Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
BERHENTILAH BAIK
1
Suka
670
Dibaca

Rintik hujan berjatuhan menghantam permukaan tanah yang kering, membuat jalanan dipenuhi genangan air. Ritme yang awalnya lambat pun bertambah cepat seiring waktu. Melihat keadaan sekitar, hanya tinggal tiga orang yang masih berada di kafe tersebut. Entah kapan mereka akan pulang, padahal sebentar lagi waktu operasional berakhir.

Reza mengalihkan pandangannya ke samping, menatap temannya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Tanpa sadar, senyumnya mengembang.

Andhika Renando—teman paling berharga dalam hidupnya. Saat semua orang meninggalkannya bersama sang adik, hanya dialah yang tetap berada di sisinya, membantunya bertahan di masa-masa sulit. Reza merasa berutang banyak padanya.

Merasa diperhatikan, Andhika menoleh ke arah Reza. “Kenapa? Ada yang aneh dari muka gue? Kok segitunya lo mandangin gue?”

Reza menggeleng pelan dan tersenyum. “Nggak ada yang aneh. Gue cuma bersyukur karena punya teman sebaik lo. Makasih banyak atas semuanya.”

“Udah berapa kali gue denger lo ngomong begitu. Sampai bosen gue,” sahut Andhika.

“Tapi gue nggak bosen ngucapinnya,” balas Reza.

Andhika memutar bola matanya malas dan kembali menatap ponselnya. “Terserah.”

Reza tersenyum tipis. Dingin—seperti itulah sifat Andhika. Saat pertama kali mengenalnya, Reza sempat mengira dia orang yang tak peduli pada sekitar, apalagi pada teman. Tapi ternyata, perkiraannya salah besar. Di saat kedua orang tuanya meninggal dan seluruh warisan ayahnya direbut sang paman, bukan kerabat ataupun teman akrab yang hadir. Justru Andhika, orang yang hanya sebatas kenalan, hadir sebagai penyelamat. Ia yang membantunya bertahan hingga hari ini.

Tanpa terasa, waktu bergulir cepat. Hujan deras di luar pun telah berhenti, menyisakan jalanan yang penuh genangan air.

Menatap sekitar, kafe itu kini sepi. Hanya tersisa seorang wanita yang menatap kosong selembar kertas di mejanya. Entah apa isi kertas itu hingga membuatnya tampak begitu terpukul.

“Nona, mohon maaf. Bukan bermaksud mengusir, tapi waktu operasional kami sudah habis. Anda bisa kembali besok,” ucap Reza seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada.

Wanita itu mengalihkan pandangan ke arah Reza, lalu kembali menatap kertasnya. Wajah sembabnya membuat kening Reza berkerut.

“Maaf, Anda tidak—”

“Hei, menurutmu, apakah berhenti berbuat baik itu salah?” potong wanita itu tiba-tiba.

Reza tertegun, tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. “Secara umum, iya. Tapi berhenti berbuat baik tidak selalu salah. Kalau kebaikanmu hanya dimanfaatkan, buat apa terus berbuat baik pada mereka? Atau jika kebaikanmu ditujukan kepada orang yang salah—pembunuh, pencuri, pemerkosa—kan tidak mungkin juga kamu membantu mereka. Kebaikan dan kejahatan juga punya porsinya masing-masing. Manusia sering lupa itu.”

Wanita itu tersenyum simpul, lalu melipat kertas di depannya dan memasukkannya ke saku. Ia berdiri dan mengangguk. “Terima kasih.”

Setelah mengucapkan itu, ia melangkah keluar. Reza hanya bisa menatap punggungnya, bingung dengan maksud perkataannya.

Mendungnya awan menutupi cahaya bulan, membuat malam terasa lebih sunyi. Reza melihat arlojinya—pukul 00.30. Ia jadi pulang terlalu malam karena sempat mampir ke rumah Andhika.

Di persimpangan jalan, ia membelokkan motor ke arah gang rumahnya. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat mobil pamannya keluar dari arah jalan rumahnya. Awalnya, Reza mencoba berpikir positif—mungkin ada urusan. Namun pikirannya seketika berubah ketika melihat pintu rumah terbuka lebar.

