Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Bercengkerama dengan Nasib
0
Suka
132
Dibaca

Surti hamil. Berita itu melebihi hebohnya kenaikan BBM yang membuat warga kelimpungan. Pertanyaan yang simpang siur di kerumunan pasar pagi, di ujung jalan desa, dan di warung-warung kopi adalah pertanyaan yang sama dan berputar-putar. Ada yang prihatin, ada yang mencibir dan yang paling banyak adalah komentar menghakimi.

“Surti memang cantik. Kurang waras pun, ya tetap cantik.” Komentar sinis para gadis yang merasa tersaingi dengan kecantikan Surti.

“Dasar gila. Yang menghamili itu yang kurang waras.” Timpal para ibu-ibu yang merasa kasihan.

“Halah, salahnya Giman to. Lha wong tahu mbakyunya kurang waras gitu kok malah nggak dipasung. Atau dikunci gitu, biar selamat.” Ujar bapak-bapak yang gemas. Atau sakit hati karena sudah ada yang menggagahi Surti terlebih dahulu.

Hanya Surti yang tahu. Giman, adiknya pun tidak dapat berharap banyak kakaknya itu bisa bercerita. Bahkan semenjak hamil, Surti tetap saja tidak bicara, tanpa reaksi, dan seolah-olah tidak mengerti kalau semua orang sangat menghebohkan kehamilannya itu.

Siapa yang tega melakukan itu pada Surti. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang pernah melihat tanda-tanda apapun. Giman hanya bisa mengelus dada. Hatinya sangat miris membayangkan nasib kakak satu-satunya.

“Ya Allah, aku ikhlas Mbak Surti tidak bisa sembuh. Dan sekarang aku juga ikhlas dia menerima cobaan ini. Tetapi berikan aku petunjuk, apa yang harus aku lakukan, Ya Allah.” ratap Giman di setiap penghujung malamnya.

Giman tidak habis pikir. Bagaimana kakaknya bisa hamil begitu saja.  Kakak yang disayanginya semenjak kedua orang tuanya meninggal. Kakak yang selalu dirundung pilu karena ditinggalkan calon suaminya, disaat hari pernikahannya. Dan semenjak itu, sang kakak hanya duduk termenung di ujung desa dari pagi mulai menyapa di ufuk timur, hingga mentari tenggelam di ufuk barat. Tidak lagi ada yang merasa heran dengan perilaku kakaknya itu. Hingga suatu ketika, perut Surti mulai membuncit.

Giman semakin pusing menjawab segala pertanyaan tetangga yang sok mengerti urusan orang.

“Lho kok bisa begitu, gimana ceritanya sih, Man?”

“Ya nggak tahu to, Budhe. Saya kan kerja terus dari pagi sampe sore. Budhe tahu sendiri, kan?”

“Oalah, Surti, Surti. Kok ya malang banget nasibmu.” Budhe Karti tetangga sebelah ikut prihatin dengan kondisi Surti.

Hari demi hari berlalu. Giman terpaksa mengurung kakaknya di rumah. Dengan wajah yang semakin pilu Surti hanya bisa menurut. Giman sebenarnya tidak tiga, tetapi apa hendak dikata.

Hari-hari dilalui Surti di depan jendela. Terkadang menjerit-jerit memanggil Kang Sardi, mantan calon suaminya. Terkadang meronta-ronta mencoba mematahkan pilar-pilar kayu di jendela. Wajah cantiknya mulai sayu. Harapan satu-satunya musnah. Dia tidak lagi bisa berharap untuk menyambut Sardi pulang di ujung desa.

Giman hanya bisa memandang sedih kakaknya. Tak pernah terbersit sekalipun dalam benaknya untuk mengurung kakaknya seperti itu. Dia adalah orang yang paling benci segala macam kurungan, entah untuk hewan, apalagi untuk manusia. Giman sangat yakin, semua makhluk punya kebebasan. Namun kini dia harus melanggar keyakinannya sendiri.

“Lha iya to, Man. Dulu kan saya juga sudah selalu mengingatkan. Kasihan mbakyumu itu kalau dibiarkan keluar rumah. Kalau ada apa-apa gini, kan ya kamu susah sendiri.” Lik Kasno mengingatkan Giman pada suatu hari.

“Tapi gimana, to Lik. Saya nggak tega melihat Mbak Surti harus di dalam rumah terus. Apalagi kan saya kerja. Tidak bisa menemaninya.”

“Lha justru kamu kerja itu, harusnya Surti di rumah saja. Kalau sudah begini, mau bagaimana?”

“Nggak tahu lah, Lik. Saya juga bingung.”

“Ya sudah. Kamu pikirkan dulu lagi. Yang sabar ya, Man.”

