Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
BERLIAN YANG TERCAMPAK
2
Suka
1,281
Dibaca

Kuntum-kuntum merah flamboyan menari gemulai diterpa angin Jakarta yang hangat, gugur satu per satu menyentuh tanah, serupa serpihan hati yang belum tahu akan segera jatuh. Nursyilla menatap kelopaknya yang merona dengan senyum tipis, tangan kanannya menggenggam jemari Arjuna yang selalu terasa hangat dan meyakinkan. Di bangku taman belakang sekolah, tersembunyi dari hiruk pikuk kantin dan lapangan, dunia terasa menyempit hanya untuk mereka berdua. Wangi tanah basah dan aroma khas bunga flamboyan menjadi saksi bisu setiap janji, setiap tawa.

“Syil, kamu tahu kenapa aku suka banget tempat ini?” Arjuna bertanya, suaranya pelan dan dalam, memecah keheningan romantis di antara mereka. Ia memandang ke arah Nursyilla, sorot matanya yang biasanya penuh canda, kini memancarkan keteduhan yang membius.

Nursyilla menggelengkan kepala pelan, pipinya merona. "Kenapa, Jun?"

“Karena di sini, aku merasa jadi diriku sendiri. Bukan Arjuna si bintang sekolah, bukan si juara basket, bukan si model dadakan. Cuma Arjuna yang suka sama gadis lugu dari Lombok, yang hatinya bersih kayak embun pagi,” katanya, mengusap punggung tangan Nursyilla dengan ibu jarinya. “Dan di tempat ini juga, aku mau kita selalu balik, apapun yang terjadi.”

Sebuah desiran aneh menjalar di dada Nursyilla. Kata-kata Arjuna terasa begitu tulus, begitu kuat. Ia ingat bagaimana pertama kali mengenal pria itu. Dulu, ia gadis paling canggung di SMA Pelita Bangsa, sebuah sekolah elit yang terasa sangat asing. Datang dari Lombok, dengan logat yang kadang masih terbawa, serta kemampuan akademik yang jauh tertinggal, ia merasa seperti ikan yang tersesat di lautan luas. Anggi, teman sebangku yang cerdas dan ramah, menjadi satu-satunya pelabuhan. Ia yang sabar mengajari Nursyilla tentang PR matematika, tentang istilah gaul Jakarta, tentang cara menghadapi tatapan sinis anak-anak kota. Tanpa Anggi, Nursyilla mungkin sudah menyerah di minggu pertama.

Arjuna muncul di tengah kegalapan itu, bukan sebagai penyelamat heroik, melainkan secara perlahan, seperti matahari yang mengintip di balik awan. Awalnya, mereka hanya kebetulan sering bertemu di perpustakaan saat Nursyilla sedang mati-matian mengejar pelajaran yang belum ia pahami. Arjuna, yang juga sering belajar di sana untuk menjaga nilainya, sering tersenyum padanya. Senyuman yang membuat jantung Nursyilla berdegup lebih kencang dari biasanya. Hingga suatu hari, saat karyawisata ke Kebun Raya Bogor, mereka tak sengaja terpisah dari rombongan dan menemukan diri mereka terjebak hujan deras di bawah sebuah pohon tua. Tawa lepas mereka saat basah kuyup, obrolan ringan tentang impian dan ketakutan, menjadi titik awal segalanya.

Sejak saat itu, Arjuna tak lagi hanya sekadar senyuman. Ia adalah sosok yang sabar membimbing Nursyilla dalam pelajaran fisika, yang tak segan membelanya dari ejekan teman-teman yang menyebutnya “gadis kampung.” Ia adalah pria yang mengubah ketidakpercayaan diri Nursyilla menjadi bunga-bunga harapan. Di bawah pohon flamboyan yang sama, tiga bulan yang lalu, Arjuna menyatakan perasaannya. Sebuah pengakuan yang terasa seperti mimpi bagi Nursyilla.

