman duduk kembali di mejanya, merasa lega bahwa ia telah melakukan "kewajibannya" sebagai guru agama. Namun, di balik itu, ada perasaan samar bahwa sesuatu telah berubah di antara dirinya dan murid-muridnya. Mungkin, ada kebenaran yang mulai mereka pertanyakan, kebenaran yang tak sepenuhnya bisa ia jawab.

***

Setelah insiden di sekolah, hari itu Raka menunggu dengan perasaan campur aduk di ruang bimbingan konseling. Jam pelajaran telah usai, dan akhirnya kedua orang tuanya datang untuk menjemputnya. Wajah ibunya tampak cemas, sementara ayahnya terlihat lebih tenang, meski ada ketegasan dalam pandangan matanya. Mereka berdua menghampiri Raka tanpa mengucapkan sepatah kata pun di depan guru bimbingan konseling. Setelah beberapa percakapan singkat dengan pihak sekolah dan mengambil buku filsafat yang sempat disita, mereka bertiga langsung pulang ke rumah.

Di sepanjang perjalanan, suasana hening. Mobil melaju di tengah senja, dan Raka tahu bahwa ada percakapan penting yang menantinya di rumah. Ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka, meskipun tidak ada yang berbicara.

Begitu tiba di rumah, mereka semua duduk di ruang keluarga. Ibunya membuka percakapan dengan nada lembut tetapi tegas.

"Raka, ibu paham kamu mungkin merasa marah karena kejadian di sekolah tadi. Tapi ibu ingin kamu tahu bahwa apa yang kamu lakukan tadi itu tidak sepenuhnya benar," katanya. "Buku-buku filsafat itu bagus untuk memperluas wawasan, tapi kamu harus tahu batasannya. Filsafat tidak selalu cocok dibawa ke semua tempat, apalagi dalam situasi yang melibatkan kepercayaan dan keyakinan orang lain."

Raka mendengarkan tanpa menyela, meski pikirannya bergejolak. Ada begitu banyak hal yang ingin ia bantah, tetapi dia memilih menahan diri.

Ayahnya, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kamu tahu, Raka, ayah nggak pernah melarang kamu untuk belajar apa pun. Kamu boleh membaca buku filsafat, bahkan ayah juga dulu banyak belajar dari buku-buku seperti itu. Tapi ada yang harus kamu pahami. Filsafat itu bukan untuk ditelaah mentah-mentah. Pikiranmu harus tajam, tapi kamu juga harus bijak dalam menyaringnya."

Raka menunduk, mencoba mencerna kata-kata ayahnya. Ia tahu bahwa ayahnya bukan orang yang akan melarangnya belajar, tetapi kali ini, ia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik pesan tersebut.

Ayahnya melanjutkan, "Filsafat itu bukan hanya soal mempertanyakan segala sesuatu. Kamu juga harus tahu bagaimana memanfaatkan akal budi dengan baik. Dalam filsafat teologis, terutama yang dipelajari dari para tokoh rasionalis seperti René Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz, mereka berargumen bahwa akal budi dan logika adalah sumber utama pengetahuan. Ini termasuk dalam memahami konsep Tuhan."

Raka mengangkat kepalanya, tertarik dengan arah pembicaraan. "Maksud Ayah, Spinoza dan Descartes?"

Ayahnya tersenyum kecil, melihat bahwa anaknya mulai tertarik. "Spinoza, misalnya, punya pandangan yang berbeda dari kebanyakan orang tentang Tuhan. Dia melihat Tuhan sebagai substansi yang identik dengan alam. Artinya, bagi Spinoza, Tuhan itu adalah alam itu sendiri. Sedangkan Descartes, dia lebih fokus pada keberadaan Tuhan melalui ide-ide yang jelas dan berbeda dalam akal manusia. Baginya, Tuhan itu sempurna dan tak terbantahkan karena keberadaannya terikat erat dengan logika yang kita pahami."

Raka, yang dari tadi mendengarkan dengan saksama, akhirnya mengajukan pertanyaan yang sudah lama bersemayam di pikirannya.

"Kalau begitu, menurut Ayah, di mana Tuhan sekarang? Apa peran-Nya dalam menciptakan dunia ini? Kenapa kita masih mengalami begitu banyak penderitaan kalau Tuhan ada?"

