Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
BERKHIANAT DEMI SI BULE
0
Suka
769
Dibaca

Angin semilir sore itu membawa aroma melati yang samar dari taman kampus, berpadu dengan keharuman kertas dan tinta dari buku-buku lama yang selalu Rey sukai. Di bawah bayangan kokoh pohon flamboyan, Rey membaca sebuah puisi. Jemarinya, yang terbiasa memecahkan rumus-rumus fisika rumit, kini terasa canggung memegang lembaran kertas beraroma vanila. Baris-baris indah terangkai di sana, tulisan tangan Cecilia, kekasihnya.

Bintang-bintang merangkai nama kita dalam sunyi,

Dua hati terpaut dalam melodi takdir.

Kau, sang cahaya logika, aku, sang penjaga mimpi,

Berpadu abadi, takkan pernah berakhir.

Rey tersenyum. Di setiap sudut kampus, ia selalu menganggap Cecilia sebagai "Putri Salju"-nya, bukan karena kecantikannya yang mencolok layaknya tokoh dongeng, tapi karena ketulusan dan kepolosannya yang memancarkan aura magis. Puisi-puisi Cecilia selalu berhasil menembus dinding logikanya, menyentuh relung hatinya yang paling dalam.

"Bucin banget, Bro," sebuah suara menyentaknya dari lamunan. Ion, sahabat Rey sejak ospek, sudah berdiri di sampingnya dengan senyum iseng. "Ngerjain soal fisika aja lo nggak pernah seserius itu."

Rey terkekeh, melipat hati-hati lembaran puisi tersebut. "Ini beda, Yon. Ini seni."

Ion menggeleng-gelengkan kepala. Ia adalah mahasiswa teknik, pragmatis dan selalu melihat segala sesuatu dari kacamata fungsional. "Seni atau sihir? Gue lihat lo kayak kesetrum tiap kali baca tulisan dia. Padahal cuma coretan kata-kata."

"Bukan cuma coretan," Rey membela. "Ini perasaan. Dia tuh Putri Salju gue. Manis, puitis, dan polos."

"Ya, ya, Putri Salju yang bikin lo senyum-senyum sendiri di bawah pohon," Ion menyahut, mencibir. "Ngomong-ngomong, lo udah selesai belum analisis medan gravitasi kemarin? Pak Budi mau minta besok."

Rey menghela napas. Kembali ke realitas. "Udah, santai aja. Jam sepuluh malam nanti kita bahas bareng di kosan lo?"

"Oke. Jangan lupa bawa cemilan," Ion menepuk pundak Rey, lalu berlalu menuju kantin.

Rey menatap punggung Ion yang menjauh, lalu kembali menggenggam puisi Cecilia. Ada keindahan yang tidak bisa dijelaskan dengan rumus-rumus fisika, keindahan yang hanya bisa dirasakan. Namun, di balik keindahan itu, seringkali terselip keraguan yang menggerogoti hatinya.

Senja mulai merambat saat Rey melangkah menuju Fakultas Sastra, tempat Cecilia kuliah. Bau hujan yang baru saja turun membasahi dedaunan, menciptakan aroma tanah basah yang menenangkan. Rey melihat Cecilia berdiri di depan gerbang, rambut panjangnya diikat ekor kuda, matanya menerawang. Gadis itu memang selalu terlihat seperti karakter dari novel.

"Snow White," panggil Rey, melambai.

Cecilia menoleh, senyumnya merekah, segera menghampiri Rey. "Udah lama nunggu?"

"Barusan kok. Gimana kelas hari ini? Ada inspirasi puisi baru?" Rey mengusap lembut rambutnya yang sedikit basah.

Mereka berjalan beriringan, menuju halte bus. "Lumayan. Tadi sempat bahas sastra Perancis abad 19. Romantis banget," cerita Cecilia, matanya berbinar. "Oh, iya, Mama tadi nelepon. Nanyain aku kenapa belum pulang sampai magrib. Cerewet banget."

Rey tertawa pelan. "Namanya juga Ibu, khawatir."

