Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hidup adalah kehampaan. Menanti hari yang tidak tahu ke mana alurnya akan membawa, cemas jika kejadian menyesakkan dada kembali terulang.
Berdiri di depan sebuah rumah tua. Pintu yang kayunya sudah kusam, cat yang mengelupas dimakan waktu. Dengan ragu, kupapah keberanian dalam ketukan sunyi di pintu yang tak lagi ramah. Suara ketukan bergema di udara yang hening, disusul langkah berat dari dalam.
Pintu terbuka, menampakkan sosok laki-laki paruh baya berperawakan tinggi, tetapi sedikit bungkuk. Sorot matanya kosong menatapku, tatapan yang sulit ku artikan, akankah itu kemarahan atau kesedihan.
“Mau apa datang kemari?” suaranya tegas, dingin, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan kami. Nafasku terasa berat, ”Aku hanya ingin memastikan Ayah baik-baik saja,” kalimat itu akhirnya terlontar, menantang gentar yang bersembunyi di dada.
Lelaki paruh baya itu mendengus pendek. ”Tidak usah kau pedulikan aku. Tunggu saja kabar kematianku, baru kau boleh datang menapaki rumah ini!”. Dulu, suara itu pernah menenangkanku, tetapi kini hanya menghadirkan luka.
“Ayah…aku tahu, aku telah mengecewakanmu. Tapi izinkan aku melihat kondisi Ayah sebentar saja”. Aku ingin percaya bahwa kata maaf bisa menata ulang kesalahan, layaknya seperti merangkai kembali serpihan kaca yang retak. Namun, dimata pria paruh baya ini, maaf tidak ada artinya ketika semuanya telah terjadi. Lidahku kelu, tidak tahu harus berkata apa lagi.
Helaan napas Panjang terlepas dari pria itu. Tatapannya dingin, nyaris tanpa emosi. ”Kau sudah melihat keadaanku, bukan? Sekarang pergilah. Jangan pernah menapakkan kakimu lagi di rumah ini, karena Aku sudah membersihkannya”. Pintu berderit. Kemudian, Brak! Tertutup rapat. Berdiri di ambang pintu yang tak lagi menyambut hangat, kini hanya menawarkan kehampaan.
***
Berlin adalah nama yang diambil dari kata berlian. Permata yang diharapkan akan bersinar terang. Sejak kecil aku adalah kebanggaan orang tuaku. Tumbuh di ruang lingkup yang tersekat, membuat jiwaku meraung ingin melangkah ke metropolitan, memburu hidup yang lebih layak. Namun, segalanya berubah, ketika keputusan itu dijatuhkan.
Awalnya semua tampak berjalan sesuai harapan. Berkirim surat dan uang disetiap bulan. Mereka bangga, anak perempuan mereka menjadi seseorang yang telah berjaya di tanah rantau. Tapi, perlahan surat-surat dariku mulai terlambat. Kiriman uang semakin jarang. Bukan karena tidak mau, tetapi Aku malu. Malu pada apa yang tidak bisa kuperbaiki. Hingga suatu hari, seorang warga pulang dari kota dan membawa kabar yang tak pernah mereka duga.
Aku tidak tahu pasti bagaimana ibu menerimanya, tapi yang kudengar, Ibu sedang menjemur pakaian di halaman dan mendengar bisikan-bisikan tetangga. Wajahnya langsung pucat, tangannya gemetar hebat, hingga ember berisi pakaian jatuh terguling. “Tidak…tidak mungkin” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Ia berlari ke dalam rumah, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Napasnya tersengal. Suara gaduh itu membuat Ayah keluar. Matanya melebar melihat Ibu terjatuh, tubuhnya menggigil, bibirnya bergetar mencoba mengucapkan sesuatu.
“Bu, kenapa?! Bertahanlah!” namun, Ibu tidak lagi merespon. Ia terkapar di lantai, matanya menerawang kosong. Di sela-sela kepanikannya, Ayah melirik ke arah para tetangga yang masih berbisik-bisik. Mereka tahu sesuatu yang ia tidak tahu.
Dan saat akhirnya Ayah mengetahui kebenaran itu, dunia seolah berhenti berputar. Sejak saat itu, tidak ada lagi nama Berlin di rumah ini. Tidak ada lagi anak perempuan yang mereka banggakan. Yang tersisa hanyalah penyesalan dan amarah.
***
Langkah ini bergerak perlahan, menjauh dari rumah tua itu. Pintu yang tertutup, terasa seperti tembok raksasa yang memisahkan dari masa lalu. Berjalan tanpa arah, langkah-langkah ini justru membawaku ke depan sebuah masjid kecil. Cahaya temaram menyinari serambi, lantunan ayat suci terdengar pelan dan indah, seolah memanggilku pulang setelah menghilang.
