Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suasana dilingkungan rumahku awalnya adem ayem dikelilingi perkebunan yang cukup tak terawat. Meskipun begitu, aku sangat menikmatinya lagipula ini satu-satunya tempat tinggal ku bersama kedua orang tua. Aku memang suka kedamaian jadi tidak masalah kalau keluar rumah berjumpa dengan aneka pohon pisang dan teman-teman tumbuhan lainnya.
"Pintunya jangan lupa ditutup buat jaga-jaga!" teriak ibu dari dapur padahal aku hanya keluar sebentar eh disangka membuka pintu berlama-lama. Ya sudahlah mau membela diri nanti makin runyam, aku tutup saja pintunya.
Tinggal di dekat perkebunan walaupun bukan milik sendiri pasti di malam hari akan ada suara binatang khas yang mengiringi entah itu jangkrik atau hewan lain yang dapat mengeluarkan suara. Sempat ada beberapa binatang tak diundang menghampiri tapi itulah resiko rumah dekat perkebunan yang tak terawat bahkan sampai menimbulkan kepanikan seluruh anggota keluarga dalam rumah. Untungnya ada kucing kesayanganku bernama Neto yang siap siaga mengusir walau akhirnya kabur entah kemana.
"Ular apa tadi, pak?" tanya ibu panik sendiri meski tidak melihat secara langsung bentuk si ular karena takut duluan.
"Kayaknya ular sapi," jawab ayah sehabis mengusir ular. Konon katanya, ular jangan dibunuh jika berkeliaran disekitaran rumah sehingga ayahku membiarkan kepergian sang ular tapi dengan jarak yang cukup jauh.
Ditengah kepanikan, aku tertawa geli sebab lucu mendengar penuturan dari ayah kalau ular ada yang bersaudara dengan sapi. Sapi kan besar, makanannya pun rerumputan lah ular mana mungkin makan rumput. Diluar, kucing kesayanganku malah asyik mencolek ular sapinya setelah ada dihalaman depan dengan keberanian yang dimiliki. Aku tidak berani melerai lagipula sesama hewan pasti bisa mengatasinya sendiri.
"Jangan dekat-dekat sama si Neto nanti!" peringat ayah serius.
Aku mengernyit heran. "Kenapa memangnya si Neto kan kucing bukan ular?" tanyaku.
"Dia terkena bisa ular," lanjut ayah meyakinkan. Aku sebenarnya tidak percaya oleh ucapan ayah, mana ada si Neto terkena bisa soalnya dia hanya mencolek ular saat ularnya berbalik Neto menjauh jadi tidak mungkin kena patuk.
Waktu terus berjalan, kini area lahan perkebunan itu agak berkurang dijadikan tempat parkir sehingga rumahku tepat berada ditengah-tengahnya. Aku sangat terganggu karena tembok yang tadinya baik-baik saja bak diguncang gempa bersekala besar menimbulkan retakan-retakan dan makin berlanjut hingga rumahku... amit-amit! semoga tidak terjadi. Ditambah kebisingan murid sekolah yang datang lalu pulang sengaja memacu motornya bak pembalap liar, kalau diperhatikan dari kaca jendela rumah cuma satu orang berjenis kelamin laki-laki pula namun temannya banyak. Sempat ayahku menegur eh anak sekolah bau kencur itu malah menantang sok jago. Memang ya anak berada sukanya meremehkan bahkan tak segan menjawab, dasar anak jaman sekarang banyak tingkahnya!
Aku menyimak obrolan ayah hanya mengelus dada atau berusaha menulikan telinga juga diam menunggu keberisikan itu berlalu. Tidak enak sekali hidup ditengah parkiran motor pemirsa rasanya ingin pindah ke planet lain tapi sadar jika planet lain tidak seindah planet bumi yang kita cinta.
Untuk planet bumi tetaplah sabar dan untukku tetaplah berkarya walaupun tidak terlihat keberadaannya. Baiklah yang terakhir bisa diskip.