"Iya, sih. Tapi kadang suka nambahin tekanan," Cecilia menggumam, menyandarkan kepalanya di bahu Rey. "Dia bilang, 'Ngapain aja di kampus sampai lupa waktu? Jangan buang-buang waktu cuma buat hal nggak penting. Cari teman yang bisa ajak kamu maju, dong.' Gitu terus omelannya."

Perkataan Cecilia membuat Rey sedikit terhenyak. Entah kenapa, ia merasa tersindir. Rey tahu, Bu Esti, ibunda Cecilia, selalu memiliki standar tinggi untuk calon menantunya. Rey, seorang mahasiswa fisika dari keluarga pedagang pakaian sederhana, sering merasa seperti tidak memenuhi kriteria tersebut.

"Jadi, kamu tadi ngapain aja sampai telat pulangnya?" Rey mencoba mengalihkan pembicaraan, menyembunyikan kegundahannya.

Cecilia tersenyum. "Cuma ngumpul di UKM. Tadi ada bahas program kerja untuk bulan depan. Terus sekalian ngobrol-ngobrol sama teman-teman. Kamu tahu kan, aku jarang bisa main ke mall atau tempat-tempat seru lainnya. Jadi, di kampus itu semacam pelarian."

Ucapan terakhir Cecilia seperti palu yang menghantam dada Rey. Ia jarang bisa mengajak Cecilia ke mall atau tempat-tempat hiburan lainnya karena keterbatasan biaya. Rey hanya bisa mengajak Cecilia ke taman, kafe sederhana, atau sekadar jalan-jalan di sekitar kampus. Perkataan itu, yang mungkin diucapkan Cecilia tanpa maksud, menusuk hati Rey. Kesenjangan sosial ekonomi di antara mereka terasa begitu nyata. Sebuah kerikil kecil yang dulu dianggap sepele, kini mulai terasa mengganjal.

***

Beberapa hari kemudian, Cecilia datang ke rumah Rey. Hari itu, ia berjanji akan membantu Prapti, adik Rey, dalam menulis cerita fiksi untuk tugas sekolahnya. Rumah Rey yang sederhana, terletak di gang sempit dekat pasar, terasa hangat dengan aroma masakan Ibu yang baru selesai membuat sambal terasi.

"Assalamu'alaikum," sapa Cecilia ceria saat Ibu Rey membukakan pintu.

"Wa'alaikumussalam. Cecilia, masuk, Nak," Ibu Rey tersenyum ramah. "Prapti udah nungguin di dalam. Rey juga ada."

Cecilia masuk, disambut oleh Prapti yang malu-malu namun antusias. Gadis kecil itu, dengan rambut dikepang dua dan seragam pramuka, langsung menarik Cecilia ke meja belajar mereka.

"Kak Ceci, aku bingung banget mau nulis tentang apa," keluh Prapti. "Temanya petualangan, tapi aku nggak punya ide petualangan seru."

"Nggak apa-apa. Kita mulai dari yang kecil dulu," kata Cecilia, sabar. Ia mulai menjelaskan struktur cerita, cara membangun karakter, dan pentingnya imajinasi.

Rey memperhatikan dari dapur, membantu Ibunya menyiapkan teh untuk tamu. Ibunya menatap Cecilia dengan kagum. "Lihat, Rey. Calon istrimu pintar banget, ya. Cocok jadi guru."

Rey tersenyum, hatinya menghangat mendengar pujian Ibunya. "Iya, Bu. Cecilia memang pintar dan baik."

Namun, suasana hangat itu sedikit terusik ketika ponsel Cecilia berdering. Gadis itu segera mengangkatnya.

"Iya, Mama? Aku di rumah Rey, nih. Bantu Prapti ngerjain tugas," jawab Cecilia. Ada jeda, lalu wajahnya berubah sedikit cemberut. "Iya, Ma. Ini sebentar lagi juga pulang. Mama kok nelepon terus, sih?"

Rey melihat ekspresi wajah Cecilia berubah. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Ibu Cecilia, Bu Esti, ada di ujung telepon. Rey tahu, Bu Esti selalu tidak terlalu menyukai hubungan mereka.

Kilasan balik…

Beberapa minggu sebelumnya, Rey pernah mengantar Cecilia pulang. Saat itu, ia sempat berpapasan dengan Bu Esti di depan rumah. Wanita itu, dengan tampilan rapi dan ekspresi dingin, hanya menatap Rey tanpa senyum.