Pertanyaan itu menohok, tapi bukan hal yang tak terduga bagi ayahnya. Dia tahu bahwa pertanyaan semacam ini akan muncul cepat atau lambat. Dengan tenang, ia menjawab, "Ini bukan pertanyaan baru, Raka. Sudah banyak yang bertanya-tanya tentang keberadaan dan peran Tuhan, terutama ketika melihat penderitaan di dunia ini. Tapi dalam pandangan filsafat-teologis Kristen, Tuhan sering didefinisikan sebagai Transenden, Artifex Maximus, atau Maha Pembuat, dan Omnipotent. Tuhan menciptakan alam semesta, tapi Dia tidak hadir langsung dalam setiap proses fisik yang terjadi."

Ayahnya berhenti sejenak, memastikan Raka mengerti sebelum melanjutkan. "Seperti yang digambarkan dalam Kitab Kejadian, Tuhan menciptakan dunia melalui perkataan-Nya yang dahsyat dan berkuasa. Dia tidak secara fisik terlibat dalam setiap proses, tapi melalui kekuasaan-Nya yang abadi dan perkataan-Nya yang omnipoten, segala sesuatu diciptakan."

Raka terdiam, tetapi pikirannya masih penuh dengan pertanyaan. "Jadi Tuhan hanya menciptakan, lalu membiarkan segalanya berjalan sendiri?"

Ayahnya tersenyum tipis, seolah pertanyaan itu mengingatkan pada masa mudanya sendiri. "Tidak, Raka. Tuhan bukan hanya menciptakan lalu lepas tangan. Kehadiran-Nya masih ada di setiap aspek kehidupan ini, tapi dalam bentuk yang mungkin sulit kita pahami. Tuhan bekerja melalui alam, melalui hukum-hukum fisika, melalui akal budi manusia. Mungkin kita tidak melihat langsung tangan Tuhan, tapi kehadiran-Nya terasa melalui segala hal di sekitar kita."

Raka terdiam sejenak, mencoba meresapi kata-kata ayahnya. Ia merasa ada kebijaksanaan dalam setiap kalimat yang diucapkan, namun di dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan itu masih terus muncul, seolah tak pernah terjawab sepenuhnya.

"Kalau begitu," lanjut Raka, "kenapa ada begitu banyak hal buruk di dunia ini? Bukankah Tuhan bisa menghentikannya?"

Ayahnya menghela napas panjang. "Itulah misteri kehidupan, Raka. Kita tidak selalu bisa memahami rencana Tuhan. Terkadang penderitaan ada untuk mengajari kita sesuatu, untuk membuat kita lebih kuat, atau untuk membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Filsafat bisa membantu kita memahami konsep-konsep ini, tapi tidak semuanya bisa dijelaskan dengan logika semata."

Raka tersenyum, matanya berbinar setelah mendengar penjelasan ayahnya tentang Tuhan. Namun, rasa penasaran yang menggelegak dalam dirinya masih belum terpuaskan sepenuhnya. Dia merasa ada sesuatu yang perlu dijelajahi lebih jauh, sesuatu yang tak bisa dia temukan di balik buku-buku sekolah atau doktrin yang diajarkan di kelas.

"Kalau begitu, Ayah," tanya Raka sambil menatap ayahnya, "kenapa orang-orang seperti guru tadi tidak bisa meyakinkan aku, malah bikin aku makin penasaran?"

Ayahnya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan tenang. "Mereka tidak punya kapasitas yang cukup kuat untuk memperdebatkan hal-hal seperti itu, Nak. Pada akhirnya, mereka berlindung di bawah dalil bahwa semua ajaran harus diterima tanpa dipertanyakan. Mereka takut kalau semua yang selama ini mereka yakini runtuh karena pertanyaan-pertanyaan kritis. Jadi mereka memilih untuk tidak meladeni diskusi lebih jauh."

Raka mengangguk. Jawaban itu masuk akal baginya, meski ada sedikit rasa kecewa. Bagaimana bisa seseorang mengajarkan sesuatu, tapi takut mempertanyakan apa yang diajarkannya? Bagi Raka, pemahaman hanya bisa tumbuh melalui diskusi dan debat. Tanpa itu, pengetahuan hanyalah kotak tertutup yang tak pernah dibuka.

Setelah percakapan itu, ayahnya menyuruh Raka bersiap tidur. Namun sebelum itu, seperti kebiasaan malam-malam sebelumnya, ayahnya tetap duduk di samping tempat tidur Raka, meski putranya sudah mulai beranjak remaja. Ada kehangatan dalam kebersamaan itu, meskipun Raka tahu dia sudah cukup besar untuk tidak lagi ditemani.