Kemudian penderitaan pencinta kedamaian ini tak sampai disitu, ada lagi satu orang yang sangat-sangat membuat kuping dan mulut ingin berkata kasar. Yaitu sosok tetangga sebelah tapi tidak bersebalahan juga cuma dia ada di depan rumahku dihalangi kebunnya. Sosoknya itu suka sekali berisik diibaratkan suaranya sudah bisa menggantikan kegunaan speaker volume maksimal. Bagaimana tidak, kalau dijawab pelan akan terus berteriak dan aku sebagai tetangganya harus menjawab dengan suara teriak-teriak juga masalahnya.
Dia juga kadang datang ke rumah hanya sekedar bertanya dimana ibuku lalu setelahnya bertanya lagi dan lagi sampai mulut ini bosan menjawabnya. Ingin protes tapi itulah sifatnya dan katanya, memang sudah dari dulu begitu sampai aku sebagai tetangganya depresot menghadapinya jika dia sedang ada dirumahnya.
Aku selalu was-was dan tidak tenang kalau mau keluar untuk sekadar menggantung jemuran karena selalu saja topiknya tidak jauh dari menanyakan ibuku. Ibuku memang termasuk temannya alias bestie jadi... ya begitulah dan aku cukup jadi penonton tidak usah terlibat diantara keduanya.
Tetanggaku itu sungguh diluar dugaan. Dia akan bersikap baik jika ada maunya contohnya aku harus menjadi fotografer dadakan diwaktu yang tidak tepat. Coba bayangkan aku lagi merebus air dan airnya harus diangkat namun tetanggaku itu meremehkan katanya bisa nanti padahal aku ingin menghindarinya dan susah untuk melontarkan penolakan yang pas.
"Jepretan fotonya yang banyak ya!" titah Bu Jengki nama aslinya entahlah karena itu juga permintaannya untuk memanggilnya demikian.
Aku mengangguk saja segera menjalankan apa yang disuruhnya. Dalam hati sangatlah berat namun tetap harus dijalani. Beberapa menit setelahnya dia ingin difoto di dalam rumah dan bodohnya aku lagi-lagi menurut kan mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain, bestie!
"Jangan terlalu dekat fotonya saya mau kelihatan cantik," protes Bu Jengki lagi-lagi membuatku harus tetap bersabar.
"Coba pegang bunganya deh Bu," saranku memberikan ide.
Dan banyak lagi pose-pose difoto yang harus aku abadikan padahal selfie atau menggunakan alat tersedia dipasaran dan sepertinya tetanggaku ini kurang tahu atau apalah itu, aku juga bingung. Sepuluh menit terbuang hanya untuk memfoto akhirnya dia puas dengan hasilnya. Bu Jengki juga memperlihatkan foto-fotonya kepadaku selaku fotografer dadakan agar memilihkan foto mana yang kelihatan keren untuk di-posting serta diberi caption kekinian supaya makin terlihat gaya.
"Sesuaikan aja sama fotonya atau Bu Jengki mungkin akan pergi ke suatu tempat setelah ini."
"Oh iya benar banget ide kamu," ungkapnya seperti langsung menemukan inspirasi.
Bu Jengki mulai menulis caption yang dipikirkannya. Menekan tombol posting langsung didepan ku kemudian berkata kalau aku berbakat jadi fotografer padahal aku yakin hanya sebuah pujian manis yang ada makna terselip. Balik lagi, aku tidak terlalu memusingkan dan pamit pergi untuk merebus air.
Sampai di dalam rumah segera mengunci semua pintu bahkan jendela ikut dikunci takutnya Bu Jengki kembali meminta bantuan. Aku tahu ini salah menolak orang yang meminta bantuan namun apa gunanya membantu bila orang itu masih mampu melakukannya bahkan sangat mudah dilakukan tanpa bantuan orang lain.
Aku menghela napas berat kembali ke dapur melanjutkan apa yang harus dijalankan.
"Bu Jengki sudah pulang?"
Hampir saja aku menumpahkan air panas ketika ibu muncul membawa rantang susun dengan berjalan mengendap-endap. Ibuku sepertinya sedang tidak mau diganggu oleh siapapun termasuk Bu Jengki. Boro-boro ibu, aku saja ogah diganggu.
"Iya dia nanyain ibu terus," jawabku sambil mengangkat air yang sudah mendidih
"Kamu jawab apa?"
"Lagi pergi ke rumah bibi." Aku memang menjawab sesuai fakta lagipula berbohong akan terasa aneh diucap jadi ya... begitulah.