"Kamu siapa?" tanya Bu Esti, langsung tanpa basa-basi.

"Saya Rey, Tante. Teman kuliah Cecilia." Rey mencoba tersenyum sopan.

"Oh, teman," Bu Esti mengangguk, namun tatapannya tetap tidak ramah. "Cil, masuk. Udah sore. Jangan keluyuran terus."

Cecilia menatap Rey dengan pandangan meminta maaf, lalu buru-buru masuk. Bu Esti kemudian berbalik, menatap Rey tajam. "Kamu tahu kan, Cecilia itu anak saya satu-satunya. Saya mau dia mendapatkan yang terbaik."

Rey hanya bisa mengangguk. "Tentu, Tante."

"Yang terbaik itu bukan cuma baik hati, tapi juga mapan. Pendidikan tinggi penting, tapi masa depan yang stabil jauh lebih penting," lanjut Bu Esti, nadanya menusuk. "Coba lihat kamu. Masih kuliah, dari keluarga biasa. Masa depan kalian itu tidak jelas."

Kata-kata itu menghantam Rey seperti batu. Ia merasakan pipinya memanas, harga dirinya tercabik-cabik. Ia berusaha menahan diri untuk tidak membantah.

"Tante, saya mencintai Cecilia. Saya akan berusaha keras agar bisa membahagiakannya," Rey mencoba meyakinkan.

Bu Esti hanya mendengus. "Cinta tidak bisa membuat perut kenyang, Nak. Cinta juga tidak bisa membayar biaya sekolah anak nanti. Cari pasangan yang sepadan. Jangan sampai kamu jadi beban untuk Cecilia." Setelah berkata begitu, Bu Esti masuk ke dalam rumah, meninggalkan Rey terpaku di depan gerbang.

Kata-kata Bu Esti terus terngiang di benak Rey. Ia tahu, ibunda Cecilia memang sangat menginginkan anaknya mendapatkan pasangan yang mapan. Baginya, Rey, yang hanya anak seorang pedagang pakaian dengan mimpi besar di dunia fisika, adalah seseorang yang tidak sepadan.

Kembali ke masa kini, Rey melihat Cecilia menutup telepon. Wajah gadis itu tampak kusut.

"Mama ya?" tanya Rey lembut.

Cecilia mengangguk, menghela napas. "Iya. Dia marah karena aku di rumah kamu. Dia bilang, 'Buat apa main ke sana terus? Nggak ada gunanya. Kamu harusnya cari teman yang levelnya sepadan sama kita, Cil. Yang masa depannya udah jelas.'"

Rey merasakan sakit yang menusuk. Ia memang tidak mapan. Ia memang belum punya masa depan yang jelas. Rey melihat ke arah Prapti yang masih sibuk dengan coretan-coretannya, lalu beralih menatap Cecilia. Kekasihnya itu adalah dunianya, namun ia juga tahu bahwa Cecilia berada dalam tekanan yang luar biasa dari ibunya. Rey menatap Cecilia, ia melihat dilema di mata gadis itu, dilema yang semakin besar.

***

Beberapa hari kemudian, kehidupan Cecilia di kampus mulai berubah. Pada suatu pagi yang cerah, saat ia sedang membaca buku di bangku taman Fakultas Sastra, seorang pria menghampirinya. Pria itu tinggi, dengan rambut sedikit ikal dan mata berwarna cokelat terang, memancarkan aura karismatik.

"Maaf, apa ini milikmu?" tanya pria itu, menunjukkan sebuah buku puisi yang terjatuh di samping bangku Cecilia.

Cecilia menoleh. "Oh, iya. Itu punyaku. Terima kasih."

"Cecilia, bukan?" pria itu tersenyum. "Aku Louis. Louis Bouvier. Kita sekelas untuk mata kuliah Sastra Perancis, tapi jarang ngobrol. Aku sering melihatmu di UKM juga."

"Louis," Cecilia mengangguk, sedikit terkejut pria itu mengenalnya. "Iya, benar. Salam kenal."