“Syil, aku suka sama kamu. Bukan karena kamu polos, bukan karena kamu beda, tapi karena aku merasa nyaman dan tenang di dekatmu,” Arjuna berkata saat itu, wajahnya serius. “Mungkin aku terlalu cepat, tapi aku ngerasa ini… ini cinta.”

Dan Nursyilla, dengan seluruh kepolosan dan ketulusan hatinya, menerima cinta tersebut. Ia merasa Arjuna adalah hadiah dari langit, pangeran yang datang menyelamatkan seorang gadis desa. Ia tak tahu, bahwa hadiah terkadang datang dengan harga yang harus dibayar mahal.

***

Hubungan mereka berjalan mulus, seolah tak ada yang bisa mengusik. Setiap hari sepulang sekolah, Arjuna selalu menyempatkan diri mengantar Nursyilla ke kos-kosannya. Kadang, mereka akan berhenti di kafe kecil dekat kos, berbagi cerita tentang hari yang telah berlalu. Nursyilla terbiasa dengan sorot mata iri dari siswi lain, dengan bisik-bisik yang menyebutnya beruntung mendapatkan Arjuna. Ia tidak peduli, karena yang ia tahu, Arjuna selalu ada untuknya.

Suatu sore, saat mereka sedang duduk di kafe, Andrew—teman lama Arjuna yang terkenal suka berpesta dan gaul—menghampiri meja mereka. Andrew adalah tipe pria yang selalu mencari kesenangan dan gengsi.

“Wih, ini dia nih pasangan yang lagi kasmaran,” Andrew menyapa, tersenyum sinis ke arah Nursyilla. “Jun, lo ngapain sih pacaran sama cewek gini-gini aja? Udah gak zaman tahu, bro.”

Arjuna mengerutkan kening. “Maksud lo apa, Drew? Nursyilla pacar gue.”

“Ciyee pacar,” Andrew terkekeh, tidak menghiraukan nada tak suka Arjuna. “Gue punya kenalan nih, Bella. Selebgram, model, aktris FTV junior. Cantik banget, glamor, banyak koneksi. Kalau lo jadi pacarnya, karir modelling lo bisa makin naik, Jun. Popularitas lo juga.”

Nursyilla merasakan jantungnya mencelos mendengar nama Bella. Ia tahu Bella. Gadis itu memang luar biasa cantik, kulitnya mulus, rambutnya selalu tertata sempurna, dan gayanya modis. Bella adalah kebalikan dari dirinya yang sederhana.

“Gak tertarik,” jawab Arjuna cepat, tapi Nursyilla melihat keraguan sekelebat di mata Arjuna, sebuah kilatan ambisi yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Andrew menyeringai. “Yakin? Gue tahu selera lo, Jun. Biasanya lo nggak suka yang polos-polos banget. Ini kesempatan emas, bro. Coba deh ketemu sekali aja.” Andrew lalu mengeluarkan ponselnya, menunjukkan beberapa foto Bella yang sedang bergaya di berbagai acara glamor. “Liat, kan? Aura bintangnya beda.”

Arjuna mengambil ponsel Andrew, menatap foto-foto itu dengan tatapan yang sulit dibartikan. Nursyilla menahan napas, dadanya sesak. Ia merasakan hawa dingin menjalari tulangnya, seolah bayangan masa depan yang buruk mulai terbentuk. Arjuna adalah pria yang mudah tergiur dengan gemerlap dunia. Popularitas dan status adalah racun yang mematikan, ia tahu.

Beberapa hari setelah pertemuan dengan Andrew, perubahan pada Arjuna mulai terasa. Teleponnya tidak seintens dulu. Pesan-pesannya semakin singkat. Alasan-alasan sibuk mulai sering ia lontarkan. Nursyilla mencoba memahami, mencoba percaya, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Puncaknya terjadi seminggu kemudian. Arjuna mengajaknya bertemu di kafe yang sama tempat mereka sering menghabiskan waktu, tapi kali ini, ada suasana tegang yang mencekam. Arjuna terlihat gelisah, matanya menghindari tatapan Nursyilla.