Ibuku mengangguk kecil menyimpan rantang susun dan membukanya satu persatu. Ternyata isi rantang itu ada makanannya, ku kira hanya tumpukan rantang kosong yang lauknya sudah diberikan pada saudara-saudari ibu.
Makanannya terlihat enak membuatku ingin mencicipinya tapi ibu belum mengkode agar aku mengambil bagian. Oke harus sabar dulu pasti makanan itu sebentar lagi akan pindah ke perutku yang kebetulan sedang lapar.
Suara panggilan alam eh maksudku suara Bu Jengki terdengar melengking dari ujung selatan sampai ujung barat. Astaga! dia memanggil nama ibuku bagai memanggil orang jauh di negara luar padahal Bu Jengki bisa berjalan sekitar lima belas langkah dari rumahnya kemudian datang baik-baik ke depan rumah tapi... Aku bingung, aku pusing, aku pergi. Mendengarnya ingin mencabut rumah lalu melemparkannya ke planet mars rasanya.
"Bu! itu Bu Jengki manggil terus!" ujar ku pada ibu yang tengah mengistirahatkan tubuh setelah pergi dari rumah bibi.
"Bilang aja ibu pergi lagi," balasnya malas.
"Tadikan udah bilang gitu."
Ibuku bangkit dari tidurnya. "Mau apalagi sih dia?" gumamnya menggerutu tapi langkahnya menuju arah rumah Bu Jengki.
Dari raut wajahnya, ibuku sepertinya merasa terganggu. Ya iyalah terganggu, bahkan tetangga yang lain pasti menyerukan hal yang sama. Setelah beberapa menit menghampiri, ibuku sudah ketawa-ketawi dengan Bu Jengki. Katanya kesal eh ujungnya ketawa-ketawa, kan aneh.
Aku lanjut saja menyumbat telinga dengan musik favorit karena ibu juga telah bahagia dengan Bu Jengki. Walaupun aku tahu ada gosip tentangku di dalamnya. Menggosip anak sendiri yang belum terlihat berkembang akan memunculkan kekecewaan ketika menceritakannya. Ibuku juga tak segan menjelekan namaku supaya Bu Jengki terus tertawa padahal aku anaknya loh. Tak apa, aku harus sabar lagipula mereka tidak tahu apa yang tengah ku kerjakan dan yakin jika saatnya terlihat namun mampu membuat mereka bungkam.
Hatiku kadang sakit oleh cerita ini dan itu bahasan yang tidak perlu dibahas atau sekadar mencari tahu padahal mereka bisa mengurus hidupnya sendiri. Aku yakin setiap orang ada waktunya menikmati keberhasilan dalam hidupnya bukan terus gagal dan gagal jika berusaha meski kelihatannya diam saja tapi dibalik itu, mereka tidak akan memahami. Tahu isi hati seseorang bukan penentu menilai seseorang itu. Cukup lihat saja dan tunggu.
Seminggu ini suasana lingkungan rumahku agak damai karena anak sekolah yang biasanya menghidupkan mesin motor bak orang kesetanan diliburkan. Betapa indahnya lingkungan sekitar tanpa kebisingan ditambah suara itu pun ikut berkurang dan menghilang tidak seperti biasanya. Ya... maksudku Bu Jengki, dia katanya pergi ke rumah ibunya untuk melihat keadaannya dan aku tahu info ini dari ibuku tercinta. Cukup senang mendengarnya karena akhirnya sumber kebisingan hilang sejenak tapi harus siap berisik lagi jika dia kembali.
Persoalan mencari pekerjaan terasa sulit dari waktu ke waktu bukannya dipermudah malah semakin dipersulit. Bu Jengki sempat menawarkan pekerjaan tapi aku menolaknya karena dia menjadi bosnya hey aku jadi tetangganya cukup tertekan bagaimana bisa jadi bagian karyawan yang setiap harinya bertemu secara langsung. Bagiku menghadapi Bu Jengki hanya dilakukan oleh orang-orang profesional sedangkan aku bukan termasuk salah satunya.
Ayam tetangga lainnya berdatangan membawa anak-anaknya sampai ayam jantan pun ikut hadir. Kemudian teringat beberapa bulan lalu saat aku juga sempat memiliki ayam namun nyinyiran dari Bu Jengki membuat ibuku tidak tahan.