"Karya-karyamu di majalah dinding UKM sangat menginspirasi," Louis melanjutkan, suaranya halus dan aksennya sedikit berbeda, menunjukkan ia bukan orang asli Indonesia. "Terutama puisi tentang 'bintang di langit kelabu'. Itu indah sekali."

Cecilia tersipu. Jarang sekali ada yang memuji karyanya secara langsung seperti itu. Rey mengaguminya, tetapi pujiannya selalu tentang perasaannya terhadap puisi, bukan detail artistik atau kedalaman maknanya.

"Terima kasih," Cecilia berucap pelan.

"Kamu punya bakat yang luar biasa," Louis menambahkan, matanya menatap Cecilia dengan penuh kekaguman. "Aku sendiri dari keluarga yang cukup dekat dengan dunia sastra. Papaku suka mengoleksi buku-buku kuno. Kami juga punya bisnis tour and travel yang sering mengelola perjalanan budaya ke Eropa."

Obrolan mereka berlanjut, dari sastra hingga perjalanan ke Perancis, tempat Louis memiliki garis keturunan. Louis menceritakan tentang masa kecilnya yang sering bepergian, tentang kota-kota tua dengan arsitektur menawan, dan tentang kafe-kafe tempat para penyair berkumpul. Cecilia mendengarkan dengan saksama, matanya terpaku pada Louis. Dunia yang diceritakan Louis terdengar seperti dongeng yang selama ini hanya bisa ia baca dalam buku.

Di rumah, Bu Esti semakin gembira saat mendengar Cecilia menceritakan tentang Louis.

"Louis? Bouvier? Keturunan Perancis?" seru Bu Esti, matanya berbinar. "Punya bisnis tour and travel? Wah, ini baru cocok, Cil! Mama udah bilang, kamu harus cari yang sepadan."

"Tapi, Ma…" Cecilia mencoba membantah.

"Nggak ada tapi-tapian!" potong Bu Esti tegas. "Kamu harus dekat sama dia. Dia jelas bisa menjamin masa depan kamu. Bukan seperti… itu." Ia tidak menyebut nama Rey, tapi Cecilia tahu siapa yang ia maksud. "Lihat, Cil. Kamu cantik, pintar, puitis. Jangan sia-siakan dirimu cuma untuk orang yang nggak jelas masa depannya."

Tekanan dari sang ibu semakin kuat. Cecilia merasa terjebak. Di satu sisi, ia masih menyayangi Rey, namun di sisi lain, bayangan masa depan yang stabil dan mewah yang ditawarkan Louis begitu menggoda.

Rey mulai merasakan perubahan pada Cecilia. Panggilan teleponnya sering tidak dijawab, atau jika dijawab, suaranya terdengar terburu-buru. Pesan singkatnya dibalas dengan kalimat-kalimat pendek yang terasa hambar. Yang paling menyakitkan, Cecilia mulai jarang meminta Rey untuk menjemputnya pulang.

"Aku pulang bareng teman, Rey," begitu alasannya. Atau, "Aku lagi di UKM, kayaknya pulangnya telat banget."

Rey bertanya-tanya. Hatinya diselimuti kegelisahan. Ia melihat Cecilia semakin sering menghabiskan waktu di UKM, di mana Louis Bouvier juga aktif. Rey yang polos, yang percaya pada cinta tulus, mulai merasakan ada yang tidak beres. Ada keretakan yang perlahan namun pasti merayap di antara mereka.

***

Kegelisahan itu terus menghantui Rey. Ia mencoba menelepon Cecilia berulang kali, namun hanya suara operator yang menyambutnya. Akhirnya, pada suatu sore, Cecilia membalas pesannya. Ia mengajak Rey bertemu di taman anggrek dekat kampus.

Rey tiba lebih dulu. Taman anggrek itu adalah tempat favorit mereka, tempat di mana mereka sering berbagi cerita dan impian. Namun, sore itu, udara terasa dingin, seolah turut merasakan kegundahan di hati Rey. Ketika Cecilia tiba, wajahnya tampak datar, tidak ada senyum ceria yang biasa menyambutnya.

"Hai," sapa Rey, mencoba menutupi kegugupannya.

"Hai," balas Cecilia singkat. Ia duduk di samping Rey, menjaga jarak.