Dengan jantung berdebar, Reza berlari masuk. Seketika ia tertegun melihat Rina, adiknya, tergeletak di ruang tamu. Kepalanya berlumuran darah, pipinya merah bekas tamparan, dan yang paling menyayat hati—tak ada sehelai kain pun yang menutupi tubuhnya.

Tubuh Reza gemetar. Ia segera menyelimuti tubuh Rina dan memeluknya erat. Air matanya mengalir deras. Tanpa pikir panjang, ia menghubungi Andhika.

Tak sampai sepuluh menit, Andhika tiba. Reza langsung mengangkat tubuh adiknya yang telah dibungkus selimut, lalu masuk ke dalam mobil Andhika.

Tanpa banyak tanya, Andhika segera menancap gas menuju rumah sakit. Sepanjang jalan, ia hanya menatap Reza melalui kaca spion, melihatnya bergumam pelan—mungkin sedang berdoa.

Setibanya di rumah sakit, Rina langsung ditangani tim medis. Sementara itu, Reza terus mondar-mandir gelisah di luar ruang UGD.

Tak tahan melihat kondisi temannya, Andhika menarik lengan Reza dan memaksanya duduk. “Tenang, Za. Adik lo pasti baik-baik aja. Dia cewek kuat. Daripada lo mondar-mandir gitu, mendingan lo doa aja.”

“Tapi gue takut, Dhik. Cuma dia keluarga gue satu-satunya. Gue nggak mau kehilangan dia. Cukup orang tua gue aja yang ninggalin gue. Dia... satu-satunya alasan gue masih bertahan,” ucap Reza dengan suara bergetar. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah juga.

Andhika menunduk, menggigit bibir bawahnya. Ia menepuk bahu Reza. “Gue ngerti, Za. Tapi lo gak sendiri. Ada gue, ada keluarga gue juga. Kita bareng-bareng lewatin ini.”

Reza mengangguk pelan. Emosi dalam dirinya bercampur aduk: sedih, marah, takut, sekaligus lega karena tidak sendirian.

Beberapa saat kemudian, pintu ruang UGD terbuka. Seorang dokter keluar.

“Bagaimana keadaan adik saya, Dok?” tanya Reza cepat-cepat.

“Alhamdulillah, kondisinya stabil. Pendarahannya cukup parah, tapi beruntung kalian membawanya ke sini tepat waktu. Kalau terlambat, bisa berakibat fatal.”

Reza menarik napas lega. “Terima kasih banyak, Dok.”

“Sama-sama. Kamu keluarganya?”

“Iya, saya kakaknya.”

“Jaga baik-baik adikmu. Jangan sampai hal ini terulang lagi,” pesan dokter sambil menepuk pundaknya.

Setelah dokter pergi, Reza dan Andhika masuk ke ruangan, mendekat ke ranjang tempat Rina berbaring. Luka di kepala adiknya masih dibalut perban, membuat dada Reza sesak. Ia kembali diliputi rasa bersalah. Entah bagaimana reaksi adiknya nanti saat sadar dan menyadari kehormatannya telah direnggut.

“Sebenarnya, apa yang terjadi?” tanya Andhika perlahan. Ia menahan diri sejak tadi, tak ingin menambah beban temannya.

Reza menarik napas panjang. Ia menceritakan segalanya, dari awal hingga akhir, tanpa melewatkan satu pun detail.

Tangannya mengepal erat. Ia ingin sekali membunuh pamannya dengan tangannya sendiri.

“Sabar, Za,” ucap Andhika, menepuk pundaknya. “Setiap perbuatan ada karmanya. Sekarang fokus aja ke adik lo. Dia butuh lo nanti saat bangun.”

Reza mengangguk. Ia menatap Andhika dan tersenyum tipis. Betapa beruntungnya dia memiliki sahabat seperti itu. Dulu, ia pernah berpikir semua teman hanyalah manusia oportunis yang datang dan pergi seenaknya. Tapi tidak dengan Andhika. Sekarang, Reza benar-benar percaya—teman sejati itu nyata.

Cahaya matahari menembus jendela rumah sakit, menyiram wajah Reza yang tertidur di tepi ranjang. Silau itu membuatnya terbangun. Ia menoleh ke kursi di sampingnya. Andhika sudah tidak ada di sana. Hanya ada secarik kertas di atas nakas.