"Ayam siapa ini? kalau injak lantai rumah saya didenda sepuluh juta!" kata Bu Jengki dengan nada tak suka.
"Ayam tidak boleh berkeliaran apalagi mendekat ke halaman saya," lanjutnya didepan ibuku seperti memperingatkan.
Mungkin Bu Jengki mendengar atau membaca berita tentang apa-apa diuangkan di televisi padahal undang-undang tersebut banyak pro dan kontra namun Bu Jengki sepertinya tidak peduli itu berlaku atau tidak lalu tercuci dengan mudahnya oleh adanya berita itu.
Pernah aku menyaksikan kematian anak ayam peliharaan ku dengan tragis disebabkan Bu Jengki yang alasannya karena anak ayam naik lantai rumahnya. Dia dengan tega memukul anak ayam yang tidak tahu apa-apa mengunakan sapu lidi yang seharusnya diusir secara halus saja pasti anak ayam dan induknya pergi tapi Bu Jengki bertindak berbeda. Sungguh miris bukan? Aku saja yang kadang jengkel oleh ayam siapapun itu tidak sampai hati memukulnya sampai tewas lalu dengan wajah tidak berdosanya, Bu Jengki menunjukkan anak ayam peliharaan ku yang sudah tak bernyawa.
"Itu anak ayam kamu kan? mati tuh!" tunjuk Bu Jengki sedikit tertawa.
"Bandel sih ayamnya naik lantai rumah saya. Kamu tahu kan kotorannya itu sangat menganggu kebersihan." Bu Jengki lanjut menggerutu.
Aku hanya mengangguk saja membawa jasad anak ayam peliharaan ke depan... ayah. Ayahku tentu marah bahkan dia tidak bertegur sapa kepada Bu Jengki untuk beberapa hari begitupun ibuku tapi anehnya dia masih bisa senyam-senyum walaupun dalam hati menahan jengkel atas perbuatan Bu Jengki.
Sejak hari itu, ibuku memutuskan untuk menjual semua ayam peliharaan. Aku yang selalu memberinya makan dan bertemu setiap hari merasa sedih, patah hati apalagi ayam favorit ku bernama cokelat. Dia tidak pernah terlupakan karena tingkahnya yang aneh. Cokelat kalau memiliki anak ayam selalu waspada tak segan-segan mengejar orang didekatnya atau binatang lainnya yang dirasa mengancam keselamatan anak-anaknya dan lucunya aku tidak termasuk karena mungkin selalu memberinya makan.
Lalu mom ayam, dia tertua diper-ayaman juga tak kalah lucu. Dia tahan terhadap penyakit sementara anak-anaknya yang lain mati tanpa sebab. Katanya ada virus flu burung tapi aku curiga ada hal lain entah apa. Kan jaman sekarang musim penyakit yang asal-usulnya tidak diketahui sehingga perlu dikaji lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi.
"Mom ayam apakah kamu sehat disana atau sudah dimakan oleh orang yang membelinya?" tanyaku sambil memperhatikan halaman diisi beberapa ayam pencari makan.
Rindu pada hewan peliharaan adalah hal biasa apalagi hewan itu setiap saat dijumpai dan sudah dianggap seperti keluarga sendiri tapi takdirnya... terima saja lah.
Tetanggaku yang lain ada juga yang sekadar basa basi sampai sok tahu dengan apa yang terjadi. Dia seakan memanasi sampai Ibuku bingung sendiri menjawabnya berakhir aku yang kena. Belajar menghargai orang itu penting karena tidak perlu mencampuri atau sekadar memberi nasihat bijak jika orang itu seperti tidak memerlukannya. Bu Jengki malah melakukannya dan membuatku sakit hati luar biasa. Dia tertawa bersama ibuku diruang tamu dan terus membicarakan tentang aku.
Ingin rasanya pergi jauh sejauh-jauhnya atau jika perlu tidak terlihat oleh siapapun termasuk keluargaku. Terlihat kuat diluar bukan jaminan didalamnya juga ikut serta lagipula tak perlu menyamakan keadaan seseorang apalagi membandingkan karena proses perbandingan akan menyebabkan sosok kesakitan yang tidak terlihat jelas dengan mata sekilas.