"Ayah," tanya Raka dengan suara pelan sambil memandang langit-langit kamar, "kenapa Ayah masih menemani aku tidur, padahal aku sudah bukan anak kecil lagi?"

Ayahnya tersenyum, melihat ke arah Raka dengan tatapan lembut dan penuh kasih. "Banyak orang tua di luar sana yang memilih hidup sebagai kapitalis, Nak. Mereka menyediakan segala hal yang bisa dibeli dengan uang untuk anak-anak mereka. Rumah mewah, kendaraan, gadget terbaru, semua hal material yang mungkin kamu pikir diinginkan seorang anak. Tapi aku berbeda. Aku mungkin tidak bisa memberimu semua itu, tapi aku bisa menyediakan sarana berpikir. Dan itulah yang membuat kita lebih dekat. Pikiran adalah harta yang tak ternilai."

Raka terdiam, merasa terharu oleh kata-kata ayahnya. Ada sesuatu yang dalam dalam keheningan itu, seolah mereka berbagi sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar hubungan ayah dan anak. Ini adalah hubungan intelektual, sebuah koneksi yang terbentuk dari diskusi, pertanyaan, dan pencarian kebenaran bersama.

Malam itu, sebelum benar-benar terlelap, ayahnya menceritakan tentang konsep negara ideal menurut Plato, sebuah topik yang membuat mata Raka semakin terbuka.

"Menurut Plato," kata ayahnya, "sebuah negara yang baik harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan. Dalam *Republik*-nya, Plato menggambarkan sebuah negara ideal yang terbagi menjadi tiga kelas sosial utama: Filosof-Raja, yang bijaksana dan memimpin negara dengan hikmat; Prajurit, yang menjaga keamanan negara; dan Produsen, rakyat yang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari."

Raka mengangguk, membayangkan sebuah negara yang terstruktur dengan sempurna. Ayahnya melanjutkan dengan tenang, "Pendidikan adalah kunci dalam negara tersebut. Plato percaya bahwa hanya mereka yang melewati pendidikan dan ujian moral serta intelektual yang dapat memimpin. Ia bahkan mengkritik demokrasi karena menurutnya, terlalu banyak ruang bagi korupsi dan kebodohan. Plato ingin pemimpin yang bijaksana, bukan yang dipilih oleh suara terbanyak tanpa mempertimbangkan kualitasnya."

Raka tersenyum kecil, merasa kagum dengan cara Plato berpikir. "Jadi menurut Plato, pendidikan bisa membuat seseorang layak memimpin negara?"

"Benar," kata ayahnya. "Negara yang baik adalah negara yang adil, di mana semua kelompok bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama tanpa gangguan dari dalam maupun luar. Pendidikan menciptakan lapisan elite yang cakap untuk memimpin, dan itu adalah sesuatu yang kita semua harus perjuangkan—pendidikan untuk mencerdaskan dan bukan hanya untuk mengisi kepala dengan pengetahuan yang tak bermakna."

Keheningan menyelimuti kamar Raka setelah percakapan itu. Mata Raka mulai terpejam, tapi sebelum benar-benar tidur, dia bertanya satu hal lagi.

"Ayah," katanya sambil menatap remang-remang lampu kamar, "Plato menciptakan negara yang sempurna, tapi apakah manusia benar-benar bisa mencapai kesempurnaan itu?"

Ayahnya tersenyum lembut, lalu menjawab dengan suara pelan, seolah ingin membawa Raka masuk ke dalam mimpi yang penuh harapan. "Manusia mungkin tidak bisa mencapai kesempurnaan, Nak. Tapi kita bisa terus berusaha. Dan usaha itu, usaha untuk menjadi lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih adil—itulah yang membuat kita manusia."

Raka tersenyum dalam hati. Meskipun masih banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya, malam itu dia merasa tenang. Ada kehangatan dalam kebersamaan dengan ayahnya, dan ada rasa aman dalam pencarian kebenaran yang tak pernah berakhir.

Sebelum Raka benar-benar terlelap, ayahnya menatapnya sekali lagi, dengan rasa bangga yang tak terucapkan. Dalam keheningan malam itu, ayahnya tahu bahwa Raka tidak hanya akan menjadi anak yang pintar, tapi juga seseorang yang akan terus mencari kebenaran, meskipun jalan itu penuh dengan pertanyaan yang tak selalu mudah dijawab.

Dan dengan itu, malam pun berlalu, meninggalkan Raka dalam damai, di tengah mimpi tentang negara ideal yang suatu hari mungkin bisa dia ciptakan—atau setidaknya, ia pahami lebih dalam.