“Syil, ada yang mau aku omongin,” katanya, tanpa basa-basi, setelah mereka duduk. Ia tidak memesan apapun, hanya memilin serbet di tangannya.

Nursyilla merasakan perutnya melilit. “Ada apa, Jun?” suaranya tercekat. Ia sudah mempersiapkan diri untuk skenario terburuk, tapi tetap saja, rasa takut itu meremasnya.

“Aku… aku minta maaf, Syil,” kata Arjuna, akhirnya menatap Nursyilla, namun hanya sesaat sebelum pandangannya kembali jatuh ke meja. “Aku nggak bisa lagi sama kamu.”

Dunia Nursyilla runtuh dalam sekejap. Rasanya seperti ada tangan tak terlihat yang meremukkan hatinya hingga menjadi serpihan. Udara di sekitarnya menipis, dan ia kesulitan bernapas.

“Kenapa, Jun? Ada apa? Apa salahku?” tanyanya, suaranya bergetar, mata mulai berkaca-kaca. Ia tidak ingin menangis di depan Arjuna, tapi air mata sudah menumpuk di pelupuk.

Arjuna menghela napas panjang. “Kamu nggak salah apa-apa, Syil. Kamu baik, kamu tulus. Tapi… hatiku udah berpaling.”

“Berpaling?” Ulang Nursyilla, tidak percaya. Ia tertawa pahit. “Secepat itu? Semudah itu?”

“Aku… aku ketemu Bella. Dia… dia beda, Syil. Dia bisa ngebantu aku buat berkembang, buat jadi lebih baik di karirku. Dunia dia cocok sama aku,” jelas Arjuna, berusaha terdengar meyakinkan, tapi ia tahu itu hanya alasan. Ia tahu hati Nursyilla hancur. Ia tahu ia pengecut.

Nursyilla menatapnya, air mata mulai mengalir deras di pipinya. “Jadi, semua yang selama ini kamu bilang, semua janji di bawah flamboyan itu… bohong?”

Arjuna menggeleng. “Nggak, Syil. Waktu itu aku beneran sayang sama kamu. Tapi… ya gitu. Aku tahu aku salah. Aku pengecut. Tapi aku nggak mau bohongi diri sendiri dan kamu.”

“Kamu nggak mau bohongi diri sendiri, tapi kamu udah bohongi perasaanku,” Nursyilla berkata, dengan suara serak yang penuh kepedihan. Ia merasa hina, tidak berharga. Bagaimana ia bisa bersaing dengan seorang Bella? Nursyilla menyeka air matanya kasar, berusaha mengumpulkan sisa-sisa harga dirinya. “Baiklah, kalau itu maumu. Terima kasih untuk pelajaran berharganya, Arjuna.”

Tanpa menunggu balasan Arjuna, Nursyilla bangkit, meninggalkan kafe dengan langkah gontai. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa beban seribu ton. Di luar kafe, hiruk pikuk Jakarta terasa semakin menyesakkan. Hatinya hancur berkeping-keping, dan ia tahu, hidupnya tidak akan sama lagi.

***

Minggu-minggu berikutnya adalah neraka bagi Nursyilla. Kamar kos yang dulu terasa hangat, kini terasa dingin dan hampa. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya melamun, menatap dinding, atau menangis di bawah selimut. Nafsu makannya hilang, senyumannya pun ikut lenyap. Anggi sering datang, mencoba menghibur, membawakan makanan, tapi tak ada yang bisa menembus dinding kesedihan yang mengelilingi Nursyilla.

“Syilla, kamu nggak boleh begini terus,” Anggi berkata suatu sore, sambil mengusap punggung Nursyilla yang meringkuk di kasur. “Arjuna nggak pantas buat air matamu. Dia pengecut.”