"Kamu kenapa, Snow White? Aku ngerasa kamu beda akhir-akhir ini," Rey memberanikan diri.

Cecilia menghela napas. Ia mengeluarkan selembar kertas beraroma vanila, persis seperti puisi-puisi yang selalu ia berikan pada Rey. "Aku… aku bikin puisi baru."

Rey tersenyum lega. "Beneran? Aku kira kamu udah nggak mau bikin puisi lagi buat aku." Ia meraih kertas itu, antusias. "Coba aku baca."

Namun, saat matanya menyusuri baris-baris puisi itu, senyum di wajahnya memudar. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena romansa, melainkan karena rasa sakit yang perlahan merayap.

Di antara gemerlap kota, kudapati dirimu,

Sosok menawan, pangeran dari negeri Napoleon.

Mata birumu memancarkan cahaya,

Kata-katamu adalah melodi, menenangkan jiwa.

Kau hadir membawa janji masa depan,

Sebuah dunia yang dulu hanya impian.

Bersamamu, aku merasa lengkap,

Seperti kepingan puzzle yang akhirnya tergenap.

Rey membaca baris demi baris, setiap kata seperti pisau yang mengoyak hatinya. Pangeran dari negeri Napoleon? Mata biru? Louis Bouvier, keturunan Perancis, pemilik bisnis travel? Semua potongan puzzle dalam benaknya tiba-tiba menyatu, membentuk gambaran yang mengerikan.

"Ini… ini puisi untuk siapa, Cil?" tanya Rey, suaranya tercekat. Ia mengangkat wajah, menatap Cecilia yang menghindari tatapannya.

Cecilia tampak tidak nyaman. "Itu… itu cuma… khayalan aja, Rey. Aku lagi suka tema sastra Perancis."

"Khayalan?" Rey tersenyum pahit. "Aku bukan orang sastra, tapi aku tahu ini bukan sekadar khayalan. Ini… perasaan. Untuk siapa, Cecilia?"

Keheningan melingkupi mereka, hanya suara gemericik air dari kolam anggrek yang terdengar. Rey menunggu. Ia merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Puisi, yang dulu menjadi jembatan cinta mereka, kini menjadi bukti pengkhianatan. Kecurigaannya semakin kuat, berubah menjadi keyakinan yang menyakitkan.

***

Dua hari kemudian, Rey sedang membantu Ibunya menata pakaian dagangan di pasar. Pikirannya melayang, teringat wajah Cecilia dan puisi pengkhianatan itu. Ia tidak bisa berkonsentrasi.

"Kak Rey, cepetan!" suara Prapti membuyarkan lamunannya. Adiknya itu muncul dengan napas terengah-engah, wajahnya menunjukkan campuran amarah dan kekhawatiran.

"Ada apa, Prapti? Kok buru-buru begitu?" tanya Rey, sedikit kaget.

"Ini, Kak. Lihat ini!" Prapti menyodorkan ponselnya ke hadapan Rey. Di layar ponsel itu, terlihat beberapa foto. Foto-foto yang membuat jantung Rey serasa berhenti berdetak.

Foto pertama, Cecilia sedang tertawa renyah, bersandar di bahu Louis Bouvier. Mereka duduk di sebuah kafe di mall. Foto kedua, Louis menggenggam tangan Cecilia, tatapan matanya penuh kasih. Foto ketiga, yang paling menyakitkan, Louis membelai pipi Cecilia dengan lembut, seolah mereka adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara.

Rey merasakan darahnya mendidih. "Ini… ini kapan, Prapti?"

"Tadi sore, Kak! Aku sama teman-teman lagi main di mall, terus nggak sengaja lihat mereka," Prapti menjelaskan, suaranya bergetar menahan marah. "Awalnya aku kira teman biasa, tapi mereka mesra banget, Kak! Aku jadi curiga, terus aku foto-foto. Kak Rey… dia selingkuh, Kak!"

Prapti melanjutkan, "Aku udah curiga banget, Kak, dari dulu. Kakak kenapa sih masih sama dia? Dia itu beda sama Kakak. Kakak itu terlalu baik buat dia. Aku lihat Kakak sering murung akhir-akhir ini. Kakak pantas dapat yang lebih baik!"