"Bu Jengki bisa hentikan bacotan mu?!" teriak ku marah dari kamar tanpa suara.
Aku benar-benar menahan rasa geram di dalam kamar. Menghampiri lalu menyampaikan apa yang kurasa adalah sebuah kebodohan karena dia sepertinya suka meremehkan seseorang yang tak memiliki banyak materi.
Materi dan materi terus dibahasnya tanpa henti bahkan aset serta keberhasilan sang anak hingga dirinya diceritakan sampai bosan kuping ini mendengarnya. Aku tidak tahu Bu Jengki tipe tetangga macam apa namun, yang pasti aku sangat terganggu oleh ucapannya yang kadang keterlaluan untuk disampaikan.
Bukan hal mudah tinggal disini tepatnya di rumahku. Ada ungkapan rumah tempat ternyaman itu agak salah tapi masing-masing orang berbeda jadi aku memaklumi kalau anggapan ku salah besar.
Rumah terbaik adalah rumah dengan tetangga yang baik pula. Setidaknya bicara dengan sopan atau memilah-milah kata yang diucapkan sehingga tidak menimbulkan rasa ketersinggungan disalah satu pihak.
Kali ini anaknya Bu Jengki datang ke rumahnya dan ibuku ikut serta menyambut dengan membantu membuat aneka masakan dirumah Bu Jengki. Sementara aku di dalam rumah saja tengah membersihkan kamar yang mulai berdebu serta kegiatan lain yang mestinya dibersihkan. Jika ada Ibu atau ayah dirumah entah mengapa aku merasa malas mengerjakan ini itu sampai terucap sindiran hape terus dari mulut keduanya padahal sudah dikerjakan beberapa bagian tapi sama sekali tidak berarti di mata mereka.
Suara tawa bahagia terdengar dari rumah Bu Jengki termasuk ibuku. Keduanya kompak menimpali obrolan tanpa ada kecanggungan. Aku sebagai anak diam saja lah takut salah bukan tidak mau bergabung ataupun bergaul namun takut mereka melihatku bagaikan makhluk asing masuk ke dalam lingkarannya. Disana aku malah jadi tim penyimak dan itu tidak benar kan?
Ibuku juga bercerita ada orang yang menanyakan aku agar ikut perkumpulan mereka sontak aku menjawab tidak mau eh ibuku malah mengeluarkan kata cibiran. Jadi selama ini bukan orang lain saja yang suka berbicara pedas bahkan orang terdekat pun termasuk dan levelnya lebih tinggi sampai terasa menusuk ulu hati yang paling dalam walau aku hanya mendengarkan. Jika sampai menusuk hati ya... aku menangis namun jika terdengar sedang aku cuma diam tanpa mau bicara apa-apa pada siapapun.
Pepatah diam adalah emas memanglah bohong kalau sampai terjadi aku akan menjadi orang kaya.
"Lucu ya cucuku?" Bu Jengki menggendong cucunya keluar rumah sedikit aku mengintip dari celah jendela.
Dan semakin didengar, semakin kuping sampai hati ini sesak dan ibuku juga mungkin merasakannya karena Bu Jengki terdengar seperti menyombong padahal perihal cucu atau tentang kisah cinta apapun bentuknya itu masing-masing pribadi boleh memilih bukan dipanasi sampai ingin meledak. Ku akui kalau sikap Bu Jengki kadang sok tak paham, kadang melontarkan kata-kata menyakiti namun dia tidak menyadari.
Tetanggaku yang satu itu sepertinya memang kesepian atau apalah aku tidak paham lagipula aku tidak ingin ikut campur karena hidupku lebih runyam dari perkiraan orang yang melihat.
"Saya numpang masak mie ya," kata Bu Jengki setelah melihatku datang.
Bu Jengki dengan mudahnya membuka pintu dapur lalu menyalakan kompor di dalam rumahku. Ya, aku sebagai tuan rumah mengangguk kecil, mau dilarang sudah terlanjur ada disana padahal dia memiliki uang hanya untuk membeli gas.
"Kemana ibumu?" tanya Bu Jengki sesekali membolak-balik mie rebusnya.
"Tadi kan di rumah Bu Jengki."