Giman menghela nafas berat. Ingin rasanya dia membawa Surti pergi dari kampung terkutuk itu. Kampung yang membuat calon iparnya pergi begitu saja dari kakaknya. Kampung yang membuat ibu bapaknya meninggal karena tidak tahan mendengarkan omongan tetangga. Dan sekarang kampung yang sama, telah membuat kakaknya menderita. 

Bak seekor anak ayam yang gusar karena ditinggal sang induk, Giman hanya terbengong-bengong sampai beberapa hari. Dia tidak lagi kerja dan jarang keluar rumah. Pikirannya kalut. Hampir saja dia membawa Surti ke seorang dukun bayi agar digugurkan saja calon keponakannya itu. Namun dia tidak tega.

Suatu hari, Kang Sapto, pembantu di rumah Pak Kades tiba-tiba mendatangi rumah Giman. “Kamu dipanggil Kepala Desa, Man,” kata Kang Sapto sambil mengatur nafasnya yang tidak teratur.

Giman tergopoh-gopoh menuju rumah Pak Kades.

“Gimana, Man. Kamu setuju kalau anak Surti nanti saya adopsi?”

“Benarkah, Pak? Apakah Bapak serius?”

“Ya, tentu saja. Saya kan harus memikirkan warga.”

“Ya Allah, terima kasih banyak, Bapak. Semoga Allah membalas kebaikan Pak Kades.”

Pak Kades hanya tersenyum. Giman berkali-kali mencium tangan laki-laki yang tampak berwibawa itu. Dia senang luar biasa. Satu beban serasa lepas dari pundaknya.

Hari demi hari berlalu. Giman menjalani hari dengan lebih semangat. Dirawatnya kakaknya dengan penuh kasih sayang. Orang-orang juga sudah tidak lagi membicarakan Surti. Bahkan beberapa orang mulai peduli dengan mengirimkan makanan.

Pagi ini, Giman bersiap untuk pergi kerja. Setelah menengok kondisi Surti yang masih lelap di kamar. Makanan dan minuman sudah disiapkan di meja. Nanti Budhe Karti akan datang sesudah beres-beres rumah. Giman mengunci pintu dari luar dan segera berangkat.

Tak lama, Surti terbangun. Rasa tidak nyaman di perutnya menjalar menjadi sakit yang tak tertahan. Dia berteriak dan memukul-mukul perutnya. Cairan dan darah membanjiri sekujur tubuhnya. Surti berlari ke depan dan menarik-narik daun pintu yang terkunci rapat. Dia terus berteriak sampai lemas. Tidak ada yang menolong, karena Budhe Karti juga belum datang. 

“Ya Allah, Surtiii …, toloong …!” Budhe Karti yang baru membuka pintu dan mendapati Surti tergeletak di depan pintu, berteriak-teriak minta tolong. 

Akhirnya Budhe Karti dan beberapa tetangga untuk membawa Surti rumah sakit. Tidak ada yang sempat menghubungi Giman. Pak Kades pun ikut membantu. Semua orang merasa bangga memiliki Kades yang sangat baik.

Namun malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih. Giman yang akhirnya menyusul ke rumah sakit, hanya menemui jasad Surti bersama bayi di dalam perutnya. Keduanya tidak selamat.

“Sabar ya, Man. Mungkin ini yang  terbaik untuk Surti.” Budhe Karti menenangkan Giman yang masih tidak percaya pada takdir yang menimpa kakaknya. 

Giman terisak pilu. Dulu mereka hidup bahagia berempat meskipun tidak punya apa-apa. Sekarang tinggallah dia sendiri. Dia pun tidak tahu bagaimana nasib dirinya kini. Akankah dia melanjutkan hidup di kampung ini? Sendiri tanpa sanak saudara. Atau sebaiknya dia menyingkir saja. Pikirannya sungguh dihantui dengan kematian ayah, ibu, dan kakaknya.

Seseorang menepuk pundaknya saat dia masih termangu di samping tiga nisan yang berjajar. 

“Maaf, Giman. Bisa kita bicara?”

“Eh, Kang Sapto. Disuruh Pak Kades?”

“Nggak. Ini tentang Surti.”

Giman bertanya-tanya dalam hati, apa maksud Kang Sapto. Lalu dia mengangguk dan beranjak mengikutinya. Mereka menjauh dari makam, juga dari pemukiman warga. Dia penasaran apa sebenarnya yang akan dibicarakan. Mengapa harus mencari tempat yang agak jauh dari keramaian. 

Kang Sapto berhenti di sebuah kandang kambing yang sudah tidak terpakai. Dia menoleh ke kanan kiri, memastikan tidak ada yang melihat keberadaan mereka.

“Sebenarnya ada apa sih, Kang?” tanya Giman tidak sabar lagi.

“Emm, gini. Surti …, Surti …, emmm, anu …,” Kang Sapto tampak kebingungan.

“Kenapa? Apa Kang Sapto tahu sesuatu? Atau jangan-jangan Kang Sapto punya info siapa yang menghamili Surti?” Giman mendesak. Dia semakin penasaran saat berpikir kemungkinan Kang Sapto mengetahui hal yang paling ingin didengarnya berbulan-bulan ini.

“I-iya. Itu …, pelakunya …, Pak Kades,” ucap Kang Sapto lirih.

“H-hah? Apa kamu bilang? Pak Kades? Jangan bercanda, Kang!” Giman melotot tidak percaya. Sungguh informasi ini bagaikan petir di siang bolong. Bagaimana orang paling terhormat itu adalah pelakunya? Akal Giman tidak mampu menerima kenyataan itu.

Kang Sapto menceritakan bagaimana setiap malam, dia disuruh Pak Kades mengetuk jendela kamar Surti, lalu mengatakan bahwa Kang Sardi ingin bertemu. Surti percaya begitu saja. Diam-diam, dia akan keluar lewat pintu dapur. Kang Sapto yang sudah menunggu, akan membawanya menemui Pak Kades di sebuah dangau. Begitulah. Nasib buruk Surti akhirnya terjadi.

“Bang-satt. Pak Kades munafik.” Giman mengepalkan kedua tangannya. Kang Sapto bergidik ngeri melihat kemarahan terpancar dari wajahnya.

“Jangan bertindak gegabah, Giman. Pikirkan saja nasibmu sendiri. Surti sudah tenang di alam sana. Besok, aku akan pamit keluar dari rumah Pak Kades. Aku mau kembali ke kampung halaman. Sudah tidak sanggup lagi aku meladeni kemauan kades gila itu.” Terdengar amarah terpendam dari suara Kang Sapto.

Giman tidak lagi menggubrisnya. Dia berlalu dengan nafas memburu. Kang Sapto hanya menggelengkan kepala dan segera pulang ke rumah untuk siap-siap pergi. Dia benar-benar akan meninggalkan rumah Pak Kades.

Sementara Giman, kepalanya sudah mau meledak. Tiga hari dia mengurung diri di rumah. Dia berpikir keras, bagaimana menghadapi Pak Kades yang telah merusak segalanya. 

Hingga malam itu, Giman mengendap-endap di sekitar rumah Pak Kades. Tekadnya sudah bulat. Dia harus melakukan sesuatu untuk memberi pelajaran pada musang berbulu domba itu. Giman sudah gelap mata. Dia melemparkan sesuatu ke atas atap rumah, tak lama kemudian ledakan api menyambar dengan cepat. Tidak ada yang menyadari apa yang terjadi, hingga si jago merah melalap atap rumah persis di atas kamar Pak Kades. 

Giman menyeringai. Tuntas sudah semua dendam. Nyawa dibayar nyawa, pikirnya. Tengah malam yang sunyi menjadi saksi bisu, bagaimana orang kecil mencari keadilan dengan caranya sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Gold
Jokowi, Sangkuni, Machiavelli
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Before Metamorphosis
THIRZA EUNIKE SILABAN
Cerpen
Bronze
RUMAH KACA
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Bronze
Cintaku Di Pegunungan Alpen
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bercengkerama dengan Nasib
Alwi Hamida
Novel
SEJUTA KISAH
BulanBintang
Flash
Dora dan emon
Mahmud
Cerpen
Bronze
Pengkhianatan Ratu Penyihir
Kemal Ahmed
Novel
Gold
Anne of Green Gables
Mizan Publishing
Novel
Cerita Sang Aktor
ab
Novel
Hi, Namaku...
Muqtadir Ghani Putranto
Skrip Film
Hello, Brother!
Lilis Alfina Suryaningsih
Flash
DI BALIK KEBUTUHAN
Senna Simbolon
Novel
Bronze
Merindunya Rindu~Novel~
Herman Sim
Komik
EVIL Cinderella
HanSenpai24
Rekomendasi
Cerpen
Bercengkerama dengan Nasib
Alwi Hamida
Cerpen
Bronze
Fatamorgana
Alwi Hamida
Cerpen
Kakek dan Tasbih Usang
Alwi Hamida
Cerpen
Mimpi Penari di Kolong Jembatan
Alwi Hamida
Cerpen
Misteri Ruang Tunggu 115
Alwi Hamida
Cerpen
Aku Manusia Perak
Alwi Hamida
Cerpen
Sang "Dermawan"
Alwi Hamida