Gue masih ada urusan, jadi gue pulang dulu. Masalah tagihan rumah sakit lo tenang aja, udah gue lunasin.- Andhika.

Reza mengusap wajahnya dan menghela napas panjang. “Dasar. Mau sampai kapan lo bikin gue utang budi, Dhik...” gumamnya. Namun di balik kalimat itu, ada rasa hangat yang merayap di dadanya. “Tapi... makasih banyak.”

Pandangan Reza beralih pada Rina. Wajah adiknya tampak tenang, masih belum sadar. Ia berharap tak lama lagi Rina membuka mata.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari arah pintu.

“Akhirnya kau bangun juga. Cukup lama aku menunggumu dari tadi.”

Reza menoleh cepat. Keningnya berkerut ketika melihat wanita yang kemarin menangis di kafe berdiri bersandar di ambang pintu. “Kenapa kau ada di sini?”

Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah mendekat. “Aku tidak akan banyak basa-basi. Aku adalah komandan polisi yang kebetulan mengetahui kasus semalam. Saat ini, pamanmu sudah kami tangkap. Tinggal menunggu waktu sampai dijatuhi hukuman yang pantas.” Ia mengeluarkan lencananya dan menunjukkannya pada Reza. “Tapi untuk itu, kami memerlukan kesaksian adikmu.”

Reza tercengang. Ia sama sekali tak menduga wanita yang semalam tampak rapuh ternyata seorang polisi. Lebih terkejut lagi ketika mendengar pamannya telah ditangkap—bahkan sebelum ia sempat melapor. Padahal dulu, ketika ia mencoba melaporkan perebutan warisan, tidak ada satu pun yang mau membantu.

“Jadi, bisakah kau membawanya ke pengadilan setelah dia sembuh?” tanya wanita itu.

Reza menunduk, menatap adiknya. “Sepertinya tidak bisa. Bukan hanya karena kekerasan fisik... tapi juga... pemerkosaan.” Suaranya serak. “Aku takut kalau dia harus bertemu paman lagi. Dia pasti akan trauma.”

Wanita itu menarik napas. “Kalau kau ingin pamanmu tetap dihukum sesuai undang-undang tanpa kesaksian adikmu, itu akan sulit. Satu-satunya bukti kuat hanyalah pengakuannya.”

Reza mengepalkan tangannya di atas lutut. “Padahal... para pemegang kekuasaan selalu bisa membelokkan hukum semaunya. Bukankah kau juga termasuk di antara mereka? Tidak bisakah... kau melakukan hal yang sama—meskipun itu salah?”

Wanita itu tersenyum tipis. “Berani sekali kau bicara begitu.” Ia menoleh, menatap keluar jendela sejenak. “Tapi untungnya, yang berdiri di sini sekarang adalah aku—bukan mereka yang selalu sibuk menjaga kehormatan jabatan.”

Reza ikut tersenyum kecut. “Kalau begitu... sepertinya aku beruntung.”

“Siapa namamu?” tanya wanita itu.

“Reza.”

“Baik, Reza. Hanya padamu aku akan membuat pengecualian. Seperti katamu, kalau mereka bisa melakukannya, kenapa aku tidak?” Ia tersenyum samar. “Anggap saja ini balasanku untuk pertolonganmu semalam.”

Reza mengerutkan kening, heran. “Pertolongan?”

“Tadi malam aku sedang menghadapi masalah besar. Tapi pendapatmu... sangat membantu.” Tatapannya melembut. “Jadi terima kasih.” Ia sedikit menunduk. “Sekarang aku pamit. Jaga adikmu baik-baik.”

“Terima kasih banyak... Nona.”

Wanita itu hanya tersenyum, lalu berjalan pergi.

Perlahan, kegelapan berubah menjadi terang di mata Rina. Langit-langit putih rumah sakit menjadi pemandangan pertamanya. Ketika menoleh, ia mendapati Reza menatapnya dengan lega.

“Jangan banyak gerak dulu,” ucap Reza, menahan bahunya.

“Aku... di mana?” tanya Rina dengan suara parau.