Melihat foto-foto itu, serta mendengar kesaksian adiknya, Rey merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Bukan lagi kecurigaan, melainkan kepastian. Bukti konkret yang tidak bisa disangkal. Gadis yang ia sebut Putri Salju, yang ia cintai dengan tulus, ternyata sedang menjalani hubungan dengan pria lain, di belakangnya. Sebuah pengkhianatan yang nyata, tercetak jelas di layar ponsel.

Hati Rey hancur berkeping-keping. Namun, di tengah kehancuran itu, munculah sebuah keteguhan. Ia harus menghadapi kenyataan. Ia harus mencari kejelasan. Tidak bisa ia membiarkan dirinya terlarut dalam kebohongan.

***

Keesokan harinya, Rey menunggu Cecilia di Fakultas Sastra setelah jam kuliahnya selesai. Wajahnya tegang, sorot matanya dingin, namun ada kesedihan mendalam yang tidak bisa ia sembunyikan. Ketika Cecilia keluar, ia terkejut melihat Rey sudah menunggunya.

"Rey? Ada apa? Kok kamu di sini?" tanya Cecilia, suaranya sedikit gugup.

Rey tidak menjawab. Ia hanya berjalan mendekat, mengeluarkan ponsel Prapti dan lembaran puisi dari sakunya. Dengan tangan gemetar, ia menyodorkan ponsel yang menampilkan foto-foto kemesraan Cecilia dengan Louis, serta lembaran puisi "pangeran dari negeri Napoleon" itu.

"Ini," kata Rey, suaranya rendah namun penuh penekanan. "Dan ini."

Cecilia memandang foto-foto dan puisi tersebut. Wajahnya langsung pucat. Matanya berkaca-kaca. Ia mencoba menunduk, menghindari tatapan mata Rey yang menusuk.

"Aku… aku bisa jelasin, Rey," Cecilia bergumam, suaranya bergetar.

"Jelasin apa, Cil?" Rey bertanya, nadanya menyiratkan rasa sakit yang tak terhingga. "Jelasin kenapa kamu di sana sama dia? Jelasin puisi ini maksudnya apa? Jelasin kenapa kamu tiba-tiba berubah, kenapa teleponku nggak kamu jawab, kenapa pesanku cuma dibalas sekenanya?"

Cecilia tidak mampu menatap mata Rey. Ia merasa malu dan bersalah. "Aku… aku tahu ini salah, Rey. Aku minta maaf."

"Maaf untuk apa? Untuk mengkhianati kepercayaan aku? Untuk semua janji yang pernah kita ukir?" Rey menahan diri agar tidak berteriak. Emosinya campur aduk antara marah, kecewa, dan sakit hati.

Cecilia akhirnya mengangkat wajahnya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku… aku nggak bisa bohong lagi, Rey. Aku… aku memang punya perasaan sama Louis."

Pengakuan itu, meskipun sudah Rey duga, tetap saja terasa seperti pisau yang merobek dadanya.

"Kenapa, Cil? Apa kurangnya aku?" Rey bertanya, suaranya hampir tak terdengar.

"Bukan salah kamu, Rey," Cecilia mencoba membela diri, sesunggukan. "Kamu baik, kamu tulus, kamu pekerja keras. Aku tahu itu. Tapi… Mama. Mama selalu menekan aku. Dia mau aku dapat yang terbaik, yang mapan, yang bisa menjamin masa depanku. Louis… dia punya semua itu, Rey. Dia dari keluarga kaya, dia punya bisnis. Mama sangat senang sama dia."

Cecilia terisak. "Aku… aku lelah, Rey. Lelah dengan semua tuntutan dan harapan Mama. Lelah dengan kondisi keluarga kami. Aku memang mencintaimu, tapi… aku juga butuh kepastian. Aku butuh masa depan yang jelas. Louis bisa memberikan itu. Dia juga bilang dia lebih mengerti duniaku, duniaku yang puitis, yang mencintai sastra."

Pengakuan itu bukan hanya tentang Louis, tapi juga tentang tekanan keluarga dan keinginan Cecilia sendiri. Rey mengerti, namun hatinya tidak bisa menerima. Perkataan Cecilia menjelaskan segalanya, mengapa ia berubah, mengapa hatinya berpaling. Louis adalah jawaban atas tuntutan ibunya, dan juga "pelarian" Cecilia dari realitas finansial yang menghimpit.

Rey menatap Cecilia. Selama ini, ia berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan dirinya, untuk bisa memberikan masa depan yang baik bagi Cecilia. Namun, ia lupa bahwa cinta saja tidak cukup. Realitas ekonomi dan tekanan sosial bisa lebih kuat daripada ikatan hati.

"Jadi," Rey berucap, suaranya kini lebih tenang, namun penuh ketegasan yang menyakitkan. "Semua ini… cuma karena dia lebih mapan?"

Cecilia tidak menjawab, hanya menunduk, air matanya membasahi pipi.

Rey mengangguk. Hatinya hancur, namun ada semacam kelegaan yang aneh. Ia telah mendapatkan kejelasan. Ia telah melihat kenyataan.

***

Angin berhembus kencang, menerbangkan beberapa helai rambut Cecilia yang basah oleh air mata. Rey menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya.

"Kalau begitu, aku mengerti," Rey berkata, suaranya bergetar namun tegas. "Aku harap kamu bahagia dengan pilihanmu, Cecilia."

Cecilia mendongak, matanya yang sembab menatap Rey. "Rey… aku…"

"Tidak perlu ada lagi penjelasan," Rey memotong, "Atau maaf. Aku cuma ingin bilang, terima kasih untuk semua kenangan manis kita. Terima kasih untuk puisi-puisimu. Aku harap kamu bisa mewujudkan impian Mama kamu, dan juga impian kamu sendiri, bersamanya."

Rey berbalik, melangkah pergi. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa beban seribu ton. Hatinya hancur, remuk redam. Namun, di balik kehancuran itu, ada martabat yang baru ditemukan. Ia tidak akan berlarut dalam kesedihan. Ia akan melangkah maju, mencari kebahagiaan yang lebih tulus, yang menghargainya apa adanya.

Cecilia memandang punggung Rey yang kian menjauh. Langkah-langkahnya mantap, tanpa menoleh sedikit pun. Air mata mengalir semakin deras di pipinya. Ia merasakan sesak yang teramat sangat. Sebuah penyesalan mulai merayap. Ia mendapatkan apa yang ibunya inginkan, kemapanan, masa depan yang stabil. Namun, ia telah kehilangan cinta tulus yang selama ini menjadi pelita di hatinya. Rey kini hanya akan menjadi kenangan indah yang tak mungkin kembali. Ia tahu, pilihannya akan selamanya menghantuinya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Flash
Bronze
Archimedes Law of Heartbreak
Silvarani
Cerpen
BERKHIANAT DEMI SI BULE
ari prasetyaningrum
Novel
Aku Mahasiswa
Adhi Saputra Batubara
Novel
MAGNET S & MAGNET N
Alvin Suhadi
Novel
Bronze
Organic Matcha
i
Novel
Gold
Adonis
Bentang Pustaka
Novel
Cahaya Bidadari
Ayyana Haoren
Novel
Raden Ajeng Sasmaya Kamala
Dyah Ayu S.C.
Novel
Bronze
Waktu; di pesisir utara
Syauqi Sumbawi
Novel
Bronze
Life of Maharani
Wachyudi
Novel
SATU SATURASI
nonetheless
Skrip Film
Kamu Orang Seperti Apa Ketika Jatuh Cinta?
IndaahNs
Flash
Melepas Pergi
C R KHAN
Novel
Blowing the Wind
Roseeya
Novel
Bronze
Summit Attack
Fara Madhani
Rekomendasi
Cerpen
BERKHIANAT DEMI SI BULE
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RENDANG UNTUK IBU MERTUA
ari prasetyaningrum
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
PRING IRENG HUTAN LARANGAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
PERSAHABATAN YANG CULAS
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH PUTIH DARI HINDUSTAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JODOHKU, IBU SATU ANAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
RESEP KEDUA AYU
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
KAU KHIANATI AKU, KUBATALKAN PERNIKAHAN
ari prasetyaningrum