Nursyilla hanya bisa mengangguk, isakannya masih terdengar samar. Ia tahu Anggi benar, tapi rasa sakit itu terlalu nyata. Cinta pertamanya, orang yang ia percaya akan selalu bersamanya, telah mengkhianatinya begitu saja, demi gemerlap dunia yang ia tak miliki.

Suatu malam, saat ia kembali dari kamar mandi dengan mata sembap, Mbak Rahma, teman kosnya yang lebih tua dan berhijab syar'i, menghampirinya. Mbak Rahma adalah seorang mahasiswi tingkat akhir yang dikenal santun dan lembut.

“Nursyilla, kamu kenapa, Nak? Ada masalah?” tanya Mbak Rahma lembut, tatapan matanya penuh kasih.

Nursyilla tak kuasa lagi menahan beban. Ia menceritakan semuanya, tentang Arjuna, Bella, dan patah hati yang tak tertahankan. Mbak Rahma mendengarkan dengan sabar, sesekali mengelus rambut Nursyilla.

“Sakit memang. Tapi ingat, setiap rasa sakit itu adalah teguran dari Allah, agar kita kembali pada-Nya,” Mbak Rahma berkata setelah Nursyilla selesai bercerita. “Cinta pada makhluk memang seringnya mengecewakan. Tapi cinta pada Sang Pencipta, tak akan pernah.”

Kata-kata Mbak Rahma menampar Nursyilla, tapi juga terasa seperti air dingin yang menenangkan luka bakar di hatinya. Ia sadar, selama ini ia terlalu bergantung pada Arjuna, terlalu menjadikan pria itu pusat dunianya. Ia melupakan tujuan awalnya datang ke Jakarta: untuk membanggakan orang tua, untuk mencari ilmu, untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Sejak malam itu, Nursyilla mulai bangkit perlahan. Ia memulai dengan hal-hal kecil. Bangun lebih awal, membersihkan kamar, dan mulai memaksakan diri untuk makan. Lalu, ia kembali fokus pada pelajaran. Ia ingat bagaimana Anggi selalu membantunya, dan kini ia tak ingin lagi bergantung sepenuhnya. Ia mencari bimbingan belajar tambahan, menonton video tutorial di YouTube, dan menghabiskan lebih banyak waktu di perpustakaan. Ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia bisa sukses, bukan untuk Arjuna, tapi untuk dirinya sendiri, untuk orang tuanya.

Mbak Rahma juga mengajaknya ke kajian rutin di masjid dekat kos. Awalnya, Nursyilla merasa canggung, namun perlahan, ia menemukan ketenangan di sana. Ia mulai mendalami agama, membaca Al-Qur’an, dan memperbaiki ibadahnya. Setiap sujud terasa lebih khusyuk, setiap doa terasa lebih bermakna. Ia menemukan kekuatan batin yang tak pernah ia kira dimilikinya.

Semakin ia mendalami agama, semakin ia merasa ada bagian dirinya yang perlu disempurnakan. Suatu pagi, setelah shalat subuh, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Gadis lugu dari Lombok yang dulu insecure, kini menatap dirinya dengan sorot mata yang lebih tajam, lebih yakin. Ia teringat akan janji Allah untuk menjaga kehormatan wanita. Dengan tekad bulat, Nursyilla memutuskan untuk berhijab. Ia memulai dengan hijab sederhana, kemudian perlahan, ia memilih gaya yang lebih syar’i. Setiap helai kain yang menutupi auratnya terasa seperti benteng perlindungan, sebuah simbol perubahan dan komitmen baru. Nursyilla yang baru telah lahir.

***

Sementara itu, kehidupan Arjuna yang semula tampak gemerlap bersama Bella, ternyata tidak seindah yang ia bayangkan. Hubungan mereka lebih banyak diwarnai dengan jadwal padat, sesi foto, dan acara-acara mewah. Bella adalah wanita yang ambisius, selalu mencari popularitas, dan terkadang terlihat manipulatif. Arjuna merasa dirinya hanya menjadi aksesori yang bagus untuk meningkatkan citra Bella, bukan pasangan yang dicintai sepenuh hati.