“Kamu di rumah sakit,” jawab Reza pelan.

Dalam sekejap, semua ingatan semalam menyeruak. Wajah paman. Tangan kasar. Tamparan. Dan... peristiwa yang tak sanggup ia ucapkan. Tubuhnya mulai gemetar.

Menyadari itu, Reza buru-buru meraih kedua pipi Rina, memaksanya menatap. “Jangan pikirkan apa pun dulu. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Semua sudah berakhir.” Suaranya bergetar. “Meskipun kehormatanmu direnggut, harga dirimu sebagai perempuan tetap utuh. Kamu bukan wanita murahan. Kamu hanya korban yang terzalimi. Apapun yang orang bilang nanti... abaikan saja. Hiduplah seperti biasanya. Masih ada kakakmu yang akan melindungimu, apa pun risikonya.” Reza menunduk. “Jadi... tolong... sabar. Kakak janji ini nggak akan terjadi lagi.”

Air mata Rina tumpah seketika. Ia menangis hebat. “Tapi... aku sudah ternodai, Kak. Masa depanku pasti hancur...”

“Jangan bilang begitu,” potong Reza. “Tak ada yang tahu takdir orang akan bagaimana. Banyak yang awalnya punya segalanya, tapi akhirnya jatuh. Sebaliknya, ada yang terpuruk, tapi akhirnya bahagia. Percaya sama kakak. Masa depan kamu masih panjang.”

Rina memejamkan mata, menahan tangis. “Tapi... kalau semua orang tahu? Kalau mereka menjauhiku? Atau... kalau aku hamil nanti?” Suaranya pecah lagi.

Melihat adiknya seperti itu, pertahanan Reza runtuh. Air matanya ikut mengalir. Ia mengusap pipi Rina pelan. “Maaf... seandainya kakak pulang lebih cepat semalam... semua ini nggak akan terjadi.”

Rina menggeleng, menahan sesak. “Bukan salah kakak. Itu semua salah iblis berwujud manusia itu.”

Reza meraih tubuh Rina, memeluknya erat. “Kita hadapi ini sama-sama,” bisiknya.

Satu bulan kemudian.

Tanpa terasa, waktu berlalu. Rina pulih sepenuhnya—fisik dan mental. Reza pun bisa kembali bekerja tanpa terlalu khawatir.

Pamannya? Tiga minggu lalu, hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup. Semua hartanya disita dan dikembalikan pada Reza, termasuk rumah warisan orang tua mereka.

Syukurlah, semua kekhawatiran Rina tak terjadi. Teman-temannya dan tetangga sekitar tak satupun yang mencemooh. Sebaliknya, mereka mendukung dan membesarkan hatinya. Hasil pemeriksaan pun menunjukkan Rina tidak hamil—entah alasan medis apa, Reza lupa, sekaligus tak begitu mengerti.

Di balik semua luka, Reza sadar: inilah pelajaran hidup yang tak ternilai. Ia bersyukur bisa melewatinya—bersama adiknya, bersama sahabatnya, bersama semua orang baik yang tak pernah meninggalkannya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
BERHENTILAH BAIK
Husni mubaroh
Cerpen
Bronze
A Little Secret
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Cerpen
Bronze
Mendekap Surga
Trippleju
Cerpen
Teror Guna-guna Tetangga Belakang Rumah
Indahhikma
Cerpen
Rumput (Liar) Tetangga
Dhea FB
Cerpen
Bronze
Sungguhan Teman?
Glorizna Riza
Cerpen
Bronze
Senja
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Bronze
ROTI ISI MATAHARI
Rian Widagdo
Cerpen
Bermain bola bersama teman di lapangan
Alfin Rifa'i
Cerpen
Bronze
TERLAHIR UNTUK BERJUANG
Daniel Sarumaha
Cerpen
Bronze
Cinta yang Terlupakan
Novita Ledo
Cerpen
Genggaman Makanan
Talita Shafa Arifin
Cerpen
Bronze
Hiraeth
Illa Fadillah
Cerpen
Hal-Hal yang Tidak Pernah Kupelajari dari Ibu
Tresnaning Diah
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-4
Munkhayati
Rekomendasi
Cerpen
BERHENTILAH BAIK
Husni mubaroh