Esok hari, perjalanan pencariannya akan berlanjut, tetapi malam itu, ia telah menemukan jawabannya sendiri: bahwa kebenaran tidak selalu datang dari luar, tapi dari dalam hati dan pikiran yang terbuka.

***

Tahun-tahun berlalu seperti debu yang tertiup angin, dan kini Raka telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang penuh semangat, tidak hanya dalam belajar tetapi juga dalam berbagi pemikirannya. Pekan membaca di SMA-nya adalah kesempatan sempurna baginya untuk mengekspresikan cinta yang begitu ia kagumi—bukan hanya cinta kepada manusia, tetapi cinta terhadap pengetahuan.

Raka berdiri di panggung sederhana aula sekolah, mengenakan seragam putih abu-abunya yang kini terasa lebih pas di tubuh remajanya yang tumbuh. Di tangannya, ia memegang buku catatan kecil yang penuh dengan pemikiran-pemikiran yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun belajar, baik dari ayahnya, buku-buku yang ia baca, maupun dari diskusi-diskusi panjang dengan teman-teman sebayanya.

Dia menghirup napas dalam, lalu mulai berbicara dengan nada tenang, namun penuh keyakinan. "Socrates pernah berkata bahwa cinta sejati adalah *agape*, cinta yang tidak egois dan berorientasi pada kebahagiaan orang lain. Cinta itu, menurutnya, bukanlah soal memiliki atau menguasai, tetapi tentang memberikan dan membebaskan."

Suaranya mengalun dengan lembut, menebar benih pemikiran di benak para siswa yang mendengarkan dengan penuh perhatian. "Bayangkan," lanjutnya, "cinta seperti ladang gandum. Kita seringkali berusaha mencari ranting yang paling indah, tapi di tengah pencarian itu, kita tak pernah puas. Selalu ada yang lebih baik, lebih sempurna, lebih menarik. Namun, inilah inti dari cinta—bahwa ia adalah proses pencarian yang tak pernah selesai. Bukan soal menemukan yang terbaik, tetapi menerima bahwa cinta sejati ada dalam perjalanan itu sendiri."

Para siswa yang duduk di barisan depan mulai berbisik-bisik, terpikat oleh keindahan metafora yang disampaikan Raka. Tepuk tangan riuh pun mengisi ruang setelah ia selesai berbicara, menyatakan kekaguman mereka pada pemikiran yang disampaikan dengan begitu tulus dan mendalam.

Namun, saat gema tepuk tangan itu mulai mereda, tiba-tiba terdengar suara yang lebih keras, lebih kaku—suara yang tidak asing bagi Raka. Suara yang selalu muncul ketika diskusi mulai mengarah ke wilayah-wilayah yang tidak nyaman bagi sebagian orang.

"Baik, baik," kata Pak Harun, guru yang dikenal oleh para siswa sebagai orang yang selalu menentang pemikiran yang berbeda dari keyakinannya. Pak Harun melangkah maju ke panggung, senyumnya kaku. "Saya menghargai pendapatmu, Raka, tetapi mungkin kamu lupa menceritakan tentang sisi lain dari Socrates."

Raka menatap Pak Harun dengan tenang, tapi di dalam dirinya, ada rasa was-was yang pelan-pelan merambat. Dia tahu ke mana arah ini akan berujung.

"Socrates," lanjut Pak Harun dengan nada yang lebih tinggi, "adalah sosok yang sering dianggap aneh di zamannya. Penampilannya jauh dari menarik—kulitnya hitam, wajahnya jelek, dan tubuhnya pun kurang elegan. Bahkan, banyak orang pada zamannya menganggapnya sebagai orang bodoh dan kejam karena gaya berfilsafatnya yang menantang keyakinan umum."

Beberapa siswa mulai tampak bingung, beberapa lainnya hanya menunduk, dan Raka berdiri kaku, menahan gejolak yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Dia ingin berbicara, ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia tahu bahwa kadang diam adalah pilihan yang lebih bijak.

Pak Harun tersenyum, merasa telah memenangkan argumen yang bahkan belum dimulai. "Jadi, saya harap, adik-adik, kalian bisa memahami bahwa tidak semua yang disebut sebagai filsuf besar itu sempurna. Kita harus berhati-hati dalam memilih siapa yang kita kagumi."

Raka menundukkan kepalanya sejenak, mengendalikan dirinya agar tidak terbawa emosi. Setelah Pak Harun turun dari panggung, ia angkat bicara kembali, kali ini dengan nada yang lebih lembut, namun lebih kuat.