Setiap kali mereka pergi ke acara, Bella akan sibuk berinteraksi dengan orang-orang penting di industri hiburan, meninggalkan Arjuna sendiri di sudut ruangan. Obrolan mereka pun hanya seputar karir, fashion, atau gosip terbaru. Tak ada lagi obrolan mendalam tentang impian, tentang ketakutan, seperti yang dulu ia rasakan bersama Nursyilla.

Suatu malam, saat Arjuna sedang menunggu Bella di sebuah kafe, ia melihat Bella datang bersama seorang pria lain. Mereka tampak sangat akrab, bahkan sesekali berpelukan dan tertawa lepas. Pria itu adalah seorang produser muda yang sedang naik daun, seperti yang ia dengar dari Andrew. Sebuah kecurigaan muncul di benak Arjuna. Ia memutuskan untuk mengikuti mereka.

Dan benar saja. Di sebuah studio foto, ia melihat Bella berciuman dengan produser itu, tanpa rasa malu sedikit pun. Jantung Arjuna mencelos, bukan karena patah hati seperti yang dialami Nursyilla, melainkan karena rasa harga diri yang tercabik-cabik. Ia merasa dipermainkan, dimanfaatkan, dan dibodohi. Semua yang ia korbankan demi Bella, semua yang ia abaikan, termasuk Nursyilla yang tulus, kini terasa sia-sia.

Arjuna menghampiri mereka, wajahnya mengeras. “Bella! Apa-apaan ini?”

Bella terkejut, segera melepaskan diri dari pria itu. “Arjuna? Ngapain kamu di sini?”

“Aku tanya, apa-apaan ini?!” Arjuna mengulangi, suaranya meninggi.

Bella mendengus. “Oh, ini? Ini cuma… urusan bisnis, sayang. Kamu salah paham.”

“Bisnis?” Arjuna menatap produser itu, yang hanya tersenyum mengejek. “Bisnis macam apa yang melibatkan ciuman? Aku sudah tahu semuanya, Bella. Kamu cuma manfaatin aku, kan? Cuma untuk naikin popularitas kamu, biar aku jadi cowok pajanganmu!”

Bella terdiam, tak bisa lagi membela diri. Wajahnya menunjukkan kemarahan dan sedikit rasa bersalah. “Oke, kalau kamu sudah tahu. Lalu kenapa?”

“Lalu kenapa?” Arjuna tertawa hampa. “Lalu kita putus! Aku nggak butuh wanita manipulatif kayak kamu!”

Arjuna berbalik, meninggalkan studio dengan hati yang hancur. Bukan karena cinta, tapi karena penyesalan yang membakar. Ia menyadari betapa bodohnya ia, betapa mudahnya ia tergiur pada hal-hal superficial. Ia telah menyia-nyiakan cinta tulus dari seorang gadis yang benar-benar peduli padanya, demi seorang wanita yang hanya memandangnya sebagai alat. Wajah Nursyilla, dengan mata polos dan senyuman tulus, melintas di benaknya. Rasa sesal itu datang menghantamnya begitu kuat, membuat ia merasa sepi dan kosong. Ia kehilangan segalanya, dan itu semua karena kesalahannya sendiri.

***

Waktu berlalu, dan Nursyilla terus berkembang. Ia tidak lagi sering melamun, senyumannya kembali, dan kali ini, senyuman itu memancarkan aura ketenangan dan percaya diri yang belum pernah ada sebelumnya. Rambut panjangnya kini tertutup rapi oleh hijab syar’i, menambah pesona anggun pada dirinya. Setiap langkahnya terasa mantap, tidak ada lagi jejak kegelisahan atau ketidakpastian.