"Iya tadi ada tapi sekarang kemana?" Bu Jengki kembali bertanya sedikit ngegas.
Mana aku tahu, aku kan di rumah dari tadi!
Itu yang ingin kukatakan padanya tapi dipilah lagi takutnya salah bicara.
"Mungkin ke warung," sahutku seadanya.
Semoga tebakan ku memang benar ibu sedang pergi ke warung.
"Oh iya, saya tadikan titip kecap kok bisa lupa ya," sambung Bu Jengki terkekeh sendiri.
Aku hanya tersenyum simpul berharap secepatnya mie di atas kompor segera matang juga ibu cepat kembali sebab aku tidak tahu harus bagaimana berhadapan dengan Bu Jengki yang bicaranya suka kemana-mana.
"Kamu masih belum kerja mending nyari dari sekarang kan sekarang lagi musim tuh pabrik cari lowongan," suruhnya dengan gampang.
"Iya," balasku singkat.
Bu Jengki menoleh. "Jangan iya aja, kerja itu penting nanti kalau mau apa aja kamu bisa beli dan bisa beliin orang tua kamu juga."
Ya salam, serius deh aku sudah tahu sangat-sangat tahu bahkan hapal namun masalahnya mencari pekerjaan itu susah. Harus ada uang dimuka baru keterima jika tidak, ya entah ingat atau tidak si pemilik perusahaan pabrik itu memiliki calon karyawan baru.
"Gini ya...."
Terjadilah sesi nasihat dari Bu Jengki tersiar khusus hanya untukku yang harusnya mengerjakan tugas lain. Aku sedang tidak ingin mendengar nasihat apapun lagipula di sosial media atau buku ada banyak kata-kata mutiara sehingga tidak terlalu butuh nasihat yang sangat umum dibicarakan. Bukannya aku gimana tapi bosan kalau topiknya itu terus.
Lima menit berlalu baru mie pun matang dan segera Bu Jengki membawanya ke rumahnya. Mana kalau sampai ayah tahu atau menyaksikan pasti mengomel kepadaku.
"Kenapa gak dilarang atau bilang gasnya abis?" ujar ayah dengan kesal. Wajahnya yang selalu ceria digantikan raut serius.
Ayahku sepertinya marah berkepanjangan perihal gas tapi aku bisa apa, orang Bu Jengki sudah stay di depan kompor bak rumah pribadinya masa iya aku marahi dia? nanti yang ada akan timbul masalah baru kalau begitu ceritanya.
Baru saja ayahku mengomel selesai panggilan dari Bu Jengki kembali menggema. Aku menghampirinya dan dia sedang menjemur pakaiannya.
"Jangan lupa angkat jemuran saya ya kalau hujan," pesannya sambil menjemur.
Aku mengiyakan padahal sudah terlihat disana ada beberapa pakaian milik ibuku dan jika seandainya hujan turun pasti diangkat mana mungkin dibiarkan begitu saja. Disitu terkadang saya merasa bingung oleh tingkah Bu Jengki karena ada saja pembicaraan tidak penting dikeluarkannya.
"Lain kali diemin orang kayu dia malah dijawab aja," timpal ayah masih kesal.
Aku menghela napas berat tanpa menjawabnya memilih kembali ke tempat dimana aku aman yaitu kamar sambil membereskan beberapa barang yang tidak perlu disimpan. Serba salah ketika ayahku ada dirumah kemudian Bu Jengki berteriak dari luar entah itu memanggil ataupun sekadar bertanya.
Berisiknya Bu Jengki dan kemarahan ayahku dari awal munculnya Bu Jengki sama sekali tidak dapat diperbaiki. Walaupun ada saatnya ayahku mencoba baik namun entah besok atau lusa Bu Jengki kembali berulah dengan suaranya yang menggelar.
Ada baiknya berbicara seperlunya dan tidak menimbulkan kebisingan yang dapat membuat orang jengkel namun keberisikan suara Bu Jengki akan terus ada. Jalan keluarnya adalah aku pergi dari rumah ini lalu akhirnya bebas dari suara berisik ibu Jengki.
Kapankah waktu itu tiba?
Semoga secepatnya karena aku sudah tidak tahan untuk mendengarnya lagi.
Berisik!
The End