"Pak Harun," katanya, sambil tersenyum tipis, "Socrates mungkin bukan sosok yang sempurna, tapi itulah yang membuatnya manusia. Kita semua tidak sempurna, termasuk saya dan mungkin juga Bapak. Tapi dari ketidaksempurnaan itulah kita belajar. Socrates tidak diingat karena wajah atau penampilannya, melainkan karena keberaniannya untuk mempertanyakan apa yang dianggap benar tanpa takut pada konsekuensinya."

Suaranya semakin tegas. "Dan bukankah itu yang seharusnya kita lakukan? Bukan untuk menjadi sempurna, tapi untuk terus mencari kebenaran, meskipun itu berarti kita harus menantang keyakinan yang sudah ada."

Kelas terdiam sejenak. Lalu tepuk tangan pun kembali memenuhi ruangan, lebih keras dari sebelumnya. Bukan hanya untuk pemikiran yang disampaikan Raka, tapi juga untuk keberaniannya berdiri tegak dan berbicara meskipun ada orang-orang yang mencoba membungkamnya.

Pak Harun terdiam di sudut aula, tak bisa berbuat apa-apa. Dalam hatinya, mungkin ada rasa frustrasi, tetapi ia tak mampu mengungkapkan hal itu. Raka telah menunjukkan kepadanya bahwa kekuatan pikiran dan keberanian untuk berpikir berbeda jauh lebih berharga daripada sekadar mengikuti arus yang sudah ada.

Di penghujung hari itu, Raka berjalan pulang dengan hati yang penuh. Ia tahu bahwa jalannya tidak akan mudah, tetapi ia merasa bahwa ia telah menemukan pijakan yang kuat untuk melangkah lebih jauh. Sebuah keyakinan yang tak bisa direnggut hanya karena seseorang tidak setuju atau merasa tersaingi.

***

Semua terjadi begitu cepat, seperti angin yang berembus tanpa tanda-tanda. Ketika Raka pertama kali menyuarakan konsep demokrasi di hadapan dosennya, ia merasa yakin bahwa ia telah menyampaikan apa yang benar. “Demokrasi adalah suara rakyat,” katanya, dengan mata yang berbinar penuh keyakinan. “Kebebasan untuk memilih, untuk menyatakan pendapat, dan untuk hidup tanpa rasa takut.”

Dosen itu, seorang pria tua dengan alis tebal dan mata yang tajam, hanya menatapnya dengan pandangan sinis. “Apa yang kamu pahami tentang demokrasi hanyalah secuil dari definisi yang sesungguhnya,” katanya dengan nada menghina. “Demokrasi yang kamu bicarakan adalah idealisme yang hampa, tanpa dasar dalam realitas dunia yang sesungguhnya.”

Raka merasa dadanya mendidih. Ia ingin melawan, ingin mempertanyakan otoritas dosennya, tapi sebelum sempat ia membuka mulut, dosennya memotong, “Jika kamu merasa tahu segalanya, saya beri kamu tugas untuk menulis sebuah jurnal ilmiah. Tunjukkan pemahamanmu yang sebenarnya tentang demokrasi.”

Raka menolak, “Itu bukan tugas saya, Pak.”

Namun, dosen itu tersenyum licik, “Kalau kamu tidak mau, maka saya akan pastikan kamu dikeluarkan dari universitas ini.”

Pernyataan itu seperti palu yang menghantam Raka. Ia tidak punya pilihan. Dunia pendidikan yang selama ini ia cintai kini terasa seperti penjara, dan dosennya adalah sipirnya.

Hari demi hari berlalu dalam kesunyian penuh beban. Raka mengerjakan jurnal itu, mengumpulkan sumber, meneliti konsep-konsep yang ia tahu benar. Akhirnya, jurnal itu selesai. Namun, kepuasan tak bertahan lama. Sang dosen, dengan senyuman yang sama liciknya, kembali memberikan tugas baru.

“Kali ini,” kata dosennya, “tuliskan sebuah buku. Sebuah karya yang akan membuktikan kelayakanmu untuk mendapatkan nilai A dan lulus dengan mudah.”

Raka terdiam. Di balik tawaran itu, ia bisa mencium bau busuk yang memuakkan. Tapi sekali lagi, ia terjebak di antara pilihan yang sulit. Ia menerima tugas itu, tapi dengan hati yang terbelah.