Di sekolah, prestasinya melejit. Dengan kerja keras dan ketekunan yang luar biasa, Nursyilla berhasil mengejar semua ketertinggalannya. Ia bahkan sering membantu Anggi dan teman-teman lain dalam pelajaran yang sulit. Saat ujian kelulusan tiba, Nursyilla mengerjakannya dengan tenang dan penuh keyakinan. Hasilnya sungguh mengejutkan. Ia berhasil meraih nilai tertinggi kedua sejalur sosial, sebuah pencapaian yang membuat guru-guru dan teman-teman takjub. Ia bahkan mengalahkan Arjuna, yang nilai-nilainya menurun drastis sejak hubungannya dengan Bella berakhir.

Arjuna, di sisi lain, sering terlihat melamun di kelas, atau menyendiri di taman belakang, tempat flamboyan selalu mekar. Ia akan mencuri pandang ke arah Nursyilla, yang kini duduk di barisan depan dengan tenang, fokus pada pelajarannya. Setiap kali ia melihat Nursyilla, penyesalannya semakin mendalam. Nursyilla yang ia kenal dulu adalah gadis lugu dan insecure, sekarang telah menjadi wanita yang anggun, cerdas, dan penuh wibawa. Wanita yang ia sia-siakan, kini bersinar begitu terang. Ia tahu, ia telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya. Setiap upaya untuk mendekat, selalu ia urungkan. Ada dinding tak kasat mata yang dibangun Nursyilla, sebuah batas yang tidak bisa ia lewati.

Hari kelulusan tiba. Aula sekolah dipenuhi dengan tawa riang dan wajah-wajah bahagia. Nursyilla, mengenakan gamis syar’i berwarna pastel dan hijab senada, terlihat begitu memukau. Ia tersenyum, menyalami guru-guru dan teman-temannya. Orang tuanya, yang datang jauh-jauh dari Lombok, memeluknya dengan bangga.

Setelah acara resmi selesai, Nursyilla memutuskan untuk mencari tempat tenang sejenak sebelum kembali ke keramaian. Langkah kakinya membawanya ke taman belakang sekolah, tempat di mana pohon flamboyan tua masih berdiri kokoh, menebarkan kelopak merahnya di tanah.

Namun, di sana, ia menemukan Arjuna sedang berdiri, menatap kosong ke arah pohon. Pria itu tampak lebih kurus, sorot matanya redup, tidak ada lagi kilatan popularitas yang dulu selalu ia tunjukkan. Ketika Nursyilla hendak berbalik, Arjuna menyadari kehadirannya.

“Nursyilla,” panggilnya, suaranya serak. Ia menatap gadis itu, matanya penuh kepedihan dan penyesalan. “Aku… aku tahu ini nggak ada artinya lagi. Tapi aku harus ngomong sama kamu.”

Nursyilla mengangguk, tatapannya tenang. “Aku dengerin.”

Arjuna melangkah mendekat, perlahan, hingga ia berdiri tepat di depan Nursyilla. Ia kemudian berlutut, sebuah mawar merah yang sedikit layu ia sodorkan kepada Nursyilla. “Syil, aku tahu aku salah. Aku bodoh. Aku khilaf. Aku dibutakan sama popularitas, sama hal-hal duniawi yang nggak ada artinya.”

Nursyilla menatap mawar itu, kemudian beralih pada wajah Arjuna yang penuh penyesalan.

“Bella… dia cuma manfaatin aku. Aku nyesel banget, Syil. Nyesel banget karena udah nyia-nyiain kamu, nyia-nyiain cinta tulusmu. Kamu adalah satu-satunya wanita yang bener-bener tulus sama aku,” lanjut Arjuna, suaranya bergetar. “Aku mohon, Syil. Kasih aku kesempatan kedua. Aku janji, aku akan berubah. Aku akan belajar mencintai dengan tulus, seperti yang kamu ajarkan dulu.”

Nursyilla tersenyum, tapi senyumannya kali ini bukan senyuman sedih, melainkan senyuman penuh kebijaksanaan. Ia menatap Arjuna, matanya memancarkan keteguhan yang dulu tak pernah ia miliki.