Mungkin ini jawabannya. Aku mecoba masuk, tapi begitu melewati ambang pintu, tatapan orang-orang di dalam masjid berubah dingin. “Astagfirullah, berani sekali dia datang ke sini” ucap salah seorang ibu-ibu yang sedang berkumpul menanti waktu untuk sholat.“Sudah rusak, mana bisa bertaubat?” timpal ibu-ibu di dekatnya. Bisikan itu semakin banyak, semakin keras.
Aku tetap mencoba mendekati seorang ustadz di dekat mimbar. “Saya ingin bertaubat, Pak ustadz. Bisakah anda membimbing saya?”.
Laki-laki itu menatapku lama, sebelum akhirnya berkata,” Kau kira surga terbuka untuk orang sepertimu?”. Kalimat itu menghantam lebih dari teriakan, harapanku langsung runtuh. Apakah Tuhan juga akan menolakku, seperti manusia?
Suara adzan subuh memecah keheningan dan membangunkanku dari gelisah yang menyesakkan dada, dengan napas yang memburu, wajah yang dibasahi oleh keringat, ku alihkan pandanganku ke sekeliling. Tidak ada bisikan, tidak ada tatapan menghakimi, hanya ada beberapa orang yang baru datang untuk sholat, lalu tersenyum ramah padaku.
Ternyata itu hanyalah mimpi, tapi rasa takut dari mimpi itu belum hilang. Justru semakin menusuk. ” Kalau mimpi saja bisa menyakitkan, bagaimana jika nyata?”.
Aku bangkit, melangkah menjauh dari masjid, dari tempat yang sebenarnya kurindukan. Tapi hatiku belum siap, takut akan penolakan, takut kembali dihakimi. Akuterus berjalan, entah ke mana, entah sampai kapan. Yang pasti, malam itu aku kembali berjalan sendiri.
Hari demi hari, Aku terus melangkah tanpa tahu kemana langkah ini akan membawaku. Berharap menemukan kehidupan baru dan terbebas dari bayang-bayang masa lalu. Setiap malam, bayangan itu terus menghantui. Kilatan lampu remang-remang, bau parfum yang menyengat, suara lelaki yang mengajakku bicara dengan nada manis, tapi penuh maksud tersembunyi.
Kilatan memori itu mulai bermunculan. Nama berlian yang sering dipanggil oleh tamu-tamu di kamar hotel. Pekerjaanku bukan hanya seorang penari di klub malam, tapi juga seorang pekerja seks komersial. Pekerjaan yang awalnya kulakukan demi bertahan hidup, demi mengirim uang ke rumah. Tapi akhirnya, itu menjadi bagian dari diriku atau lebih tepatnya, bagian yang ingin kulupakan. Namun, masyarakat tidak peduli alasan dibaliknya. Mereka hanya melihat dosa, bukan perjuangan.
Di satu kota yang jauh, yang tak kukenali. Aku menemukan suatu hal yang nyaris takku duga, harapan. Seorang perempuan muda dari komunitas sosial menghampiriku, “ Mbak, kamu nggak apa-apa? Aku bisa bantu kalau butuh tempat tinggal sementara”. Sudah lama aku tidak mendengar suara penuh kebaikan seperti itu dan tidak menghakimi. Mungkin ini awal yang baru, akupun mengiyakan ajakannya.
Beberapa tahun kemudian, Aku berdiri di depan cermin. Rambut yang tersisir rapi, wajah yang lebih tenang. Sekarang Aku bekerja sebagai perawat di pantu asuhan. Tidak ada yang tahu masa laluku, dan aku tidak ingin menceritakannya.
Di taman, seorang anak kecil menarik bajuku, lalu berkata “ Kak Berlin. Kenapa kakak selalu tersenyum, aku pengen kayak kak berlin yang murah senyum, nggak kayak aku yang cengeng” ucapnya dengan senyum lebar. Aku tersenyum, sambil mengusap kepala anak itu, “karena kakak sudah belajar, bahwa manusia bisa salah, tapi bukan berarti kita tidak bisa memulai lagi”.
Cahaya matahari mulai menyentuh wajahku, hangat. Suara berisik muncul, suara besi yang beradu, langkah kaki yang berat. Aku menoleh kesekeliling, yang kulihat hanya ada dinding putih, lampu yang redup, bau obat-obatan yang menyengat. Tidak ada taman panti asuhan, anak kecil itupun juga menghiang. Aku tidak berada di dunia yang damai itu, Aku masih di dalam ruangan rumah sakit jiwa. Pakaian putih yang kukenakan bukan seragam perawat, melainkan seragam pasien. Bayangan di cermin menatapku dengan kosong, dengan rambut yang kusut, badan yang kurus dan mata yang cekung. Kehidupan normal yang kujalani selama ini, hanya ada dalam pikiranku.