Ketika ia mulai menulis, ia memutuskan untuk mengambil jalur yang berbeda. Bukannya menulis tentang demokrasi ideal yang diimpikan dosennya, ia menggali lebih dalam—mengenai kebenaran pahit yang tersembunyi dalam sejarah. Ia menulis tentang Orde Baru, tentang kekejaman dan ketidakadilan yang menyelimuti masa itu. Bagaimana kebebasan berbicara dibungkam, bagaimana rakyat hidup dalam ketakutan di bawah bayang-bayang kekuasaan otoriter. 

Buku itu penuh dengan fakta yang tajam seperti pisau, menguliti mitos yang dibangun selama puluhan tahun tentang stabilitas dan kemajuan. Ketika buku itu akhirnya dipublikasikan, dunia akademis gempar. Dosen Raka, yang sebelumnya merasa aman di balik layar, kini berada di bawah sorotan tajam.

Cercaan datang dari segala arah. Aparat keamanan mulai menyelidiki, dan dalam pertemuan yang tegang, sang dosen, yang selama ini merasa berkuasa, akhirnya menyerah. "Itu bukan tulisanku," katanya dengan suara bergetar di bawah tekanan interogasi. "Itu tugas yang ditulis oleh mahasiswa saya tanpa sepengetahuan saya."

Tak butuh waktu lama sebelum pintu rumah Raka didobrak oleh aparat berseragam. Ia dibawa dengan paksa, diinterogasi, dan disiksa dalam ruangan dingin yang penuh dengan bayangan. Mereka memaksanya untuk mengaku bahwa ia salah, bahwa apa yang ia tulis adalah fitnah terhadap negara. Tapi Raka, meski tubuhnya lemah, jiwanya tetap kuat.

Pada akhirnya, setelah hari-hari penyiksaan, Raka diberi pilihan terakhir. Di hadapannya, mereka meletakkan sebuah gelas kecil yang berisi cairan berwarna gelap. Racun. Sebuah akhir yang telah menunggu sejak lama.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil gelas itu, menatapnya sejenak, lalu tersenyum pahit. "Socrates dan aku," katanya dengan suara yang nyaris pudar, "kami sama. Kami sama-sama mencintai filsafat, sama-sama ingin menemukan kebenaran. Dan sekarang, sama-sama diminta minum racun."

Ia mengangkat gelas itu, menatap ke arah langit-langit, seolah-olah ada sesuatu yang tak terlihat di sana, sesuatu yang hanya ia pahami. “Mungkin, setelah ini aku akan bertemu dengan dia. Jika Konsel Ketuhanan itu memang benar-benar ada.”

Raka meminum racun itu tanpa ragu, seolah takdir telah lama menulis akhir hidupnya. Dalam kepedihan dan kesunyian, tubuhnya jatuh ke lantai, namun di wajahnya masih terukir senyuman tipis—senyuman seseorang yang tahu bahwa kebenaran, meskipun pahit, tetap lebih berharga daripada kehidupan itu sendiri.

- Selesai

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Bernasib Seperti Socrates
Sayidina Ali
Cerpen
Jodoh di Tangan Juragan
Dian Rinda
Cerpen
chabi & beni
faridha maharani azzahra
Cerpen
Uang Saku
Muhammad Azmi Fahreza
Cerpen
Tugas Nambah-Nambah
muhamad fahmi fadillah
Cerpen
Ay
Ancha Septya
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-5
Munkhayati
Cerpen
Bronze
Pagar Depan Rumah
spacekantor
Cerpen
Hanya Sebatas Kerikil Kecil
Rein Senja
Cerpen
Bronze
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Paduka Yang Mulyo
Kiiro Banana
Cerpen
Bronze
Sakit Kiriman
Intan Andaru
Cerpen
Sugeng Ricuh
Siti Qoimah
Cerpen
Bronze
Berjuta-juta Jalan Menuju Kematian
Bonari Nabonenar
Cerpen
Titik Jenuh
Rifa Asyifa
Rekomendasi
Cerpen
Bernasib Seperti Socrates
Sayidina Ali
Cerpen
Bayang-Bayang Kesempurnaan
Sayidina Ali
Cerpen
Rumah yang Tak Berharap Kembali
Sayidina Ali
Cerpen
Antara Bumi & Angkasa
Sayidina Ali
Cerpen
Rumah yang Tak Kunjung Pulih
Sayidina Ali
Novel
Kita dalam Kehidupan Bumi & Bulan
Sayidina Ali
Novel
Cinta dalam Cerita
Sayidina Ali