“Arjuna, aku menghargai permintaan maafmu,” katanya lembut, namun tegas. “Aku tahu kamu menyesal, dan aku memaafkanmu. Tapi…” Ia mengambil jeda sejenak, mengumpulkan kekuatan. “Aku bukan lagi Nursyilla yang dulu. Bukan lagi gadis lugu yang gampang kamu permainkan. Patah hati ini, justru yang membuat aku menemukan siapa diriku yang sebenarnya.”

Arjuna menatapnya dengan putus asa. “Jadi… nggak ada kesempatan lagi?”

Nursyilla menggeleng pelan. “Tidak ada, Arjuna. Hatiku sudah damai. Kebahagiaanku sekarang datang dari diriku sendiri, dari keyakinanku, dari Allah. Aku memilih untuk kembali ke kampung halamanku, melanjutkan studi di sana. Aku ingin membangun masa depanku sendiri, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan.”

Ia kemudian menunjuk pohon flamboyan. “Pohon ini, pernah jadi saksi bisu kebahagiaanku. Tapi juga jadi saksi betapa rapuhnya kepercayaanku saat itu. Sekarang, biarlah ia jadi saksi bahwa aku sudah bangkit, dan aku tidak akan lagi melihat ke belakang.”

Nursyilla menatap Arjuna sekali lagi, dengan tatapan yang penuh empati namun tanpa keraguan sedikit pun. “Semoga kamu juga menemukan kebahagiaan dan jalanmu, Arjuna. Belajarlah dari kesalahanmu. Semoga Allah mengampunimu dan membimbingmu.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Nursyilla membalikkan badan, melangkah pergi meninggalkan Arjuna yang masih berlutut, memegang mawar merah yang kini tampak seperti simbol kesia-siaan. Ia melangkah keluar dari gerbang sekolah, menuju masa depan yang cerah dan penuh harapan. Ia tahu, perjalanan ini baru permulaan, dan kebahagiaan sejati bukanlah tentang menemukan cinta, melainkan tentang menemukan diri sendiri.

Arjuna hanya bisa menatap punggung Nursyilla yang semakin menjauh, hingga menghilang di balik keramaian jalan. Angin kembali bertiup, menerbangkan kelopak flamboyan yang gugur, seolah menyapu bersih sisa-sisa harapan yang ia miliki. Apakah ia akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri? Apakah ada kesempatan bagi penebusan, ataukah hatinya akan selamanya terperangkap dalam bayang-bayang flamboyan dan penyesalan yang tak berujung? Hanya waktu dan pilihan masa depannya yang akan menjawab.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Sekalimat untuk Nada
Muhammad Fiqih Sugesty
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Novel
Bronze
ACCEDO
Angela L Maharani
Novel
Diriku Tak Seberuntung Kalian
Gino Susanto
Skrip Film
JANJI HATI AHMAD
Aries Supriady
Novel
GAME OVER
Gemi
Novel
Bronze
Ms. Newbie, Mr. Boss & Mdm. Devil Seri 1
Bebekz Hijau
Novel
CINTA YANG TERSEMBUNYI
elysia noir
Skrip Film
Aku adalah
Eva Natalia Prasetya
Flash
Lycoris Radiata
Vica Lietha
Novel
Cowok Cupu Kekasihku
Anisa Ratna kania
Novel
Bronze
Pengantin Cadangan
Jayanti Yusuf
Novel
Dear Editor, My Heart Is Yours
Nurul Adiyanti
Cerpen
Bagaikan Langit dan Bumi
Heni Fitriani
Novel
Bunga Kembang Sepatu
Ratselini
Rekomendasi
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
PRING IRENG HUTAN LARANGAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RANTAU RAMADHAN PERTAMA
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
URBAN LEGEND DESA ARUMDALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
PELANGI USAI BADAI
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH SEMUSIM LALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RENDANG UNTUK IBU MERTUA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JALAN HIDAYAH DI BALIK SENJA
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH PUTIH DARI HINDUSTAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum