Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin semilir sore itu membawa aroma melati yang samar dari taman kampus, berpadu dengan keharuman kertas dan tinta dari buku-buku lama yang selalu Rey sukai. Di bawah bayangan kokoh pohon flamboyan, Rey membaca sebuah puisi. Jemarinya, yang terbiasa memecahkan rumus-rumus fisika rumit, kini terasa canggung memegang lembaran kertas beraroma vanila. Baris-baris indah terangkai di sana, tulisan tangan Cecilia, kekasihnya.
*Bintang-bintang merangkai nama kita dalam sunyi,
Dua hati terpaut dalam melodi takdir.
Kau, sang cahaya logika, aku, sang penjaga mimpi,
Berpadu abadi, takkan pernah berakhir.*
Rey tersenyum. Di setiap sudut kampus, ia selalu menganggap Cecilia sebagai "Putri Salju"-nya, bukan karena kecantikannya yang mencolok layaknya tokoh dongeng, tapi karena ketulusan dan kepolosannya yang memancarkan aura magis. Puisi-puisi Cecilia selalu berhasil menembus dinding logikanya, menyentuh relung hatinya yang paling dalam.
"Bucin banget, Bro," sebuah suara menyentaknya dari lamunan. Ion, sahabat Rey sejak ospek, sudah berdiri di sampingnya dengan senyum iseng. "Ngerjain soal fisika aja lo nggak pernah seserius itu."
Rey terkekeh, melipat hati-hati lembaran puisi tersebut. "Ini beda, Yon. Ini seni."
Ion menggeleng-gelengkan kepala. Ia adalah mahasiswa teknik, pragmatis dan selalu melihat segala sesuatu dari kacamata fungsional. "Seni atau sihir? Gue lihat lo kayak kesetrum tiap kali baca ...